JAKARTA - Vaksin Covid-19 buatan Indonesia yang dikenal sebagai Vaksin Merah-Putih diharapkan dapat segera masuk tahap uji klinis dan mengantongi izin penggunaan darurat (EUA) pada pertengahan 2022.
Pengembangan vaksin ini, yang direncanakan menjadi bagian dari program imunisasi massal atau ditawarkan sebagai booster, sekaligus menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk membangun kapasitas produksi vaksin secara mandiri. Vaksin Merah-Putih disponsori oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan dikembangkan oleh tujuh lembaga ilmu pengetahuan di Indonesia, yang mencoba berbagai platform. Ini berbeda dengan Vaksin Nusantara, yang digagas eks-Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
Dikembangkan sejak pertengahan tahun lalu, Vaksin Merah-Putih menggunakan isolat virus corona yang beredar di Indonesia. Di antara tujuh lembaga yang mengembangkan Vaksin Merah-Putih, Lembaga Biologi Molekular Eijkman dan Universitas Airlangga memimpin 'balapan' ini. LBM Eijkman, yang mencoba platform protein rekombinan, disebut sudah menyelesaikan fase penelitian di laboratorium dan sedang dalam proses transisi ke fase industri.
Eijkman bekerja sama dengan perusahaan pelat merah, Biofarma, dalam membuat bibit vaksin dan diharapkan dapat memulai uji praklinis pada hewan dalam beberapa bulan ke depan. "Kita masih harus melakukan berbagai penyesuaian untuk masuk ke skala yang jauh lebih besar," kata Profesor Amin Soebandrio, direktur LBM Eijkman.
Prof. Amin menargetkan untuk memulai uji klinis pada tahun depan dan mendapatkan Izin Penggunaan Darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada September 2022. "Diharapkan bisa lebih cepat. Untuk dapat EUA tidak harus tunggu sampai uji klinisnya selesai," imbuhnya.
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menargetkan program vaksinasi rampung pada Januari 2022, dengan cakupan 208,2 juta warga. Indonesia selama ini menggunakan vaksin buatan luar negeri, seperti Sinovac (China), Oxford-Astrazeneca (Inggris), dan Pfizer (Amerika Serikat). Namun target itu baru jumlah yang dibutuhkan untuk mencapai hal yang disebut kekebalan kawanan alias herd immunity, yaitu sekitar 70% dari populasi. Jadi akan masih ada cukup banyak orang yang membutuhkan vaksin, kata Prof. Amin.
"Nah itu yang diharapkan bisa di-cover oleh Vaksin Merah-Putih selain untuk dosis ketiga bahkan untuk dosis selanjutnya, kita belum tahu apakah diperlukan booster injection satu kali lagi atau dua kali lagi."
Adapun para peneliti di Universitas Airlangga (Unair) tampaknya sudah selangkah lebih maju. Vaksin yang mereka kembangkan sudah masuk uji praklinis kedua, menggunakan hewan uji monyet dan mencit. Ketua peneliti Vaksin Merah-Putih di Unair, Profesor Fedik Abdul Rantam menjelaskan bahwa uji praklinis kedua akan mengetes kemampuan vaksin menginduksi antibodi serta keamanan, efek samping, dan efikasi atau kemanjurannya. Ia mengatakan "sangat optimis" bisa mendapat izin dari BPOM pada Maret 2022. "Saat ini sedang running, hasilnya kita pantau dari hari ke-14, 21, itu baik. Jadi kami sangat optimis," katanya dirilis BBC News Indonesia.
Unair awalnya mencoba platform adenovirus tapi kemudian beralih ke inactivated virus atau virus yang dimatikan, setelah menjalin kerja sama dengan perusahaan swasta PT Biotis Pharmaceutical Indonesia. Perusahaan yang berbasis di Bogor itu sudah memiliki fasilitas untuk pengembangan vaksin flu burung dan pada Agustus lalu mendapatkan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dari BPOM untuk memproduksi Vaksin Merah Putih. Prof. Fedik mengatakan, diharapkan pada bulan September ini Unair dan Biotis dapat memproduksi vaksin dalam jumlah yang cukup banyak untuk uji klinis fase 1.
Akankah efektif melawan varian baru?
Vaksin Merah-Putih dikembangkan dari isolat virus yang beredar di Indonesia pada awal wabah. Sejak itu telah muncul berbagai varian, termasuk varian Delta yang sekarang mendominasi. Ada kekhawatiran bahwa vaksin yang ada saat ini akan kurang efektif melawan varian baru, meskipun WHO mengatakan vaksin dengan efikasi 50% masih layak digunakan.
Prof. Amin Soebandrio mengatakan pihaknya terus mencermati varian virus yang mendominasi di Indonesia, dan apakah ia masih dapat dikenali oleh antibodi pasca-vaksinasi. Jika tidak, maka akan dilakukan penyesuaian. Namun proses penyesuaian itu akan lebih singkat karena platform-nya sudah ada, sehingga tidak perlu mulai dari awal lagi, kata Prof. Amin. "Karena belum tentu Delta lho. Kita belum tahu beberapa bulan ke depan apakah masih Delta atau akan ada varian baru lagi. Ini kan sangat dinamis," ujarnya.
