BEBERAPA perusahaan milik konglomerat Tanah Air menguasai lahan sangat luas.
Mereka bisa mengelola lahan lantaran mempunyai hak guna usaha (HGU) yang dikeluarkan kementerian berwenang.
Di sisi lain, masih banyak petani-petani kecil di Indonesia yang kesulitan mendapatkan legalitas atas tanah yang digarapnya selama puluhan tahun.
Kasus konflik lahan pun masing sering terjadi di berbagai daerah di Tanah Air. HGU sendiri merupakan pemberian tanah milik negara untuk dikelola pengusaha untuk dimanfaatkan secara ekonomi dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan UU Nomor 5 tahun 1960 beserta peraturan-peraturan turunannya.
Keberadaan HGU sendiri sebenarnya tak lain adalah sebagai pengejawantahan UUD 1945 Pasal 33, di mana bumi dan kekayaan di dalamnya bisa dipakai sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat.
Ketentuan HGU Dikutip dari Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, HGU artinya hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu, yang digunakan untuk usaha pertanian (termasuk perkebunan), perikanan atau peternakan. Selain diatur UUPA, regulasi terkait HGU juga diatur dalam berbagai aturan turunan seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah.
Agar pengusaha nasional atau investor asing bisa mendapatkan HGU, ada sejumlah prosedur yang wajib diikuti. HGU dapat diberikan untuk tanah dengan luas sekurang-kurangnya 5 hektar.
Khusus untuk tanah negara yang diperuntukan untuk perkebunan, HGU bisa diberikan minimal 25 hektar untuk badan usaha.
Patut dicatat, HGU perkebunan baru bisa diterbitkan apabila sudah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Untuk satu perusahaan sawit skala besar, bahkan bisa mendapatakn HGU hingga ratusan ribu hektar. Jangka waktu pengusaha mengelola HGU adalah 25 tahun dan bisa diperpanjang.
Tanah negara berupa HGU juga tak hanya diberikan kepada pengusaha lokal, namun juga diberikan seluas-luasnya untuk investor asing.
Pemerintah sendiri bisa mencabut HGU yang dipegang pengusaha perkebunan kapan saja apabila dianggap tidak memenuhi ketentuan.
Syarat mendapatkan HGU Tidak semua orang atau perusahaan dapat memiliki HGU yang diberikan negara. Ada beberapa aturan yang menyertainya.
Namun, secara umum, pihak-pihak yang dapat memiliki HGU adalah Warga Negara Indonesia atau bisa juga badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, meski kepemilikan perusahaan adalah investor asing.
Untuk satu perusahaan sawit skala besar, bahkan bisa mendapatakn HGU hingga ratusan ribu hektar. Jangka waktu pengusaha mengelola HGU adalah 25 tahun dan bisa diperpanjang.
Tanah negara berupa HGU juga tak hanya diberikan kepada pengusaha lokal, namun juga diberikan seluas-luasnya untuk investor asing.
Pemerintah sendiri bisa mencabut HGU yang dipegang pengusaha perkebunan kapan saja apabila dianggap tidak memenuhi ketentuan.
Syarat mendapatkan HGU Tidak semua orang atau perusahaan dapat memiliki HGU yang diberikan negara. Ada beberapa aturan yang menyertainya.
Namun, secara umum, pihak-pihak yang dapat memiliki HGU adalah Warga Negara Indonesia atau bisa juga badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, meski kepemilikan perusahaan adalah investor asing.
Bagi pemegang tanah HGU memiliki beberapa kewajiban yakni membayar uang pemakaian HGU ke negara. Selain itu, pemegang HGU wajib melaksanakan salah satu usaha antara lain pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan.
Pemegang hak guna usaha juga wajib membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal, memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan.
Pemegang HGU juga wajib menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan hak, menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak kepada negara sesudah hak tersebut hapus, dan menyerahkan sertifikat.
Larangan pemegang HGU antara lain menjaminkan tanah HGU sebagai jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan, di mana hak HGU bisa beralih ke pihak lain.
Tanah HGU juga terlarang untuk diserahkan penguasaannya kepada pihak lain, kecuali penyerahan yang dibolehkan dalam undang-undang seperti pembangunan kepentingan publik.
'Rakyat berebut penguasaan lahan'
Ketimpangan struktur dan penguasaan lahan sampai saat ini masih terus terjadi. Bukan hanya di Pulau Jawa, berbagai wilayah di pulau terpadat di Indonesia itu pun mulai menghadapi ketimpangan penguasaan lahan.
Profesor Mohammad Jafar Hafsah mengatakan bahwa ketimpangan adalah kondisi yang berbahaya. Ia dapat menjadi sumber konflik terutama horizontal antarmasyarakat.
"Semakin tinggi ketimpangan cenderung akan menimbulkan kecemburuan sehingga hal ini berdampak pada pergesekan sosial antarmasyarakat," katanya, dalam diskusi virtual, Selasa 14 Juni 2023.
Menurut Wakil Ketua Umum ICMI Pusat itu, selain ketimpangan penguasaan lahan, terdapat dua ketimpangan lainnya yaitu penguasaan perekonomian atau aset dan pendapatan.
Prof. Jafar berpendapat terjadinya ketimpangan penguasaan lahan umumnya terdapat peran orang kaya yang memahami konsep penguasaan lahan.
Padahal penguasaan lahan diperuntukkan sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin sesuai Undang-Undang Dasar 1945.
Yang dimaksud oleh Prof. Jafar adalah setiap orang kaya yang memiliki usaha dengan berbagai jenisnya cenderung melakukan praktik penguasaan lahan yang besar.
"Hal inilah yang membawa aspek perekonomian yang besar. Karena dengan lahan tersebut dapat dipergunakan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya," ungkapnya.
Seperti diungkapkan Prof. Jafar, dalam lahan yang telah dikuasai itu terdapat tambang yang jumlah luasnya sangat besar. Yang kedua juga hutan yang dapat dimanfaatkan dengan ditumbuhi berbagai tanaman.
"Maka, penguasaan (lahan) itulah yang membuat terjadinya ketimpangan. Karena, kepemilikan lahannya dilakukan orang yang terbatas tetapi penghasilannya luar biasa besar," ujarnya, menambahkan.
Selain yang disebutkan tadi, terdapat pula konversi lahan pertanian untuk komersil seperti perumahan, industri, jalan, dan sebagainya. Objeknya selalu lahan pertanian karena sudah siap.
"Lahan pertanian selalu sudah ready, sudah siap, dan cenderung di tengah keramaian," papar Wakil Ketum ICMI Pusat itu.
Yang terburuk adalah pengambilalihan lahan tersebut dilakukan oleh orang kota atas orang desa, yang sebelumnya menguasai lahan pertanian tersebut.
Dengan demikian, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), rasio gini penguasaan lahan di Indonesia di angka 0,68%. Artinya, setiap 68% lahan di Indonesia dikuasai 1% kelompok pengusaha, sedangkan 32% lahan lainnya diperebutkan oleh 99% masyarakat luas.
"Bisa dibayangkan, kalau petani berjumlah 37 juta orang, dan 40% petani di bawah garis kemiskinan berarti dia (petani) ada di 99% lahan yang diperebutkan itu," tutup Prof. Jafar. (*)
Tags : konglomerat, HGU, hak guna usah, konglomerat kuasai lahan, konglemerat kusai ratusan ribu hektar, Artikel,