![BPS Catat Suku Batak dan Minangkabau Pencetak Sarjana Terbanyak, Mengapa Melayu ada di Urutan ke Enam?](/media/CACHE/images/images/image_202502051020_3703/8866d0973f9c6bbdd79752b5b44498c8.webp)
JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini mempublikasikan data tentang Profil Suku dan Keragaman Bahasa Daerah Long Form Sensus Penduduk 2020.
Salah satu catatan yang menarik perhatian publik menyangkut tingkat pendidikan. Menurut BPS, suku Batak menyumbang jumlah lulusan sarjana terbanyak di Indonesia dengan persentase 18,02% kemudian disusul suku Minangkabau dengan 18,00%.
Sedangkan suku Jawa berada di urutan kedelapan dengan persentase 9,56% dan terakhir suku Madura 4,15%.
Antropolog agama dan budaya dari Universitas Indonesia, Amanah Nurish, mengatakan data yang disajikan BPS ini menunjukkan adanya "ancaman serius" di masyarakat soal bagaimana memandang pendidikan tinggi.
Dan pemerintah, menurutnya, "sama sekali tidak membuat kebijakan yang mendorong rakyatnya meraih pendidikan tinggi, namun malah memiskinkan secara struktural lewat pemberian bansos".
"Lebih penting pendidikan gratis dibanding bansos atau makan gratis sebenarnya," ucapnya.
Apa yang melatari publikasi BPS ini dan mengapa suku Batak serta Minangkabau sangat mementingkan pendidikan tinggi ketimbang suku Jawa?
Apa yang melatari publikasi BPS?
Dalam laporan yang disusun BPS dikatakan bahwa Long Form Sensus Penduduk 2020 ini merupakan rangkaian kegiatan Sensus Penduduk yang dilakukan pada 2022 –tertunda dua tahun akibat pandemi Covid– untuk menggambarkan profil sosial demografi dari sepuluh suku di Indonesia.
Informasi yang hendak diperoleh di antaranya menyangkut kewarganegaraan; suku; agama; ketenagakerjaan; pendidikan; bahasa; disabilitas; tingkat kelahiran (fertilitas); angka kematian (mortalitas); dan perumahan.
Untuk mengumpulkan keterangan yang dibutuhkan, Long Form Sensus Penduduk 2020 ini menggunakan kuesioner dengan pendekatan berupa pengakuan responden (self-identification).
Statistik Ahli Madya BPS, Dendi Handiyatmo, mengatakan metode wawancara langsung ini juga didukung dengan kesesuaian data dalam Kartu Keluarga.
"Kartu Keluarga menjadi pegangan supaya lebih update ketika kami menanyakan langsung," katanya pada pers, Rabu (29/01).
Pendataan Long For Sensus Penduduk 2020 dilaksanakan di seluruh Indonesia (514 kabupaten/kota) dengan jumlah sampel sebesar 5% atau sekitar 4,29 juta rumah tangga.
Pembagiannya, menurut Dendi, rata-rata 10% di setiap provinsi.
"Kecuali di Jawa [lebih besar] karena lebih banyak jumlah rumah tangganya."
Kendati demikian, BPS memberikan catatan bahwa laporan tersebut tidak lepas dari kesalahan atau error. Kesalahan bisa terjadi karena sampling error dan nonsampling error.
Sampling error terjadi lantaran hanya sebagian dari populasi yang diambil sebagai sampel, yang mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan karakteristik atau variabel yang ada dalam seluruh populasi.
Selain itu, kesalahan juga dapat terjadi dari nonsampling error pada saat pengumpulan data, sebut BPS.
Bagaimana hasilnya?
Dari sepuluh suku yang diteliti, Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan:
1. Suku Batak di urutan pertama dalam hal lulusan sarjana terbanyak yakni 18.02%
Suku Batak disebut merupakan salah satu suku dengan jumlah penduduk yang banyak di Indonesia, kata BPS.
Pada publikasi ini suku Batak mencakup Batak, Batak Tapanuli, Batak Angkola, Karo, Mandailing, Dairi, Batak Pakpak Dairi, Pakpak, Batak Simalungun, dan Batak Toba.
Persebarannya di Pulau Sumatra (87,98%), kemudian dilanjutkan dengan Pulau Jawa (10,02%), Pulau Kalimantan (1,25%), Pulau Maluku dan Papua (0,46%), Pulau Sulawesi (0,17%), serta Pulau Bali dan Nusa Tenggara (0,11%).
