TEKNOLOGI - Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pertanian perkotaan di AS dan Eropa rata-rata enam kali lebih berpolusi daripada pertanian tradisional.
Ada apa di balik data ini?
Awal musim semi yang saat ini mulai berlangsung di Inggris merupakan waktu yang ideal untuk menanam tanaman sayuran secara swadaya.
Untuk memaksimalkan iklim musim semi, inilah beberapa tanaman yang dianjurkan untuk ditanam.
Terdapat banyak petak-petak kebun sewaan tersebar di Isle of Dog, sebuah pulau kecil dekat ibu kota Inggris, London.
Beberapa petak kebun itu berada di gudang bekas tempat perlindungan warga sipil pada masa Perang Dunia.
“Masih ada gudang masa perang yang berdiri di sini,” kata Paula Owen, seorang penyewa kebun yang sudah berada di Isle of Dog selama 10 tahun terakhir.
"Banyak orang memperbaiki gudang-gudang itu dan berhasil memanfaatkannya menjadi kebun," tuturnya.
Di petak-petak kebun itu terdapat bidang tinggi yang terbuat dari papan perancah bekas. Tidak ada alat berat. Rangkaian batang kayu menopang tanaman tomat dan kacang-kacangan.
Petak-petak kebun ini berada di tempat unik. Menara kaca dan baja raksasa di Canary Wharf, distrik finansial London yang berkilauan, menembus cakrawala di utara.
Di sebelah kawasan bisnis tersebut ada peternakan kota.
"Anda bisa mendengar suara babi dan keledai," ujar Owen.
Owen dan banyak orang sepertinya memandang petak kebun sewaan dan taman kota memiliki kontribusi yang rendah, terutama untuk persoalan karbon, bagi masyarakat lokal.
Dua tempat itu adalah lokasi di mana warga bisa menanam makanan sendiri, sehingga bisa menghindari kemasan plastik dan tak bergantung pada pesawat yang mendatangkan produk dari luar negeri.
Oleh karena itu, Owen terkejut melihat hasil penelitian yang diterbitkan pada bulan Januari 2024 yang menunjukkan bahwa pertanian perkotaan di AS dan Eropa rata-rata enam kali lebih berpolusi, dalam hal emisi karbon, dibandingkan pertanian komersial konvensional.
Pertanian perkotaan yang tidak termasuk dalam penelitian itu adalah penanaman sayuran di pekarangan rumah. Penelitian itu menunjukkan bahwa kebun kolektif seperti kebun yang dikelola masyarakat, memiliki intensitas karbon tertinggi: rata-rata 0,81 kilogram karbon dioksida (CO2e) per porsi. Sebagai perbandingan, pertanian konvensional menghasilkan 0,07 kilogram CO2e per porsi.
Sementara itu, kebun individu, yang merupakan lahan peruntukan satu orang, memiliki kandungan CO2e antara sekitar 0,34 kilogram. Owen berkata, penelitian itu menggugah pikiran, tapi juga meninggalkan rasa kecewa.
“Ini seperti Daud dan Goliat,” katanya. "Mengapa mereka menyalahkan orang per orang?"
Owen bukan satu-satunya orang yang menunjukkan reaksi seperti itu. Ketika berita tentang penelitian ini menyebar, media sosial dibanjiri komentar pedas dari orang-orang yang gemar berkebun, yang merasa muak dengan tuduhan bahwa kebun sayur mereka dapat membahayakan planet ini.
Jason Hawes, kandidat doktor di Universitas Michigan, Amerika Serikat, penulis utama penelitian ini, menerima berbagai macam komentar tentang penelitian tersebut.
Hawes mengaku menerima beberapa email yang “tidak begitu menyenangkan”, tapi juga percakapan dengan para pegiat kebun rumahan yang benar-benar tertarik pada cara mengurangi intensitas karbon.
Hawes menolak sindiran dari beberapa orang di media sosial bahwa penelitian ini didanai oleh perusahaan pertanian komersial.
"Saya dapat mengatakan dengan tegas bahwa hal itu tidak benar," ujarnya.
Hawes berkata, risetnya mendapat sumber pendanaan dari lembaga publik di berbagai negara, misalnya National Science Foundation di AS dan Economic and Social Research Council di Inggris.