Menurut Prof. Amin, beberapa perusahaan vaksin di luar negeri dapat lebih cepat mengembangkan vaksin untuk Covid-19 karena mereka sudah mengembangkan platform sejak era wabah SARS dan MERS. Mereka hanya perlu mengganti virusnya. Sementara Prof. Ferdik yakin bahwa vaksin yang dikembangkan Unair masih efektif karena dalam materi genetik virus terdapat bagian-bagian yang tidak mudah berubah alias conserved.
Ia mengatakan bahwa platform inactivated virus yang digunakan Unair dapat menghasilkan vaksin yang "cukup komprehensif" karena memiliki empat jenis protein imunogenik, yang dapat menginduksi antibodi, untuk menetralkan virus. Untuk membuktikannya, para peneliti melakukan "uji tantang" dengan memaparkan vaksin pada serum dari orang-orang yang terinfeksi varian delta, juga menyuntikkannya pada hewan uji yang kemudian diinfeksi dengan varian-varian baru. "Dan nampaknya tidak ada yang positif [Covid-19], artinya berarti dinetralisir," klaim Prof. Fedik.
Bagaimanapun, imbuhnya, keefektifan suatu vaksin sangat dipengaruhi oleh dosis dan waktu penyuntikannya. Formulasi itulah yang sedang dicari dengan uji praklinis. "Jadi makanya kita harus mencari dosis yang tepat, aplikasi yang tepat, kemudian kita menyediakan vaksin dengan teknologi yang tepat maka protein itu tetap utuh, tidak rusak. Itu harapan kami sehingga punya kemampuan untuk menetralisir virus-virus yang baru," kata Prof. Fedik.
Salah satu tantangan yang mungkin akan dihadapi Vaksin Merah-Putih adalah uji klinis. Untuk melakukan uji klinis, dibutuhkan populasi yang belum divaksinasi di mana penyebaran virus corona belum terkendali. Sementara di Indonesia, program vaksinasi terus berjalan dengan lambat tapi pasti — sejauh ini, jumlah warga yang mendapatkan dua dosis vaksin mencapai sekitar 18% dari target. Seiring semakin banyak orang yang divaksinasi, akan semakin sulit menemukan subjek untuk uji klinis.
Prof. Amin mengatakan uji klinis mungkin akan dilakukan di daerah-daerah luar Jawa-Bali yang belum tersentuh vaksin. Ada juga pilihan melibatkan negara-negara lain yang belum mendapat akses yang cukup terhadap vaksin Covid. Ia mengatakan beberapa negara sudah menyampaikan minat untuk ikut dalam uji klinis fase tiga. "Tapi negaranya mana saja, saya belum bisa ungkap," ujarnya.
Prof. Fedik mengatakan bahwa uji klinis fase satu vaksin Unair akan dipimpin oleh Rumah Sakit Dr. Soetomo, Surabaya. Adapun untuk fase tiga, yang membutuhkan subjek lebih banyak, ia mengatakan akan mencari daerah yang banyak penduduknya masih belum divaksinasi. Ia juga menyebut salah satu opsi memanfaatkan mahasiswa Unair yang berasal dari daerah-daerah di luar Jawa-Bali. "Kita kan punya 36.000 mahasiswa, tinggal dipilih aja itu," ujarnya.
Secara keseluruhan, uji klinis Vaksin Merah Putih akan dibiayai oleh Kemenkes dan dikawal oleh BPOM. Dibandingkan negara-negara tetangga, Indonesia terbilang lambat dalam mengembangkan vaksin Covid-19. Vietnam, misalnya, sudah memulai uji klinis fase 3 untuk vaksin buatan dalam negeri Nanocovax. Itu karena Indonesia bisa dibilang mulai dari nol, kata Deputi Penguatan Inovasi BRIN Erry Ricardo. Selama ini, Indonesia biasanya mendapatkan lisensi dari produsen vaksin di luar negeri.
Maka dari itu, imbuh Ricardo, ada beberapa keperluan fasilitas yang harus dipenuhi, termasuk alat produksi yang sesuai Good Manufacturing Practice (GMP) dan laboratorium dengan tingkat keamanan Biosafety Level 3 (BSL3) — hal-hal yang sedang diusahakan oleh BRIN. "Sebelum itu kita biasanya industri kita enggak dari nol. Sekarang kita perlu mengembangkan dari nol, dan perlu memenuhi kebutuhan dengan standar yang ada," ujar Erry.
Ines Atmosukarto, pakar biologi molekuler di Universitas Adelaide Australia, memandang program Vaksin Merah-Putih sebagai upaya Indonesia membangun kapasitas untuk merespons keperluan vaksin secara cepat di masa depan — baik untuk mengatasi varian baru atau wabah lain. Hal itu, menurutnya, adalah dampak jangka panjang yang jauh lebih penting.
Ines, yang tidak terlibat dalam pengembangan Vaksin Merah-Putih, mengatakan produksi vaksin memang suatu proses yang sangat panjang dan sejauh ini belum pernah dilakukan dari hulu sampai hilir di Indonesia. "Jadi saya melihat ini sangat penting untuk dilakukan, tapi kita harus realistis dengan timeframe-nya," kata Ines.
Ines mengatakan masyarakat tidak perlu menunggu Vaksin Merah-Putih untuk divaksinasi. Vaksin terbaik, imbuhnya, adalah vaksin yang tersedia saat ini. "Semua vaksin yang diberi izin edar di Indonesia saat ini terbukti menurunkan derajat penyakit parah dan menurunkan kematian, yang dari awal adalah tujuan dari pengembangan vaksin-vaksin ini," pungkasnya. (*)
Tags : Virus Corona, Vaksin,