Dalam hal pendidikan, menurut BPS, hampir setengah dari penduduk suku Batak berusia 25 tahun ke atas memiliki pendidikan tertinggi pada jenjang SMA/sederajat yaitu 45,48% dan sebanyak 18,02% telah tamat perguruan tinggi.
Selanjutnya mereka yang tidak atau belum pernah sekolah, tamat SD/sederajat, dan tamat SMP/sederajat berturut-turut sebanyak 4,38%; 15,09%; dan 17,04%.
2. Suku Minangkabau menempati posisi kedua lulusan sarjana sebesar 18,00%
Suku Minangkabau merupakan suku yang penduduknya terbesar di seluruh pulau di Indonesia.
Jika dilihat menurut pulau, sebagian besar penduduk suku Minangkabau tersebar di Pulau Sumatra. Sekitar sembilan dari sepuluh suku Minangkabau tinggal di Pulau Suamtra (92,23%), kemudian dilanjutkan dengan Pulau Jawa (7,07%), Pulau Kalimantan (0,37%), Pulau Maluku dan Papua (0,12%), Pulau Bali dan Nusa Tenggara (0,10%), dan Pulau Sulawesi (0,10%).
Persebaran suku Minangkabau di berbagai pulau di Indonesia berkaitan erat dengan perilaku migrasi mereka yang dipengaruhi oleh tradisi merantau.
Dari segi pendidikan, penduduk suku Minangkabau berumur 25 tahun ke atas paling banyak menamatkan pendidikan tertinggi pada jenjang SMA/sederajat (37,25%) dan SD/sederajat (19,2%).
Diikuti oleh lulusan perguruan tinggi (18%), SMA/sederajat (15,89%), dan mereka yang tidak atau belum pernah sekolah (9,66%).
3. Suku Bali berada di tempat ketiga lulusan sarjana terbanyak dengan 14,54%
Suku Bali pada publikasi ini mencakup suku Bali, Bali Hindu, Bali Majapahit, Bali Aga, Baliaga, dan Trunyan.
Penduduk Bali, kata BPS, paling banyak berada di Pulau Bali dan Nusa Tenggara dengan persentase (86,86%), kemudian sisanya tersebar di Pulau Sulawesi (5,78%), Pulau Sumatra (4,60%), Pulau Jawa (1,63%), Pulau Kalimantan (0,99%), dan Pulau Maluku serta Papua (0,13%).
Dari segi pendidikan, penduduk suku Bali berumur 25 tahun ke atas paling banyak menamatkan pendidikan tertinggi pada jenjang SMA/sederajat (31,89%).
Jenjang pendudukan terbanyak berikutnya adalah SD/sederajat (27,77%), diikuti oleh perguruan tinggi (14,54%).
Sementara yang tidak pernah sekolah (13,44%) dan SMP/sederajat (12,87%).
4. Suku Bugis peringkat keempat lulusan sarjana terbanyak yaitu 14,54%
Suku Bugis merupakan kelompok suku yang berasal dari Sulawesi Selatan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis.
Pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa yang telah terakulturasi, juga dikategorikan sebagai orang Bugis.
Suku Bugis dalam publikasi ini meliputi suku Bigus, Ugi, Pagatan, Bugis Pto Ugagatan, Orang Kajang, Ammatowa, Amatoa, dan Tolotang.
Sifat merantau adalah ciri khas yang dimiliki mayoritas orang Bugis dalam hal perniagaan, pekerjaan, dan menuntut ilmu.
Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2020, suku Bugis merupakan salah satu dari beberapa suku yang penduduknya tersebar di seluruh wilayah di Indonesia.
Jika dilihat menurut pulau, penduduk suku Bugis tersebar di Pulau Sulawesi (72,61%), kemudian dilanjutkan dengan Pulau Kalimantan (16,,80%), Pulau Sumatra (5,01%), Pulau Maluku dan Papua (3,18%), Pulau Jawa (1,53%), dan Pulau Bali serta Nusa Tenggara (0,84%).
Berdasarkan pendidikan, empat dari sepuluh penduduk suku Bugis yang berusia 25 tahun ke atas telah memiliki pendidikan minimal SMA/sederajat yaitu 25,80% dan sebanyak 14,54% sudah tamat perguruan tinggi.
