LINGKUNGAN - Banyak kaum muda Mentawai telah kehilangan minat untuk menjadi sikerei, namun sebagian dari mereka menemukan jalan lain untuk melestarikan budaya Mentawai.
Lantas, bagaimana masyarakat adat Mentawai bertahan di tengah gempuran modernitas?
Suara tangis bayi lutung Mentawai—dikenal sebagai joja oleh masyarakat setempat—yang baru berusia sekitar satu pekan itu masih lekat dalam ingatan Vincentius Tatebburuk.
Pertengahan tahun lalu, Vincentius mendata primata tersebut di kawasan hutan dekat permukiman warga, sekitar 20 kilometer dari Muara Siberut, Sumatra Barat.
Di sana, Vincentius menemukan tiga ekor joja dewasa.
Joja atau lutung Mentawai memiliki nama latin Presbytis siberu. Rambut joja dewasa berwarna hitam, sementara bayi joja punya rambut putih kecokelatan.
“Saya berpesan pada orang-orang di sana untuk tidak memburu joja di hutan,” dia memulai kisahnya.
Setahun kemudian, saat sedang menjadi pemandu wisata untuk keluarga turis asing yang ingin melihat keanekaragaman hayati di Pulau Siberut, Vincentius pergi ke hutan yang sama.
"Ketika kami masuk ke dalam hutan, ada kawanan joja sedang bercengkerama di bawah pohon pulai. Mereka terkejut dengan kedatangan kami dan langsung pergi,” kata dia.
Kawanan yang kalang kabut itu rupanya meninggalkan seekor bayi joja, yang langsung menangis karena ditinggal kabur induknya.
Melihat bayi joja menangis, salah satu anak dari keluarga turis asal Prancis yang didampinginya, ikut menitikkan air mata.
Gadis 13 tahun itu bertanya, “Bagaimana kalau dia lapar? Bagaimana dia minum susunya?”
Untuk menenangkan tamu kecilnya, Vincentius kemudian mengajak keluarga itu menunggu. Dia yakin, induk joja akan kembali dan mengambil anaknya.
“Syaratnya cuma satu, jangan berisik,” ujar Vincentius kepada para turis.
Benar saja. Sekitar 30 menit menunggu dalam diam, mereka menyaksikan induk joja datang untuk menjemput bayinya.
Menceritakan kembali momen itu, mata Vincentius berkaca-kaca. Joja yang tahun lalu hanya berjumlah tiga ekor di kawasan hutan itu, kini telah bertambah satu.
Vincentius adalah putra seorang sikerei, tabib atau dukun yang memiliki peran penting melestarikan Arat Sabulungan—sistem kepercayaan, pengetahuan dan perilaku masyarakat adat Mentawai.
Alih-alih mengikuti jejak sang ayah, pria berusia 42 tahun itu memilih untuk melestarikan kekayaan Mentawai dengan cara lain.
Sepuluh tahun terakhir, dia bersama tiga pemuda Mentawai lain—Damianus Tateburuk, Ismael Saumanus, dan Mateus Sakaliou—mengelola pusat konservasi primata Malinggai Uma di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat.
Malinggai Uma yang terletak di Dusun Puro 2, Desa Muntei, Siberut Selatan, kerap dijadikan tempat berkumpul oleh para pemuda Mentawai yang peduli akan konservasi.
Damianus Tateburuk, ketua Malinggai Uma, sedang duduk di depan rumah panggung berbahan kayu yang menjadi kantor mereka.
“Malinggai Uma ini kami bentuk untuk sarana pelestarian kebudayaan dan konservasi keanekaragaman hayati, satwa liar, dan primata Mentawai,” kata Damianus, 41 tahun, sambil menyeka keringat seperti dirilis BBC News Indonesia.
Angin pantai membuat udara terasa lengket dan gerah.
