Headline Sorotan   2024/09/27 13:45 WIB

Benda Bersejarah Kerajaan Singasari dan Kerajaan Badung Bali Masih di Belanda, Arkeolog: 'Sebaiknya Dipulangkan ke Tempat Asal, Bukan di Jakarta'

Benda Bersejarah Kerajaan Singasari dan Kerajaan Badung Bali Masih di Belanda, Arkeolog: 'Sebaiknya Dipulangkan ke Tempat Asal, Bukan di Jakarta'
Ratusan benda bersejarah Kerajaan Singasari dan Kerajaan Badung Bali masih berada di Belanda.

"Ratusan ribu benda bersejarah yang disimpan di museum-museum Belanda kemungkinan dikembalikan ke Indonesia"

atusan ribu benda bersejarah Indonesia disimpan di museum-museum di Belanda. Kedua negara kini mendiskusikan kemungkinan pengembalian sejumlah benda kembali ke Indonesia.

Belanda mengembalikan keris milik Pangeran Diponegoro ke Indonesia dalam kunjungan Raja dan Ratu Belanda 10 Maret 2024 kemarin.

Pada akhir tahun lalu, Belanda juga mengembalikan 1.500 benda budaya Indonesia dari Museum Nusantara di Delft yang ditutup akibat keterbatasan dana.

Kini Indonesia dan Belanda tengah melakukan penelusuran asal usul sejumlah benda bersejarah lainnya yang ada di Belanda, sebelum memutuskan apakah benda-benda tersebut akan dikembalikan ke Indonesia.

Langkah itu, yang disebut Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai provenance research, dilakukan untuk memastikan apakah benda yang ada di Belanda itu diperoleh dengan cara 'tidak pantas'. 

Selain berlian Banjarmasin, Indonesia dan Belanda tengah membahas benda-benda lain, seperti bendera-bendera perang yang digunakan untuk melawan Belanda dalam era kolonialisme.

Belanda mengatakan wacana repatriasi bergulir dalam upaya 'menulis ulang sejarah Belanda'. 

Bagaimana wacana repatriasi bermula?

Gerakan pengembalian barang bersejarah dimulai di Perancis, yang mengembalikan sejumlah barang dari era penjajahan ke negara-negara di Afrika tahun 2018.

Setahun sebelumnya, Presiden Perancis Emmanuel Macron mengatakan Perancis akan mengembalikan barang-barang yang diperoleh secara paksa ke negara-negara di Afrika dalam kurun waktu lima tahun. 

Diskusi terkait hal itu akhirnya bergulir di negara Eropa lain, ujar Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid.

"Langkah Perancis ini disambut di seluruh Eropa. Inggris mulai berdiskusi, Belanda juga mulai berdiskusi," ujar Hilmar, yang mengestimasikan ratusan ribu artefak Indonesia ada di Belanda.

Seperti yang dilansir dari surat kabar Belanda NRC tanggal 7 Maret 2019, dalam artikelnya yang berjudul Koloniale Roofkunst [seni yang dicuri oleh negeri kolonial], museum di Belanda tidak akan menunggu sampai ada klaim dari negara yang pernah dijarah benda budayanya. 

Museum menawarkan terlebih dahulu mengembalikan benda budaya yang dikumpulkan pada masa pemerintahan kolonial, ujar Stijn Schoonderwoerd [direktur Nationaal Museum van Wereldculturen], yang diterjemahkan kurator Museum Nasional Indonesia, Nusi Lisabilla.

Meski sejumlah kalangan di Belanda mendukung pengembalian itu, Hilmar Farid mengatakan pengembalian akan melewati proses yang panjang.

Barang bersejarah apa yang jadi prioritas pengembalian?

Hilmar mengatakan barang-barang yang jadi prioritas pengembalian adalah yang punya nilai sejarah yang penting untuk masyarakat dan identitas Indonesia.

Contohnya, kata Hilmar, adalah bendera-bendera perang yang digunakan melawan Belanda.

"Buat saya simbol-simbol yang dulu digunakan dan memainkan peran sangat sentral di dalam perlawanan terhadap kolonialisme mestinya ada di sini," ujarnya.

"Itu secara simbolik berarti mengembalikan pride Identity' [kebanggaan identitas] kepada kita. Masa sih barang yang begitu penting adanya justru di tempat orang?"

Sebelumnya, dalam wawancara di bulan Januari lalu, Kepala Museum Nasional Siswanto mengatakan pihaknya selektif dalam meminta benda-benda bersejarah dari luar negeri.

