Nasional   2024/10/24 12:58 WIB

'Berapa 6+8, Mereka Jawab 12', Prabowo: Saya Kira Siswa Indonesia Perlu Lebih Dikenalkan Lagi Matematika Sejak TK

'Berapa 6+8, Mereka Jawab 12', Prabowo: Saya Kira Siswa Indonesia Perlu Lebih Dikenalkan Lagi Matematika Sejak TK
Di Estonia dan China, kelas matematika dan mata pelajaran lainnya berlangsung antara 40 dan 45 menit, dengan istirahat 10 hingga 15 menit setelah setiap kelas.

JAKARTA - Pemerintahan Prabowo Subianto berencana memperbaiki metode pembelajaran matematika, terutama di tingkat SD dan TK. Sebelumnya, sejumlah unggahan menunjukkan ketidakmampuan siswa dalam berhitung viral di dunia maya.

Beberapa unggahan yang menunjukkan ketidakmampuan pelajar sekolah menengah dalam membaca dan berhitung—kemampuan yang seharusnya telah dikuasai pada pendidikan dasar—viral di media sosial.

Contohnya, video seorang pembuat konten menanyakan hasil perkalian 6X5 kepada seorang siswa berpakaian seragam pramuka.

Siswi tersebut tak mampu menjawab soal matematika sederhana tersebut.

Demikian halnya ketika ditanya hasil penambahan 6+10, siswi yang mengaku kelas 9 itu menjawab 60. Jawaban semestinya 16.

Pada 2022 pelajar Indonesia memperoleh skor kemampuan matematika 366 poin, turun dibanding hasil penilaian PISA tahun 2015-2018.

Skor itu menempatkan Indonesia pada peringkat ke-6 dari 8 negara ASEAN yang ikut tes PISA. Di bawah Indonesia hanya tersisa Filipina dan Kamboja.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah yang baru saja dilantik Senin (21/10) lalu, Abdul Mu’ti, mengatakan Presiden Prabowo Subianto berniat memperbaiki metode pembelajaran matematika, terutama di tingkat sekolah dasar (SD) dan taman kanak-kanak (TK)

“Tadi ada tawaran bagaimana pelajaran matematika di tingkat SD, kelas 1-4 dan mungkin mengenalkan matematika untuk anak-anak di tingkat TK,” kata Abdul Mu'ti di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (22/10).

Apa biang kerok minimnya kemampuan membaca dan berhitung siswa di Indonesia dan apa yang kita bisa pelajari dari negara-negara lain?

‘Saya tanya berapa 6+8, mereka jawab 12’

Anas Baihaqi, seorang aparat sipil negara (ASN) di sebuah institusi pemerintah di Indonesia Tengah, mengalami langsung kondisi rendahnya kemampuan matematika dasar para siswa.

Ketika kantornya menerima empat siswa kelas 13 sekolah menengah kejuruan (SMK) untuk praktik kerja lapangan (PKL), dia mengaku kaget sekaligus prihatin saat mendapati empat pelajar tersebut tak memahami konsep penghitungan matematika dasar.

“Pas saya uji operasi hitungan sederhana aja mereka masih salah. Saya tanya berapa 6+8, mereka jawab 12. Saya tanya berapa nilai rata-rata dari 6 dan 8, mereka jawab enggak tahu. Katanya mereka enggak suka pelajaran matematika,” tulis Anas saat membagi pengalaman di akun Facebook miliknya, Senin (30/9).

Anas kembali dibuat kaget ketika para pelajar menengah atas itu tidak mampu membaca bilangan lebih dari tiga digit. Keprihatinannya semakin dalam.

“Sebelum saya mengajarkan fungsi Excel kepada mereka, materi yang saya ajarkan harus mundur jauh ke belakang, yaitu pelajaran matematika SD,” ungkapnya.

Unggahan Anas tersebut viral dan mengundang banyak komentar dan keprihatinan yang sama. Malah beberapa warganet mengaku menghadapi situasi serupa.

“Saya lihat mereka asalnya rata-rata dari Jawa, Kalimantan, Sumatera, ternyata ini me-nasional,” kata Anas kepada wartawan, Rabu (16/10).

Temuan sejumlah pelajar yang belum bisa berhitung di sekolah dasar dan menengah, bukan hal baru bagi Putri—yang ingin diidentifikasi dengan nama depannya—kepala sekolah di salah satu sekolah dasar di Kota Bandung, Jawa Barat.