Dibentuk pada 2014, rumah ini wadah untuk menyelamatkan enam primata endemik Kepulauan Mentawai dari ancaman kepunahan.
Mereka adalah bilou (Hylobatess klossii), bokkoi (Macaca siberu), joja (Presbytis siberu), simakobu (Siamias concolor), siteut (Macaca pagensis), dan atapaipai (Presbytis potenziani).
Empat yang disebut pertama terdapat di Siberut.
Status keenam primata ini terancam punah menurut badan PBB yang mengurusi konservasi, IUCN. Simakobu bahkan sudah masuk kategori kritis.
“Habitat mereka semakin berkurang akibat perburuan, pembukaan hutan, dan penebangan hutan skala besar oleh perusahaan,” ujar Dami, panggilan akrabnya.
Dami, seperti orang Mentawai pada umumnya, ahli berburu.
Sebagai anak dari sekebukat uma—pemimpin rumah adat—dulu Dami berburu untuk kepentingan ritual adat.
Hingga pada 2010, dia dilibatkan dalam kegiatan survei primata Mentawai oleh Fauna & Flora International, organisasi konservasi hewan dan tumbuhan.
Setelah terjun ke dunia konservasi primata, Dami mengaku lebih memahami peran hewan-hewan ini di alam liar.
“Suaranya bisa menjadi pertanda [datangnya bencana], menyebarkan biji rotan dan buah-buahan di hutan, jadi berguna untuk kelangsungan dan keanekaragaman hayati,” terangnya.
Malinggai Uma bermitra dengan Swara Owa yang berpusat di Yogyakarta. Mereka telah menerbitkan buku panduan Primata Kepulauan Mentawai (2019) dan Burung-Burung Kepulauan Mentawai (2022).
September lalu, Dami terbang ke Kuala Lumpur untuk magang di pusat rehabilitasi gibbon di Malaysia.
Sejak 2023, Malinggai Uma melakukan pendataan dan pengamatan primata di Siberut Selatan hingga Siberut Barat Daya dengan memasang kamera jebak.
“Primata itu tinggal berkelompok di suatu teritorial hingga akhir hayatnya," tutur Dami.
"Suatu hari, saya mendata kawanan primata di suatu tempat, beberapa bulan kemudian ketika kami kembali, mereka sudah tidak ada. Sudah habis,” suaranya berubah murung.
Dami mengaku, tantangan terbesar yang dia hadapi adalah menyadarkan masyarakat Mentawai untuk tak lagi berburu primata, baik untuk ritual maupun dikonsumsi.
“Meminta masyarakat untuk berhenti berburu itu hal yang sangat sensitif, kita harus hati-hati,” ujarnya.
Namun perburuan untuk tradisi—menggunakan panah—jumlahnya masih dibatasi, menurut Dami.
Namun tidak demikian halnya dengan perburuan liar yang kerap kali menggunakan senapan dengan peluru yang diolesi racun.
“Para pemburu liar berburu untuk kebanggaan. Mereka bangga kalau bisa dapat primata. Sementara perburuan tradisi, dapat atau tidak dapat hasil buruan, tidak masalah,” ujarnya.
Dari Hutan Siberut, kisah anak muda Mentawai lain ada di Kota Padang, ibu kota Sumatra Barat.
Tak malu memakai ‘kabit’
Semburat warna jingga matahari yang tenggelam menembus kaca lantai 15 sebuah hotel berbintang di Kota Padang, menyinari ruangan dengan lembut.
Politik Salakirat, 25 tahun, berdiri sembari menuangkan berbagai macam sari buah-buahan di balik meja bar dan restoran. Dia adalah satu-satunya anak Mentawai yang bekerja di hotel itu.
Berasal dari Dusun Buttui, Desa Madobag di Pulau Siberut, Politik adalah anak dari sikerei penting Mentawai, Aman Laulau Manai, yang baru berpulang Februari lalu. Kakaknya, Aman Lepon, juga seorang sikerei.
