Redaksi   2024/09/02 12:21 WIB

Banyaknya 'Kotak Kosong' di Pilkada 2024 dalam Sepanjang Sejarah

Banyaknya 'Kotak Kosong' di Pilkada 2024 dalam Sepanjang Sejarah

FENOMENA dan maraknya “kotak kosong” dalam Pemilihan Kepala Daerah [Pilkada] 2024 dinilai mencerminkan “kemunduran demokrasi” karena masyarakat dikondisikan untuk menghadapi pilihan yang “tidak ideal”, kata lembaga sipil pengawas pemilu dan pakar politik.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan ada 43 daerah dengan pasangan calon tunggal kepala daerah hingga Sabtu 31 Agustus 2024.

Itu artinya, mereka berpeluang melawan kotak kosong.

KPU pun memperpanjang masa pendaftaran bakal calon kepala daerah untuk 43 daerah ini pada 2-4 September 2024 untuk membuka peluang munculnya bakal calon pasangan baru.

Tetapi Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, mengatakan pilkada kali ini akan menjadi pemilihan dengan jumlah kotak kosong terbanyak sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia apabila tidak ada partai politik yang mengalihkan dukungannya pada masa perpanjangan itu.

Dia menekankan bahwa kotak kosong tetap lah sebuah pilihan politik, namun bukan pilihan yang ideal karena kemunculannya saat ini ini tak lepas dari tren "koalisi gemuk" di banyak daerah.

Bahkan Khoirunnisa Nur Agustyati menyebut, ini kemunduran demokrasi karena kompetisinya dihilangkan.

Yang seharusnya masyarakat bisa melihat adu gagasan, menjadi tidak ada.

Ibarat kata mau menang secara cepat saja karena tren menunjukkan calon tunggal sering menang, sebut Khoirunnisa, Minggu (1/9/2024).

Jadi Khoirunnisa Nur Agustyati menilai, diborong saja dalam satu perahu besar, ini bukan tiket kosong, pasti ada yang ditransaksikan [secara politik] dan itu akan kelihatan setelah kepala daerahnya terpilih.

Sementara Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Ali Sahab juga, mengatakan fenomena kotak kosong dapat membuat perhelatan pilkada hanya akan menjadi semacam “formalitas” bagi masyarakat.

Sejauh ini, daerah yang berpeluang menjalani pemilihan gubernur dengan melawan kotak kosong adalah Papua Barat.

Fenomena kotak kosong lainnya terjadi pada level kabupaten/kota di 42 daerah.

Di Provinsi Sumatra Utara, misalnya, ada enam daerah yang masuk kategori ini yakni Tapanuli Tengah, Asahan, Pakpak Bharat, Serdang Berdagai, Labuhanbatu Utara, dan Nias Utara.

Di Jawa Timur, fenomena ini berpeluang terjadi di Kota Surabaya, Trenggalek, Ngawi, Gresik, dan Pasuruan.

Pasangan calon tunggal di lima daerah di Jawa Timur tersebut didukung oleh delapan hingga 18 partai politik yang tergabung dalam "koalisi gemuk".

Apa itu ‘kotak kosong’?

Kotak kosong muncul ketika hanya ada satu pasangan calon kepala daerah yang maju dalam pemilu.

Ini bukan berarti kotak suara yang kosong. Namun di dalam surat suara, pemilih dapat memilih opsi ini apabila tidak ingin memilih satu-satunya pasangan calon yang maju.

Menurut Khoirunnisa, kotak kosong pertama kali digunakan dalam kontestasi pilkada pada tahun 2015.

Tetapi Khoirunnisa balik menilai, awalnya dari Mahkamah Konstitusi. Ada semacam kebuntuan, ada partai-partai yang mengusung satu pasangan calon saja, apa yang harus dilakukan? Sehingga pada waktu itu, dibawa ke MK.

Menurutnya, MK yang memutuskan, kalau pada masa pendaftaran yang terdaftar hanya satu pasangan calon, MK menyatakan bahwa masa pendaftarannya bisa dibuka lagi.