"Kalau di sini banyak sekali, biarlah ada di sana [luar negeri]. Ada keramik 100 biji, bentuknya sama, buat apa kita bawa pulang? Biarin saja di sana," ujarnya.

Hilmar menambahkan teknologi digital sudah mengubah dunia museum, sehingga barang-barang dalam bentuk fisik, tak melulu harus dimiliki.

"Jadi filsafatnya hari ini mungkin 'memiliki itu bukan segalanya'. Tapi akses terhadap info terkandung didalam koleksi tersebut itulah yang mestinya jadi fokus kita," katanya.

Ia mengatakan yang paling penting adalah mengumpulkan koleksi dan merangkainya menjadi sebuah cerita.

"Itu lebih penting dari kualitas koleksinya. Koleksi indah tanpa cerita nggak akan jadi apa-apa. Jadi, saya nggak terlalu bernapsu. 'Ini nih koleksi yang bagus'. Tapi mau bikin apa? Ini buat saya lebih penting."

Bagaimana pedoman pengembaliannya?

Di tahun 2019, Museum Nasional Kebudayaan Dunia [yang mencakup Tropenmuseum, Amsterdam; Museum Volkenkunde, Leiden; Museum Afrika, Nijmegen] menerbitkan pedoman untuk merespons permintaan pengembalian barang-barang bersejarah oleh negara lain.

Hilmar Farid melihat pedoman itu sangat spesifik mengatur tentang pembuktian asal benda, bahkan juga mengatur bagaimana benda itu digunakan.

"Saya bilang 'ya nggak dong'. Kalau misalnya ini memang adalah sesuatu yang sifatnya mutual benefit, kita harus sama-sama dong menentukan term-nya," katanya.

"Jadi diskusi masih di sana. Sementara, nggak terlalu banyak masuk terlalu jauh sampai hal yang sifatnya praktikal karena yang prinsipil belum [disepakati]," katanya.

Menulis ulang sejarah Belanda

Dari sisi Belanda, ada keinginan Belanda untuk menulis ulang sejarah mereka.

"Kami dididik di sisi 'heroisme' di masa kolonial, tapi sekarang melalui riset, kami tahu ada beberapa pandangan terkait dengan periode ini," ujar Kepala Bagian Kebudayaan dan Komunikasi Kedutaan Besar Belanda, Yolande Melsert. 

Ia mengatakan penting untuk Belanda dan Indonesia menulis ulang sejarah itu bersama-sama, termasuk melalui koleksi-koleksi di museum.

"Jadi, penting untuk menulis ulang sejarah dan untuk menyusun koleksi-koleksi [di museum] untuk melihat di manakah koleksi itu harusnya berada. Saya pikir ini menarik karena ada cara pandang baru masyarakat terhadap hubungan bilateral kedua negara," katanya.

Hingga saat ini tahapan yang dilakukan kedua negara adalah menyelidiki asal usul barang bersejarah untuk memastikan apakah barang itu diperoleh dengan cara yang pantas [melalui pemberian atau jual beli] atau perampasan.

Namun, Hilmar Farid mengatakan, meski pun suatu barang dianggap diberikan, hal itu harus dilihat dalam konteks kolonialisme.

"Bahwa pemberian ini juga mungkin bukan sesuatu yang dilakukan dengan sukarela, penuh kesadaran dan sukacita. Ini juga konteks yang sangat penting bagi kita untuk memastikan itu," katanya.

Ia berharap di tahun 2021, Belanda dan Indonesia sudah sepakat dalam hal metodologi pengembalian dan hal-hal mengenai repatriasi lainnya.

Adakah pihak yang menolak?

Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Hilmar Farid (kiri), mengatakan repatriasi 288 benda cagar budaya asal Indonesia itu diperkirakan tiba di Indonesia awal Oktober 2024.

Kepala Bagian Kebudayaan dan Komunikasi Kedutaan Besar Belanda, Yolande Melsert mengatakan sejumlah kelompok di Belanda sudah bereaksi mengenai wacana pengembalian itu.

Ia mengatakan ada kelompok yang mempertanyakan haruskah benda-benda itu dikembalikan hanya ketika negara tujuannya sudah tahu cara menyimpan objek itu dengan benar.

"Ada juga yang mengatakan, jika benda itu memang milik sebuah negara, kami sebaiknya tidak ikut campur. Mereka beranggapan Belanda harus mengembalikan barang-barang yang diingini [Indonesia] dan mereka bisa memeliharanya sesuai dengan kemauan mereka," katanya.

