Sejarah   2024/05/23 10:47 WIB

Banyak WNI Keturunan Tionghoa Kabur ke Luar Negeri Sejak Kerusuhan Mei 1998, 'yang Minta Pemerintah Tidak Hapus Sejarah’

Banyak WNI Keturunan Tionghoa Kabur ke Luar Negeri Sejak Kerusuhan Mei 1998, 'yang Minta Pemerintah Tidak Hapus Sejarah’

SEJARAH - Kisah warga keturunan Tionghoa yang menetap di luar negeri usai kerusuhan Mei 1998 dan mereka yang memutuskan kembali ke Indonesia.

Banyak warga negara Indonesia keturunan Tionghoa memutuskan kabur ke luar negeri setelah menjadi sasaran dalam kerusuhan Mei 1998.

Sebagian memutuskan kembali ke Indonesia, tapi banyak dari mereka memilih menetap di luar negeri. Anak-anak mereka adalah apa yang disebut sebagai “generasi yang hilang”.

Bagaimana mereka memaknai kerusuhan Mei 98 dan Reformasi?

Seperti banyak murid SD di Amerika Serikat, Christopher Wibisono Tan mendapat tugas presentasi ‘Sejarah Keluarga’ saat menginjak kelas enam.

Di kelasnya, cuma Christopher yang kisahnya kelam: dia bercerita tentang rumah yang dibakar pada Mei 1998 dan bagaimana keluarganya kemudian hijrah ke Negeri Paman Sam.

“Guru saya lebih syok dibandingkan teman-teman sekelas. Dia melontarkan banyak pertanyaan setelah kelas berakhir,” ujar Christopher, Kamis (16/05).

Usia Christopher baru 50 hari saat peristiwa kerusuhan Mei 1998 terjadi.

Kala itu, tepatnya pada 13 Mei 1998, rumah ibunya, Jasmine Wibisono – putri sulung mendiang ekonom dan pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) Christianto Wibisono-yang berlokasi di sebuah perumahan elite di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, dibakar massa. Rumah itu ludes terbakar.

Ketika peristiwa itu terjadi, oleh Ibunya, Christopher dan kakaknya dibawa pergi menyelamatkan diri. Keluarga ibunya memilih untuk pindah ke AS tak lama kemudian.

Hampir 26 tahun berlalu, tepatnya pada 12 Mei silam, Christopher baru saja menuntaskan studi di Fakultas Kedokteran di Virginia Commonwealth University di Richmond, Virginia.

Ia akan memulai praktiknya di Rumah Sakit Universitas Georgetown, Washington DC, pada 14 Juni nanti, dengan spesialisasi di bidang neurologi.

Dia adalah satu dari enam lulusan berprestasi di bidang neurologi yang diterima di program residensi Georgetown di seluruh AS.

Bagi keluarganya, ini sekaligus menjadi “momen lingkaran penuh” karena almarhum kakeknya – yang terkenal kritis terhadap pemerintahan Soeharto – sempat menjadi mahasiswa kedokteran atas keinginan ayahnya sebelum menekuni bidang politik dan keadilan sosial.

Dalam perbincangan yang dilakukan dalam Bahasa Inggris, Christopher menuturkan bahwa sebagai keturunan Indonesia-China yang tumbuh besar di AS, dia merasa punya tiga identitas yang berkelindan – Indonesia, Tionghoa, dan Amerika – menyebut sekarang ini dia “lebih Amerika”.

“Saya tidak merasa punya krisis identitas, tetapi saya juga tidak merasa cocok ke satu kelompok [saja],” ujar Christopher, yang mengaku hanya bisa sedikit berbicara Bahasa Indonesia.

Saat ditanya alasan dirinya menyanggupi permintaan wawancara, Christopher mengaku belum pernah ada yang memintanya bicara secara terbuka tentang topik ini.

“Dan sebagai seseorang yang, saya rasa, menjadi korban dalam situasi itu dan pindah ke luar negeri tapi tumbuh besar di luar negara, saya bisa menawarkan perspektif baru,” ujarnya.

Pada Mei 1998, Jasmine dan kedua anaknya – Christopher dan kakaknya Christabelle yang baru berusia 17 bulan – sempat diminta ‘mengungsi’ ke lapangan golf karena situasi di kompleks perumahan Pantai Indah Kapuk menjadi genting.

