Artikel   2022/01/27 14:14 WIB

Banyak Orang Tua Merasa Gagal Mengasuh Anak Akibat Tuntutan Pekerjaan

Banyak Orang Tua Merasa Gagal Mengasuh Anak Akibat Tuntutan Pekerjaan
Getty Images

RASA malu adalah perasaan yang akrab bagi Gill, seorang pakar pengembangan karir yang tinggal di Inggris. Perempuan ini setiap hari menjalani jam kerja yang panjang.

Gill sering berjuang melawan rasa bersalah ketika mempercepat jam tidur anak-anaknya agar bisa kembali ke duduk di hadapan komputernya.

Perasaan itu juga muncul saat urusan pekerjaan memaksanya terlambat menjemput anak-anaknya di sekolah.

"Saya tidak sanggup melihat wajah anak-anak saya ketika mereka menjadi salah satu yang terakhir dijemput," kata Gill seperti dirilis BBC.

Gill berkata, dia harus terus-menerus bergelut menghilangkan perasaan negatif itu agar pekerjaannya tidak terdampak.

Para orang tua yang bekerja secara profesional sering merasa tidak mampu menanggulangi beban rumah tangga dan pekerjaan.

Para ibu, khususnya, kerap menghadapi kesulitan untuk menyeimbangkan tuntutan karier dan keinginan menjadi orang tua selalu hadir bagi anak-anak mereka. 

Sebuah riset baru menunjukkan, perasaan negatif seperti ini dapat berdampak langsung pada karier yang mereka jalani. Sekelompok orang tua yang merasa bersalah cenderung kurang produktif di tempat kerja.

Alasannya, saat mereka merasa tidak mampu memenuhi tanggung jawab mengasuh anak, mereka akan menarik diri dari aktivitas yang mereka anggap menyebabkan situasi tersebut.

Kecenderungan itu berpotensi menghambat pengembangan karier mereka, bahkan mendorong beberapa orang tua meninggalkan dunia kerja.

Saat pengunduran diri, terutama di kalangan para ibu yang bekerja,terutama di kalangan para ibu yang bekerja, mencapai rekor tertinggi, memahami keterkaitan antara rasa bersalah dan tuntutan pekerjaan menjadi sangat krusial.

Mengevaluasi cara pandang dan dukungan terhadap keseimbangan beban para orang tua yang bekerja dapat menjadi pintu gerbang solusi persoalan ini.

Perhatian terhadap masalah ini juga dapat memberi kesempatan bagi para ibu untuk tetap dapat bekerja, terutama pada era krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

'Ancaman identitas orang tua'

Orang tua, khususnya para ibu, sejak lama didorong menyeimbangkan tuntutan pekerjaan profesional dan peran sebagai orang tua. Gagasan 'menjalani semuanya' mencuat pada dekade 1980-an. Ketika itu gelombang para ibu memasuki dunia kerja begitu besar.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, banyak ahli menolak gagasan bahwa seseorang dapat secara efektif dan bahagia mengelola beban pekerjaan dan rumah tangga secara bersamaan.

Sejumlah pakar menilai gagasan itu menuntut standar sangat tinggi yang harus diperjuangkan oleh perempuan.

Saat ini terdapat penerimaan yang lebih luas tentang menggabungkan tuntutan profesional dan beban mengelola rumah tangga. Meski begitu, banyak orang tua merasakan tekanan untuk menuntaskan keduanya.

Cynthia Wang, seorang profesor bidang manajemen dan organisasi di Northwestern University, Amerika Serikat, terdorong pengalaman pribadi untuk mempelajari rasa bersalah para orang tua.

Wang dan seluruh peneliti dalam timnya juga berstatus sebagai orang tua. Meski menyukai peran sebagai orang tua dan pekerja profesional, mereka merasa berada di bawah tekanan besar untuk menjadi sempurna dalam dua hal itu.

Mereka memutuskan untuk meneliti dampak ketika orang tua yang bekerja merasa mereka gagal memenuhi harapan untuk mengelola keluarga dengan baik.

Mereka melibatkan ratusan orang tua yang bekerja dalam survei daring. Lewat jajak pendapat itu, mereka menilai stabilitas emosional dan kemampuan para orang tua untuk menangani stres sebelum hari kerja dimulai.

Setiap responden diminta menilai seberapa setuju mereka dengan pernyataan seperti 'peran saya sebagai orang tua dipandang secara negatif'.

Wang dan timnya sedang mencari sesuatu yang mereka sebut "ancaman identitas orang tua". Istilah itu menggambarkan perasaan orang tua ketika peran mereka sebagai pengasuh terhambat tuntutan karier dan keseimbangan keduanya tidak dapat dipertahankan.

