PEKANBARU, RIAUPAGI.COM – Panas ekstrem yang melanda Provinsi Riau telah memicu munculnya titik api di beberapa wilayah, membuat Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] Riau harus bekerja keras memadamkan kebakaran yang terjadi.
"Kebakaran hutan dan lahan terjadi di Riau saat panas ekstrem ini."
"Kerajaan Sriwijaya meninggalkan Prasasti Talang Tuo yang berisi ajaran atau sejenis aturan mengenai nilai-nilai penting mengelola lingkungan agar tetap seimbang dan terjaga," kata Ir Marganda Simamaora SH M.Si, dari Yayasan Sahabat Alam Rimba [Salamba] menyikapi suhu panas ekstrem belakangan ini.
Ganda Mora [nama sebutan sehari harinya] ini mengajak Pemerintah Provinsi Riau beserta 12 kabupaten/kota untuk mengikuti kearifan Kerajaan Sriwijaya demi mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Menurut dia peristiwa kebakaran hutan, kebun dan lahan yang terjadi setiap tahun di Riau disebabkan pengelolaan tata ruang yang bertentangan dengan prinsip lingkungan di masa Kerajaan Sriwijaya ribuan tahun lalu.
Akibat panas ekstrem ini, diakui Kepala Pelaksana BPBD Riau, M Edy Afrizal Riau pihaknya harus bekerja keras memadamkan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi.
"Kendala yang kami hadapi di sana adalah titik api tidak bisa diakses melalui jalan darat dan tidak tersedianya sumber air untuk pemadaman. Jadi kami terpaksa menggunakan air laut karena titik air sudah mengering akibat musim kemarau," kata M Edy Afrizal.
M Edy Afrizal menyampaikan bahwa pihaknya sedang fokus memadamkan kebakaran di berbagai lokasi.
"Ada beberapa wilayah yang muncul kebakaran lahan dan saat ini personel kami tengah melakukan pemadaman," ungkap M Edy Afrizal, Rabu (24/7).
Wilayah yang paling parah terkena dampak kebakaran adalah Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), khususnya di Kecamatan Panipahan.
BPBD Riau telah mengerahkan tiga helikopter untuk melakukan pemadaman dari udara menggunakan metode water bombing.
Selain upaya pemadaman langsung, BPBD Riau juga telah melakukan operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) di beberapa wilayah udara Riau.
Metode TMC dilakukan dengan menaburkan garam di udara untuk merangsang hujan. Namun, hingga saat ini, upaya tersebut belum membuahkan hasil yang diharapkan.
"Sudah kami lakukan TMC ini kalau tak salah sudah yang ketiga. Kami mulai tanggal 20 Juli hingga 30 Juli mendatang, namun belum ada hasil karena saat ini sudah masuk musim kemarau dan bibit awannya tidak banyak. Namun, bagi wilayah yang ada bibitnya, kami semai," terang Edy.
Edy juga menyampaikan pesan penting kepada masyarakat agar tidak membuka lahan dengan cara membakar, terutama di musim kemarau ini.
"Puntung rokok saja bisa mengakibatkan kebakaran, ditambah lagi angin yang berhembus cukup kencang," tambahnya.
Dengan kondisi cuaca yang tidak mendukung dan tantangan di lapangan, BPBD Riau terus berupaya maksimal dalam mengatasi kebakaran lahan dan hutan.
Dukungan dan kerjasama dari masyarakat sangat diharapkan untuk mencegah terjadinya kebakaran lebih lanjut.
Tetapi kembali disebutkan Ganda Mora yang menyikapi Karhutla terjadi dalam situasi panas ekstrem yang juga melanda Riau ini, mengajak kembali untuk melihat sejarah ketauladanan kerajaan Sriwijaya di nusantara itu.
Ia menerangkan bahwa hanya Sriwijaya satu-satunya yang meninggalkan prasasti berisi ajaran tata lingkungan, sehingga dapat disimpulkan kerajaan maritim tersebut sudah menyadari keseimbangan alam sejak awal berdiri pada abad ke tujuh.
Prasasti Talang Tuo salah satunya menyebut bahwa Kerajaan Sriwijaya memiliki taman margasatwa berisi macam-macam jenis tanaman seperti aren, sagu, dan nanas.
Konsep taman itulah yang diwariskan Sriwijaya guna menunjukkan eksistensinya, meskipun jejaknya saat ini hanya dapat ditemui di wilayah tertentu.
"Di dalam Prasasti Talang Tuo sudah diatur tata kelola air dan keragaman tanaman, ada juga keterangan mengenai komitmen pimpinannya mengenai keterjagaan lingkungan serta imbauan kepada masyarakat saat itu agar peduli terhadap sesama makhluk hidup, itulah alasan Sriwijaya disebut sudah maju pada masanya," jelasnya.
Sementara kondisi saat ini kata dia, ekosistem hutan berganti dengan hamparan sawit dan karet sehingga mengurangi keragaman hayati, serta kurangnya perhatian dalam tata kelola pertanian membuat karhutla terus melanda setiap tahun.
"Faktor alam memang ada, tetapi tidak mesti setiap kemarau harus terbakar dan terus-menerus pasrah, apalagi namanya karhutla kecil sekali kemungkinan terbakar sendiri, pasti ada yang membakar duluan," ujarnya.
Ia menyebut karhutla yang terjadi saat ini seperti mengingkari Prasasti Talang Tuo yang diwariskan Kerajaan Sriwijaya, akibatnya pada musim kemarau selalu terjadi karhutla dan pada musim hujan kerap terjadi bencana banjir.
"Pengingkaran itu sama saja seperti 'Kualat' dengan Kerajaan Siriwjaya," kata Ganda.
Jadi menurutnya, pemerintah daerah harus membuat program-program pembangunannya berbasis ramah lingkungan, terutama daerah-daerah yang memang rawan karhutla. (*)
Tags : Badan Penanggulangan Bencana Daerah, BPBD Riau, Karhutla di Panas Ekstrem, Lingkungan, Alam,