PEKANBARU - Relawan Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN) melihat ada kejanggalan soal lahan seluas 12.600 hektare bekas konsesi milik PT Rimba Seraya Utama (RSU) yang izinnya sudah dicabut Menteri LHK.
"Lahan konsesi seluas 12.600 hektare itu kini sudah ditanami kelapa sawit. Tapi yang menjadi pertanyaan kami siapa yang menguasainya," tanya Ketum GARAPAN, Larshen Yunus mengungkapkan didepan media, Selasa (26/8).
Sebelumnya, diareal lahan konsesi itu pernah terjadi konflik antara masyarakat yang nyaris saja pecah di Kabupaten Kampar, pasca terbitnya Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tentang persetujuan pengelolaan hutan kemasyarakatan (HKm) di wilayah tersebut.
"SK Menteri LHK bernomor 11490 tahun 2024 itu, memberikan hak kelola HKm kepada Kelompok Tani Hutan (KTH) Bersatu Abadi Jaya seluas 1.269 hektare," jelas Larshen.
Ribut-ribut terjadi setelah pihak KTH Bersatu Abadi Jaya hendak melakukan penandaan batas HKm.
Warga petani kelapa sawit menolak keras. Aparat kepolisian pun turun tangan mencegah bentrok.
Penolakan masyarakat lantaran mereka mengklaim lebih dulu telah mengelola areal hutan tersebut dengan bercocok tanam komoditi kelapa sawit.
Di lapangan, memang sudah tumbuh kelapa sawit produktif berumur belasan tahun. Warga menilai penerbitan HKm sebagai bentuk perampasan sepihak atas kebun kelapa sawit mereka, bermodalkan secarik kertas SK.
Pihak Kementerian Kehutanan dikabarkan telah memberi atensi pasca konflik terjadi. "Tetapi sudah menjadi tanggungjawab Kementerian Kehutanan (dulu bernama KLHK) sebagai pemberi izin tak bisa dilepaskan dari masalah ini," terangnya.
Belakangan, Dinas LHK Provinsi Riau pada Rabu 21 Mei 2025 lalu menggelar rapat untuk memfasilitasi.
Rapat dilakukan sebagai tindak lanjut surat pengaduan Kepala Desa Pantai Raja, Kecamatan Perhentian Raja, Kabupaten Kampar ke Dinas LHK Riau.
Kades Pantai Raja dalam suratnya meminta agar SK penetapan HKm tersebut dibatalkan.
Plt Kadis LHK Riau, Embiyarman mengambil inisiatif menggelar pertemuan. Namun, sejauh ini belum diperoleh informasi soal hasil rapat tersebut.
Menurut Larshen, konflik yang terjadi pada areal Hutan Kemasyarakatan (HKm) Bersatu Abadi Jaya itu, bisa disebut sebagai gejolak kecil dari riwayat konflik berkepanjangan yang terjadi di wilayah Kecamatan Kampar Kiri Hilir, Kampar.
Areal HKm yang diperebutkan itu, merupakan bagian dari bekas konsesi PT Rimba Seraya Utama (RSU).
Pada tahun 1996 silam, Menteri Kehutanan memberikan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) Pola Transmigrasi kepada PT RSU.
PT RSU terafiliasi dengan Panca Eka Grup, yang pada masanya dikenal sebagai salah satu raksasa perusahaan kehutanan di Riau.
Adapun luasan konsesi HTI yang diberikan kepada PT RSU mencapai 12.600 hektare. Ironisnya, sejak izin diterima, konon PT RSU tidak pernah berhasil melakukan kegiatan.
Bahkan, PT RSU dituding telah meninggalkan areal kerja yang diberikan Kementerian Kehutanan.
Sejumlah alibi muncul. Perusahaan mengaku menghadapi banyak tantangan dan gejolak dari masyarakat setempat sehingga tidak bisa melakukan usaha.
Tapi, fakta lain juga muncul. Lahan HTI tersebut ternyata disulap sebagian menjadi kebun kelapa sawit. Muncul nama PT Agro Abadi di areal tersebut.
Perusahaan ini kerap dihubungkan memiliki kaitan dengan Panca Eka Grup. Bahkan, sebuah pabrik kelapa sawit berdiri di dekat areal konsesi HTI tersebut.
Okupasi areal HTI makin massif. Kelompok masyarakat maupun individu pun mulai membuka kebun sawit. Diduga terjadi praktik jual beli lahan hutan di areal ini.
Konon kabarnya Roy Chandera disebut sebut sebagai, Diirektur PT Agro Abadi dihubungi ponselnya tidak pernah aktif.
Sementara, RSU sebagai pemegang izin konsesi perusahaan dinilai tidak bisa mengamankan areal kerjanya.
Sempat terjadi gugatan antara PT RSU dengan PT Air Jernih yang mengelola kebun sawit di areal tersebut. Namun, meski sudah berkekuatan hukum tetap, putusan perkara tersebut tak kunjung pernah dieksekusi.