Lebih dari itu, Hawes juga menanam sayurannya sendiri di rumahnya di Tennessee.
“Pada akhir musim panas, ketika kami memiliki terlalu banyak tomat, kami akan membuat salsa,” katanya.
“Makalah ini ditulis oleh sekelompok orang yang menganggap pertanian perkotaan sangat penting,” tuturnya.
Lalu, apa data di balik hasil yang tampaknya meresahkan sejumlah kalangan ini?
Untuk mengukur jejak karbon dari pertanian konvensional, para peneliti menjelajahi literatur akademis untuk menemukan data tentang lima buah atau sayuran yang paling banyak dikonsumsi di berbagai negara.
Mereka mempertimbangkan hal-hal seperti penggunaan pupuk dan proporsi tanaman yang biasanya diterbangkan ke suatu negara dibandingkan diproduksi di dalam negeri.
Untuk pertanian perkotaan, pekebun di 73 lokasi kecil di Inggris, AS, Jerman dan Polandia ditugaskan untuk membuat catatan harian atau mencatat metode dan infrastruktur yang mereka gunakan, seperti material bedeng.
Kategori pertanian perkotaan tidak mencakup pertanian vertikal, yang cenderung sangat boros energi.
Hasil perhitungan di pertanian konvensional, yang bergantung pada sejumlah besar sumber data, sangat kecil, hanya berkisar pada 0,07 kilogram CO2e per porsi.
Hawes mengatakan, temuan itu sebenarnya tidak mengherankan, mengingat tekanan ekonomi terhadap industri ini, yang memaksanya menjadi sangat efisien.
Namun, ia mengakui bahwa sebenarnya masuk akal untuk melontarkan kritik perbandingan sampel pertanian perkotaan dan konvensional, mengingat sampel untuk masing-masing sampel memiliki ukuran yang berbeda.
Konteks yang lebih luas dari semua hal ini adalah bahwa sekitar 5% emisi gas rumah kaca global berasal dari produksi komersial tanaman yang ditanam untuk konsumsi manusia.
Emisi yang dihasilkan oleh petani skala kecil di perkotaan hampir pasti hanya sebagian kecil dari emisi tersebut, meskipun mereka juga menghasilkan total volume pangan yang jauh lebih kecil.
Hawes menegaskan bahwa penelitian yang dia garap bersama rekan-rekannya tidak mempertimbangkan jejak karbon dari pelanggan yang berkendara ke toko untuk membeli produk segar, maupun kemasan yang mungkin digunakan untuk beberapa buah dan sayuran di lingkungan ritel.
Namun, nilai umum emisi yang terkait dengan supermarket juga disertakan.
Hawes menekankan, intensitas karbon terendah dalam penelitian ini dikaitkan dengan beberapa lokasi pertanian perkotaan yang sangat berkelanjutan.
Bagian dari analisis ini, kata dia, mengungkap bahwa dengan mendaur ulang bahan-bahan untuk infrastruktur taman, menggunakan peralatan yang sama selama bertahun-tahun, dan menghindari bahan-bahan sintetis pupuk, Anda sebenarnya bisa menanam sayuran sendiri dengan jejak karbon yang sangat rendah.
Tanaman seperti tomat dan asparagus, yang dalam pertanian konvensional, dapat ditanam dalam jarak jauh atau memerlukan fasilitas rumah kaca yang boros energi, merupakan pilihan yang baik bagi pekebun yang ingin menanam tanaman sendiri sekaligus mengurangi jejak karbon.
Walau begitu, Sally Nex, penulis buku berjudul How to Garden the Low-Carbon Way, mengatakan bahwa dia sangat frustrasi dengan penelitian dan laporan berita tentang hal tersebut.
“Masalahnya adalah judul yang diambil orang dari berita tersebut,” kata Nex.
“Hal ini membuat orang tidak lagi menanam sayuran mereka sendiri,” ujarnya.
Nex berpendapat, banyak pekebun yang ingin menerapkan prinsip re-use, re-purpose, dan recycle (menggunakan kembali, memanfaatkan kembali dan mendaur ulang).