Selanjutnya mereka yang tidak atau belum pernah sekolah, tamat SD/sederajat dan tamat SMP/sederajat berturut-turut sebanyak 12,30%; 32,92%; dan 14,44%.
5. Suku Betawi berada di deretan kelima lulusan sarjana terbanyak 14,38%
Suku Betawi berasal dari Batavia (nama Jakarta), ibukota Indonesia. Dalam sejarahnya, suku Betawi terbentuk dari proses asimilasi antaretnis yang dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda untuk kepentingan politik dan ekonomi.
Suku Betawi atau 'Jakarta asli' dikatakan muncul sebagai kelompok etnolinguistik yang berbeda pada masa kolonial melalui perkawinan campuran di Jakarta antara penduduk asli (terutama Bali) dengan orang Tionghoa, Arab, dan Eropa.
Pada 2010 suku Betawi merupakan salah satu dari enam suku terbesar di Indonesia. Hasil sensus penduduk tahun 2020 menunjukkan bahwa penduduk suku Betawi di Indonesia paling banyak berada di Pulau Jawa sebesar 99,30%.
Sementara sebagian kecil sisanya tersebar di pulau-pulau lain.
Persentase penduduk suku Betawi di Pulau Sumatra dan Kalimantan berturut-turut adalah 0,47% dan 0,12%. Sedangkan persentase terkecil penduduk suku Betawi berada di Pulau Bali dan Nusa Tenggara serta Sulawesi yaitu 0,04%.
Adapun di Pulau Maluku dan Papua sebesar 0,03%.
Berdasarkan pendidikan, enam dari sepuluh penduduk suku Betawi yang berusia 25 tahun ke atas telah memiliki pendidikan tinggi SMA/sederajat atau perguruan tinggi.
Hampir setengah dari penduduk suku Betawi berusia 25 tahun ke atas mempunyai pendidikan tinggi pada jenjang SMA/sederajat yaitu 49,81% dan 14,38% telah tamat perguruan tinggi.
Selanjutnya mereka yang tidak atau belum pernah sekolah, tamat SD/sederajat, dan tamat SMP/sederajat berturut-turut sebanyak 4,66%; 16,64%, dan 14,50%.
6. Suku Melayu ada di urutan keenam lulusan sarjana terbanyak 12,67%
Suku Melayu pada publikasi ini mencakup suku Melayu, Melayu Asahan, Asahan, Melayu Langkat, Langkat, Melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Banyu Asin, Melayu Lahat, Kikim, Lematang, Lintang, Pasemah, Gumai, Kisam, Serawai, Semendo, Melayu Semendo, Semidang, Melayu Pontianak, Melayu Sambas, Jambi, dan Bengkulu.
Jika dilihat menurut pulau, lebih dari tiga perempat penduduk suku Melayu terdapat di Pulau Sumatra (75,85%), kemudian di Pulau Kalimantan (20,02%), Pulau Jawa (3,74%), Pulau Bali dan Nusa Tenggara (0,26%), Pulau Sulawesi (0,10%), serta Pulau Maluku dan Papua (0,04%).
Menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan, penduduk suku Melayu berumur 25 tahun ke atas paling banyak tamat SD/sederajat (30,51%).
Diikuti oleh lulusan SMA/sederajat (29,39%), SMP/sederajat (16,05%), perguruan tinggi (12,67%) dan mereka yang tidak atau belum pernah sekolah (11,37%).
7. Suku Banjar peringkat ketujuh lulusan sarjana terbanyak 11,24%
Suku Banjar merupakan suku yang berasal dari Kalimantan Selatan. Suku Banjar pada publikasi ini mencakup suku Banjar, Banjar Kuala, Batang Banyu, dan Pahuluan.
Suku Banjar banyak tersebar di Pulau Kalimantan dan Sumatra.
Sebaran suku Banjar ini berkaitan dengan perilaku imigrasi penduduknya yang disebut madam, yaitu bepergian merantau jauh dari kampung halaman dan tidak kembali dalam waktu yang lama.
Terdapat setidaknya beberapa kali gelombang migrasi orang-orang Banjar pada masa penjajahan Belanda akibat politik, monopoli, serta diskriminasi ekonomi.