“Perkalian dan pembagiannya belum dipahami utuh, masih diraba-raba agak lama waktunya. Dia bisa, hanya memerlukan waktu yang lama,” jelas Putri, menceritakan kondisi para siswanya yang mengalami kesulitan dalam berhitung.

Meski beberapa siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal perkalian dan pembagian, kemampuan berhitung anak didiknya, menurut Putri, masih lebih baik dibandingkan membaca.

Ketika mulai bertugas sebagai kepala sekolah pada 2022, dia mendapati sekitar 40 anak dari 540 anak didiknya belum bisa membaca.

Saat ini, Putri bilang saat ini sekolahnya menangani 17 siswa yang belum bisa membaca, mereka duduk di kelas 4, 5 dan 6.

Situasi yang dialami Putri, terjadi pula di sekolah dan daerah lain, ungkap Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar Forum Serikat Guru Indonesia (FSGI).

Menurutnya, fenomena itu telah lama terjadi, terutama di wilayah Indonesia Timur, seperti Papua.

“Di Papua itu banyak anak SMA enggak bisa baca karena sebenarnya ketika SD mereka sulit diajarkan oleh gurunya. Lalu situasi, medannya kan sangat berbeda,” kata Retno melalui sambungan telepon, Kamis (17/10).

Pada 5 Desember 2023 lalu, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) melaporkan hasil Program for International Student Assessment (PISA)—skor penilaian kualitas pendidikan Indonesia periode 2022 yang hasilnya turun signifikan.

Bahkan, skor literasi membaca Indonesia menjadi yang terendah di antara skor PISA tahun-tahun sebelumnya

Pada 2022 pelajar Indonesia memperoleh skor kemampuan matematika 366 poin, turun dibanding hasil penilaian PISA 2018 dengan skor 379. Skor itu menempatkan Indonesia pada peringkat ke-6 dari 8 negara ASEAN yang ikut tes PISA.

Di bawah Indonesia hanya tersisa Filipina dan Kamboja. Skor tersebut juga jauh di bawah skor rata-rata negara anggota OECD yang kisarannya 465-475 poin.

Penurunan juga terjadi di skor kemampuan literasi dan sains. Skor membaca turun 12 poin dari 371 di 2018 menjadi 359 di 2022.

Sementara, skor kemampuan sains turun 12 poin 396 di 2018, menjadi 359 di 2022.

Penurunan itu menyebabkan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi 2020-2024 di setiap indikator penilaian PISA tidak tercapai.

Target RPJMN kemampuan matematika adalah 388, literasi 396, dan sains 402.

Sebelumnya, tim peneliti RISE Indonesia membuat makalah—menggunakan soal-soal matematika tingkat sekolah dasar (SD) dari Indonesian Family Life Survey—yang memperlihatkan kemampuan matematika siswa di seluruh Indonesia menurun antara 2000 dan 2014.

Apa biang keladinya?

Pada tahun ajaran lalu, Putri mengaku meluluskan dua siswanya yang belum mampu membaca untuk lanjut ke sekolah menengah. Keputusan itu diambil dengan berbagai pertimbangan.

“Karena di Kurikulum Merdeka itu, anak harus lanjut [sekolah]. Dalam Kurikulum Merdeka harus seperti itu,” ungkap Putri saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (18/10).

Tahun ajaran ini, kata Putri, siswa kelas 4 dan 5 yang belum bisa membaca akan diputuskan tinggal kelas. Namun sebelumnya pihak sekolah akan melakukan sejumlah tahapan.

Setelah mendapat rekomendasi dari guru kelas, sidang istimewa yang melibatkan guru kelas, guru mata pelajaran bakal digelar untuk memutuskan nasib siswa tersebut.

“Jadi si anak jangan dulu [dinaikkan] ke kelas VI. Kemarin ada beberapa anak yang tinggal kelas karena belum bisa membaca, jadi di-adjust (sesuaikan) dulu di kelas IV dan 5. Nanti kelas 6 sudah siap untuk lulus,” sebut Putri.

Kendati sekolah sudah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kemampuan membaca, menulis, berhitung (calistung) siswa, Putri mengatakan persoalan tidak selesai begitu saja.

Kendala utama justru terletak pada minimnya dukungan orang tua atau keluarga.

Putri menyebutkan kondisi keluarga dan lingkungan sangat mempengaruhi kemampuan belajar anak didiknya.

Sekolah yang dipimpin Putri berada di lingkungan masyarakat urban dengan mayoritas keluarga ekonomi bawah.

Sementara orang tua siswa kurang memahami ilmu pengasuhan anak sehingga urusan pendidikan diserahkan ke guru.

