TEKNOLOGI - Pada abad ke-19, segelintir ilmuwan punya obsesi yang 'aneh' – bahwa listrik dapat dimanfaatkan untuk membuat tanaman tumbuh lebih baik. Mungkinkah mereka mengetahui sesuatu di balik pencarian itu?
Tokoh monster Frankenstein sudah familiar. Tapi, pernahkah mendengar tentang tamannya?
Saat itu, para ilmuwan yang mengilhami novel Mary Shelley, Frankenstein, tengah sibuk menyetrum hewan hidup dan tahanan yang sudah mati, beberapa peneliti lain di zaman itu melakukan hal yang sama pada tanaman keras dan umbi-umbian.
Bertujuan untuk membuat tubuh manusia lebih kuat dengan stimulasi listrik (menyembukan penyakit kelamin, kelumpuhan, depresi, hingga diare), mereka juga melakukan cara yang sama kepada tumbuhan.
Eksperimen di taman listrik diduga menghasilkan berbagai manfaat, mulai dari bunga yang lebih cerah hingga buah yang lebih enak.
Namun, tak lama kemudian, pengejaran ini berakhir sama dengan sepupunya, 'perdukunan medis dengan media listrik'. Pada akhir abad ke-19, sebagian besar ilmu pengetahuan telah membuang keduanya.
Lebih dari seabad kemudian, alat yang lebih maju dan wawasan baru menghidupkan kembali studi tentang efek listrik pada biologi.
Eksperimen awal terhadap hewan yang tidak terinformasi telah diselesaikan selama 200 tahun terakhir menjadi pemahaman nyata – dan menghasilkan pengobatan listrik yang menjanjikan.
Demikian pula, percobaan lama pada sayuran sedang digali untuk melihat buah modern apa yang mungkin dapat dihasilkan. Mungkin pemahaman baru ini bahkan bisa memperbaiki taman abad ke-21.
Petunjuk pertama bahwa sengatan listrik mungkin berdampak dramatis pada tanaman tidak berasal dari campur tangan manusia, melainkan dari alam itu sendiri.
Setelah badai petir, menurut pengetahuan pertanian Jepang yang sudah lama ada, jamur akan berkembang biak dengan liar.
Tapi kita tidak bisa memanggil petir sesuai permintaan untuk mengonfirmasi ini secara eksperimental.
Hingga pada tahun 1740-an, ketika berbagai perangkat baru memungkinkan para ilmuwan untuk menyimpan dan menyebarkan fenomena "listrik" yang masih misterius ini untuk pertama kalinya.
Segera, menggunakan listrik sebagai alat bantu berkebun menjadi topik hangat.
Pierre Bertholon de Saint-Lazare – seorang fisikawan dan filsuf Prancis yang melakukan eksperimen secara luas pada misteri kelistrikan yang masih kurang dipahami – mengurasi berbagai eksperimen tumbuh-tumbuhan yang memiliki usia sama ke dalam sebuah koleksi, De L'électricité des Végétaux.
Bunga diduga mekar lebih awal setelah dialiri listrik. Begitu juga dengan buah, yang dilaporkan mengalami percepatan kematangan bau dan rasanya.
Namun, fokus utama Bertholon adalah pada perangkat baru yang dia temukan.
Alih-alih memberikan kejutan listrik pada buah dan sayuran satu per satu, alat besar itu mengalirkan listrik ke seluruh petak kebun.
Caranya dengan menyetrum tanah dan udara tempat tanaman tumbuh - seolah-olah itu adalah "pupuk" listrik.
Elektrovegetometer, alat untuk menyetrum tanaman
Sistem tiang dan kabel yang dibuat Bertholon bisa mengumpulkan listrik atmosfer, lalu kemudian menariknya ke bawah dan mendistribusikannya ke tanaman.
Menurutnya, metode itu meniru efek stimulasi petir. Hanya saja cara itu disebut bekerja lebih baik daripada varietas alami, mengeluarkan listrik dalam jumlah kecil dan terus menerus, bukan dalam jumlah yang besar dalam satu serangan yang merusak.