Banyak penduduk suku Banjar yang melakukan migrasi ke Tanjung Jabung Barat (Jambi), Tambilah Riau, serta berbagai daerah di Sumatra Utara seperti Langkat, Serdang Bedagai, dan Medan.
Tradisi madam dapat tercermin dari persentase penduduk suku Banjar yang merupakan migrasi seumur hidup yaitu sebesar 7,11%.
Lebih lanjut, hasil sensus penduduk tahun 2020 memperlihatkan bahwa penduduk suku Banjar paling banyak tersebar di Pulau Kalimantan dengan persentase (88,27%), kemudian Pulau Sumatra (10,62%), Pulau Jawa (0,89%), Pulau Sulawesi (0,16%), Pulau Maluku-Papua (0,04%) serta Bali dan Nusa Tenggara (0,03%).
Dari segi pendidikan, penduduk suku Banjar berusia 25 tahun ke atas paling banyak menamatkan pendidikan tertinggi pada jenjang SD/sederajat (34,85%), diikuti oleh lulusan SMA/sederajat (26,08%), SMP/sederajat (17,33%), perguruan tinggi (11,24%), dan mereka yang tidak atau belum pernah sekolah (10,50%).
8. Suku Jawa bertengger di posisi delapan lulusan sarjana terbanyak 9,56%
Suku Jawa merupakan suku dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Suku Jawa dalam publikasi ini meliputi suku Jawa, Samin, Tengger, Nagaring, dan Nagarigung.
Selain sebagai suku dengan penduduk terbanyak, suku Jawa juga merupakan kelompok suku yang penduduknya tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.
Pergerakan orang dari Jawa ke pulau-pulau lain utamanya disebabkan oleh program transmigrasi.
Jika dilihat menurut pulau, penduduk suku Jawa tersebar di Pulau Jawa (78,33%), kemudian dilanjutkan dengan Pulau Sumatra (17,05%), Pulau Kalimantan (2,9%), Pulau Sulawesi (0,8%), Pulau Maluku dan Papua (0,55%), serta Pulau Bali-Nusa Tenggara (0,37%).
Dari segi pendidikan, penduduk suku Jawa berusia 25 tahun ke atas paling banyak menamatkan pendidikan tertinggi pada jenjang SD/sederajat (33,13%), diikuti oleh lulusan SMA/sederajat (27,20%), SMP/sederajat (19,90%), mereka yang tidak atau belum pernah sekolah (10,19%), dan lulusan perguruan tinggi (9,57%).
9. Suku Sunda menempati urutan kesembilan lulusan sarjana terbanyak 7,59%
Suku Sunda yang meliputi suku Sunda dan Suku Naga, merupakan suku dengan jumlah penduduk yang banyak di Indonesia.
Kalau dilihat menurut pulau, sebagian besar penduduk suku Sunda mendiami Pulau Jawa dengan persentase 95,89%.
Pulau Sumatra menjadi terbanyak kedua yang ditinggali oleh penduduk suku Sunda, meskipun persentasenya di bawah 5%. Sisanya tersebar di pulau-pulau lainnya di Indonesia.
Dari sisi pendidikan, penduduk suku Sunda berumur 25 tahun ke atas paling banyak menamatkan pendidikan tertinggi pada jenjang SD/sederajat (43,38%), disusul oleh lulusan SMA/sederajat (23,75%), SMP/sederajat (19,26%), perguruan tinggi (7,59%), dan mereka yang tidak atau belum pernah sekolah (6,01%).
10. Suku Madura berada di deretan kesepuluh lulusan sarjana terbanyak 4,15%
Suku Madura merupakan salah satu suku dengan penduduk terbanyak di Indonesia.
Penduduk suku Madura banyak tersebar di Pulau Jawa dengan persentase 92,48% dan sisanya tersebar di pulau lain seperti Pulau Kalimantan sebesar 6,40% dan di Pulau Sumatra, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, serta Maluku hingga Papua dengan persentase di bawah 1%.
Dalam hal pendidikan, penduduk suku Madura berusia 25 tahun ke atas paling banyak menamatkan pendidikan tertinggi pada jenjang SD/sederajat (39,67%), kemudian SMA/sederajat (12,70%), SMP/sederajat (12,64%), dan perguruan tinggi (4,15%).
Sementara itu, penduduk suku Madura yang tidak atau belum pernah bersekolah mencapai 30,84%.