Jasmine mengatakan peristiwa Mei 1998 bukanlah pemicu keluarganya pergi ke luar negeri. Ancaman-ancaman pembunuhan yang terjadi setelahnya menjadi pemicu mereka memutuskan angkat kaki.

“Dalam surat disebut hal-hal seperti: ‘Bersyukurlah cuma rumah putrimu yang dijarah dan dibakar. Berikutnya keluarga kalian yang akan kami penggal dan hancurkan,” ujar Jasmine, menirukan ancaman dalam surat yang ditujukan kepada ayahnya

Jasmine mengaku dia harus pindah 11 kali – termasuk di Singapura – sebelum sampai ke Portland, Oregon.

Adiknya, Astrid Wibisono, sudah menantinya di rumah tante mereka. Astrid saat itu memang kebetulan sudah tinggal di Negeri Paman Sam untuk sekolah.

“Saat itu tidak ada Facebook, media sosial, bahkan telepon genggam tidak ada. Saya dan ayah saya berusaha membatasi penggunaan telepon karena ada kemungkinan disadap. Jadi [Astrid] pasti sangat cemas menanti kabar dari keluarga,” kenang Jasmine.

Di samping mengasuh kedua anaknya, Jasmine juga sempat menulis lepas untuk surat kabar Suara Pembaruan dan bekerja di pusat perbelanjaan Macy’s sebelum menggeluti minat utamanya, manajemen acara, selama 20 tahun terakhir.

“Indonesia adalah rumah kedua saya dan Amerika sekarang adalah rumah saya. Ini adalah negara yang memberikan saya keamanan pada saat saya membutuhkannya,” ujar Jasmine.

“Saya sudah moved on dari tragedi ini, tetapi saya tidak akan melupakannya. Saya rasa pemerintah Indonesia tidak boleh berkata ini adalah masa lalu. Kita perlu terus diingatkan bahwa ini tidak boleh terjadi lagi pada masa yang akan datang.”

Sebelas jam dari Washington D.C., Astrid Wibisono, 43 tahun, adik Jasmine yang sekarang menjalankan firma konsultan bisnis dan riset di Jakarta, mengatakan keponakannya, Christopher, pindah ke Amerika Serikat saat masih bayi sehingga negara itu adalah satu-satunya yang dikenalnya.

Ketika ditanya apakah Christopher generasi Indonesia “yang hilang”, Astrid sependapat.

“Untuk orang-orang yang memutuskan ke luar negeri dan tidak kembali [...] maka jelas itu generasi hilang. Tapi generasi hilang juga persoalan mental,” jelas Astrid.

“Banyak orang di Indonesia yang tinggal di sini tapi tidak percaya kepada negara. Banyak yang harus dilakukan Pemerintah untuk mengembalikan optimisme dan kepercayaan masyarakat.”

Astrid sempat kembali ke Indonesia bersama ayahnya untuk mengurusi bisnis keluarga bersama ayahnya.

Dia kemudian kembali ke AS dan sempat pindah ke Kanada sebelum mulai menetap di Indonesia sejak tahun 2014.

Ditanya soal apakah dia merasa trauma, Astrid menjawab, “Saya tidak punya dendam akan masa lalu.”

“[Tetapi] rasa tidak percaya akan terus membayangi harapan saya akan potensi negara ini,” ujarnya, seraya berharap pemerintahan selanjutnya bisa memenuhi kewajiban mereka sebagai pemenang pemilu.

Astrid berpendapat salah satu langkah konkret yang bisa diambil pemerintah Indonesia untuk mengembalikan rasa percaya itu adalah dengan mereformasi bidang pendidikan agar peristiwa kelam seperti Mei 1998 bisa diajarkan di kurikulum sekolah.

“Negara-negara lain punya momen-momen gelap. Jerman dengan Holokos, Amerika Serikat dengan perbudakan. Jangan menghapus atau mengubah [sejarah] sebab hanya dengan mengetahui dan mengakui kesalahan, kita bisa memperbaikinya,” ujar Astrid.

