DALAM tiap gelas kopi yang di pesan, ada harapan untuk membawa Kota Pekanbaru semakin maju di masa depan.
Setidaknya demikian penilaian Larshen Yunus, Ketua Dewan Pengurus Daerah [DPD] I Komite Nasional Pemuda Indonesia [KNPI] Provinsi Riau. Mengapa tidak, sebutnya lagi, dengan 10% dari harga kopi yang diminum akan menjadi Pendapatan Asli Daerah melalui Pajak Restoran.
Tidak sedikit yang beranggapan bahwa pajak yang tertera dalam struk saat membeli makan atau minum di restoran maupun kafe merupakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Wajar saja, kata dia, tarif pajak yang ada di struk pembelian biasanya tertulis 10%.
Sementara kebanyakan orang menganggap itu sebagai tarif PPN yang umumnya dikenakan pada transaksi pembelanjaan.
Namun yang pasti, pajak yang muncul pada setiap struk pembelian makanan dan minuman itu bukanlah PPN, melainkan Pajak Restoran.
Pajak restoran termasuk dalam kategori pajak daerah, tepatnya pajak kabupaten/kota, yang mendefinisikan Pajak Restoran sebagai pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
Menurutnya, meski pemajakannya sama-sama dari transaksi jual-beli, namun yang jadi pembeda dari PPN dan Restoran ini adalah dari segi pemungut pajaknya.
Jika PPN itu dipungut oleh Pemerintah Pusat (Pempus) dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sedangkan Pajak Restoran dipungut oleh Pemerintah Daerah (Pemda).
Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran dari pelayanan penjualan makanan/minuman yang dikonsumsi pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain (dibawa pulang).
Sedangkan Subjek Pajak Restoran artinya subjek yang dikenakan atau dipungut Pajak Restoran, yaitu pembeli dari layanan yang disediakan oleh restoran tersebut.
"Jadi, Pajak Restoran ini sebetulnya tidak dibebankan kepada pemilik resto, akan tetapi dikenakan pada pembeli atau konsumennya."
"Pembeli makanan/minuman membayarkan pajak restoran bersamaan pada saat melakukan pembayaran karena Pajak Restoran tersebut sudah tertera dalam struk pembelian," katanya.
Misalnya, sebutnya lagi, ketika anda selesai menikmati secangkir kopi seharga Rp. 10.000, Maka total harga yang harus anda bayar adalah sebesar Rp. 11.000. Itu karena ada Pajak Restoran sebesar 10% yang harus anda bayarkan.
Jadi dalam hal ini sebenarnya pemilik restoran tidak menanggung beban Pajak Restoran ini, akan tetapi hanya sebagai perantara yang menyetorkan Pajak Restoran yang telah dibayar oleh konsumennya.
Tidak semua restoran memiliki kewajiban menyetorkan Pajak Restoran. Ada kriteria tertentu bagi restoran yang tidak wajib membayar Pajak Restoran.
Masing-masing daerah menetapkan sendiri besar pendapatan yang tidak memiliki kewajiban membayar pajak restoran.
Pajak Restoran
Menurut Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
Sedangkan definisi restoran di sini yakni fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman yang dipungut bayaran, yang mencakup juga:
Tidak sedikit yang beranggapan bahwa pajak yang tertera dalam struk saat membeli makan atau minum di restoran maupun kafe dinilai sebagai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Pajak yang muncul pada setiap struk pembelian makanan dan minuman itu bukanlah PPN, melainkan Pajak Restoran atau Pajak Bangunan 1 (PB1).
Hal ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Disebutkan bahwa pajak restoran masuk dalam kategori pajak daerah, tepatnya pajak kabupaten/kota, yang mendefinisikan Perpajakan Restoran sebagai pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
Perbedaan PPN dan PB1?
Meski pemajakannya sama-sama dari transaksi jual-beli, namun yang jadi pembeda dari PPN dan PB1 atau Pajak Restoran yakni dari segi pemungut pajaknya.
Jika PPN itu dipungut oleh Pemerintah Pusat (Pempus) dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sedangkan Pajak Restoran/PB1 dipungut oleh Pemerintah Daerah (Pemda).
Ketahui siapa sebenarnya yang menanggung Pajak Restoran (PB1) ini dan apa saja yang menjadi objek atau dikenakan pajak resto ini, maupun pihak yang hanya ditugaskan untuk menyetorkan Pajak PB1 dari pembeli ke negara/kas daerah.