"Namanya Electro-vegeto-meter", kata dia.
Alat itu meningkatkan pertumbuhan tanaman, yaitu dengan mempercepat "perkecambahan, pertumbuhan, dan produksi daun, bunga, buah, dan perkembangbiakannya".
Bertholon juga memanfaatkan listrik dalam bentuk lain. Dia juga menyetrum pohon yang terserang hama serangga.
Orang-orang di zamannya memiliki beragam penggunaan listrik di kebun mereka.
Salah satunya adalah dengan mengairi tanamannya dengan air khusus yang dia klaim, dengan agak meragukan, telah "dicampur dengan cairan listrik" untuk menggantikan pupuk.
Tidak semua orang yakin dengan hal itu.
Segalanya memburuk setelah Jan Ingenhousz, ahli fisiologi Belanda-Inggris yang menemukan fotosintesis, memanfaatkan elektro-vegeto-meter miliknya sendiri untuk digunakan di kebunnya. Hasilnya, semua tanamannya layu.
Dia menyimpulkan pupuk listrik Bertholon tidak berguna.
Ketertarikan pada elektrokultur pun berkurang. Namun, beberapa ilmuwan terus melakukan eksperimen kecil.
Pada 1830-an, seseorang mengeklaim bahwa eksperimennya menunjukkan jika tumbuhan adalah konduktor yang sangat baik, menyiratkan bahwa listrik adalah aspek mendasar dari biologi mereka.
Namun, baik ilmu pengetahuan maupun perangkatnya tidak cukup maju untuk mendukung klaim semacam itu.
Setelah itu, terlepas dari beberapa proyek khusus, gagasan elektrokultur dengan cepat tidak disukai di kalangan electrorati.
"Kita tidak bisa menghindari bertanya pada diri sendiri," tulis dua kritikus dalam makalah tahun 1918, melihat kembali jatuhnya peristiwa tersebut, "bagaimana studi tentang listrik dan banyak aplikasi industrinya telah berkembang menjadi sangat penting, sementara elektrokultur tidak bergerak selama satu setengah abad."
Mereka menyimpulkan: "Kita mungkin menemukan jawabannya dalam stagnasi ilmu tumbuhan hidup."
Dengan kata lain, untuk meningkatkan elektrokultur, pertama-tama Anda harus memahami cara kerjanya, dan untuk memahami itu, seseorang perlu memahami dimensi kelistrikan biologi tumbuhan.
Untungnya, pada saat keduanya menyuarakan keluhan mereka, upaya yang persis seperti itu sudah memecahkan 'embun beku'.
Ketertarikan pada tumbuh-tumbuhan dan listrik dihidupkan kembali tidak lain oleh Charles Darwin.
Tumbuhan karnivora Darwin
Kakeknya meyakini bahwa listrik dapat mempercepat pertumbuhan tanaman – tetapi pandangan Charles Darwin dibangun di atas landasan ilmiah yang lebih kokoh.
Dia percaya bahwa listrik adalah aspek fundamental dari fisiologi tumbuhan, sama seperti ketika para ahli neurofisiologi abad ke-19 mulai menunjukkan bagaimana sinyal listrik menjadi fondasi fundamental dari sinyal sistem saraf manusia yang memungkinkan manusia untuk berpikir, merasakan, dan bergerak.
Obsesi Darwin dimulai dari hal kecil, dengan satu tanaman pemakan daging dalam genus Drosera, atau dikenal sebagai 'embun matahari' atau sundews.
Hampir setahun setelah penerbitan On the Origin of the Species, hanya itu yang bisa dia pikirkan.
"Saat ini, saya lebih peduli pada Drosera daripada asal muasal semua spesies di dunia," tulisnya pada tahun 1860.
Tidak heran. Drosera melakukan semua yang tidak bisa dilakukan tanaman – ia memakan daging dan berburu.
Tentakelnya yang panjang dan lengket menjebak lalat dalam sekresi seperti lem dan kemudian menggulung mangsa yang malang itu sampai terbungkus.