“Meski hidup di kota dan tak mengikuti jejak almarhum ayah dan abang-abang saya menjadi sikerei, ketika pulang kampung, saya tetap harus mengikuti adat kampung,” ujar Politik.
Sejak kecil, Politik sudah biasa melihat turis lokal maupun mancanegara mengunjungi ayahnya. Interaksi dengan para turis itu, ujar Politik, membuat dia memilih untuk melanjutkan sekolah kepariwisataan.
Di Padang, beberapa kali Politik ikut serta dalam festival adat Mentawai yang rutin diselenggarakan tiap tahun.
“Saya tidak malu memakai kabit [cawat] saat menari. Saya justru bangga, karena budaya saya unik,” ujarnya.
Kabit adalah pakaian khas sikerei yang tak dikenakan oleh orang Mentawai pada umumnya.
Politik pun mengaku beruntung karena lahir di keluarga sikerei, sehingga dia tetap bisa belajar tentang pengobatan herbal, tarian, dan ritual Mentawai—semua hal yang harus dikuasai seorang sikerei.
Namun dia sendiri mengaku belum siap jika harus mengikuti jejak ayah dan kakaknya.
“Niat menjadi sikerei itu sangat sakral. Saya sendiri, tabungan belum ada, mental juga belum siap. Kalau mau jadi sikerei berarti harus melepaskan kegiatan duniawi. Artinya, saya harus melepaskan pekerjaan ini,” ungkap Politik.
Tarida Hernawati, antropolog dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai, menerangkan mengapa banyak anak muda Mentawai sekarang merasa berat menjadi sikerei.
“[Anak muda] sudah tidak bersentuhan, tidak akrab dengan adat, budaya, dan aktivitas masyarakat adat Mentawai sehari-hari,” ujar Tarida.
Selain harus menghafalkan mantra-mantra Arat Sabulungan, seorang sikerei juga harus cermat dalam memperhitungkan hal-hal berkaitan dengan alam dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, saat warga hendak membuat perahu pompong atau rumah dari kayu yang diambil di hutan.
Sikerei harus menghitung dengan cermat. Ia akan memilih lokasi pohon yang bisa ditebang dengan melihat berbagai aspek.
Mulai dari kecuraman tebing tempat pohon tumbuh, bagian sungai mana yang terdampak tebangan pohon, hingga rencana menanami kembali lokasi tebangan pohon itu.
“Bagi orang awam mungkin terlihat mistis, tapi jika ditelaah, itu sangat masuk akal,” kata Tarida.
Di Dusun Buttui, keluarga Politik yang lain juga berpikir keras supaya pengetahuan sikerei yang didapat turun-temurun secara lisan bisa diwariskan kepada generasi baru dengan catatan dan tulisan.
Aman Lepon, 48 tahun, kakak Politik, adalah sosok yang paling mendukung adik bungsunya itu untuk sekolah. Apalagi kala itu anak sulung Aman Lepon, Telepon Salakirat, juga sudah masuk sekolah.
“Mereka harus sekolah supaya ada yang bisa membaca dan menulis, ada yang mencatat kebudayaan kami,” ujar pria yang bernama asli Laulau Manai Salakirat itu.
Aman Lepon adalah panggilan yang disematkan padanya; dari kata “aman” yang berarti “bapak” ditambah Lepon dari nama anaknya, Telepon.
Politik dan Telepon yang kini telah dewasa dengan sabar mengajari Aman Lepon bahasa Indonesia, agar dia dapat berkomunikasi dengan orang-orang dari luar Mentawai.
Di kampungnya, Aman Lepon membangun satu rumah lagi untuk Komunitas Sikerei Tirit Oinan. Di situ dia mengajarkan budaya Mentawai kepada siapa pun yang tertarik, terutama soal peran sikerei.
