JAKARTA - Belanda menyatakan "mengakui sepenuhnya" kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun menurut sejarawan Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, pengakuan itu "masih setengah-setengah" karena hanya sebatas pengakuan moral dan politik tanpa konsekuensi hukum.
Sebelum pengakuan ini, Belanda menganggap kemerdekaan RI baru terjadi pada 27 Desember 1949 ketika akhirnya Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia setelah melalui periode penuh kekerasan yang menyebabkan jatuhnya banyak korban pasca-proklamasi kemerdekaan RI pada 1945.
"Dengan secara politis mengakui 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka, otomatis apa yang mereka lakukan pada 1945-1949 adalah agresi militer, upaya menyerang kedaulatan negara yang sudah merdeka. Konsekuensi dari serangan itu dituntut, minta ganti rugi atas semuanya," kata Sri Margana seperti dirilis BBC News Indonesia, Kamis (15/6).
Dia merujuk pada era ketika Indonesia masih berkonflik dengan Belanda yang berupaya merebut kembali Indonesia yang sudah memproklamasikan kemerdekaannya.
Dari kacamata Indonesia, periode itu dikenal sebagai "Perang Kemerdekaan", sedangkan oleh Belanda disebut sebagai periode "bersiap" yang kemudian mereka akui "telah terjadi kekerasan ekstrem" berdasarkan penelitian yang dirilis pada Februari 2022.
Namun menurut Sri, pernyataan Rutte di hadapan parlemen Belanda itu "tidak sepenuhnya berkomitmen terhadap konsekuensi dari pengakuan itu".
Belanda sejauh ini tidak setuju menyebut apa yang terjadi pada periode tersebut sebagai "kejahatan perang", melainkan sebagai "kekerasan ekstrem" yang menurut Sri masih dalam ranah "abu-abu".
"Pernyataan itu tidak berhenti di mengakui saja, tapi kondisional, mereka mengakui secara moral 17 Agustus 1945 sebagai kemerdekaan itu karena tidak terbantahkan atas basis penelitian yang sangat kuat. Tapi secara yuridis, tidak," kata Sri.
"Artinya, secara yuridis mereka masih mengakui kemerdekaan itu adalah penyerahan kedaulatan pada Desember 1949 itu," sambungnya.
Konsekuensi hukum
Kalaupun Belanda siap dengan konsekuensi hukum dari pernyataan tersebut, Sri menuturkan bahwa Indonesia juga harus siap dengan konsekuensi itu karena korban sipil jatuh dari kedua belah pihak.
"Pengakuan yuridis itu punya konsekuensi untuk menuntut ganti rugi atas korban sipil yang jatuh. Belanda pun bisa melakukan hal yang sama terhadap Indonesia, karena TNI juga melakukan kekerasan yang sama terhadap warga sipil Belanda," kata dia.
Dia menduga Belanda pada akhirnya berani mengakui secara politik karena merasa memiliki daya tawar untuk mendiskusikan konsekuensi itu berdasarkan temuan kekerasan yang juga dialami oleh warga negara mereka di Indonesia.
Sri juga mengingatkan agar Indonesia "tidak buru-buru" bersikap terhadap pengakuan tersebut.
"Itu peristiwa masa lampau semua, semua tindakan yang melanggar HAM semua sudah masa lalu. Jadi untuk bisa dibicarakan kembali, harus didasarkan pada penelitian historis yang kuat. Belanda sudah melakukan itu, dan ini menjadi tantangan bagi sejarawan di Indonesia," kata dia
Meski demikian, secara moral, Indonesia dia sebut semestinya menerima pengakuan tersebut.
"Bagaimana pun itu adalah kemajuan bagi hubungan Indonesia-Belanda di masa depan. Akan lebih enak mengembangkan hubungan diplomasi, jadi harus diapresiasi. Sisanya, konsekuensi-konsekuensi itu harus dibicarakan secara diplomatik," kata dia.
