JAKARTA - Defisit keuangan yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus membengkak hingga disebut bisa mencapai Rp20 triliun.
Apabila dibiarkan, badan ini diperkirakan tak akan mampu membayar klaim rumah sakit mulai 2026. Karena itu, kenaikan iuran jaminan kesehatan disebut pengamat sebagai “keniscayaan”. Bagaimana dampaknya ke masyarakat?
Pada hari tuanya, pasangan suami-istri Gunawan Bambang Supriyatno dan Ida Ayu Prawitasari di Yogyakarta banyak mengisi waktu dengan membuka usaha kue rumahan.
Di luar itu, mereka rutin "piknik" di rumah sakit.
Gunawan, 66 tahun, bisa menyambangi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta enam kali dalam sebulan untuk menangani sejumlah masalah kesehatan, dari urusan paru-paru hingga tulang dan saraf.
“Tanggalan HP itu mesti ada jadwalnya [ke rumah sakit],” kata Gunawan.
Ida, sang istri yang berusia 64 tahun, kerap menemani Gunawan berobat.
“Dibawa senang saja,” kata Ida.
“Suasana rumah sakit kan enak sekarang. Di sana ada kafenya. Bisa jajan. Kadang bawa sendiri [camilan] dari rumah. Jadi kayak piknik.”
Seluruh biaya pengobatan Gunawan tersebut ditanggung pemerintah melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan.
Sebagai peserta JKN mandiri kelas 1, Gunawan dan Ida masing-masing mesti membayar iuran Rp150.000 per bulan.
Bagi pasangan tersebut, angka itu pun sebenarnya sudah terhitung besar. Mereka sempat berpikir lebih baik turun ke kelas 2 dengan iuran Rp100.000 per bulan atau kelas 3 dengan iuran Rp42.000 (yang Rp7.000 di antaranya ditanggung pemerintah).
Namun, anak-anak mereka menolak.
“Sudah, enggak apa-apa. Di kelas 1 saja biar bisa istirahat [dengan nyaman],” kata Ida menirukan ucapan anaknya.
Masalahnya, kini muncul gagasan untuk menaikkan iuran program JKN lantaran defisit keuangan BPJS Kesehatan terus membengkak.
Apabila situasi ini dibiarkan, pada 2026 BPJS Kesehatan memperkirakan mereka tidak akan bisa membayar klaim rumah sakit yang telah merawat para peserta program JKN.
Jika itu terjadi, rumah sakit bisa jadi bakal meminggirkan para “pasien BPJS” dan lebih mengutamakan pasien umum yang membayar sendiri, kata Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch.
Gunawan dan Ida tak bisa membayangkan bila mereka harus menanggung seluruh biaya kesehatan sendirian.
“Terus terang saja, dengan adanya BPJS ini kita sangat terbantu. Sebetulnya sangat terbantu,” ujar Ida.
Jika memang iuran program JKN harus naik, Gunawan dan Ida akan mengikuti dan membayar lebih. Mereka bilang masih bisa menerima kenaikan iuran hingga Rp25.000 per orang.
Namun, harapannya, kenaikan itu bisa diikuti upaya pemerintah untuk meningkatkan atau setidaknya menjaga kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan.
Ida utamanya menyoroti rencana pemerintah untuk menerapkan sistem kelas rawat inap standar (KRIS) menggantikan tiga kelas yang kini berlaku di seluruh rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Penerapan KRIS secara menyeluruh diharapkan paling lambat 30 Juni 2025.
Saat layanan kesehatan distandarkan, kualitas layanan bagi peserta JKN mandiri kelas 1 dikhawatirkan jadi menurun. Misal, ruang rawat inap kelas 1 yang biasanya hanya diisi dua pasien ke depannya diperbolehkan menampung maksimum empat orang.
“Jadi kayak kontradiktif,” kata Ida.
“Kita diminta naik [iurannya], sementara itu dihilangkan kelas-kelasnya.”
“Kita jadi hiruk-pikuk dalam satu ruangan yang ramai. Padahal kan harapan anak-anak itu bapak dan ibu di kelas ini supaya bisa istirahat.”
Mengapa BPJS Kesehatan bisa mengalami defisit keuangan?
Abdul Kadir, Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, telah mengingatkan soal ancaman defisit keuangan sejak awal 2024.
Secara komprehensif, BPJS Kesehatan sebenarnya selalu mencatatkan surplus pada periode 2020-2023. Apalagi, di masa pandemi Covid-19, pemerintah sempat mengambil alih sepenuhnya pembiayaan untuk perawatan pasien Covid-19 dari BPJS Kesehatan.
Di akhir tahun lalu, aset bersih BPJS Kesehatan tercatat sebesar Rp56,7 triliun.
Angka itu masih bisa digunakan untuk membiayai klaim rumah sakit selama lebih dari empat bulan. Berdasarkan peraturan yang ada, nilai aset bersih BPJS Kesehatan harus cukup untuk menanggung klaim selama setidaknya 1,5 bulan.
