Nusantara   2024/08/17 19:46 WIB

Kemegahan Megaproyek di IKN, 'Buat Masyarakat Hadapi Realita Berbeda'

Kemegahan Megaproyek di IKN, 'Buat Masyarakat Hadapi Realita Berbeda'
Kalau panas berdebu, tapi ketika hujan, jalan di depan Pesantren Fastabilqul Khairaat berubah menjadi berlumpur.

KALIMANTAN TENGAH - bergegas menyiapkan infrastruktur dasar dan menggelontorkan puluhan miliar rupiah demi upacara 17 Agustus perdana di Ibu Kota Nusantara, masyarakat sekitar menghadapi realita berbeda.

“Di sini memang udaranya sangat segar, fresh, dan bersih, dan itu bagus untuk kesehatan, untuk usia,” ucap Presiden Joko Widodo kepada awak media di Ibu Kota Nusantara [IKN], pada 12 Agustus lalu.

Namun, hanya beberapa kilometer dari lokasi presiden saat itu, masyarakat Desa Bumi Harapan hidup berselimut debu proyek - setidaknya selama proses konstruksi berlangsung.

Masyarakat sekitar juga masih harus membeli air karena tak ada akses air bersih yang layak konsumsi.

Padahal tak jauh dari situ, air keran di dalam IKN bisa langsung diminum.

Di sisi lain, sebagian warga mengaku telah ikut merasakan manfaat ekonomi dari kehadiran IKN.

Orang-orang yang dulunya bekerja di tambang kini menjadi juragan kontrakan.

Mereka yang dulunya bertani di sawah, kini menyuplai kebutuhan air bersih ke wilayah sekitar IKN.

Bagaimana rasanya hidup di sekitar pembangunan megaproyek yang akan menjadi warisan Presiden Jokowi ini?

Apakah nantinya masyarakat lokal di sekitar Nusantara dapat menikmati fasilitas yang sama? Apakah mereka merasa menjadi bagian dari perhelatan yang diselenggarakan di ruang hidup mereka?

Di Desa Bumi Harapan terlihat kehidupan keseharian warga di sekitar proyek IKN.

Desa ini adalah yang paling terdampak oleh pembangunan IKN karena sebagian wilayahnya masuk ke dalam Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP).

Situasinya masih sama. Debu tebal masih menyelimuti desa ini. Sekilas, Desa Bumi Harapan tampak seperti desa yang terdampak bencana gunung berapi.

Bedanya, ini bukanlah abu vulkanik, melainkan debu proyek.

Warga yang masih bermukim di desa tersebut menutup rapat pintu dan jendela rumah mereka.

Teras rumah, kendaraan yang diparkir, hingga tanaman di sekitar telah berselimut debu.

Suara bising kendaraan yang lalu lalang tak pernah berhenti terdengar.

Sebagian warga desa ini telah pergi meninggalkan rumah-rumah mereka yang kini diselimuti debu tebal.

Ada yang menjauh dan tersingkir dari IKN karena tak mampu membeli tanah baru di kawasan ini yang harganya melonjak berkali-kali lipat. Namun ada pula yang bisa membangun kembali kehidupan mereka tak jauh dari pusat ibu kota baru.

Sebagian lainnya masih bertahan dalam kondisi serba tak nyaman karena belum mencapai kesepakatan soal penawaran ganti rugi dari pemerintah.

Ada pula yang tak ingin pindah karena berharap menjadi bagian dari IKN, seperti Titin Sumarni, 50, yang mengelola sebuah pesantren tak jauh dari Titik Nol Nusantara.

Ketika Titin Sumarni membangun Pesantren Fastabilqul Khairaat di Desa Bumi Harapan, Penajam Paser Utara, pada 2018 lalu, orang-orang terdekatnya mempertanyakan lokasi yang dipilih Titin.

“Kenapa bangun di situ? Enggak ada apa-apa,” kenang Titin.

Tetapi lokasinya yang sunyi dia rasa cocok sebagai tempat untuk mondok. Satu hal yang tidak mereka ketahui saat itu, kawasan ini ternyata akan menjadi ibu kota baru Indonesia.

Kini, enam tahun berselang, kesunyian itu berganti menjadi hiruk pikuk proyek pembangunan berskala besar yang tak berhenti selama nyaris 24 jam per hari.

Saat cuaca cerah, debu dari proyek-proyek itu akan menyelimuti.

Tetapi ketika hujan, suasananya tak lantas menjadi lebih nyaman.

Jalan raya di depan pesantren sontak berlumpur dan licin.

Kendaraan yang melintas, kebanyakan truk pengangkut material bangunan, harus melambat agar tak tergelincir. Kemacetan panjang pun terjadi.

