Bisnis   25-03-2025 4:33 WIB

Berbagai organisasi masyarakat Marak Minta THR Jelang Lebaran, 'yang Berimbas pada Dunia Usaha'

Berbagai organisasi masyarakat Marak Minta THR Jelang Lebaran, 'yang Berimbas pada Dunia Usaha'

JAKARTA - Jelang Lebaran, praktik pemerasan berbalut permintaan tunjangan hari raya (THR) dari berbagai organisasi masyarakat (ormas) kembali marak. Imbasnya, dunia usaha merugi triliunan rupiah. Apakah permintaan THR dari ormas bisa benar-benar diberantas?

Sebuah video yang beredar pada Kamis (20/03) dan belakangan viral di media sosial, menunjukkan seorang pria meminta jatah THR kepada salah satu perusahaan di Bantargebang, Kota Bekasi.

Dalam video tersebut, pria yang belakangan diketahui bernama Suhada mengaku "jagoan" dari Cikiwul.

Dia meminta satpam untuk mempertemukannya dengan bos perusahaan.

Jika tidak, dia mengancam akan menutup jalan akses ke perusahaan.

Di Tangerang, Banten, foto yang memperlihatkan surat-surat permintaan "THR" kepada perusahaan-perusahaan turut viral di media sosial.

Salah satu surat berkop surat lembaga yang beralamat di Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang, Banten.

Surat itu ditandatangani oleh ketua lembaga, lengkap dengan tanda tangan dan stempel berwarna biru.

"Kami meminta kepada perusahaan dan pengusaha yang berada di lingkungan kami untuk sekiranya memberikan dana THR. Besar kecilnya pemberian akan kami terima dengan senang hati," sebut tulisan pada surat itu.

Di Depok, Jawa Barat, beredar foto pula surat-surat permohonan THR dari tiga ormas kepada pemilik usaha.

Salah satu surat menyebut, "ingin mengajukan partisipasi/kebijakan Hari Raya untuk kegiatan social control keamanan di wilayah Kelurahan Kedaung Sawangan Depok."

Surat lainnya menyebut "bantuan" tersebut dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan program yang bisa "membantu aparat terkait dalam pengamanan di tempat-tempat yang rawan sebagai social control dan kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya."

Beberapa surat tersebut mencantumkan alamat dan nomor kontak di bagian kop surat.

BBC News Indonesia berusaha untuk menghubungi nomor-nomor itu beberapa kali, tapi tidak dijawab.
Bagaimana pengalaman pengusaha?

Tri, salah seorang pengusaha di Kota Tangerang, memiliki 300 anak buah yang bekerja di 150 konter yang tersebar di Tangerang Selatan dan Jakarta Barat.

Dia mengaku resah dengan adanya tradisi minta THR yang dilakukan sekelompok ormas. Tahun ini, katanya, masih ada permintaan tersebut.

"Ada yang sampai proposal ke toko," ujar Tri kepada wartawan Muhammad Iqbal yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, pada Kamis (20/3), 10 hari menjelang Lebaran.

Semua permintaan yang masuk di konter-konternya berbentuk proposal.

"Jakarta Barat dan Kembangan itu bahasanya 'pengamanan Lebaran'," kata Tri.

Buat kelompok-kelompok ini, Tri akan memberikan uang "seadanya"—tanpa menyebutkan angkanya.

Di wilayah Tangerang Selatan, menurut Tri, ada beragam kelompok mengatasnamakan ormas.

"Kalau di Tangsel kebanyakan ormas, seperti di Pondok Aren, Jombang dan Pondok Kacang. Mereka rata-rata oknum modal foto copy," ujarnya.

Permintaan ini diakuinya memberatkan karena pada saat yang sama dirinya masih berupaya untuk memberikan THR pada ratusan pegawai yang bekerja padanya.

"Yang bekerja untuk saya saja sampai saat ini belum turun [THR]. Lagi enggak bagus ekonomi, lagi kacau," keluhnya.

Tri berharap pemerintah dan aparat bisa tegas menertibkan apa yang terjadi saat ini.

Bagaimana tanggapan ormas?

Samsul, ketua Pengurus Anak Cabang Pemuda Pancasila Kecamatan Pinang, Kota Tangerang, Provinsi Banten, memastikan anggotanya tidak pernah terlibat dalam permintaan THR di wilayahnya.