Namun, untuk pertama kalinya sejak 2018, pendapatan BPJS Kesehatan dari iuran peserta JKN lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan untuk menanggung klaim layanan kesehatannya.
Pada 2023, pendapatan iuran yang ada mencapai Rp151,7 triliun, sementara beban jaminan kesehatannya menyentuh Rp158,9 triliun. Selisih itu masih bisa ditutup dengan pendapatan lain BPJS Kesehatan, termasuk dari pos investasi.
Tetap saja, ini seakan jadi alarm bagi BPJS Kesehatan.
“BPJS Kesehatan selalu sampai sekarang ini dibayang-bayangi akan adanya defisit,” kata Abdul dalam sebuah diskusi di Jakarta pada Januari 2024.
“DJS [dana jaminan sosial] kita akan semakin terancam.”
Pada Januari, BPJS Kesehatan memproyeksikan akan mengalami defisit keuangan sebesar Rp18,9 triliun di 2024.
Namun, pada 11 November, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan angka defisit tahun ini bahkan bisa mencapai lebih dari itu, kira-kira hingga Rp20 triliun.
Sebagai catatan, hingga Oktober lalu pendapatan BPJS Kesehatan dari iuran JKN tercatat sebesar Rp133,45 triliun. Padahal, biaya jaminan kesehatan yang dikeluarkan telah mencapai Rp146,28 triliun.
Saat rapat dengar pendapat bersama Komisi IX DPR pada 13 November, Ali bilang salah satu penyebab defisit adalah kenaikan jumlah klaim untuk layanan kesehatan peserta JKN dari tahun ke tahun.
Kini, kata Ali, BPJS Kesehatan mengelola kira-kira 1,7 juta klaim per hari. Sebagai perbandingan, pada 2014 jumlah klaim hariannya hanya sekitar 252.000.
Sebelumnya, Mahlil Ruby, Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan, juga menyebut fenomena “bocor” sebagai pemicu defisit.
“Bocor” di sini merujuk fakta bahwa banyak peserta baru program JKN yang kemudian tidak aktif membayar iuran bulanan.
Per Oktober, jumlah peserta program JKN mencapai 277,5 juta orang, tapi 56,8 juta di antaranya berstatus tidak aktif.
“Kita tahun ini mampu merekrut 30 juta peserta, yang positif menjadi peserta [aktif] cuma tujuh juta,” kata Mahlil dalam sebuah seminar di Jakarta pada 11 November.
Selain itu, tidak ada kenaikan iuran program JKN sejak 2020, meski ia mestinya bisa naik setiap dua tahun sekali setelah melalui evaluasi pemerintah, seperti diatur dalam Peraturan Presiden No. 59/2024 tentang JKN.
Karena itu, Ali mengatakan ada kemungkinan iuran JKN akan naik untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan. Pemerintah akan melakukan evaluasi terlebih dahulu sebelum kemudian mengeluarkan keputusan, kira-kira pada pertengahan 2025, imbuhnya.
Selama iuran belum naik, BPJS Kesehatan akan mengandalkan dana cadangan yang dimiliki, yang tercatat sebagai aset bersih dalam pembukuannya, kata Mahlil.
Namun, bila tidak ada perubahan apa-apa, Mahlil memperkirakan BPJS Kesehatan bakal mengalami “gagal bayar” atau tidak mampu membayar klaim rumah sakit, entah di 2025 atau 2026.
“Gagal bayar [terjadi] pada kondisi kalau kita baik, kalau kita normal, di Maret 2026, kalau buruk di Agustus 2025,” kata Mahlil.
“Itu kalau kita tidak melakukan apa pun.”
Nurul Hasanah, 30 tahun, menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga setelah suaminya wafat karena serangan jantung mendadak tiga bulan silam.
Saat itu, seluruh biaya perawatan suami plus layanan ambulans dari rumah sakit ditanggung JKN.
Kini, Nurul yang tinggal di Medan, Sumatra Utara, membuka rumah makan untuk mencari nafkah demi membesarkan kedua anaknya. Dan, setiap bulan, ia menyisihkan Rp105.000 untuk membayar iuran JKN kelas 3 bagi dirinya dan anak-anak.
“Kalau misalnya ditanya setuju atau enggak [iuran naik], ya pasti enggak lah,” kata Nurul.
“Karena kan masih ada biaya lain yang harus ditutupi juga.”
Di satu sisi, Nurul khawatir kesulitan membayar bila iuran JKN naik. Di sisi lain, bila tidak mendapat perlindungan, ia cemas bila terjadi sesuatu.
“Misalnya tiba-tiba anak sakit, kayak kemarin kan anak nomor dua sempat di-opname, kalau misalnya enggak pakai BPJS kan beban juga biaya rumah sakitnya,” kata Nurul.
Kalaupun iurannya harus naik, Nurul berharap kenaikannya tak lebih dari Rp15.000 per orang. Dengan begitu, ia merasa masih bisa menyeimbangkan anggaran bulanan.