"Ancaman identitas orang tua adalah sesuatu yang terjadi di tempat kerja yang membuat Anda mempertanyakan apakah Anda orang tua yang baik," kata Wang.

"Misalnya, rekan kerja mungkin bertanya siapa yang merawat anak Anda ketika Anda lembur, atau mungkin sekolah anak Anda meminta para orang tua mengikuti praktik lapangan dan Anda tidak dapat memenuhinya karena agenda itu berlangsung selama jam kerja.

"Contoh-contoh ini dapat membuat orang tua merasa bersalah," ujar Wang.

Setelah menyelesaikan hari kerja, para responden survei itu diminta untuk melaporkan apakah mereka merasa bersalah, malu atau terhina ketika identitas orang tua mereka terancam.

Para orang tua juga diminta menjawab pertanyaan tentang seberapa produktif mereka bekerja hari itu.

Riset itu akhirnya menyimpulkan, ketika identitas sebagai orang tua sangat terancam, para responden mengalami rasa bersalah yang lebih tinggi. Pada saat yang sama, tingkat produktivitas mereka juga rendah.

"Ketika orang tua melakukan kritik diri dalam hal pengasuhan, konsekuensinya adalah penarikan diri dari situasi yang memicu perasaan bersalah itu. Mereka menarik diri dari tanggung jawab pekerjaan mereka," kata Wang.

"Dengan menjauhkan diri dari pekerjaan, mereka berusaha mengelola rasa bersalah dengan memberi isyarat bahwa mereka tidak akan membiarkan pekerjaan memengaruhi tanggung jawab mengasuh anak.

"Dengan begitu, mereka tidak bisa dinilai lebih mementingkan pekerjaan daripada anak-anak mereka," ujar Wang.
'Yang akan diingat anak saya adalah saya terus-menerus bekerja'

Bagi banyak orang tua yang bekerja, pandemi memperburuk tantangan yang ada dengan mengaburkan batas antara waktu mengasuh anak dan hari kerja.

Salah satu responden dalam riset ini adalah Angela, seorang ibu satu anak yang tinggal di AS yang bekerja sebagai konsultan. Selama pandemi, dia berjuang melawan stres ketika urusan pekerjaan dan kehidupan rumah tangga bertabrakan.

"Anak kami memiliki kelas Zoom saat suami saya melakukan rapat. Saya mendapat pesan dari guru yang mengatakan, 'Kami dapat mendengar Anda di panggilan konferensi selama kelas'.

"Kami memiliki rumah kecil, jadi benar-benar tidak ada ruang yang tenang," ujar Angela.

Konflik antara mendidik putrinya di rumah dan menanggapi kebutuhan kliennya memperburuk perasaan bersalah yang sudah ada.

Angela berusaha untuk berbuat lebih baik terhadap putrinya. Dia menetapkan batasan untuk mencurahkan lebih banyak waktu untuk tugas rumah tangga.

Namun, bahkan ketika melewatkan tenggat waktu kerja untuk memprioritaskan keluarganya, Angela masih khawatir putrinya akan melihat kembali masa kecilnya ketika orang tuanya terus-menerus fokus pada pekerjaan mereka.

"Saya khawatir, dari semua hal yang saya lakukan untuk putri saya dan semua cara saya hadir dalam hidupnya, hal yang akan dia ingat adalah betapa saya terlalu banyak bekerja," ucapnya.

Christy Pruitt-Haynes, konsultan personalia di NeuroLeadership Institute yang berbasis di AS, menyebut banyak orang tua menghadapi persoalan seperti Angela selama pandemi.

"Banyak orang menjadikan waktu pulang kantor sebagai sinyal bahwa hari kerja telah berakhir dan mereka dapat beralih ke tanggung jawab sebagai orang tua," katanya.

"Namun ketika tempat kerja dan rumah Anda berada di lokasi yang sama, sulit untuk membuat perubahan mental antara posisi pegawai dan orang tua.

"Kami menemukan bahwa selama pandemi, orang tua bekerja lebih lama, meningkatkan kebutuhan mengasuh anak, dan berjuang untuk menemukan keseimbangan," ucapnya.

Rasa bersalah lainnya

Bagi sebagian orang, rasa bersalah terkait pengasuhan anak mungkin hanya berdampak sementara pada produktivitas.

Tetapi jika emosi negatif menjadi sangat tertanam dalam hari kerja, orang tua berpotensi lebih menarik diri dari kehidupan kantor.