Beberapa warga Indonesia keturunan Tionghoa yang menjadi diaspora pasca 1998 enggan diwawancarai untuk artikel ini.

Candra Jap, sekjen Generasi Muda Perhimpunan Indonesia Tionghoa, menyebut Tragedi Mei 1998 meninggalkan luka yang terlalu dalam sehingga mereka tidak membicarakan lagi.

“Di sisi lain, sepertinya sampai hari ini tidak ada kejelasan siapa yang harus diminta bertanggung jawab,” ujar Candra.

“Mereka berusaha menghilangkan luka dan trauma menyakitkan sampai tidak mau lagi mengingat Indonesia,” tambah Candra menanggapi generasi seperti Christopher yang hanya mengenal negara tempat mereka tumbuh sebagai rumah mereka.

Marissa (bukan nama sebenarnya) ingat betul bagaimana di lingkungan tempat tinggalnya bermunculan spanduk-spanduk bertuliskan ‘Milik Pribumi’ pada Mei 1998.

Waktu itu umurnya baru 11 tahun dan dia ingat bagaimana keluarganya terpaksa mengungsi ke rumah pembantu mereka di Bekasi, Jawa Barat.

Sekarang, Marissa, 38 tahun, bersama suaminya yang berkewarganegaraan AS dan kedua anaknya tinggal di Hangzhou, China. Mereka berencana pindah ke Taiwan.

Marissa mengaku meninggalkan Indonesia karena dia merasa “tidak pas” tinggal di Indonesia terutama karena menurutnya,“ada kerenggangan antara pribumi dan Chindo [Tionghoa-Indonesia]”.

“Sebagai keturunan Chinese Indonesian, kami sudah diajarkan bahwa pribumi dan Chinese Indonesian berbeda. Setidaknya untuk generasi saya. Seperti ada cuci otak dari keluarga kita,” ujar Marissa yang tidak setuju atas adanya celah ini.

Bahkan, menurut dia, masih ada temannya di China yang langsung menyalahkan ras pribumi apabila ada kasus yang bersinggungan dengan isu ini.

“Saya rasa 1998 membuat segalanya makin parah.”

Apa makna kerusuhan Mei 98 dan Reformasi bagi mereka?

Direktur Komunikasi dan Kajian Strategis Gentala Institute Indonesia, Christine Susanna Tjhin, mengatakan sebagai peneliti yang kebetulan risetnya terkait isu Tionghoa, keberagaman, dan hubungan Indonesia-China, kerusuhan Mei 1998 memang menjadi “titik balik”.

“Itu adalah desain politik zaman Orde Baru yang kemudian mencapai titik nadirnya, yang kemudian berimbas pada isu keberagaman dan etnis di Indonesia. Secara bersamaan ada Reformasi, ada langkah-langkah [perbaikan] yang kemudian diambil oleh pemerintah berikutnya,” jelas Christine.

Christine mengatakan kerusuhan Mei 1998 menciptakan trauma besar tak hanya bagi etnis Tionghoa di Indonesia, tapi juga seluruh masyarakat Indonesia mengingat skala aksi anti-Tionghoa – mulai dari penjarahan, pembakaran rumah-rumah, dan pemerkosaan sedikitnya 85 perempuan Tionghoa – dalam peristiwa itu.

“Di satu sisi, kalau saya agak sinis gitu ya, melihatnya sebagai remedy of guilt, untuk mengobati rasa bersalah terhadap etnis Tionghoa,” ujarnya.

Namun dia kemudian menambahkan bahwa kerusuhan Mei 1998 adalah titik balik bagi hubungan antar-etnis di Indonesia.

Setelah Reformasi – yang ditandai dengan lengsernya pemimpin Orde Baru Soeharto – upaya-upaya perbaikan untuk menghapus aturan diskriminatif terhadap warga Tionghoa yang diberlakukan sejak masa Orde Baru mulai dilakukan.

Antara lain, revisi Undang-Undang Kewarganegaraan, pencabutan larangan perayaan Imlek, pencabutan larangan penggunaan kata ‘Tionghoa’ dan Tiongkok’ dan lainnya.

“Di balik Reformasi yang secara menyeluruh itu ada upaya perbaikan kata kelola keberagaman di Indonesia terutama terkait hubungan antar-etnis,” jelas Christine.

