KESEHATAN - Dua tahun berlalu, banyak pengidap Covid-19 pada awal pandemi masih mengalami gangguan penciuman.
Mereka masih merasakan bau yang memualkan saat menghirup aroma makanan tertentu, perlengkapan mandi, dan bahkan orang yang mereka cintai.
Kondisi ini dikenal sebagai parosmia.
Tahun ini akan menjadi tahun kedua bagi Milly mengenakan penutup hidung saat makan malam bersama keluarganya.
"Keju, daging, bawang, dan cokelat semuanya terasa dan berbau seperti kematian, seperti sesuatu yang memualkan dan mengerikan," kata remaja berusia 16 tahun dari Bolton, Inggris itu.
Dia mengidap parosmia pada Februari 2021, tiga bulan setelah tertular virus corona dan kehilangan indera penciumannya.
Parosmia pada dasarnya adalah indera penciuman yang terdistorsi.
Hal ini diduga disebabkan oleh sel saraf khusus di hidung yang gagal mendeteksi dan menerjemahkan bau tertentu dengan cara yang dapat dipahami otak.
Bagi Milly, kondisi itu tidak hanya memengaruhi pola makannya, tetapi juga kehidupan sosial dan kesehatan mentalnya.
"Saya jadi jarang pergi keluar dengan teman-teman karena saya tidak lagi menikmati makanan sebagai kesenangan, saya makan karena keharusan," katanya.
Saudara kembar Milly juga tertular virus corona pada waktu yang hampir sama, tetapi dia tidak menunjukkan gejala apa pun.
Milly tidak mengenal orang lain yang menderita parosmia, sama dengan dirinya.
Dia mengaku, terus-menerus ditanya oleh beberapa orang, kapan indera penciumannya akan kembali normal. Pertanyaan itu, menurutnya, menjengkelkan.
Namun, Milly tidak sendirian.
Diperkirakan sekitar 65% orang yang terinfeksi virus corona akan kehilangan indera penciuman untuk sementara, yang dikenal sebagai anosmia.
Dari jumlah itu, setidaknya 10% dari mereka akan mengembangkan parosmia - atau kondisi yang lebih langka, yaitu phantosmia, ketika Anda mencium sesuatu yang tidak ada.
Beberapa studi klinis bahkan menunjukkan, parosmia mempengaruhi lebih dari 40% hingga 50% orang yang mengalami anosmia terkait Covid.
Alasan Covid menyebabkan parosmia masih harus dijabarkan, tetapi peradangan yang disebabkan oleh infeksi virus diperkirakan dapat merusak reseptor dan saraf di hidung manusia - dan beberapa orang mungkin berakhir dengan indera penciuman yang terdistorsi.
Kopi, daging, bawang merah, bawang putih, telur, dan pasta gigi rasa mint adalah pemicu umum parosmia.
Tapi masih banyak lagi yang membuat para ilmuwan menggaruk-garuk kepala.
Mengapa beberapa orang melaporkan bahwa air keran sekarang berbau seperti kotoran mentah? Atau make-up yang berbau seperti rambut terbakar?
Tips mengatasi parosmia
Sumber: AbScent
Dan mengapa parosmia cenderung muncul sekitar tiga bulan setelah infeksi virus corona awal?
Tidak ada obat yang diketahui untuk parosmia dan kemungkinan seseorang untuk sembuh masih belum jelas.
Penelitian yang berfokus pada kondisi ini baru mulai dilakukan sejak pandemi virus corona yang membuat angka dengan kondisi tersebut meledak.
Namun, ada banyak alasan untuk terus berharap, kata ahli bedah Telinga Hidung dan Tenggorokan (THT), Dr Simon Gane.
"Kabar baiknya adalah bahwa parosmia yang benar-benar menjijikkan itu membaik dari waktu ke waktu dan hal-hal menjadi lebih dapat ditoleransi," kata Gane, wali dari AbScent, badan amal penghilang bau.
"Ada juga banyak orang yang sembuh total."
Gane telah bekerja dengan pendiri AbScent, Chris Kelly, serta peneliti indera perasa dari Universitas Reading, Jane Parker, untuk menguraikan apa yang menjadi pemicu parosmia pada tingkat molekuler.
