BAGI umat Islam, memuliakan tamu merupakan suatu keharusan, sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW:
أكرم الضيف ولو كان كافراً
''Muliakanlah tamu walaupun ia seorang kafir.'' Beliau pun telah mempraktikkannya.
Suatu ketika datang kepada Rasulullah tamu non-Muslim berjumlah 60 orang, 14 orang di antaranya dari kelompok Kristen Najran. Mereka dipimpin Abdul Masih. Rombongan ini diterima di masjid dengan penuh persahabatan.
Bahkan, menurut Muhammad ibn Ja'far ibn al-Zubair, sebagaimana dikutip Abdul Muqsith dalam kitab al-Shirah al-Nabawiyyah karya Ibn Hisyam, ketika tiba waktu kebaktian, rombongan tamu ini diperkenankan melakukan kebaktian di dalam masjid dengan menghadap ke arah timur.
Rasulullah juga tidak membedakan tamu berdasarkan kelas dan status sosial. Suatu ketika, beliau menerima seorang tamu laki-laki Arab pegunungan, kira-kira semi-primitif. Tiba-tiba tamu itu beranjak ke sudut masjid lalu kencing berdiri di sana. Terang saja para sahabat marah dan bermaksud memukulnya. Akan tetapi, Rasulullah melarang dan memerintahkan agar kencingnya ditimbun dengan pasir.
Bahkan, pernah suatu ketika Rasulullah menerima tamu yang sudah lama dicari-cari masyarakat karena terkenal sebagai tukang onar.
Salah seorang sahabat menghunus pedang untuk membunuh orang tersebut, tapi Rasulullah menahannya dan mengatakan, ''Biarkan kita dengarkan apa maksud kedatangannya di sini.''
Sang tamu menyadari kalau dirinya adalah penjahat dan telah melakukan berbagai macam dosa dan maksiat. Dia menjelaskan tujuannya datang menjumpai Rasulullah SAW, siapa tahu pada masa lalunya pernah mengerjakan suatu kebaikan, maka dia akan menghibahkan kebaikan itu kepada orang yang ditunjuk Rasulullah SAW.
Semua sahabat yang hadir di masjid tertegun mendengarkan penjelasan itu. Akhirnya, kasus itu menyebabkan turunnya ayat 114 dalam surah Hud (11):
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
''Sesungguhnya amal kebajikan itu menghapus perbuatan-perbuatan buruk.''
Betapa mulia dan agungnya pribadi Rasulullah terhadap tamu. Kita sebagai umatnya selayaknya mencontoh etika Rasulullah terhadap tamu.
Mungkin lebih banyak kemaslahatan bisa dicapai dan lebih banyak kemudaratan bisa ditolak jika kita menerima mereka dalam suatu meja daripada kita menolak. Mengapa harus melalui jalur konflik kalau bisa dengan jalur damai? Bukankah Allah SWT telah menegaskan:
وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
''Dan jalur damai itu lebih baik'' (QS al-Nisa' [4]: 128).
Tags : tamu, menghormati tamu, kemuliaan tamu, memuliakan tamu, tamu dalam islam, tamu menurut islam,