Alasan komunitas ini dibentuk, tutur Aman, adalah karena suatu saat teman-teman sekolah Telepon yang kala itu berusia 13 tahun mendatanginya dan bertanya tentang seluk-beluk menjadi sikerei.
“Kenapa tidak tanya ke orang tua kalian,” tanya Aman Lepon kepada mereka.
Anak-anak itu menjawab, “Orang tua kami tidak tahu, makanya kami belajar ke Aman.”
Dari pengalaman itulah, Aman Lepon semakin terpicu untuk berbagi pengetahuannya tentang Mentawai dan sikerei.
Telepon juga aktif di dunia maya. Lewat akun instagram, dia kerap membagikan kegiatan sehari-hari Komunitas Sikerei Tirit Oinan, juga membantu memetakan tanah adat, hutan, area berternak, jalur berladang hingga berburu.
Politik dan Telepon beruntung memiliki Aman Lepon yang punya keinginan kuat supaya adik dan anaknya sekolah hingga perguruan tinggi.
Bisa dibilang, tekad kuat adalah modal utama anak-anak muda Mentawai mengenyam pendidikan—selain biaya.
Ini karena tak banyak sekolah negeri maupun swasta yang ada di Kepulauan Mentawai.
Di Desa Matotonan, misalnya, hanya ada satu SD negeri. Sekolah Menengah Pertama (SMP) terdekat terletak di desa tetangga yang jaraknya sekitar 20 kilometer, sementara Sekolah Menengah Atas (SMA) terdekat ada di dekat pusat kota Pulau Siberut.
Untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya, anak-anak Matotonan harus menempuh perjalanan panjang dengan medan berat, melewati sungai yang meliuk-liuk, lalu naik mobil bak atau jalan kaki di atas tanah berlumpur selama berjam-jam.
Untuk transportasi saja, butuh biaya yang tak sedikit.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 mencatat ada 34 SMP, 13 SMA, dan tiga SMK di seluruh Kepulauan Mentawai yang terdiri dari empat pulau utama. Mereka yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, seperti Politik, harus merantau meninggalkan Kepulauan Mentawai.
Menurut data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) pada 2024, dari 96.570 jiwa penduduk Kepulauan Mentawai, hanya 5,92% yang tamat perguruan tinggi.
Antropolog Tarida Hernawati mengatakan, meski ada tantangan besar soal akses dan biaya, sudah cukup banyak orang-orang tua Mentawai yang sadar akan pentingnya pendidikan.
Kendati begitu, dia mengakui masih ada stigma buruk yang melekat pada masyarakat tradisional Mentawai.
Sikerei, sebut dia, identik dengan eksotismenya. Mereka juga kerap dipandang sebagai lambang keterbelakangan karena praktik-praktik yang mereka lakukan.
Cara berpakaian sikerei dengan kabit, yang pada awalnya dipakai untuk alasan praktis agar luwes di dalam hutan, kini dipandang tidak layak dan tak modern.
“Para orang tua [Mentawai] selalu bilang ke anak-anaknya, mereka harus bisa sama seperti orang lain [dari luar Mentawai]. Mereka ingin stigma dan diskriminasi bisa dihilangkan,” tukas Tarida.
Ini membuat Aman Lepon seperti terperangkap di antara dua dunia.
Di satu sisi, dia meyakini bahwa sekolah sangat penting untuk generasi muda Mentawai. Namun di sisi lain, dia juga mengaku khawatir akan keberlanjutan adatnya—terutama keberadaan sikerei.
“Karena setelah saya ini, tidak ada generasi muda yang berminat menjadi sikerei. Yang tua-tua sudah mulai sakit dan sebentar lagi meninggal dunia, siapa yang akan meneruskan?” tukasnya.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, orang-orang Mentawai hidup dengan sistem adat dan kepercayaan Arat Sabulungan.
“Arat” dalam bahasa Mentawai berarti agama. Sabulungan memuat ajaran tentang keselarasan, yang mencakup hubungan antar-manusia, alam, makhluk hidup, benda-benda mati, peristiwa alam, dan roh-roh.