"Kalau setelah dibuka lagi tidak ada yang mendaftar, partai politik tidak mengalihkan dukungannya, ada yang namanya kotak kosong."

Jadi menurutnya lagi, di surat suara itu bukan berarti hanya ada satu pasangan calon itu saja, tapi harus ada kotak kosong itu sebagai alternatif suara bagi pemilih.

Dengan demikian, daerah yang memiliki satu pasangan calon pun dapat tetap mengikuti pilkada serentak.

Sejak tahun 2015, Perludem menyatakan tren pilkada melawan kotak kosong terus meningkat.

Hanya ada tiga kotak kosong pada 2015. Namun jumlahnya meningkat menjadi sembilan kotak kosong pada 2017, 16 kotak kosong pada 2018, lalu 25 kotak kosong pada 2020.

Khoirunnisa mengatakan fenomena calon tunggal muncul pada saat mayoritas partai politik di suatu daerah pemilihan memutuskan berkoalisi dan mengusung satu pasangan calon.

Ia menilai, akibat ini menyisakan satu-dua partai yang ketika mereka bergabung pun tidak bisa mengusung pasangan calon karena tidak memenuhi ambang batas, dan calon perseorang pun enggak ada.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024 telah membuka peluang bagi partai-partai politik untuk lebih leluasa mengusung calonnya sendiri tanpa harus berkoalisi.

Putusan itu menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah di tengah tren koalisi gemuk di berbagai daerah pemilihan.

Namun Khoirunnisa menyayangkan putusan itu “tidak dimanfaatkan” oleh partai-partai politik.

Seharusnya, kata Khoirunnisa, partai lebih berdaya, tapi ternyata jadi lebih banyak juga kotak kosongnya. Bisa jadi karena partai tidak siap mengusung kadernya di pilkada tanpa koalisi yang besar.

Walau demikian, Perludem meyakini fenomena kotak kosong ini “akan lebih parah lagi” kalau tak ada putusan MK itu.

Ali Sahab dari Unair mengatakan ada sejumlah faktor yang memicu fenomena ini.

Bisa jadi calon yang diusung dianggap sebagai “yang terbaik”, namun bisa pula ini mencerminkan praktik “kartel politik”.

Artinya, kata Ali Sahab, ada iming-iming yang lebih menarik, daripada saya bekerja keras mengeluarkan uang lalu ada iming-iming yang lebih menarik untuk bisa mendapatkan bagian, itu yang menggoda.

“Maju ke pemilihan itu ongkosnya sangat besar. Jadi semacam percuma maju ketika yang akan menang sudah diketahui.”

Ali dan Khoirunnisa sama-sama mengatakan bahwa tren koalisi gemuk ini dipengaruhi oleh pilpres dan pilkada yang digelar pada tahun yang sama.

Peta politik di level nasional yang kini dikuasai oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus tampak merembes ke daerah-daerah demi mencapai kemenangan politik yang sama.

Ketika koalisi nasional merembes ke daerah, sebut Ali Sahab, partai-partai lain agak ogah mencalonkan diri. Apalagi partai-partai yang tunduk dengan KIM Plus pasti ikut saja.

Fenomena kotak kosong, menurut Ali Sahab, akan membawa pemilih pada situasi yang tidak ideal, kata Khoirunnisa.

Yang namanya demokrasi, kompetisinya setara, tambahnya lagi dan kalau melawan kotak kosong kan hanya satu pasangan calon, masyarakat jadi tidak bisa membandingkan ide atau gagasan beberapa calon.

Ada anggapan bahwa paslon ini hanya satu-satunya yang bisa dipilih. Tidak ada perdebatan, jadi tidak sehat untuk iklim demokrasinya, sambung Khoirunnisa.

Namun dia menggarisbawahi bahwa memilih kotak kosong tetap merupakan hak para pemilih yang merasa tak cocok dengan paslon yang disodorkan.

Hanya saja, ruang demokrasi yang sehat semestinya memungkinkan ada lebih banyak pasangan calon yang bisa adu program.