Ia berharap, perbedaan pandangan ini dapat diselesaikan di kemudian hari, setelah dewan kebudayaan Belanda memberikan rekomendasi mereka mengenai wacana repatriasi itu di bulan Oktober 2020.

Dewan itu bekerja sesuai dengan permintaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Sains Belanda, ujar Melsert.

Sudah siapkah museum di Indonesia jika barang-barang dikembalikan?

Hilmar mengatakan sekarang ini saja, masih banyak koleksi-koleksi di museum nasional yang belum diketahui asal-usulnya.

"Jadi kita masih punya pekerjaan rumah yang cukup besar karena ada 196.000 item di Museum Nasional, [baru] 20% mungkin yang sudah terdata. Yang lain baru tercatat, baru ada fotonya, tetapi belum juga dilengkapi dengan macam-macam informasi," kata Hilmar.

"Sekarang ditambah 1.500 dari Belanda [yang datang Desember 2019] dengan kualitas informasi yang juga nggak sama. Jangan dikira di Belanda semuanya sudah rapi," katanya. 

Kurator Museum Nasional Nusi Lisabilla mengatakan Museum Nasional telah melakukan beberapa upaya untuk menyimpan benda-benda bersejarah dari luar negeri.

"Antara lain dengan pembangunan storage di Taman Mini Indonesia Indah [TMII], laboratorium konservasi koleksi, pengembangan basis data koleksi serta katalog digital informasi koleksi museum, ujarnya.

Ia menambahkan pengembalian itu tidak akan selalu menjadi koleksi museum nasional.

"Tawaran ini mungkin bisa memicu museum-museum di daerah untuk meningkatkan kualitas pengelolaan koleksinya," ujarnya.

Presentational grey line

Permintaan pengembalian barang-barang bersejarah ke Indonesia diajukan pertama kali oleh Mohammad Yamin selaku Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan tahun 1954, ujar kurator Museum Nasional Nusi Lisabilla Estuadiantin dalam Warta Museum tahun 2019.

Pengembalian pun, ujarnya, dilakukan sejak tahun 1970. Detilnya sebagai berikut:

  • Di tahun 1970, Ratu Juliana secara simbolis mengembalikan naskah Negarakertagama kepada mantan presiden Soeharto. Naskah itu baru benar-benar dikembalikan ke Indonesia tahun 1972. 
  • Di tahun 1977, pemerintah Belanda mengembalikan sejumlah benda budaya, antara lain Prajnaparamita, payung, pelana kuda, dan tombak Pangeran Diponegoro serta 243 benda pusaka Lombok hasil invasi militer di Puri Cakranegara tahun 1894.
  • Di tahun 2015, Belanda mengembalikan tongkat Kiai Cokro milik Pangeran Diponegoro.
  • Akhir tahun 2019, Belanda mengembalikan 1.500 benda budaya dari Museum Nusantara, Delft.
  • Pada bulan Maret 2020, Belanda mengembalikan keris Diponegoro.

Artefak diminta dipulangkan ke tempat asal

Pemerintah Belanda akan memulangkan 288 benda bersejarah yang dulu dijarah dari wilayah Nusantara di masa kolonial.

Sebagian benda-benda itu diyakini peninggalan Kerajaan Singasari dan Kerajaan Badung.

Ada usulan agar peninggalan bersejarah disimpan di museum lokal di Kota Malang dan Bali.

Bagaimana soal keamanan dan perawatannya?

Seorang arkeolog asal Kota Malang dan pemerhati budaya asal Bali meminta agar peninggalan itu nantinya dipulangkan ke tempat asalnya dan tidak disimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Benda-benda itu disebut punya arti besar bagi daerah mereka yang sudah ada sebelum Indonesia terbentuk menjadi negara, kata mereka.

Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Ristek, Hilmar Farid, mengatakan pengembalian 288 benda bersejarah itu adalah bagian agenda repatriasi yang telah disetujui melalui kesepakatan pemerintah Indonesia dan Belanda pada 2017.

Nantinya seluruh koleksi itu akan dikelola oleh Indonesia Heritage Agency dan dipamerkan kepada publik di Museum Nasional Indonesia pada 15 Oktober 2024.

Benda bersejarah apa saja yang dipulangkan?

Sebanyak 288 benda yang dirampas oleh pemerintah kolonial Belanda itu akan dikembalikan ke Indonesia.