Lokasi pesantren ini memang strategis, hanya beberapa ratus meter dari akses masuk menuju kawasan inti pemerintahan.

Sedangkan kalau diukur dari Istana Garuda, jaraknya terpaut sekitar empat kilometer. Kalau diibaratkan Jakarta, pesantren milik Titin seperti berada di kawasan Menteng.

Jadi, Titin dapat ikut merasakan hawa-hawa kesibukan jelang upacara peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang untuk pertama kalinya digelar di Nusantara pada tahun ini.

Apalagi pesantrennya kerap dimampiri oleh para pekerja proyek atau pengendara yang melintas, sebab ketersediaan toilet umum dan musala di area ini memang masih terbatas.

Titin pun tak pernah menutup pintu pesantrennya dan membiarkan mereka memanfaatkan fasilitas yang ada.

“Hitung-hitung saya juga bersedekah,” kata Titin ketika ditemui.

Persoalannya, pesantren ini sebenarnya tidak memiliki sumber air bersih untuk menopang kebutuhan tersebut.

Setiap hari, mereka harus membeli air untuk kebutuhan mandi cuci kakus seharga Rp350.000 hingga Rp450.000 per tangki.

Itu belum termasuk kebutuhan untuk air minum yang juga harus dibeli.

"Di sini tidak ada air. Susah banget air di sini. Jadi, untuk air minum saya perlu beli jauh. Kalau air [yang beli] di sini tidak bisa dipakai masak, apalagi minum. Kotor," tutur Titin.

Namun pada sore itu, truk pengangkut air bersih yang mereka pesan tak kunjung tiba.

Titin menduga keterlambatan itu disebabkan oleh kondisi cuaca dan lalu lintas yang tidak bersahabat.

“Mungkin karena hujan, macet, mobilnya enggak bisa masuk ke area sini,” tutur Titin.

Polusi debu dan sulitnya air bersih adalah masalah yang juga dialami oleh banyak warga lainnya di sekitar megaproyek IKN.

“Dulu memang alhamdulillah tidak ada debu. Ya, aman. Dulu santri saya juga piketnya hanya sehari. Sekarang ini selama ada IKN piketnya jadi dua kali. Itu pun kadang mereka mengeluh kecapean,” ujar Titin.

Terkadang ada santri-santrinya sampai batuk-batuk, meski Titin tak bisa menyimpulkan apakah itu karena debu proyek atau faktor lainnya.

Salah satu santri bernama Fikrom, merasakan betul perbedaan pondok pesantrennya antara dulu dan sekarang.

“Dulu segar, beda kayak sekarang, panas, banyak debu. Dulu pepohonannya hijau, segar lah pokoknya,” kata Fikrom.

“Aktivitas belajar, bermain, olahraga jadi terganggu. Kalau banyak mobil yang lewat, bising, kadang bisa konsentrasi, kadang enggak. Kalau sekarang mau pergi jogging, malah cari penyakit," kata Fikrom.

Titin mengaku tak masalah menanggung segala ketidaknyamanan itu untuk sementara waktu. Asalkan, dia dan santri-santrinya tak terusir dan bisa menjadi bagian dari IKN.

Apalagi, Titin juga telah merasakan dampak ekonomi dari kehadiran IKN karena menyewakan kamar-kamar kontrakan untuk para pekerja proyek.

Namun nyatanya, Titin telah diminta untuk pindah dan ditawarkan uang ganti rugi.

Dia menolak tawaran itu hingga bersengketa di pengadilan.

Lahan milik Titin adalah salah satu dari 2.086 hektare lahan yang belum dibebaskan.

“Jangan [dilihat] sekarang begini ada dampak debunya, ada enggak nyaman berisik-berisiknya. Kami bertahan-tahan begini, nanti kami ingin menikmati [IKN] juga,” kata dia.

Titin pun ingin ikut merasakan kemeriahan perayaan Hari Kemerdekaan di IKN.

“Ingin merasakan juga kemeriahannya, cuma sampai sekarang enggak tahu gimana nanti ke depannya,” kata Titin.

Sebagian warga memang diundang untuk ikut upacara di kawasan istana. Namun, sampai saat ditemui, Titin tidak termasuk di antaranya.

Jadi walaupun berjarak cukup dekat dari pusat kemeriahan, Titin kemungkinan hanya akan menyaksikan lewat layar kaca.

Padahal Titin punya kontribusi bagi mereka yang lalu lalang mempersiapkan perayaan itu.

“Air kami pasti terpakai,” kata Titin.

'Selamat datang di Nusantara'

“Udara sejuk. Udara bersih, sesuai yang kita impikan. Bahwa kita ingin sebuah ibu kota yang 'green', baik energinya, baik kendaraan listriknya, baik lingkungannya, udaranya, semuanya,” kata Presiden Jokowi ketika mengajak menteri-menterinya ngopi di salah satu embung di Nusantara pada Senin (12/08).