“Di sini orang tuanya mungkin terlampau mencari ekonomi untuk menutupi kebutuhannya, sehingga anak itu dianggap [kemampuan] membacanya [menjadi] tanggung jawab guru dan dunia pendidikan,” terang Putri.

Selain itu, ada pula siswa yang masuk kategori anak berkebutuhan khusus.

Anak-anak dengan kondisi tersebut, kata Putri, termasuk ke dalam siswa dengan kemampuan calistung yang rendah.

Putri mengaku kesulitan menangani anak-anak dengan kondisi khusus tersebut lantaran tidak ada guru pembimbing khusus di sekolahnya.

Padahal pemerintah yang menetapkan sekolahnya menyelenggarakan pendidikan inklusi dan diharuskan menerima anak-anak berkebutuhan khusus.

“Dari 17 anak yang terjaring enggak bisa membaca, termasuk di antaranya anak berkebutuhan khusus. Di [sekolah] sini menerima anak inklusi, tapi enggak ada guru inklusi. Ini salah satu kekurangannya,” ungkap Putri.

“Jangankan guru inklusi (pembimbing khusus), guru ‘biasa’ juga kurang. Jadi saya akhirnya mengambil guru-guru honorer,” ujarnya kemudian.

Ketua Dewan Pakar Forum Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, menilai walau kurikulum sudah berganti ke Kurikulum Merdeka literasi dan numerasi tetap rendah karena sekolah tingkat dasar kelas tinggi justru kehilangan fokus pada calistung.

Menurut Retno, sekolah memaksakan nilai siswa memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM) meskipun siswa belum bisa calistung tingkat rendah.

“Hal ini terkait pula dengan banyaknya keluhan guru SMP/SMA yang mendapatkan siswa nilai calistung tinggi, tetapi ternyata belum bisa calistung,” kata Retno.

“Kemudian, kebebasan akses instan teknologi yang mengakibatkan siswa malas berpikir, terutama membaca. Selain itu, siswa mengandalkan aplikasi AI, chat GPT untuk mengerjakan soal atau tugas sekolah, tanpa berusaha memahami isinya,” ujar Retno kemudian.
Apa solusi pemerintah?

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah yang baru saja dilantik, Abdul Mu’ti, mengatakan bahwa dirinya bertemu Presiden Prabowo pada Selasa (22/10) untuk membas perbaikan metode pembelajaran, termasuk untuk pelajaran matematika.

“[Presiden Prabowo] tadi menekankan pentingnya kualitas pembelajaran matematika dan bagaimana metode pembelajarannya diperbaiki, termasuk di dalamnya konsekuensi untuk itu pelatihan guru matematika," kata Abdul Mu'ti usai pertemuannya dengan Presiden Prabowo di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat.

Dia bilang, ada opsi bahwa pelajaran matematika diperkenalkan di tingkat taman kanak-kanak (TK).

"Karena beliau sangat concern peningkatan kualitas sains teknologi dan kalau kita bicara sains teknologi kan salah satunya matematika."

“Dan tadi ada tawaran bagaimana pelajaran matematika di tingkat SD, kelas 1-4, dan mungkin mengenalkan matematika untuk anak-anak di tingkat TK," tuturnya.

FSGI merekomendasikan penguatan kompetensi guru tingkat dasar melalui beragam pelatihan pembelajaran berbasis literasi dan numerasi yang dibutuhkan guru.

Retno dari FSGI berharap program ini menjadi prioritas utama kepemimpinan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka selama lima tahun ke depan.

Selain itu, Retno mengusulkan, pemerintah daerah melakukan pemetaan terhadap anak-anak yang belum bisa membaca mulai dari pendidikan dasar hingga menengah.

Selain melakukan asesmen, kata Retno, pemerintah daerah perlu melakukan kunjungan ke orang tua siswa karena pengasuhan keluarga juga penting dalam mempengaruhi seorang anak belajar.

“Kalau sudah seperti itu, kita lihat bagaimana proses pembelajaran di sekolah anak-anak ini. Jadi faktor anak kesulitan atau lambat belajar itu tidaklah tunggal, bisa dipengaruhi dari dia bayi sampai bersekolah,” papar Retno.

Apa saja yang bisa dipelajari dari negara-negara lain?

Merujuk data PISA 2022, Singapura menjadi negara dengan kemampuan matematika siswa yang paling mumpuni, disusul Makau dan Taipei, China, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, Estonia, Swiss, dan Kanada. Adapun Indonesia berada di posisi 70.