Joan Aurelia Rumengan, perempuan 36 tahun di Jakarta, juga punya keresahan soal gagasan kenaikan iuran JKN.
Ia anak tunggal, belum menikah, dan memikul seluruh kebutuhan keluarga. Ibunya sepuh, berusia 74 tahun, sementara ayahnya telah meninggal dunia.
Setelah beralih jadi penulis lepas tahun lalu, Joan kerap mengandalkan program JKN untuk menanggung biaya perawatan ibunya yang mengidap diabetes, terutama di saat-saat mendesak. Ia dan ibunya adalah peserta JKN mandiri kelas 1.
Penyakit gula itu telah menimbulkan sejumlah komplikasi pada sang ibu, termasuk nyeri saraf, infeksi paru-paru, dan infeksi saluran kemih.
Untuk biaya konsultasi dokter atau pemeriksaan rutin sang ibu, Joan masih bisa menanggung sendiri, utamanya agar ibunya mendapat kualitas layanan lebih baik. Namun, untuk situasi darurat yang butuh dana relatif besar, Joan beralih ke JKN.
Pada Juni 2024, misalnya, kondisi ibunya memburuk hingga kesadarannya menurun. Ia segera dibawa ke UGD, lantas dirawat inap selama sembilan hari. Seluruh ongkosnya ditanggung JKN.
“Kalau [bayar dengan uang] sendiri, enggak bisa,” kata Joan.
Mengenai gagasan kenaikan iuran JKN, Joan bilang akan mengikuti keputusan pemerintah. Ia hanya berharap kenaikannya tak lebih dari 20%.
Apalagi, ia kini membayar iuran kelas 1 untuk tiga orang: dirinya, ibunya, dan kenalan dekat keluarga. Total, ia mesti keluar Rp450.000 per bulan.
Namun, bila iurannya benar naik, Joan berharap pemerintah juga melakukan sesuatu untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan bagi peserta JKN, yang menurutnya tetap berbeda bila dibandingkan kualitas layanan untuk pasien umum.
“Pasien BPJS membeludak, antreannya lama, dokter yang menangani pun suka terlihat enggak konsentrasi dan buru-buru, jadinya enggak maksimal,” kata Joan.
“Kenaikan iuran harus dibarengi peningkatan kualitas layanan.”
Apakah kenaikan iuran BPJS Kesehatan adalah satu-satunya jalan?
Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch, mengatakan kenaikan iuran adalah sebuah “keniscayaan”.
“Tidak ada alternatif lain,” tegasnya.
Selain iuran JKN, BPJS Kesehatan memang memiliki pos pendapatan lain. Pendapatan dari investasi, misalnya, menyentuh Rp5,7 triliun pada 2023.
“Tapi kalau dipakai terus dananya kan lama-kelamaan habis juga,” kata Timboel.
Namun, Timboel menyarankan pemerintah tidak menaikkan iuran terlalu besar seperti yang terjadi di 2020. Saat itu, kenaikan iuran peserta mandiri kelas 1 dan 2 masing-masing menyentuh 100% dan 115%.
Menurutnya, kenaikan yang masuk akal berkisar di 15-20%.
Selain itu, Timboel bilang harus ada upaya untuk memperluas cakupan peserta JKN, utamanya dari kelompok pekerja penerima upah (PPU).
“PPU masih cukup potensial untuk menambah pendapatan iuran. Dari 50 juta pekerja swasta, sekarang kan baru sekitar 17-18 juta [yang jadi peserta JKN],” ujarnya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan ia telah berdiskusi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan memperkirakan sejauh mana daya tahan BPJS Kesehatan dalam melaksanakan program JKN.
Karena itu, Budi bilang pemerintah pasti akan melakukan penyesuaian yang dibutuhkan untuk memastikan BPJS Kesehatan tidak sampai kekurangan dana.
"Cuma kan intervensinya bisa macam-macam, bisa dengan kita perhatikan apakah yang dibayar itu sudah sesuai dengan aturannya," ujar Budi pada 15 November.
"Ada juga yang rumah sakit-rumah sakit ternyata overclaim, atau melakukan fraudulent transaction. Kita juga minta BPJS tolong lebih teliti lagi melihat pembayaran itu sudah dilakukan benar apa enggak."
Sementara itu, Mahlil Ruby, Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan, sempat memaparkan sejumlah opsi untuk mendongkrak penerimaan dan mengatasi defisit.
Ini termasuk penghapusan tunggakan iuran peserta bukan penerima upah (BPU) mandiri untuk meringankan beban keuangan mereka dan skema cost sharing atau berbagi biaya, misalnya antara peserta program JKN dan pemerintah daerah atau badan usaha.
“BPJS tidak bisa sendiri. BPJS itu harus dengan seluruh stakeholder, termasuk dengan rakyat, kita harus berkolaborasi,” kata Mahlil. (*)
Tags : Keuangan pribadi, Ekonomi, Masyarakat, Indonesia, Kesehatan, Biaya hidup, News,