Orang Mentawai percaya bahwa roh-roh menempati langit, hutan, sungai, laut, dan tanah. Sikerei merupakan sosok perantara dari dunia manusia dan roh.
Namun keberadaan Arat Sabulungan—dan aliran kepercayaan lainnya di Indonesia—sempat dilarang oleh pemerintah di zaman Orde Lama. Mereka diharuskan memeluk agama yang resmi diakui negara.
Menjadi pengikut agama yang diakui negara "secara paksa" bertentangan dengan prinsip kebebasan jiwa yang ada dalam kosmologi orang Mentawai, menurut antropolog Maskota Delfi.
Pada 1954, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mendirikan Panitia Interdeparmental Peninjauan Kepercayaan Masyarakat (Interdep Pakem).
Tugas utamanya adalah mempelajari tata cara perkawinan dan menyelidiki bentuk serta tujuan aliran kepercayaan yang berkembang di masyarakat.
Alasannya, pemerintah mengatakan banyaknya aliran kepercayaan menimbulkan konflik sosial dan budaya.
Di tahun-tahun setelahnya, pemerintah semakin mencampuri urusan agama masyarakat, termasuk mengeluarkan instruksi yang memperketat pengawasan terhadap praktik-praktik aliran kepercayaan.
Di Mentawai, orang-orang dipaksa untuk memilih salah satu agama, Islam atau Kristen Protestan.
“Negara hadir dalam wajah Minangkabau dan Batak, sehingga hanya dua agama itu yang ditawarkan,” tulis Delfi dalam penelitiannya, Sipuliam dalam selimut Arat Sabulungan Penganut Islam Mentawai di Siberut yang diterbitkan di Jurnal Al-Ulum pada 2012.
Memasuki masa Orde Baru, tekanan terhadap orang-orang yang masih mempraktikkan Arat Sabulungan semakin masif.
Pascaperistiwa G30S pada 1965, banyak orang Mentawai dicap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Dari cerita-cerita yang saya kumpulkan, mereka yang tinggal di pelosok Siberut dilarang melakukan ritual uma, jika tidak ingin dipenjara seperti orang PKI," ujar Delfi kepada BBC dalam wawancara daring.
"Walau kenyataannya, mereka tidak mengerti apa-apa tentang PKI,” lanjutnya.
Alih-alih, orang-orang yang ditemuinya bertanya, “[PKI] itu apa? Apakah mereka orang Indonesia atau semabulau mata [orang kulit putih]?”
Pemerintah juga melarang ritual penyembuhan oleh sikerei, tradisi meruncingkan gigi, merajah tubuh, dan memanjangkan rambut bagi laki-laki.
Orang-orang Mentawai yang sebelumnya hidup secara komunal di dalam uma dan terpecah di lembah-lembah sungai, direlokasi ke permukiman-permukiman baru (desa). Di situ juga dibangunkan rumah ibadah.
Di Pulau Siberut, yang merupakan pusat kebudayaan Mentawai, warga yang ketahuan menyelenggarakan pesta adat dihukum. Begitu pun yang memiliki tato dan para pembuat tato. Uma-uma besar dan perlengkapan ritual sikerei dibakar.
“Kami dihukum membuat jalan dari batu di Muara Siberut selama tiga minggu,” cerita Aman Deun, yang saat itu ditangkap karena tubuhnya penuh dengan rajah.
Jalan yang dibangunnya itu sekarang jalan paling ramai dan menjadi denyut ekonomi Pulau Siberut.
Pelarangan terhadap ritual budaya Mentawai berakhir pada 1988, ketika Aman Laulau Manai—ayah Aman Lepon dan Politik—mendatangi Gubernur Sumatra Barat Hasan Basri Durin.