"Enggak pernah dan memang enggak ada kami menyurati pengusaha untuk permintaan THR bagi kepentingan pribadi," tegas Samsul.

Kata dia, selama ini ormas yang dinaunginya hanya melakukan kegiatan sesuai dengan aturan dan tata tertib yang berlaku di organisasinya

Keberadaan ormas di masyarakat katanya berfungsi untuk membantu pemerintah dan menjaga keamanan lingkungan.

"Kami di sini sebagai kontrol, membantu pemerintah dan masyarakat. Jika ada kesalahan ya memang hanya dilakukan oleh oknum," sebutnya.

Apa imbas permintaan ormas terhadap dunia usaha?

Pengusaha sekaligus Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, Shinta Kamdani, mengaku telah mendengar dan menampung banyak keluhan dan keresahan dari para pelaku usaha di lapangan soal permintaan berbagai ormas.

"Dari keluhan-keluhan yang masuk, modusnya memang bermacam-macam dari mulai pungutan liar, uang keamanan, jatah proyek, jatah THR, dan lain-lain," jelasnya.

Akibat praktik ini, para pengusaha harus menanggung kerugian akibat biaya tambahan.

"Ulah premanisme ini juga sampai menyebabkan gangguan keamanan dan menghambat operasional industri," katanya.

Menurut Shinta, praktik ini tidak hanya merugikan pemilik perusahaan.

"Gangguan yang muncul akibat tindakan semacam ini dapat memicu peningkatan biaya berusaha, meningkatkan ketidakpastian dalam berbisnis, serta menurunkan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia," paparnya.

Jika hal demikian terus terjadi, kata Shinta, daya saing Indonesia sebagai tujuan investasi akan menurun.

Ketua Himpunan Kawasan Industri, Sanny Iskandar, mengatakan kepada Kompas.com bahwa gangguan ormas hampir terjadi di semua kawasan industri di Indonesia, terutama di daerah seperti Bekasi dan Karawang, Jawa Barat.

Sanny memperkirakan, total kerugian yang ditimbulkan bisa mencapai ratusan triliun rupiah, baik dari investasi yang tidak jadi masuk ke Indonesia maupun dari biaya tambahan yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mengatasi masalah ini.

Apa respons pemerintah?

Presiden Prabowo Subianto telah menaruh sorotan terhadap praktik ini dan meminta aparat hukum mengambil tindakan tegas.

Hal itu disampaikan oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan usai bertemu Presiden Prabowo di Istana Kepresidenan (19/03).

"Presiden tadi memerintahkan TNI, Polri, dan Kejaksaan untuk menindak hal-hal seperti itu. Nanti dipelajari dengan baik. Pokoknya harus tertib," ujar Luhut seperti dikutip Kompas.com.

Sementara itu Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Todotua Pasaribu, mengatakan pemerintah akan menempuh langkah hukum untuk menyelesaikan keluhan pengusaha atas aktivitas ormas yang meminta THR.

"Kita terus berkoordinasi dengan para aparat hukum untuk bisa menyelesaikan itu," katanya, seperti dikutip situs Kompas.com.

Dalam keterangan tertulis, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Trunoyudo Wisnu Andiko, mengatakan setiap laporan yang masuk dari pengusaha akan ditindaklanjuti secara serius.

"Polri tidak akan menoleransi segala bentuk premanisme yang mengancam investasi dan stabilitas ekonomi nasional," tambahnya lagi, seperti yang dikutip kantor berita Antara.

Seberapa sulit menghilangkan preman(isme)?

Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, mengatakan pemerasan berkedok meminta THR kepada pengusaha tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi.

"Ada situasi umum perekonomian Indonesia yang makin berat, makin lesu. Pemerintah sibuk omon-omon tidak pernah men-deliver janjinya. Sibuk dengan program populis yang semuanya makan duit," tukasnya.

Dia menggarisbawahi bahwa praktik tersebut tidak eksklusif dilakukan oleh para preman. Aparat, kata dia, juga bisa melakukan tindakan tersebut.

"Ada aparat TNI, Polri, Pemda, Imigrasi, Satpol PP. Mereka meminta sesuatu dari pengusaha karena mereka punya kewenangan," sebutnya.