Pemulangan tersebut merupakan lanjutan dari repatriasi pada 2023 yang menghasilkan kesepakatan pengembalian 472 benda cagar budaya asal Nusantara.

Di tahun ini, barang bersejarah yang direpatriasi terdiri dari arca Ganesha, arca Brahma, arca Nandi, dan arca Bhairawa.

Arca-arca tersebut merupakan bagian dari Candi Singasari di Jawa Timur yang dibangun antara abad ke-13 dan abad ke-14.

Arkeolog yang juga pemerhati sejarah kota Malang, Dwi Cahyono, menyebut semua koleksi itu bisa dibilang "masterpiece" di era Singasari.

Pasalnya benda tersebut adalah produk budaya yang sangat artistik lantaran dipengaruhi oleh kesenian Pāla dari India.

"Pada masa itu ada satu pengaruh kesenian India masuk ke Indonesia, gaya seni yang unggul di India itu disebut Pāla dan menjadi pusat peradaban India," jelas Dwi Cahyono.

"Nah kesenian itu berpengaruh hingga ke dinasti Sailendra di abad sembilan atau sembilan, setelah itu menghilang dan muncul lagi di era Singasari."

Karya-karya "masterpiece" itu, sebutnya, nampak dalam bentuk arca dan jumlahnya pun tak banyak—mengingat umur Kerajaan Singasari tak panjang hanya 70 tahun.

Raja Belanda Willem Alexander, kanan, dan Ratu Maxima, kedua dari kanan, berfoto bersama Presiden Joko Widodo Ibu Negara Iriana di depan keris Pangeran Diponegoro, di Istana Kepresidenan Bogor, 10 Maret 2020.

Dari benda-benda bersejarah tersebut tergambar kehidupan pada masa itu, ujarnya.

Mulai dari bagaimana para bangsawan berpakaian, senjata yang digunakan, hingga ragam budaya yang terjadi pada waktu lampau.

"Misalnya arca Ganesha itu banyak mendapatkan pengaruh tantrayana, menampilkan figur simbolik berbentuk tengkorak atau kapala. Ini kan menarik."

Sebagai gambaran arca Nandi berbentuk lembu jantan dalam posisi duduk di atas kelopak bunga teratai yang menjadi kepercayaan dari Dewa Siwa.

Nandi berhias kalung mutiara, untaian bunga, dan kalung dengan loncengnya dengan pelana bermotif daun di atas punggungnya. Nandi juga dikenal sebagai pelindung dari semua binatang berkaki empat.

Sedangkan arca Bhairawa adalah patung batu raksasa dalam bentuk dewa Siwa -dewa dalam agama Hindu yang dipandang sebagai dewa perusak alam semesta.

Bhairawa digambarkan berdiri di atas sekumpulan tengkorak manusia dengan mulut terbuka yang menampakkan gigi serta taring.

Selain menjadi simbol kehancuran, Siwa juga adalah simbol pembebasan spiritual bagi umat Hindu.

Dwi Cahyono memperkirakan benda-benda bersejarah milik Kerajaan Singasari ini dijarah pemerintah kolonial Belanda sekitar tahun 1800-an.

Di masa itu, katanya, ada semacam tren para pejabatnya membawa pulang barang yang dianggap sebagai 'memori' di tanah jajahannya.

"Jadi kayak souvenir," ungkap Dwi.

"Kemudian pada masa itu bermunculan museum-museum yang koleksinya sebagian dari negeri jajajan. Ada juga yang menjadi koleksi pribadi di rumah dan diperdagangkan secara gelap."

"Itu kenapa banyak kekayaan budaya Indonesia yang beragam bentuknya dan jenisnya melanglang buana ke berbagai negara."

Kini, ketika beberapa koleksi Kerajaan Singasari hendak dipulangkan, Dwi Cahyono meminta pemerintah untuk memastikan betul-betul keaslian benda-benda tersebut.

Sebab tak menutup kemungkinan ada duplikatnya.

"Zaman sekarang, ada saja 'tembakannya' atau duplikatnya. Makanya di kalangan perdagangan barang antik, harus betul-betul asli."

"Jangan sampai... moga-moga ya yang dikembalikan memang orisinal."

Selain arca dari Kerajaan Singasari, ada 284 benda lainnya dari Kerajaan Badung, Bali, yang juga akan dipulangkan.

Ratusan barang itu merupakan rampasan dari korban perang Puputan Badung pada 1906 yang berupa koin emas, berbagai macam perhiasan, keris, hingga daun pintu gerbang Puri Tabanan.