Pusat Pendidikan dan Ekonomi Nasional (NCEE) di Amerika Serikat menyoroti lima karakteristik negara yang sukses dalam pengajaran matematika.

Fokus pada perhitungan, statistik dan probabilitas

Penguasaan kemampuan berhitung secara penuh merupakan prioritas di negara-negara yang melek angka, menurut NCEE. Banyak dari negara-negara itu mengajarkan konsep yang berkaitan dengan perhitungan, statistik dan probabilitas di usia dini, ketika anak-anak duduk di kelas I sekolah dasar.

Kurikulum belajar di Korea, misalnya, kerap diperbarui untuk memasukkan kelas-kelas seperti pemodelan statistik dan matematika yang berorientasi pada karir.

Di Ontario di Kanada, kurikulum matematika baru menambahkan pendidikan keuangan, penggunaan data, dan infografis.

Matematika diajarkan di mata pelajaran lain

NCEE berpendapat bahwa pengajaran matematika tidak terbatas pada kelas matematika, melainkan meresap ke seluruh kurikulum.

Seperti yang dilakukan Estonia dengan membuat proyek untuk mengintegrasikan matematika ke dalam pelajaran lain, dengan strategi terperinci untuk digunakan setiap guru.

Di kelas bahasa misalnya, siswa harus mengubah grafik dan tabel menjadi teks. Di kelas musik, mereka belajar merepresentasikan durasi notasi musik. Dan di kelas pendidikan jasmani, mereka belajar membandingkan penampilan olahraga.

Di Finlandia—negara yang secara tradisional menonjol dalam bidang pendidikan, siswa berusia 11 tahun diundang untuk merancang sebuah kota kecil, memilih profesi mereka dan bertindak sebagai konsumen dan warga dalam proyek tersebut.

Ini adalah strategi yang dalam pandangan para ahli NCEE, membantu memberi makna pada matematika dan mengurangi penolakan dan kecemasan siswa ketika dihadapkan pada angka dan rumus.

Kelas durasi pendek dan istirahat lebih banyak

Di Estonia dan China, kelas matematika dan mata pelajaran lainnya berlangsung antara 40 dan 45 menit, dengan istirahat 10 hingga 15 menit setelah setiap kelas.

Sebagai perbandingan, jam pelajaran di Indonesia biasanya berlangsung antara 40 dan 60 menit.

Tujuan dari kelas yang lebih pendek, menurut juru bicara NCEE Tracey Burns, berasal dari persepsi bahwa rentang perhatian siswa terbatas.

“Hal ini terkait dengan pemahaman tentang perkembangan anak dan, khususnya untuk anak kecil, rentang perhatian mereka—dan bagaimana Anda mengetahui jika Anda cemas, gelisah, lapar?”

“Penting untuk menyadari bahwa manusia memiliki rentang perhatian yang terbatas, dan jika Anda lelah, Anda tidak akan belajar sebaik saat Anda tidak lelah,” katanya.

Guru yang sangat terlatih dalam profesi yang kompetitif

Poin penting dari negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia adalah apresiasi terhadap guru.

Seperti yang terjadi di Singapura, negara dengan guru yang mempunyai kedudukan yang dihormati secara sosial dan digaji dengan baik.

Maka dari itu, proses rekrutmen guru di Singapura sangat ketat.

“Di Singapura, calon sarjana harus memiliki catatan akademis yang baik dan dinilai berdasarkan atribut pribadi, seperti hasrat untuk mengajar,” kata laporan NCEE.

“Guru matematika dasar dan menengah memiliki dua gelar sarjana, dalam ilmu matematika dan dalam pemikiran komputasi dan pendidikan.”

Selain itu, para guru di Singapura dan negara-negara juara matematika lainnya didukung oleh program pelatihan dan pendampingan yang ekstensif—serta kurikulum yang dirancang dengan baik dan tujuan yang jelas, menurut NCEE.

Penggunaan teknologi dan personalisasi pengajaran

Singapura memberlakukan pembatasan penggunaan telepon seluler di dalam kelas.

Namun pada saat yang sama, Kementerian Pendidikan Singapura meluncurkan platform pengajaran digital untuk membantu siswa membuat model dan mengerjakan latihan matematika.

Di Estonia, pemrograman telah menjadi mata pelajaran wajib.

Dan sejak dini, siswa belajar menganalisis data dan pola untuk memecahkan masalah.

“Saya pikir matematika adalah salah satu bidang dengan sejarah teknologi terbesar dalam pendidikan,” kata Tracey Burns. (*)

Tags : Prabowo Subianto, Indonesia, Pendidikan, Anak-anak ,