Ia pergi ke Kota Padang diantar oleh fotografer dari Kanada, Charles Lindsay, yang pada saat itu sedang membuat dokumenter soal kebudayaan Mentawai.
Gubernur Hasan Basri lalu mengeluarkan surat yang menyatakan masyarakat Mentawai tidak dilarang untuk hidup menurut norma-norma dan tradisi asli mereka.
“Tidak ada lagi larangan. Semua ritual yang selama ini dilakukan di kampung-kampung di hulu, kami lakukan juga di kampung-kampung yang dibuat pemerintah,” ujar Hariadi Sabulat, yang menjabat sebagai kepala Desa Matotonan pada 1988.
Sejarah panjang ini menjadi alasan mengapa sebagian besar warga Mentawai tercatat memeluk Islam atau Kristen di Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Meski begitu, adat Mentawai yang berpijak pada Arat Sabulungan juga masih dipeluk erat.
“Agama dan adat itu harus dipisahkan. Saya sebagai sikerei tidak mungkin melakukan ritual tidak memakai sainak [babi],” ujar Hariadi.
Menurut Maskota Delfi, prinsip kebebasan yang ada dalam Arat Sabulungan di Siberut telah membentuk kelompok Islam Mentawai dengan citranya sendiri.
Di satu sisi, tulis Delfi dalam penelitiannya, Desa Matototonan dikenal sebagai desa berpenduduk Muslim, namun di sisi lain penghuni di Matotonan juga dikenal sebagai Sarereiket.
Bagi masyarakat adat Mentawai, Sarereiket tak hanya semata bermakna penghuni lembah Rereiket, namun juga berkonotasi dengan praktik Arat Sabulungan.
Seperti yang diungkapkan oleh sikerei dari Matotonan, Aman Alangi: “Budaya tetap jalan dan agama juga dijalankan. Saya mengikuti adat Mentawai, pemerintah, dan agama.”
Di Desa Matotonan, beredar kisah tentang seorang perempuan yang piawai memanah.
Pada masa perang antar-suku, perempuan itu melesakkan anak panahnya ke dada seorang pemuda sebagai balas dendam karena pemuda itu telah membunuh kakak laki-lakinya.
Warga kemudian menggelar rapat adat. Di situ, para tetua adat memohon, “Cukup kamu saja [perempuan] yang mahir memanah. Kami takut, jika ada keributan di dalam rumah, suami dan istri bisa saling memanah.”
Maka jadilah ia perempuan pemanah pertama dan terakhir di Matotonan.
Kisah ini hanyalah folklor, namun bukan satu-satunya yang mengandung pesan moral betapa perempuan Mentawai harus menyimpan potensinya untuk berada di bawah laki-laki.
Pada zaman dahulu, saat orang Mentawai masih hidup berburu-meramu dan nomaden, adat mereka memang dirancang untuk melindungi perempuan yang secara umum dianggap lebih lemah.
Dalam kehidupan sehari-hari, peran perempuan dan laki-laki dibagi.
Para perempuan bertugas mengumpulkan bahan makanan ke hutan dan mengolahnya, sementara para lelaki melakukan berbagai ritual adat.
Mereka mendiami rumah komunal yang disebut uma.
“Ketika sebuah uma sudah penuh, atau ada konflik antar-suku, mereka harus bermigrasi ke tempat lain. Itu adalah dunia yang keras untuk perempuan,” kata antropolog Tarida Hernawati.
Adat Mentawai yang patriarki itu terbawa sampai sekarang.
“Perempuan adalah pelengkap, dianggap sebagai sosok yang menyempurnakan laki-laki,” ujar Tarida.
Mereka dipandang sebagai kunci keberhasilan laki-laki, termasuk dalam “mencapai kesempurnaan bagi sikerei”.
Tak jarang perempuan yang disalahkan bila seseorang gagal menjadi sikerei. Namun jika berhasil, maka laki-laki yang menerima segala sanjungan.