Peneliti manuskrip lontar Bali dan Jawa Kuno, Sugi Lanus, bercerita perang Puputan Badung berawal dari adanya seorang pedagang dari China yang mengaku kapal dagangnya berbendera Belanda dijarah.

Sang pedagang itu kemudian menghadap Raja Badung untuk meminta ganti rugi.

Raja Badung disebut tak terima rakyatnya dituduh mencuri sehingga enggan memberi ganti rugi. Permasalahan kemudian menjadi rumit hingga terdengar oleh pemerintah kolonial Belanda.

"Jadi alasan mencuri itu hanya alibi saja untuk menyerang," ujar Sugi Lanus.

"Meskipun Raja Badung sudah menyiapkan uangnya, tapi dia bilang ambil ketika saya mati."

"Setelah itu Raja beserta anak-anaknya ikut ke medan perang sambil melemparkan emas dan memakai pakaian terbaiknya."

Sugi Lanus menuturkan ada kepercayaan di kalangan Ksatria bahwa mati di medan perang adalah surga. Itu mengapa, katanya, perang Puputan Badung merupakan perang ideologis dan teologis.

Sebab sebelum berperang, mereka akan bersembahyang. Kemudian mengenakan pakaian terbaiknya termasuk perhiasan.

Jika ada prajurit yang masih hidup dalam peperangan itu, mereka akan melakukan apa yang disebut sebagai hara-kiri.

"Jadi mereka berbekal kemegahan dalam kematian," papar Sugi Lanus.

Karena itulah bagi masyarakat Bali, ratusan koleksi yang dirampas Belanda bukan emas atau perhiasan biasa, tetapi pusaka kerajaan.

Dwi Cahyono maupun Sugi Lanus meminta agar benda-benda peninggalan itu nantinya dipulangkan ke tempat asalnya dan tidak ditempatkan di Museum Nasional, Jakarta.

Karena bagaimana pun koleksi-koleksi itu punya arti besar bagi daerah mereka yang sudah ada sebelum Indonesia terbentuk menjadi negara.

"Repatriasai itu pulang ke tempat asal, yang artinya daerah asal, bukan negara asal. Itu perlu dipikirkan, karena itu sejarah daerah dan daerah juga butuh jejak-jejak sejarahnya," jelas Dwi Cahyono.

Di Malang, kata Dwi Cahyono, ada Museum Singhasari yang menyimpan peninggalan Kerajaan Singasari. Akan tetapi diakuinya kondisinya tidak terawat dengan baik.

Dengan kepulangan empat arca tersebut, menurutnya, bisa jadi momentum untuk merevitalisasi bangunan museum itu.

Namun demikian, dia juga memahami keamanan museum sangat kurang.

Karenanya Dwi Cahyono mengusulkan, sembari mendiskusikan proses pengembalian arca-arca itu ke Malang, pemda dan pemerintah pusat mau membenahi bangunan museum beserta keamanannya.

"Masyarakat di daerah itu berharap benda aslinya kembali, kalaupun ada di museum nasional duplikatnya saja, jangan terbalik. Masyarakat di Malang kan ingin lihat juga arca Bhairawa itu seperti apa?"

"Jadi kalau tetap di museum nasional, ya kami tetap gigit jari."

"Tapi itu semua tergantung kesiapan dan keamanan. Tidak asal-asalan. Jangan sampai di Malang malah hilang."

Dwi Cahyono juga mengusulkan, agar kepulangan arca-arca itu dibarengi dengan menggelar pameran keliling di Malang, bukan hanya di Museum Nasional, Jakarta.

Sebab artefak tersebut adalah kebangaan daerah dan bisa disebut sebagai jati diri orang Malang.

"Bahkan itu benda keramat," lanjutnya.

Sugi Lanus juga sependapat.

Ia merekomendasikan supaya benda pusaka dari Puputan Badung itu dikembalikan ke Bali. Entah dalam jangka waktu lima atau sepuluh tahun mendatang.

Yang pasti, pemulangan tersebut harus mulai dipikirkan.

"Sekarang disimpan di Jakarta, tapi tim untuk pengembalian ke Bali penting, karena benda-benda itu menjadi pembelajaran besar bagi masyarakat Bali," jelas Sugi Lanus.

"Bahwa harga diri orang Bali tidak bisa terbayarkan dengan nyawa."

Tim yang dimaksudnya itu, sambung Sugi Lanus, nantinya bakal memutuskan apakah benda-benda bersejarah tersebut dikembalikan ke keluarga kerajaan atau disimpan di Museum Bali.