Nyaris tak ada perubahan dalam satu dekade
Statistik Ahli Madya BPS, Dendi Handiyatmo, berkata meskipun data yang dikumpulkan berlangsung dua tahun silam, namun dia meyakini kondisinya masih sama di masa sekarang.
Sebab perubahan sosial dan demografi suatu rumah tangga tidak akan terlalu cepat.
"Perkembangan rumah tangga selama dua tahun tidak terlalu banyak berubah, termasuk perilaku dari orang-orangnya," jelasnya.
Namun yang menarik, ia juga bilang bahwa data terkait tingkat pendidikan untuk sepuluh suku terbesar di Indonesia relatif tidak banyak perubahan dalam satu dekade lalu.
Suku Batak dan Minangkabau, klaimnya, menjadi yang teratas dalam menyumbang lulusan sarjana di Indonesia.
"Iya sama [hasil data tingkat pendidikan] sama seperti tahun 2010, secara persentase [Batak dan Minangkabau] cukup besar."
Hanya saja BPS tidak memiliki data soal apa alasan rumah tangga dari suku Batak atau Minangkabau memiliki lebih banyak anggota keluarga berpendidikan tinggi.
Begitu pun sebaliknya dari suku Jawa yang mempunyai lebih sedikit lulusan sarjana.
"Kalau alasannya enggak ditanya karena itu butuh ketelitian dari si penanya. Sementara petugas kami standar semua hanya mengumpulkan data."
Mengapa suku Batak menganggap pendidikan tinggi penting?
Hasrat orang Batak menggapai pendidikan tinggi tak lepas dari budaya dan prinsip hidup yang dianut. Orang Batak mengenal tiga istilah: hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Masing-masing artinya adalah keturunan, kesejahteraan dan kemuliaan.
Menurut Kepala Batakologi Universitas HKBP Nommensen Medan, Manguji Nababan, puncak pencapaian yang dianggap keberhasilan oleh orang Batak adalah sahala dan kuaso, yakni wibawa dan kekuasaan.
"Nah, untuk mendapatkan sahala dan kuaso, tidak ada jalan lain selain pendidikan," ujar Manguji, Kamis (30/01).
Ia juga bilang, orang Batak selalu berusaha agar hidupnya berwibawa, sehingga dapat mendatangkan kekuasaan. Inilah yang dianggap sebagai puncak kesuksesan. Untuk memerolehnya, orang Batak percaya dengan prinsip hagabeon, hamoraon dan hasangapon.
Dalam Bahasa Indonesia, hagabeon bermakna keturunan atau anak. Artinya, orang Batak mesti menikah ketika sudah cukup syarat.
Setelah cita-cita pertama ini tercapai, maka orang Batak akan berpikir untuk mencapai hamoraon, yakni kesejahteraan atau kekayaan. Maksudnya, orang Batak akan terdorong untuk memeroleh pundi-pundi penghasilan yang besar.
Tujuan hidup terakhir dalam prinsip orang Batak adalah hasangapon, yaitu kehormatan atau kemuliaan.
"Apabila dia sudah memiliki hagabeon kemudian hamoraon, maka dia bercita-cita mendapatkan hasangapon atau kemuliaan. Itulah hirarkinya. Itu semua akan didapatkan melalui jalur pendidikan," ujar Manguji.
Prinsip hidup hagabeon, hamoraon dan hasangapon dalam komunitas Batak disampaikan oleh orang tua kepada anak-anaknya secara turun-temurun.
Hal itu disampaikan dalam hari-hari besar keagamaan maupun kebudayaan sebagai pengingat mereka dalam menjalani hidup.
Menurut Manguji, keinginan kuat orang Batak mengenyam pendidikan tinggi sudah ada sejak zaman dulu.
Sebelum adanya pendidikan formal, orang Batak sudah terbiasa menuntut ilmu dari Datu, yakni tokoh sentral dalam ritual magis masyarakat Batak yang berperan sebagai tabib atau orang pintar yang dihormati.
Pada masa itu, orang Batak juga belajar dari Raja Patik mengenai hukum, aturan, dan norma dalam bermasyarakat.
Orang Batak lantas mulai mengenal pendidikan formal setelah masuknya zending untuk menyebarkan ajaran Kristen Protestan pada 1861.
"Otomatis pengaruh pendidikan Barat itu sudah masuk," ujarnya.