“Pada masa kini, harusnya sudah tidak berlaku lagi. Seharusnya romantisme masyarakat adat yang sudah dikonstruksikan sejak lama juga berubah,” ia menambahkan.
Martina adalah seorang sikalabai, julukan untuk istri sikerei, di Desa Matotonan.
Saat Aman Deun, suaminya, memutuskan menjadi sikerei, dia pun harus turut menjalankan pantangan.
“Tidak boleh memasak, mencari keladi, mencari ikan. Kegiatan saya terbatas. Jika pantangan dilanggar, akibatnya bisa fatal,” kisah Martina.
Dalam proses menjadi sikerei, pasangan suami-istri juga dilarang tidur bersama.
Tarida Hernawati bilang keadaan berpotensi menjadi runyam saat nilai-nilai adat ini bertabrakan dengan hukum modern. Salah satunya perkara hak tanah.
Secara adat, laki-laki dianggap lebih bisa menjaga hak atas tanah, termasuk mengelola sumber daya dan harta mereka. Maka seorang anak perempuan akan hidup di atas tanah milik ayahnya.
Ketika sudah menjadi istri, dia akan hidup di tanah suaminya. Jika suaminya meninggal, pilihan perempuan hanya dua: kembali ke orang tua atau menikah lagi.
“Keadaan ini membuat perempuan bergantung pada laki-laki,” kata Tarida.
Berbagai dialog telah dilakukan untuk menegakkan prinsip keadilan dan kesetaraan.
Aktivis gender, termasuk Tarida, menyerukan supaya pemerintah desa maupun daerah melakukan intervensi kebijakan untuk melindungi hak perempuan.
“Supaya perempuan bisa berdaya dan memiliki hak sama atas tanah dan sumber penghidupan lain, seperti laki-laki,” ujarnya.
Pun ketika marak terjadi kasus kekerasan seksual di dalam komunitas masyarakat adat.
Sebagai catatan, Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Kabupaten Kepulauan Mentawai mendata, rata-rata terdapat 20 kasus kekerasan seksual per tahun di sana.
“Itu yang terlapor. Kemungkinan jumlahnya lebih banyak lagi,” tukas Tarida.
Sebagian besar kasus ini, lanjut dia, diselesaikan dengan hukum adat yang lebih banyak melibatkan kaum laki-laki. Peradilan adat pun fokus pada upaya rekonsiliasi sosial untuk menghindari perang antar-suku, bukan kepada korban.
“Yang dipulihkan adalah harga diri keluarga besar perempuan. Sanksi dalam bentuk denda adat yang lagi-lagi menunjukkan sifat maskulinitas, seperti parang, tombak, dan babi,” kata Tarida.
Ritual biasanya dilakukan untuk “memulihkan jiwa korban”, namun pendekatan pemulihan psikis dalam perspektif masa kini belum terakomodasi oleh adat. Menurut Tarida, ini harus diubah.
“Adat harus bisa memandang dan menyesuaikan diri dalam situasi sekarang. Aturan-aturannya juga harus bisa menjawab perubahan zaman,” sebut dia.
Namun, Tarida yang telah berpuluh tahun mendampingi masyarakat Mentawai mengaku optimistis bahwa pergeseran peran perempuan ini bisa terjadi di masa depan.
Walau tampak bertolak belakang, saat sidang adat dan terjadi kebuntuan, perempuan justru menjadi tokoh kunci dan pendapatnya didengarkan.
“Perempuan Mentawai adalah penutur yang bijak. Mereka penjaga kearifan lokal, penjaga sejarah asal-usul,” kata Tarida.
Di masa mendatang, ketika terjadi krisis budaya, para perempuan Mentawai lah yang akan bisa bertutur, mengenang, dan mengabadikan kekayaan budaya yang mereka miliki. (*)
Tags : kaum anak muda, mentawai, anak muda jadi sikerei, anakmuda jaga tradisi, masyarakat, lingkungan, alam,