Darwin tertarik dengan refleks mirip binatang penangkap lalat Venus
Bagaimana ini bisa terjadi? "Tumbuhan karnivora" adalah sebuah kontradiksi! Namun, Drosera bukan satu-satunya.
Dionaea muscipula (yang juga dikenal sebagai penangkap lalat Venus) berburu lebih cepat lagi.
Seperti yang dijelaskan Darwin dengan kagum, "daun-daunnya menangkap serangga seperti perangkap tikus baja". Refleks mereka tampak seperti binatang.
Seorang teman Darwin, ahli fisiologi dan ahli botani yang keahliannya mencakup dunia tanaman dan hewan, menyarankan agar mereka memeriksa tumbuhan aneh ini dengan melihat perubahan listrik "saraf", seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh ahli fisiologi, yang menggerakkan otot-otot hewan.
Mereka menemukannya. Hasil yang dipublikasikan menunjukkan bahwa ketika penangkap lalat menutup, gerakan itu disertai dengan aktivitas yang terlihat sangat mirip dengan reaksi yang ada pada aliran listrik hewan.
Dalam dunia hewan, sinyal-sinyal ini tidak unik.
Namun, gagasan mereka juga ditolak habis-habisan oleh ahli fisiologi tumbuhan.
Alasannya dapat dipahami. Tumbuh-tumbuhan karnivora bergerak cepat dan berburu seperti binatang – jadi bagi mereka, keberadaan sinyal saraf masuk akal.
Namun, tumbuhan lain tidak bergerak dan mereka tidak berburu. Mereka hanya diam dan mengonsumsi sinar matahari.
Tidak masuk akal bagi mereka untuk mengekstrapolasi atribut unik karnivora - outlier taksonomi - ke seluruh dunia tumbuhan.
Beberapa dekade kemudian, seorang insinyur dan ahli matematika India bernama Jagagadis Chandra Bose meninjau kembali pertanyaan Darwin. Dia sangat ingin tahu tentang Mimosa pudica, atau 'putri malu', tanaman seperti pakis kecil.
Tanaman itu tidak memakan daging – tetapi ia bergerak. Ia melipat daun pakis kecilnya ketika terkejut – sebuah gerakan yang luar biasa yang membuatnya mendapat banyak julukan selama bertahun-tahun sebagai "tanaman sensitif" dan jangan di sentuh.
Bose berpendapat, bahwa gerakan cepat ini juga seharusnya karakteristik aktivitas saraf seperti binatang.
Benar saja, sebuah elektrometer mengungkapkan ada peningkatan potensi aksi tepat sebelum tanaman kecil itu melipat daunnya, persis seperti yang ditemukan dalam respons penangkap lalat Venus.
Keingintahuan Bose pun membara. Tanaman apa lagi yang memiliki sinyal listrik?
Pada 1901, dia melaporkan sinyal listrik yang kuat di banyak tanaman biasa yang tidak bergerak atau makan, termasuk rhubarb dan lobak pedas.
Selama beberapa dekade berikutnya, temuan ini diperluas ke bawang, pohon, dan hampir semua bagian dari dunia tumbuhan yang ingin diukur oleh siapa pun.
Tumbuhan memiliki listrik
Hal ini sebagian besar tidak dapat dijelaskan hingga akhir abad ke-20, ketika perangkat-perangkat ilmu saraf mengungkapkan bahwa sel tumbuhan menggunakan muatan listrik untuk mengelola komunikasi internal mereka, seperti halnya sel hewan.
Semua sel hidup memiliki pori-pori di lapisan luarnya, yang memastikan bahwa ion yang berbeda tetap berada di sisi membran yang berbeda.
Sel mamalia kerap menyimpan ion kalium di dalam dan ion natrium di luar.
Akibat ketidakseimbangan ini, bagian dalam sel membawa muatan negatif yang sangat kecil.
Sistem saraf menggunakan baterai kecil ini untuk mengirim semua pesan tentang apa yang dirasakan dan dilakukan tubuh dari dan ke otak.
Sel tumbuhan juga memiliki tegangan listrik dari dalam. Mereka juga menggunakannya untuk mengkomunikasikan informasi tentang lingkungannya.