Mereka juga meneliti reseptor penciuman mana di hidung manusia yang dapat mendeteksi "bau parosmik" tersebut.
"Mengidentifikasi reseptor itu adalah kemajuan dalam perjuangan untuk menyembuhkan parosmia karena itu berarti para ilmuwan dapat melihat bagaimana mereka [reseptor] bekerja - atau tidak - dan apakah mereka dapat dibantu untuk bekerja lebih baik," katanya.
Para pasien dalam penelitian ini bersumber dari anggota AbScent.
Badan amal tersebut memulai grup Facebook pribadi untuk penderita parosmia pada Juni 2020 dan sekarang telah memiliki lebih dari 22.000 anggota.
Pendirinya, Chris Kelly, pernah mengalami gangguan parosmia dan tahu betapa sulitnya tahun ini bagi mereka yang masih menderita.
"Mereka sering merasa hidup jauh dari kegembiraan," katanya. Dia menambahkan bahwa gangguan penciuman seperti parosmia berhubungan dengan kecemasan dan depresi.
Beberapa anggota AbScent mengatakan kecemasan yang mereka rasakan akan meningkat di situasi ketika makanan memilik peran besar, karena mereka akan waspada terhadap pemicu parosmia.
"Melelahkan hidup dengan [parosmia]," kata Kelly. "Baik dalam kenyataan atau ketakutan yang diharapkan, itu seperti alarm kebakaran berbunyi setiap lima menit pada hari Anda terjaga."
Sangat membantu jika memiliki teman dan keluarga yang memahami kondisi ini, kata Jen Watts, seorang ibu berusia 39 tahun di Inggris.
"Bersosialisasi bisa jadi sulit, tetapi untungnya teman dan keluarga saya luar biasa dan membuat penyesuaian untuk saya," katanya.
"Jika bersama saya, mereka memastikan tidak menggunakan sampo rasa kelapa dan mereka membuat hidangan khusus untuk saya saat menyajikan makanan."
Upaya itu bukan hal yang mudah. Daftar makanan pemicu aroma yang tidak mengenakkan mencakup semua susu, daging olahan dan diawetkan, seledri, ketumbar, pala, buah dan sayuran yang terlalu matang, sebagian besar kacang-kacangan dan kelapa.
Walau demikian, ada beberapa sisi positif dari situasi buruk karena parosmia.
"Raspberry sekarang terasa lezat dan bunga dan lemon memiliki rasa yang lebih kuat," katanya.
Bahan-bahan untuk kue lemon vegan selalu ada di lemari rumahnya, jika dia membutuhkan rasa yang pedas.
Watts bertekad untuk tidak membiarkan parosmia menghantui makan malam dengan keluarga yang selalu dirindukan.
"Awalnya saya berjuang dengan kesehatan mental saya," katanya.
"Sekarang, saya mencoba menganggap parosmia saya sebagai alergi dan saya telah belajar untuk hidup dengannya."
Bagaimana gejalanya?
"Covid panjang" (long Covid) - dampak jangka panjang infeksi virus corona - bisa memengaruhi orang dengan empat cara, menurut studi telaah yang dilakukan lembaga riset kesehatan di Inggris.
Dan ini bisa menjelaskan alasan mereka yang mengalami gejala berkepanjangan tidak dipercaya atau dirawat.
Orang yang hidup dengan Covid-19 jangka panjang bisa merasakan dampak psikologis yang sangat besar, menurut laporan dari National Institute for Health Research.
Mereka butuh lebih banyak dukungan - dan staf tenaga kesehatan perlu informasi yang lebih baik.
Pengalaman yang mengubah hidup
Kebanyakan orang diberi tahu bahwa mereka akan pulih dari infeksi virus corona ringan dalam dua pekan, dan dari penyakit yang lebih serius dalam tiga pekan.
Namun laporan tersebut mengatakan ribuan orang bisa jadi hidup dengan "Covid berkepanjangan".
Dan dengan peningkatan kasus virus corona di seluruh Inggris, angka ini juga diperkirakan meningkat dalam beberapa bulan ke depan.