1. Objek Pajak Restoran PB1
Sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) dan (2) UU PDRD, yang menjadi objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran dari pelayanan penjualan makanan/minuman yang dikonsumsi pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain (dibawa pulang).
Artinya, pembelian makanan dan minuman di restoran, baik dalam layanan antar (delivery service) maupun makan di tempat dan pemesanan di bawa pulang (take away) akan dikenakan pajak makan di restoran.
2. Subjek Pajak Restoran PB1
Subjek Pajak Restoran artinya subjek yang dikenakan atau dipungut PB1, yaitu pembeli dari layanan yang disediakan oleh restoran tersebut.
Pembeli di sini bisa orang pribadi maupun badan atau perusahaan yang menggunakan jasa restoran.
Jadi, PB1 ini sebetulnya tidak dibebankan kepada pemilik resto, akan tetapi dikenakan pada pembeli atau konsumennya.
Pembeli makanan/minuman membayarkan PB1 bersamaan pada saat melakukan pembayaran karena Perpajakan Restoran tersebut sudah tertera dalam struk pembelian.
3. Wajib Pajak Restoran PB1
Apa yang dimaksud Wajib Pajak (WP) PB1 atau WP Pajak PB1 Restoran?
WP Pajak Restoran artinya wajib pajak yang harus memungut dari pembeli dan menyetorkan Pajak PB1 Restoran tersebut ke kas negara.
Wajib pajak restoran ini bisa orang pribadi maupun badan pemilik atau pengusaha restoran yang bersangkutan.
Maka, WP PB1 merupakan pemilik atau yang menjalankan kegiatan dari usaha restoran tersebut.
Jadi dalam hal ini sebenarnya pemilik restoran tidak menanggung beban PB1 ini, akan tetapi hanya sebagai perantara yang menyetorkan pajak PB1 yang telah dibayar oleh konsumennya.
Tidak semua restoran memiliki kewajiban menyetorkan PB1. Ada kriteria tertentu bagi restoran yang tidak wajib membayar Pajak Restoran.
Masing-masing daerah menetapkan sendiri besar pendapatan yang tidak memiliki kewajiban membayar pajak restoran.
Contohnya, untuk DKI Jakarta menetapkan bagi restoran yang memiliki pendapatan tidak lebih dari Rp200.000.000 per tahun tidak termasuk objek PB1.
A. Tarif Pajak Restoran
PB1 dikenakan kepada restoran akan diterapkan setelah biaya pelayanan yang juga dibebankan kepada konsumen.
Dalam Pasal 40 ayat (1) UU PDRD ditegaskan bahwa tarif Pajak Restoran paling tinggi 10% dari DPP.
UU PDRD memberikan kewenangan setiap pemerintah daerah untuk menentukan besar tarif PB1 di wilayahnya.
Tak heran jika di setiap kabupaten/kota bisa saja besar tarif PB1 berbeda-beda.
Namun besar tarif Pajak Restoran itu tidak boleh melebihi batas tarif PB1 yang ditetapkan dalam UU PDRD.
Tapi, kebanyakan kabupaten/kota menetapkan tarif maksimal untuk PB1 sesuai dengan yang tertera dalam UU PDRD tersebut, meski ada juga daerah yang menerapkan tarif lebih rendah.
B. Beda Service Tax dan Service Charge
Antara Pajak Restoran (service tax) dengan Service Charge atau biaya layanan itu berbeda, meski keduanya terkesan hampir serupa.
Memang tidak semua restoran mengenakan biaya layanan. Perlu diingat, bahwa antara Pajak Restoran (PB1) itu berbeda dengan biaya layanan.
Jika service tax (pajak restoran) itu pajak yang sudah ditetapkan pemerintah, sedangkan service charge adalah biaya yang ditetapkan oleh restoran.
Biaya layanan ini murni hanya dilakukan oleh masing-masing restoran yang membebankan biaya atas layanan yang diberikan, tapi di luar dari PB1.
Karena biaya layanan ini tidak masuk dalam pungutan pajak tapi masuk dalam kas restoran yang bersangkutan.
Tarif service charge ini juga ditentukan oleh masing-masing restoran, namun biasanya tidak sama atau lebih rendah dibanding PB1, yakni sekira 5% atau 7% bahkan ada juga yang mencapai 10%. (*)
Tags : pajak, restoran dan kafe, pekanbaru, pajak makan dan minuman ikut berkonstribusi membangun kota,