Penelitian yang dilakukan pada akhir 1990-an menunjukkan tumbuhan menanggapi rangsangan yang berbeda secara elektrik, termasuk cahaya, suhu, sentuhan, dan cedera.
Ini selaras dengan wawasan tentang komunikasi kimia dari tanaman, yang menunjukkan bahwa tanaman dapat merasakan bahaya, berkomunikasi dengan tanaman lain, dan memanggil hewan untuk meminta bantuan.
Jagung misalnya, bisa memanggil tawon untuk menyerang jenis ulat yang menyerangnya.
Selama dekade itu, konsep-konsep yang sebelumnya hanya dikaitkan dengan ilmu saraf semakin merambah ke dalam fisiologi tumbuhan.
Temuan semacam itu menghidupkan kembali percakapan selama beberapa dekade tentang kecerdasan tumbuhan, yang dianggap tidak relevan di beberapa kalangan elektrofisiologi tumbuhan.
Apakah tumbuhan cerdas? Jika demikian, apa yang akan dikatakan dalam definisi kita tentang "kecerdasan"?
Perdebatan berlanjut, tetapi ini bukan satu-satunya cara untuk memikirkan sinyal listrik tumbuhan.
Beberapa ahli botani tidak menolak gagasan bahwa tanaman menggunakan sinyal yang rumit untuk berkomunikasi satu sama lain dan dengan alam.
Hanya saja sinyal itu tidak seperti yang dimiliki hewan.
Pada hewan, komunikasi elektrik bekerja seperti ini: sel-sel saraf suka menyimpan potasium di dalam dan sodium di luar, dan perbedaan elektrik yang diciptakan oleh pemisahan ion-ion ini pada dasarnya mendukung kemampuan neuron untuk mengirim potensial aksi.
Namun, sodium tidak berperan dalam potensial aksi tanaman karena sodium beracun bagi tanaman.
Dalam tubuh mereka, peran potasium dan sodium dimainkan oleh potasium, klorida, dan kalsium.
Sinyal listrik yang memungkinkan ini terlihat berbeda, jika diamati lebih dekat.
Untuk satu hal mereka lebih kuat. Di sisi lain, mereka memiliki peran yang sedikit lebih bervariasi.
Terlepas dari potensial aksi standar, tanaman juga meminta dua sinyal lebih lanjut - "potensial variasi" dan "potensial sistem".
Sinyal-sinyal ini mengoordinasikan sistem-sistem yang berbeda.
Potensi aksi pada dasarnya bertindak seperti pada hewan: berkomunikasi dengan cepat dan jarak jauh, tentang rangsangan yang menarik, misalnya seseorang menyentuhnya atau perubahan suhu yang dapat diraba.
Potensi variasi lebih beragam (seperti namanya).Itu dipicu oleh pemotongan, pembakaran, dan jenis cedera lainnya, dan ukuran sinyalnya tergantung pada tingkat keparahan kerusakannya.
Potensi permukaan lambat dan lokal dan mungkin terkait dengan status nutrisi.
Namun, tanaman tidak hanya menggunakan sinyal ini untuk berbicara kepada diri mereka sendiri mengenai keadaan internal mereka: mereka mungkin juga berbicara satu sama lain.
Beberapa orang percaya sinyal itu dapat melakukan perjalanan melalui jaringan filamen jamur yang ada di tanah dan tampaknya bertindak sebagai sirkuit.
Ini menimbulkan harapan baru. Bisakah kita mendengar tanaman, dan memecahkan kode sinyal listrik ini?
Dari mengetahui apakah tanaman berada di tempat yang nyaman – apakah terlalu panas atau dingin?
Apakah mereka membutuhkan lebih banyak nutrisi dari tanah? Atau bisakah mereka memberi kita peringatan dini bahwa tanaman kita diserang oleh patogen?
Ini meningkatkan harapan yang menggiurkan – kita mungkin akan mengetahui apa yang "dipikirkan" oleh tanaman-tanaman kita. (*)
Tags : alam, sains, listrik meningkatkan pertumbuhan tanaman, pertumbuhan tanaman lebih sehat,