Kala itu, lanjut Manguji, sudah dibuka sekolah formal seperti di Sipoholon, Tapanuli Utara. Orang Batak disiapkan untuk menjadi tenaga terampil agar bisa bekerja di perusahaan-perusahaan.
"Sangat tinggi animo masyarakat Batak untuk mengenyam pendidikan saat itu. Karena memang mereka jadi bisa bermigrasi (merantau)," ujarnya.
Selain prinsip hidup hagabeon, hamoraon dan hasangapon, hasrat menggapai pendidikan tinggi di kalangan komunitas Batak juga tak lepas dari ajaran agama dan faktor lain.
Orang Batak selalu berupaya agar anak-anaknya lebih sukses dari mereka. Filosofi ini dapat dilihat dari bentuk rumah adat Batak yang bagian atap belakangnya lebih tinggi dari bagian depan.
"Budaya kompetisi juga memengaruhi. Orang Batak suka berlomba-lomba, tapi bukan dalam konotasi negatif. Berkompetisi itu bukan berarti berlawan. Jadi ada kebanggaan kalau anak orang Batak itu pergi merantau," ujarnya.
Menurut Manguji, prinsip hagabeon, hamoraon dan hasangapon di kalangan orang Batak masih berlaku sampai saat ini. Hanya saja, sekarang terdapat pergeseran motivasi.
"Kalau semangat itu tetap tinggi. Tapi sekarang motivasinya sudah ada tambahan. Jadi ada rasa malu kalau dalam keluarga Batak itu tidak ada yang sarjana, tidak sekolah. Jadi sudah lebih ke gengsi," tuturnya mengakhiri.
Bagaimana dengan suku Minangkabau?
Di Sumatra Barat ada petuah kuno untuk terus menimba ilmu dan pendidikan setinggi-tingginya: Iduk batungkek aka, mati batungkek budi.
Artinya adalah "hidup bertopang akal atau ilmu pengetahuan, mati ditopang kebaikan yang dilakukan".
Budayawan Minangkabau, Viveri Yudi, menuturkan petuah tersebut menjadi pegangan orang Minangkabau sehingga sangat mengedepankan pendidikan. Bahkan sejak dari lahir.
"Dari mulai lahir, itu sudah di dalam sistem kebudayaan orang Minang sudah ada fungsi yang menunggu dia," kata pria yang akrab disapa Mak Kari.
Menurutnya, lahirnya seorang perempuan di Minangkabau sudah ditetapkan untuk menjadi seorang ibu. Seterusnya, seorang ibu akan menjadi bundo kanduang di rumah gadang.
"Mereka dari lahir sudah diajari dari awal, bagaimana mengatur keluarga dan sudah diberikan informasi-informasi tentang hal tersebut."
Sementara, seorang lelaki di Minangkabau, saat lahir mereka sudah disiapkan untuk menjadi pemimpin seperti mamak atau bahkan penghulu atau datuak.
"Dengan begitu, perempuan dan laki-laki di Minangkabau itu sudah jelas fungsinya dari awal mereka lahir."
Sebelum adanya perguruan tinggi, orang Minangkabau merangsang anak cucunya untuk berpikir dengan berbagai metode dan tempat yang telah disiapkan yakni surau.
Mereka lantas diberikan pengetahuan dan diajari berpikir tentang agama.
Selain itu, orang Minang juga akan diberikan pendidikan di sasaran (sebuah tempat untuk belajar silek). Para ninik mamak kemudian akan membimbing kemenakannya melalui media silek.
Mereka akan diajarkan bahwa silek itu tidak untuk membunuh orang, silek adalah media untuk mempelajari tentang kehidupan.
"Contohnya, kita mulai dari hidup ini mulai belajar berdiri terlebih dahulu. Lalu melangkah. Dalam basilek jangan kasar, mencari rasa. Belajar basilek itu bukan untuk membunuh orangnya, tetapi upaya terakhir untuk membunuh kesombongan orang lain," paparnya.
Selanjutnya, orang Minang juga diberikan jalur menimba ilmu di lapau (warung).
"Ketika sudah mulai remaja, anak-anak minang sudah mulai berdialektika dengan informasi-informasi yang ada di lingkungan, kampung sebelah dan rantau, itu dibicarakan di lapau itu."