Lebih menjawab persoalan dalam negeri Belanda
Menurut Sri, pernyataan Rutte akan lebih banyak berdampak bagi situasi di dalam negeri Belanda, ketimbang bagi Indonesia.
Pemerintah Belanda, kata dia, telah menghadapi tuntutan dari para intelektual atas hasil riset tersebut yang "tidak terbantahkan" bahwa telah terjadi "kekerasan ekstrem" selama periode 1945-1949.
Ditambah lagi dengan tuntutan moral para generasi muda yang malu menyadari kenyataan bahwa negaranya adalah bekas penjajah.
"Pengakuan itu melegakan bagi generasi muda Belanda terkait masa lalu bangsanya," kata Sri.
Sebelumnya, pemerintah Belanda mengakui "sepenuhnya dan tanpa syarat" bahwa Indonesia merdeka dari Belanda pada tanggal 17 Agustus 1945 -- pernyataan resmi pertama pemerintah Belanda setelah 78 tahun.
Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, mengatakan hal tersebut di parlemen, pada Rabu (14/06), saat menjawab pertanyaan anggota parlemen dari Partai GroenLinks terkait pengakuan terhadap kemerdekaan RI.
Rutte berjanji akan berkonsultasi dengan Presiden Indonesia, Joko Widodo, untuk mencapai interpretasi bersama tentang hari kemerdekaan itu.
"Kami sepenuhnya sudah mengakui 17 Agustus zonder voorbehaud [tanpa keraguan]. Saya masih akan mencari jalan keluar bersama presiden [Indonesia, Joko Widodo] untuk mencari cara terbaik agar bisa diterima kedua pihak," ujar PM Rutte sebagaimana dikutip media Historia.
Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 setelah Jepang menyerah dalam Perang Dunia II. Akan tetapi, pemerintah Kerajaan Belanda tidak pernah mau mengakui momen itu secara resmi.
Antara 1945 dan 1949, Belanda justru mengobarkan perang untuk merebut kembali kekuasaan di Indonesia.
Pada 2005, Menteri Luar Negeri Belanda saat itu, Ben Bot, mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia secara "de facto" sudah dimulai pada tahun 1945, tetapi Belanda secara resmi masih menggunakan tanggal 27 Desember 1949, ketika Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sebagai hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Permintaan maaf
Pengakuan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, mengemuka ketika dia hadir dalam perdebatan mengenai hasil penelitian dekolonisasi di parlemen Belanda.
Sebanyak 15 anggota parlemen yang masing-masing mewakili partainya mempersoalkan setidaknya tiga hal terkait penelitian berjudul "Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950". Hasil penelitian yang dipublikasikan tiga lembaga Belanda medio Februari 2022 lalu, menyebutkan adanya kekerasan ekstrem militer Belanda yang terstruktur.
Pertama, soal aspek hukum. Penelitian itu cenderung menggunakan istilah "kekerasan ekstrem", bukan "kejahatan perang".
Kedua, soal tanggung jawab dan permintaan maaf pemerintah terhadap para korban dan veteran Belanda itu sendiri.
Ketiga, soal kompensasi dan rehabilitasi para veteran perang yang dianggap penjahat perang.
PM Rutte yang hadir didampingi Menteri Luar Negeri, Wopke Hoekstra, dan Menteri Pertahanan, Kajsa Ollorongren, memberikan pernyataan permintaan maaf atas terjadinya kekerasan ekstrem.
PM Rutte masih bersikeras menyebutnya kekerasan ekstrem alih-alih kejahatan perang, dengan mendasarkan pada Konvensi Jenewa 1949.
"Masa kekerasan itu terjadi sebelum Konvensi Jenewa. Kesimpulannya kami tidak setuju itu kejahatan perang secara yuridis. Secara moral, ya, tapi tidak secara yuridis," tegas Rutte. (*)
Tags : Belanda, Militer, Sejarah, Indonesia,