"Mereka yang merasa bersalah cenderung tidak berkontribusi dalam pertemuan atau menjadi sukarelawan untuk proyek dan inisiatif baru," kata Naomi Murphy, profesor psikologi di Nottingham Trent University, Inggris.

Penelitian Naomi berfokus pada rasa bersalahorang tua. "Itu juga dapat berdampak pada hubungan mereka dengan rekan kerja, membuat mereka mudah tersinggung dan defensif," ujarnya.

Yang terburuk, dampak rasa bersalah bisa memicu pengunduran diri yang jauh lebih tinggi karena para orang tua yang bekerja tidak bahagia dan memutuskan berhenti. Tren ini berdampak pada bentuk tenaga kerja dan peran perempuan.

Data menunjukkan, pada pertengahan 2020, partisipasi perempuan di lapangan pekerjaan turun ke tingkat terendah dalam 30 tahun terakhir. Sepertiga perempuan di AS mengurangi atau meninggalkan pekerjaan mereka antara Maret 2020 dan Agustus 2021.

Sebuah survei global memperlihatkan, pemicu utama yang mendorong perempuan mundur dari pekerjaan adalah tanggung jawab yang meningkat di tempat kerja selama pandemi.

Mereka merasa kesulitan melaksanakan tanggung jawab itu karena juga memikul sebagian besar tugas rumah tangga.

Saat banyak perusahaan meminta pegawai mereka kembali ke kantor, rasa bersalah lain yang dialami para orang tua muncul, kata Melissa Huey, asisten profesor psikologi di Institut Teknologi New York.

"Menyadari jumlah waktu yang hilang untuk karier, daripada dihabiskan dengan anak-anak, bisa memukul mereka. Akibatnya, produktivitas di tempat kerja menurun dan tugas harian tiba-tiba terasa tidak berarti atau kurang penting dibandingkan erasebelum pandemi," kata Huey.

"Perasaan bersalah ini, ditambah dengan kelelahan yang dialami banyak orang, mungkin menjadi salah satu alasan mengapa begitu banyak pekerja saat ini mengundurkan diri," ucapnya.

Normalisasi situasi

Naomi Murphy, profesor di Nottingham Trent University menilai, menjadikan tempat kerja sebagai tempat yang memungkinkan keseimbangan karier dan pengasuhan anak harus menjadi prioritas bagi para pemberi kerja.

"Mengakui bahwa rasa malu dan bersalah adalah bagian normal dari menjadi orang tua bisa sangat membantu," katanya.

"Para pemberi kerja harus membuka percakapan untuk mengakui bahwa pegawai mereka sedang mengelola keadaan kehidupan yang lebih kompleks saat ini.

"Mereka juga perlu menempatkan ini dalam konteks berbagai peristiwa kehidupan yang harus diatasi sekelompok individu, seperti halnya berkabung, masalah kesehatan atau orang tua yang menua.

"Kebanyakan pegawai juga berstatus orang tua. Setiap individu mengalami satu atau lebih dari keadaan seperti itu dan akan memahami apa yang sedang dialami oleh seorang karyawan yang bergelut dengan rasa bersalah," tutur Murphy.

Peneliti Universitas Northwestern, Cynthia Wang, berkata, penyokong atau mentor yang stabil secara emosional dapat membantu pekerja mengurangi perasaan bersalah sebagai orang tua.

Namun ada juga banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk membingkai ulang gagasan tentang rasa bersalah tersebut.

"Masyarakat memberikan banyak tekanan pada orang tua yang bekerja untuk menjadi 'sempurna. Saya pikir pemahaman bahwa tidak ada orang tua atau pegawai yang sempurna dapat mengatasi persoalan ini," kata Wang.

"Penelitian menunjukkan, ketika seseorang yangmenghadapi tugas penuh tekanan diberi tahu bahwa emosi negatif mereka tidak berbahaya dan justru bermanfaat, mereka akan lebih tidak merasa bersalah, bahkan bekerja dengan lebih baik," ucapnya.

Pruitt-Haynes menambahkan, tempat kerja harus memberikan izin kepada pekerja untuk berbicara tentang masalah kehidupan nyata. Menurutnya, strategi menyeimbangkan urusan domestik dan profesional yang tampak mustahil juga perlu dilakukan.

"Kita cenderung merasa malu ketika berpikir bahwa kita telah melakukan sesuatu yang salah. Jika perusahaan mengakui bahwa tekanan rumah tangga dan pekerjaan sebagai sesuatu yang normal, maka karyawan tidak akan merasa begitu buruk. Mereka hanya akan merasa normal," ujarnya. (*)

Tags : Inggris raya, Pekerjaan, Kesehatan perempuan, Anak-anak, Keluarga, Perempuan,