Semuanya, kata Adrianus, mempraktikkan tindakan yang disebutnya premanisme.

"Premanisme itu suatu keyakinan bahwa dengan model kegiatan preman, seseorang bisa dapat duit. Sulit untuk menghilangkan praktik premanisme karena semua orang mendapatkan manfaatnya," ujarnya.

Menurut Adrianus, praktik minta jatah THR ini akan terus berulang dan bisa terjadi dalam berbagai bentuk.

"Sepanjang sejarah, pengusaha swasta selalu dilihat sebagai sapi perah yang bisa dieksploitasi dengan berbagai alasan. Minta THR, minta pekerjaan, minta jadi vendor," jelasnya.

Apakah permintaan THR dari ormas bisa benar-benar diberantas?

Preman dan premanisme telah berakar lama di Indonesia.

Beberapa sejarawan, semisal Onghokham dan Henk Schulte Nordholt, telah mengaitkan premanisme dengan merebaknya fenomena "jago" di Jawa pada abad ke-19.

Nordholt (1991) menyebut 'jago' adalah 'pahlawan lokal', makelar kekuasaan, kriminal, sekaligus seorang yang sakti. Mereka meneguhkan kekuasaannya lewat intimidasi dan kekerasan, serta muncul dari absennya administrasi dan kekuasaan negara di tingkat lokal.

Pada masa Revolusi, tidak hanya tentara saja yang terlibat dalam perjuangan militer. Laskar-laskar jago/preman bersama pemuda juga ikut melawan Belanda.

Kevin O'Rourke, jurnalis dan penulis buku Reformasi: The struggle for power in post-Soeharto Indonesia, menyebut Orde Baru juga memanfaatkan organisasi paramiliter semacam Pemuda Pancasila dan Pemuda Panca Marga untuk tugas-tugas 'memelihara rezim.'

Ricardi S. Adnan selaku Guru Besar Bidang Sosiologi Universitas Indonesia, menilai pejabat pemerintah justru belajar dari politik adu domba atau divide et impera ala penjajah Belanda untuk menjalankan kontrol sosial.

Kelompok sipil yang menentang kebijakan tertentu, sengaja dihadapkan dengan kelompok sipil lainnya—dalam hal ini ormas—yang sebenarnya adalah kepanjangan tangan pemerintah.

"Jadi, menghadapi massa dengan massa juga," kata Ricardi.

"Kalau ada yang mengganggu gugat, dia tidak perlu repot, bisa ditangani [kelompok] yang sudah dibina selama ini."

Di sisi lain, para anggota ormas yang "dibina" merasa memiliki beking kuat, sehingga berani bertindak semena-mena di lapangan layaknya preman, imbuhnya.

Setelah masa Reformasi keterlibatan dan dukungan negara pada organisasi-organisasi ini melemah.

Tapi itu bukan berarti praktik dan keberadaan organisasi preman menghilang.

Sebaliknya, peneliti Ian Wilson dalam artikelnya Continuity and Change: The Changing Contours of Organized Violence in Post-New Order Indonesia menyebut semangat desentralisasi dan 'demokratisasi' era Reformasi juga turut menyuburkan tumbuhnya organisasi-organisasi preman di tingkat lokal.

Mereka tidak bergantung pada patron negara, tidak terpusat, saling berkompetisi untuk memperebutkan remahan-remahan sumber ekonomi, dan menawarkan jasa 'keamanan' pada sektor-sektor swasta, termasuk pemilik-pemilik pabrik untuk menakut-nakuti pekerja, membubarkan unjuk rasa, dan mengintimidasi jurnalis.

Organisasi preman ini, menurut dia, lahir sebagai produk dari kemiskinan dan pengangguran.

Jadi, apakah permintaan THR dari ormas bisa benar-benar diberantas?

Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, tidak melihat keseriusan pemerintah untuk memberantas premanisme, yang jadi pangkal permintaan THR dari ormas.

"Tidak ada kegiatan jangka panjang dan berkelanjutan dan komprehensif agar praktik ini hilang". (*)

Tags : Muslim, Bisnis, Pemolisian, Ekonomi, Masyarakat, Indonesia,