Selain itu, orang Minang juga disuruh untuk menggali ilmu di rantau. "Di rantau ini yang paling penting seorang itu bermanfaat untuk orang lain dan menjaga marwah kampung halaman," sambungnya.
"Ketika ada lembaga pendidikan yang namanya perguruan tinggi, itu semangatnya sudah ada. Tetapi tidak terkait dengan masalah ekonomi, tetapi semangat sebuah keluarga itu untuk menyekolahkan anaknya, mereka mau menjual tanah, menjual sawah dan ternak untuk anaknya menjadi sarjana," jelasnya.
Hal itu dilakukan oleh orang Minangkabau agar seorang anak itu bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, keluarga dan orang di sekitarnya.
Mak Kari menuturkan, dalam sebuah petuah menyatakan, karatau madang di ulu, babuah babungo balun. Karantau bujang dahulu, di rumah paguno balun.
Artinya: "ke rantaulah kamu, karena di rumah belum berguna."
"Maksudnya, jika seseorang itu belum berguna dan bermanfaat di kampungnya, dia belum dianggap orang dalam tanda kutip," katanya menjelaskan.
Alasan lainnya orang Minangkabau mau menyekolahkan anaknya hingga sarjana karena faktor persyaratan pendidikan untuk mencari pekerjaan yang saat ini sudah semakin tinggi.
"Faktor lainnya yang mendorong orang Minang itu menjadi sarjana adalah karena orang banyak yang suka berdagang, merantau dan harus berguna serta bermanfaat..."
"Berbicara dengan anak kemenakan dan harus membina mereka jadi harus memiliki pendidikan yang lebih tinggi. Walaupun sarjana itu tidak menjamin seseorang itu sudah menjadi 'Minangkabau'," tukasnya.
Mengapa suku Jawa melihat pendidikan tinggi berbeda?
Antropolog agama dan budaya dari Universitas Indonesia, Amanah Nurish, mengatakan secara historis suku Jawa sebetulnya melek literatur sejak lama –yang ditandai oleh keberadaan artefak-artefak kuno di masa kerajaan.
Fondasi kuat itu pula, klaimnya, yang turut melahirkan pemikir-pemikir ulung di era kemerdekaan Indonesia termasuk pemimpin negara hingga saat ini.
Beranjak ke masa Orde Baru yang dipimpin Suharto dan memusatkan pembangunan hingga perekonomian di Pulau Jawa, secara tak langsung membuat orang-orang Jawa mendapatkan previlese alias keistimewaan di segala bidang ketimbang suku-suku lain –yang tanpa disadari membuat "kepedulian" mereka pada pendidikan jadi bergeser.
"Dan karena dekat dengan kekuasaan, untuk menjadi pengusaha misalnya, apakah harus jadi sarjana? Enggak juga kan..."
"Jadi faktor jawa sentris itu pada akhirnya membuat orang-orang Jawa sendiri males mengupgrade pendidikan lebih tinggi dalam konteks formal."
"Tapi orang Batak, Minang, atau Bugis kalau tidak pintar bisa kerja apa?"
Namun, menurut Aminah Nurish, ada faktor lain yang membuat orang Jawa memandang pendidikan tinggi secara berbeda, meskipun kampus-kampus terbaik berada di tanah Jawa.
Kesadaran itu adalah: orang berpendidikan belum menjamin bakal sukses.
"Orang Jawa itu punya kesadaran pendidikan tinggi tidak menjamin orang menjadi lebih bermoral, bermartabat, sukses."
"Di komunitas orang Jawa, orang yang tidak bermartabat, nggak ada harganya. Berbeda dengan suku-suku lain yang masih menganggap gelar sarjana itu sesuatu yang luar biasa."
Sehingga, yang dikejar orang Jawa saat ini adalah kesejahteraan ekonomi.
Apalagi melihat biaya untuk menempuh jenjang pendidikan tinggi semakin mahal sekarang-sekarang ini.
Ditambah, problem kemiskinan.
"Orang disekolahkan sampai sarjana, habis ratusan juta terus hanya untuk bekerja jadi karyawan yang gajinya kecil, buat mereka ya usaha saja dibanding punya gelar."
"Ada unsur ketidakpercayaan terhadap pendidikan tinggi". (*)
Tags : Joko Widodo, Ekonomi, Masyarakat, Indonesia, Hubungan ras dan etnis, Pendidikan, News,