Pada sisi lain, alih fungsi areal kerja PT RSU makin berlangsung masif. PT RSU makin kehilangan kendali sehingga areal kerjanya terus digerogoti.
Masyarakat terus berdatangan dan muncul kantong-kantong pemukiman. Sampai di sini, PT RSU bisa dinilai gagal menjalankan amanah negara atas izin yang diterimanya. Patut dimintai pertanggungjawaban dari manajemen PT RSU.
Pembiaran negara yang terlalu lama terhadap kegagalan PT RSU, membuat masalah penguasaan areal konsesi perusahaan makin ruwet.
Penguasaan hutan makin tak terkendali, dan melibatkan banyak aktor-aktor.
Baru, pada tahun 2018 silam, Menteri LHK Siti Nurbaya mengambil keputusan tegas: mencabut izin hutan tanaman Industri PT RSU.
Pencabutan izin konsesi PT RSU ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri LHK nomor: SK.457/Menlhk/Setjen/HPL.0/10/2018 tanggal 30 Oktober 2018.
Dalam salinan SK Menteri LHK tersebut, diketahui kalau Menteri LHK sebelumnya telah memberikan peringatan sampai tiga kali kepada PT RSU. Namun, peringatan demi peringatan diterbitkan, tanpa ada kemampuan PT RSU untuk menindaklanjutinya.
Tapi, pencabutan izin konsesi PT RSU tersebut nyatanya tak membuat masalah selesai. Di atas kertas, PT RSU telah kehilangan kendali atas areal hutan yang sebelumnya diterimanya. Namun di lapangan, justru lahan hutan seluas 12.600 hektare tersebut menjadi 'sasaran' penjarahan.
Dalam diktum SK Menteri LHK tentang pencabutan izin konsesi PT RSU, Menteri LHK Siti Nurbaya memang memberikan penugasan kepada Gubernur Riau untuk melakukan perlindungan terhadap areal hutan eks PT RSU sampai ada penetapan lebih lanjut.
Tapi, tidak dijelaskan secara detil bentuk-bentuk perlindungan hutan yang harus dilakukan.
Gubernur Riau juga ditugaskan mengurus serta mengawasi barang-barang tidak bergerak yang terdapat di dalam areal eks HTI PT RSU.
Berdasarkan ketentuan, aset dan barang-barang tersebut menjadi milik pemerintah tanpa ganti rugi.
Sedangkan terhadap barang-barang bergerak digunakan sebagai jaminan, apabila masih ada tunggakan atau kewajiban lain yang belum dilunasi PT RSU kepada pemerintah.
Tapi tampaknya, penugasan Menteri LHK kepada Gubernur Riau itu tidak berjalan semestinya. Gubernur Riau ibaratnya disuruh Menteri bertempur, tanpa dilengkapi persenjataan yang memadai.
Banyak tumpukan masalah, secara khusus di sektor kehutanan yang harus diurus oleh Gubernur Riau melalui Dinas LHK. Dari segi SDM dan kemampuan anggaran daerah juga terbatas. Masalah justru dilimpahkan ke pemerintah daerah.
Kini, lahan eks konsesi PT RSU ibarat bara panas. Sekali memegang, maka harus berhadapan dengan banyak kepentingan, aktor-aktor penguasa yang suka memburu lahan.
Kementerian LHK seharusnya tak mendelegasikan kewenangannya begitu saja ke Gubernur Riau.
Kementerian Kehutanan semestinya turun langsung mengatasi persoalan tersebut, khususnya memulihkan dan mengembalikan areal hutan itu kepada negara.
Larshen berharap Satgas PKH turun tangan soal lahan konsesi milik RSU ini.
"Mereka diyakini bisa membereskan masalah di lahan eks konsesi PT RSU."
"Tanpa menunggu waktu, Satgas PKH harusnya segera turun tangan melakukan penerbitan," kata Larshen.
"Satgas PKH harus segera memetakan aktor-aktor yang bermain di lahan eks konsesi PT RSU. Dengan gebrakan nyata yang sudah dilakukan Satgas PKH selama ini, diyakini masalah tersebut bisa diurai bak sudah seperti benang kusut," sebutnya.
Atau mungkin, kata Larshen Yunus lagi, langkah radikal yang bisa dilakukan pemerintah dengan menjadikan seluruh areal eks konsesi PT RSU sebagai objek perhutanan sosial (PS) secara cermat, ketimbang lahan tersebut kini dikuasai entah oleh siapa, untuk siapa yang layaknya seperti antah barantah. Gak jelas. (*)
Tags : pt rimba seraya utama, pt rsu, lahan konsesi pt rsu, izin lahan bekas konsesi rsu dicabut lhk, lahan bekas konsesi rsu diperebutkan,