Kalau dikembalikan ke keluarga kerajaan, ia khawatir tak aman.

Sementara jika diserahkan ke Museum Bali juga tak ada jaminan soal keamanan.

Dengan kondisi begini, dia berharap pemda Bali mulai memikirkan untuk merestorasi beberapa ruangan di museum sebagai tempat penyimpanan khusus.

"Kebetulan pula lokasi keraton Kerajaan Badung itu sekarang menjadi museum Bali."

Sugi juga menyebut pulangnya koleksi berharga ini sekaligus menjadi pengingat soal sejarah Bali.

Pasalnya, kata dia, ketika Belanda menjajah wilayah ini selama 39 tahun dan meruntuhkan keraton Kerajaan Badung sama saja menghapus jejak serta identitas masyarakat setempat.

"Yang jelas kami membutuhkan benda-benda itu dibuatkan museum untuk belajar tentang harga diri sebagai manusia Bali."

Apa tanggapan pemerintah?

Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi [Kemendikbudristek], Hilmar Farid, mengatakan repatriasi 288 benda cagar budaya asal Indonesia itu diperkirakan tiba pada awal Oktober 2024.

Kesepakatan pengembalian ratusan koleksi itu diawali kerja sama intensif antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda, ungkapnya

Dua negara itu disebutnya juga sudah menggelar studi provenans [meneliti sumber atau asal-usul kepemilikan temuan arkeologi] yang mendalam untuk memastikan keaslian dan asal-usul setiap benda.

Hilmar menekankan pentingnya upaya tersebut dalam pemulihan dan pelestarian identitas nasional.

"Pengembalian ini adalah bagian dari agenda repatriasi yang telah disetujui melalui nota kesepahaman atau [MoU] yang ditandatangani oleh kedua negara pada tahun 2017," ucapnya dalam keterangan resmi seperti dilansir Antara.

Ia melanjutkan, proses tersebut diawali dengan penandatanganan kesepakatan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda Eppo Egbert Willem Bruins di Wereldmuseum, Amsterdam, yang juga dihadiri oleh Duta Besar RI untuk Belanda, Mayerfas.

Kemendikbudristek telah menyusun serangkaian program khusus sebagai komitmen repatriasi, mencakup konservasi dan penelitian berkelanjutan yang akan dilakukan oleh para ahli.

"Kami akan menyiapkan program pendidikan dan kegiatan interaktif yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang nilai historis dan kebudayaan dari artefak-artefak tersebut," ucap Hilmar.

Artefak yang direpatriasi meliputi berbagai benda dari koleksi perang Puputan Badung yang diambil selama intervensi Belanda di Bali pada tahun 1906, dan arca-arca bersejarah dari Candi Singhasari di Jawa Timur.

Koleksi tersebut mencakup satu arca Ganesha, arca Brahma, arca Bhairawa, dan arca Nandi yang sebelumnya sudah dipulangkan pada repatriasi tahun 2023.

Ia menjelaskan, seluruh koleksi yang berhasil direpatriasi akan dikelola oleh Museum dan Cagar Budaya atau Indonesian Heritage Agency.

Benda-benda bersejarah itu juga akan dipamerkan dalam rangka pameran kembali Museum Nasional Indonesia yang akan dibuka untuk umum pada tanggal 15 Oktober.

Pameran ini disebut Hilmar tak hanya menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk melihat langsung artefak-artefak bersejarah itu.

"Tetapi," demikian Hilmar," juga menjadi ajang pembelajaran dan apresiasi terhadap perjuangan dan kerja keras Indonesia dalam memulihkan warisan budayanya."

Dia menambahkan penelitian asal-usulnya dapat meningkatkan wawasan mendalam tentang sejarah dan peran benda-benda itu dalam konteks peradaban Nusantara.

"Sehingga memungkinkan generasi saat ini dan yang akan datang untuk menghargai lebih dalam warisan budaya yang kita miliki," paparnya.

Dia lalu berharap repatriasi itu dapat memperkuat identitas budaya nasional, sekaligus simbol hubungan diplomatik yang semakin erat antara Indonesia dan Belanda. (*)

Tags : Belanda, Arkeologi, Sejarah, Indonesia, Belanda Pulangkan Ratusan Benda Bersejarah, Kerajaan Singasari dan Kerajaan Badung Bali, Artefak, Benda Bersejarah Dipulangkan ke Jakarta,