Berdasarkan wawancara dengan 14 anggota grup dukungan bagi penderita Covid panjang di Facebook dan publikasi hasil penelitian terbaru, studi telaah itu mendapati sejumlah gejala berulang yang memengaruhi segala hal mulai dari pernapasan, otak, jantung dan sistem kardiovakuler sampai ke ginjal, usus, liver, dan kulit.
Gejala-gejala tersebut bisa diakibatkan oleh empat macam sindroma:
Beberapa orang yang terdampak telah dirawat cukup lama di rumah sakit karena Covid-19 parah - tapi yang lainnya, yang hanya mengalami infeksi ringan, bahkan belum pernah dites atau didiagnosis.
Studi telaah itu berkata menciptakan "diagnosis yang efektif untuk Covid-19 berkepanjangan" akan membantu masyarakat mengakses dukungan yang diperlukan.
"Menjadi semakin jelas bahwa, bagi sebagian orang, infeksi Covid-19 adalah penyakit jangka panjang," kata laporan itu.
"Bagi beberapa orang, ini terkait dengan rehabilitasi mereka setelah dirawat di rumah sakit - tapi beberapa orang lain melaporkan pengalaman yang mengubah hidup mereka menyusul infeksi awal yang mereka dapatkan di rumah, dengan gejala yang semakin parah dari waktu ke waktu."
Penulis laporan tersebut dr. Elaine Maxwell berkata ia berasumsi mereka yang pernah mengalami Covid-19 yang parah akan paling terdampak dan kelompok yang risiko kematiannya kecil juga kecil kemungkinan akan merasakan dampak jangka panjang.
Namun hasil telaah menunjukkan tidak begitu kenyataannya.
"Kita sekarang tahu bahwa ada orang-orang tanpa catatan pernah mengalami Covid yang lebih menderita dari orang yang dirawat dengan vantilasi selama berminggu-minggu," ujarnya.
'Anak saya harus gantikan saya memasak dan bersih-bersih'
Jo House, seorang dosen di Universitas Bristol, Inggris, belum kembali bekerja lebih dari enam bulan setelah terinfeksi.
Penderitaannya dimulai dengan batuk parah dan kesulitan bernapas, tetapi kemudian berubah menjadi keletihan parah dan sakit kepala, sebelum digantikan masalah jantung dan nyeri otot.
"Suatu hari saya bangun, benar-benar pusing, pingsan dan berakhir di rumah sakit," ujarnya.
Meskipun debaran jantung dan sesak napasnya sudah sedikit membaik, gejala berkepanjangan yang ia alami masih berdampak besar pada kehidupannya, dan keluarganya.
Pasangannya, Ash, juga mengalami gejala yang tidak kunjung hilang. Akibatnya, putra remajanya yang harus mengerjakan semua pekerjaan rumah seperti memasak dan bersih-bersih.
"Banyak orang digolongkan sebagai gejala ringan, tapi sebenarnya tidak ringan sama sekali. Kami butuh dukungan," ujarnya.
Meskipun Jo menderita pneumonia, ia tak pernah dites untuk virus corona dan tidak dirawat di rumah sakit.
"Kami berdua menulis surat wasiat saat kami sakit parah. Sungguh menakutkan."
Laporan yang ditulis National Institute for Health Research menyerukan pentingnya dukungan di komunitas di samping klinik rumah sakit sekali-datang untuk Covid panjang.
Dan mereka mengatakan Covid panjang kemungkinan besar akan lebih berdampak pada kelompok tertentu, misalnya warga kulit hitam atau Asia serta mereka yang memiliki masalah kejiwaan atau kesulitan belajar.
"Tujuan kami ialah layanan kesehatan dan para stafnya akan menggunakan hasil telaah ini untuk memahami pengalaman pasien dengan lebih baik, dan menyediakan mereka akses pada pengobatan, perawatan, dan dukungan yang mereka butuhkan," imbuh dr. Maxwell. (*)
Tags : Covid-19, Virus Corona, Gangguan Penciuman, Dampak Virus Corona, Kesehatan mental,