“Itu menjadi titik balik kembali ke soal titik balik sejarah ini ya karena interaksi itu menjadi lebih real gitu. Jadi ada interaksi yang memungkinkan kerja sama antara elemen-elemen masyarakat sipil yang dulu sama-sama diinjak oleh rezim,” ujarnya kemudian.

Pengalaman Christine pada Mei 1998, saat rumahnya jadi sasaran lemparan batu massa, membuatnya memilih kabur ke Australia. Kala itu, Indonesia sebagai negara yang rasis terpatri dalam dirinya.

Namun pergaulannya dengan mahasiswa Indonesia yang melek dengan dinamika politik Indonesia mengubah cara berpikirnya. Dengan hasrat untuk berpartisipasi dalam perubahan di Indonesia, Christine memutuskan kembali ke Indonesia.

“Bisa dibilang 98 buat saya itu kayak titik balik yang paling ekstrem yang kemudian akhirnya benar-benar mengubah jalan berpikir dan jalan hidup saya,” akunya.

Seperti banyak warga etnis Tionghoa lainnya, penulis buku Perkumpulan Anak Luar Nikah (diterbitkan Juni 2023), Grace Tioso, merasa era Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid menjadi masa ketika pemerintahan Indonesia benar-benar menunjukkan itikad baik terhadap kelompok minoritas.

Selain mengakui kerusuhan Mei 98 dan kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi sebelum-sebelumnya, tindakan nyata lain yang bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia, menurut Grace, adalah memasukkan sejarah mengenai kebijakan-kebijakan rasial dan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa ke dalam kurikulum sekolah.

“Harapannya adalah generasi penerus kita bisa belajar dari kesalahan para pendahulunya supaya tidak mengulanginya lagi. Seperti kata filsuf George Santayana, ‘Those who forget the past are condemned to repeat it’.”

Dalam bukunya, Perkumpulan Anak Luar Nikah, Grace mengupas pergulatan dan kehidupan diaspora khususnya Tionghoa-Indonesia di luar negeri yang tidak selamanya glamor.

“Sekaligus juga membuka mata banyak orang Indonesia bahwa Tionghoa Indonesia adalah kelompok yang sangat heterogen,” ujarnya.

Grace, yang kini tinggal di Singapura, berpendapat isu orang Tionghoa-Indonesia yang menjadi diaspora sebenarnya bisa menjadi kesempatan bagus dari pemerintah Indonesia untuk merangkul dan memahami pergulatan para diaspora.

“Para diaspora ini hendaknya tidak dipandang sebagai kurang nasionalis melainkan seyogyanya dilihat sebagai kesempatan untuk memperkenalkan Indonesia di ranah internasional,” ujar Grace.

“Saya menyambut baik upaya pemerintah untuk memberikan kewarganegaraan ganda kepada para diaspora dan keturunan mereka. Lewat ini, para diaspora tetap bisa memberikan sumbangsih kepada Indonesia melalui pengalaman dan keterampilan mereka.”

Grace merujuk ke pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan tentang wacana pemberian kewarganegaraan ganda bagi diaspora yang punya talenta pada awal Mei ini.

Kembali ke Christopher Wibisono Tan, yang tiga generasi keluarganya – kakek, ibu dan dirinya ketika masih bayi – menjadi sasaran kerusuhan Mei 1998, mengaku seiring beranjak dewasa, kian banyak pertanyaan yang diajukan begitu orang-orang tahu tentang latar belakangnya.

Saat ditanya mengenai harapannya ke depan sebagai generasi warga Indonesia keturunan Tionghoa yang tumbuh besar di luar negeri pasca 1998, Christopher dengan lugas menjawab: “Saya berharap mereka [pemerintah] tidak menghapus sejarah.”

“Seperti yang diutarakan tante saya [Astrid] dan disetujui ibu saya [Jasmine], saya setuju adanya reformasi edukasi". (*)

Tags : warga negara indonesia, wni keturunan tionghoa, hak asasi manusia, wni keturunan tionghoa kabur ke luar negeri, kerusuhan mei 1998, wni keturunan minta pemerintah tidak hapus sejarah,