Tidak sedikit pula pekebun yang membuat pupuk sendiri dengan tanaman seperti jelatang atau tumbuhan semak comfrey, serta “tidak menggali” agar mengganggu tanah seminimal mungkin.
Tujuannya adalah mengunci karbon di tanah. Menambahkan kompos atau serpihan kayu ke bedeng taman, misalnya, memiliki efek yang sama.
Generasi baru pekebun sedang muncul, kata Nex. Dia menilai, merekalah orang-orang yang sangat sadar akan krisis iklim dan lingkungan yang rapuh.
“Ini adalah perubahan besar yang terjadi dalam berkebun. Model ‘gambut, pestisida, plastik’ yang lama sudah mulai punah,” ujarnya.
Nex menyarankan untuk menyimpan benih dari tanaman untuk digunakan selama musim tanam berikutnya guna mengurangi sebanyak mungkin ketergantungan pada sumber daya dari luar.
Para petani sayuran bahkan dapat melobi toko-toko pertanian dan meminta mereka berhenti menjual kompos yang mengandung gambut karena memanen bahan tersebut dari lahan gambut yang kaya karbon sangat tidak berkelanjutan.
Pemerintah Inggris telah berjanji untuk melarang penjualan kompos taman yang mengandung gambut pada akhir tahun 2024. Namun Nex menilai regulasi mengenai hal itu belum diajukan ke parlemen.
Larangan produk kebun tertentu yang berbahan dasar gambut telah ditunda hingga tahun 2030.
Di sisi lain, Owen berpendapat bahwa terdapat banyak manfaat yang lebih luas dari berkebun di petak-petak sewaan di perkotaan. Praktik itu, kata dia, membentuk komunitas.
"Orang-orang akan berkumpul, mereka akan minum teh dan kue bersama-sama," tuturnya.
Salah satu petak kebun di Isle of Dog dikelola oleh sekolah setempat. Petak-petak lainnya digunakan oleh sejumlah pasien medis dengan berbagai masalah kesehatan. Mereka menghabiskan waktu di kebun itu untuk meningkatkan kesehatan.
Sebuah studi pada tahun 2024 menganalisis dampak keanekaragaman hayati dari 39 kebun masyarakat di kota Munich dan Berlin, Jerman.
Riset itu menemukan, kebun-kebun tersebut merupakan surga bagi spesies tanaman yang terancam serta penyerbuk, terutama lebah liar.
Makalah yang ditulis oleh Hawes dan rekan-rekannya memang menyebutkan manfaat sosial. Namun Hawes mengakui bahwa makalah tersebut mengabaikan hal-hal lain, seperti manfaat mengambil alih kepemilikan atas persediaan pangan – atau dikenal sebagai kedaulatan pangan.
Hawes menegaskan penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menjelek-jelekkan pertanian perkotaan. Temuan ini hanya menyoroti tugas yang ada.
“Pertanian perkotaan, seperti banyak hal lainnya, perlu direncanakan dan dirancang agar efisien dalam hal karbon,” tuturnya.
Meskipun terdapat kekhawatiran mengenai metodologi yang digunakan, Owen mengatakan bahwa menurutnya penelitian ini menarik dan hal inilah membuatnya berpikir tentang dampak dari sepetak kebun sewaannya.
Owen menggunakan batang kayu lokal untuk membuat pagar. Dia menyimpan benih dan umbi dari tahun ke tahun, serta rutin membersihkan dan mengasah peralatannya agar dapat bertahan lama.
Dengan menanam beberapa tanaman, seperti labu yang menyebar, serta menggunakan penyangga vertikal, Owen memaksimalkan produktivitas ruangannya.
Jika Owen pergi ke swalayan untuk membeli setengah lusin apel, dia akan melihat tulisan Kenya tertera pada kemasan plastiknya, sebagai tanda lokasi produksi buah tersebut.
Namun Owen telah berhenti membeli buah dan sayuran semacam itu. Dia beralih sekotak apel yang tetap dingin dan segar di garasinya. Dia memiliki lusinan apel yang dia panen dan simpan dari panen baru-baru ini. (*)
Tags : Teknologi, Gaya hidup, Polusi udara, Lingkungan, Alam, Sains,