Agenda itu adalah salah satu rangkaian dari kunjungan Presiden Jokowi ke Nusantara sebelum menggelar sidang kabinet perdana di Istana Garuda.

Esok harinya, Jokowi memamerkan Nusantara kepada para kepala daerah dari seluruh Indonesia.

"Selamat datang di Nusantara," kata Jokowi, disambut tepuk tangan para kepala daerah.

Pada momen itu, Jokowi menceritakan bagaimana dia selama 10 tahun terakhir merasa dibayang-bayangi oleh “bau-bau kolonial” ketika berada di istana di Jakarta dan Bogor.

"Saya hanya ingin menyampaikan bahwa itu sekali lagi, Belanda. Bekas gubernur jenderal Belanda, dan sudah kita tempati 79 tahun. Bau-baunya kolonial, selalu saya rasakan setiap hari. Dibayang-bayangi," kata Jokowi.

Pembangunan IKN ini, sambung dia, adalah pembuktian bahwa Indonesia bisa membangun ibu kota sesuai dengan keinginan sendiri.

Rangkaian kegiatan Jokowi di IKN pada 12-14 Agustus, berdasarkan pengamatan dilapangan Istana Garuda memang lebih luas dan besar kalau dibandingkan dengan Istana Merdeka, Jakarta.

Ukiran kayu di dinding dan lampu kristal di langit-langitnya membuat Istana Garuda terasa megah, walaupun belum banyak interior.

Tetapi, hawa-hawa bangunan baru masih begitu terasa. Debu-debu pembangunan masih ada, dan bau cat masih tercium.

Saat menghadiri pengukuhan Paskibraka, cat putih di tembok Istana Negara masih luntur dan mengenai bajunya.

Jika berkeliling di kawasan inti pemerintahan di Nusantara, di sekitar Istana Garuda, suasananya terasa kontras dengan di luar sana.

Aura pembangunan memang masih terasa, tapi setidaknya, udara yang saya hirup di area ini tak lagi bercampur dengan debu. 

Hamparan rumput yang hijau terlihat di depan Istana Garuda dan Istana Negara.

Desain istana yang menyerupai burung garuda, karya seniman Nyoman Nuarta, menjadi pusat perhatian yang mencolok di antara gedung-gedung pemerintahan lainnya.

Di depan tiang bendera di Plaza Seremoni –lapangan tempat upacara 17 Agustus akan digelar—sejumlah anggota Paskibraka tengah berlatih.

Untuk menuju ke kawasan istana ini, kami melewati jalan beraspal selebar 50 meter.

Di sisi kanan kirinya terdapat trotoar yang lebar. Nantinya, moda transportasi autonomous rail transit (ART) akan beroperasi di jalan-jalan seperti ini.

Di sisi kiri jalan dari arah kami datang, rumah jabatan menteri juga telah berdiri. Pemerintah menggelontorkan anggaran Rp14 miliar per unit untuk membangun rumah jabatan berkonsep rumah pintar itu.

Belasan rusun ASN diklaim sudah siap dibangun. Rencananya, kloter pertama ASN akan pindah ke IKN pada September.

Mereka akan menghuni rusun ini secara gratis sebagai rumah dinas.

Namun ketika diklarifikasi, Presiden Jokowi mengatakan “tidak akan memaksakan” kalau memang fasilitas pendukungnya belum siap.

"Kalau memang belum siap, ya diundur," tutur Presiden Jokowi.

Salah satu yang “spesial” dari rusun ini adalah fasilitas tap water sehingga air kerannya dapat langsung dikonsumsi.

Sumber air bakunya berasal dari Bendungan Sepaku Semoi dan Intake Sepaku.

“Sumber airnya ada dua, ada Bendungan Sepaku-Semoi dan intake Sepaku. Kalau Bendungan Sepaku-Semoi itu sumber airnya dari Sungai Tengin, kalau intake dari Sungai Sepaku. Yang sudah dialirkan ke sini itu dari intake Sepaku. Kemudian diolah di water treatment,” jelas Agung.

Baru belakangan, setelah saya menyicip air itu, Agung mengungkap bahwa masih perlu dipastikan apakah kualitas airnya masih sama layaknya dengan yang sudah teruji di titik pengelolaan air minum.

“Pak Basuki [Menteri PUPR] sudah pernah minum kan, itu di water treatment. Untuk ke sini kan masih melewati pipa lagi, itu yang masih diuji lagi apakah kualitasnya sama layaknya,” jelas Agung.(*)

Tags : ibu kota nusantara, hidup disekitar kemegahan megaproyek ikn, masyarakat, Indonesia,