Sementara itu, Ali Sahab mengatakan fenomena ini akan berujung pada pemerintahan tanpa oposisi.

Lembaga legislatif akan dikuasai oleh koalisi si kepala daerah terpilih, sehingga fungsi kontrolnya dikhawatirkan tak berjalan ideal.

Dengan kondisi seperti itu, harapan terakhir kontrolnya ada di masyarakat. Untungnya di era digital ini, fungsi kontrol masyarakat menjadi lebih mudah, tutur Ali.

Kota Surabaya menjadi salah satu daerah yang sejauh ini hanya memiliki satu pasangan calon wali kota dan wakil wali kota.

Duet kader PDIP sekaligus petahana Eri Cahyadi-Armuji mendapat dukungan 18 partai politik.

Tetapi bila mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pasangan calon tunggal bisa dinyatakan menang kalau memperoleh suara sah lebih dari 50%. Jika tidak tercapai, maka kotak kosong lah yang menang.

Menurut Khoirunnisa, UU Pilkada mengamanatkan pemilihan suara ulang kalau kotak kosong yang menang.

Diulangnya itu pada tahapan pilkada yang dijadwalkan setelahnya. Kalau 2024 ini yang menang kotak kosong, maka diulang tahun depan, kata Khoirunnisa.

Mengingat seperti disebutkan Anggota KPU RI Idham Holik mengatakan penjabat sementara (pj) kepala daerah akan memimpin daerah tersebut apabila kotak kosong yang menang.

Soal sampai kapan penjabat sementara bertugas, Idham menuturkan sampai pemilihan selanjutnya.

Kapan pemilihan selanjutnya? Yaitu 2029. Selama periode pemerintahan pasca-Pilkada 2024 ini akan dipimpin oleh penjabat sementara, kata Idham dikutip dari Kompas.com, pada Jumat (30/08).

Kembali seperti dsiebutkan Khoirunnisa mengatakan bahwa bukan ranah KPU untuk menyatakan berapa lama penjabat sementara kepala daerah bertugas.

Menurutnya, tidak masuk akal apabila seorang penjabat memimpin sampai satu periode.

Penjabat itu, kata dia, seharusnya hanya mengisi kekosongan sementara saja, bukan dalam jangka waktu yang lama, apalagi lima tahun.

Apalagi, penunjukan penjabat kepala daerah sering kali bersifat subjektif berdasarkan keputusan presiden.

Sejauh ini, baru satu kali kotak kosong memenangkan perolehan suara, yakni saat pemilihan wali kota Makassar pada 2018.

Pada saat itu, pasangan calon Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi gagal menang setelah lawannya, Mohammad Ramdhan Danny Pomanto dan Indira Mulyasari didiskualifikasi oleh Mahkamah Agung.

Posisi wali kota Makassar kemudian diisi oleh penjabat sementara sampai pemilihan ulang digelar pada 2020.

Perludem mengatakan memilih kotak kosong berbeda dengan golput. Ketika memilih kotak kosong, surat suaranya akan tetap dihitung sebagai surat suara yang sah.

Jadi pilihan tersebut tetap akan mempengaruhi hasil pemilu.

Masyarakat perlu tahu bahwa kotak kosong itu boleh dipilih, itu hak. Mengampanyekan kotak kosong itu juga boleh, kata Khoirunnisa.

Masyarakat juga bisa mengajukan diri sebagai pemantau pemilu terakreditasi ke KPU.

Status itu akan membuat masyarakat memiliki kedudukan hukum untuk menggugat hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi apabila ada indikasi kecurangan.

Ini berbeda kalau pilkada diikuti oleh beberapa paslon. Hanya pasangan calon lainnya yang dapat mengajukan gugatan ke MK.

Sedangkan pada pilkada yang diikuti oleh hanya satu paslon, masyarakat punya ruang untuk menjadi penggugat. (*)

Tags : Politik, Indonesia, Pemilu 2024, Kotak Kosong, Pilkada 2024, Redaksi,