NELAYAN diiperairan Indonesia butuh kebijakan radikal untuk pelindungan dan kesejahteraan mereka.
Sumber utama pasokan pangan protein ikan di Indonesia dari tangkapan buruh nelayan di perairan Indonesia. Namun, pelindungan dan kesejahteraan mereka masih terabaikan. Harus ada kebijakan radikal untuk mereka.
Pada Mei 2023 kita dikagetkan oleh dua peristiwa menyayat hati dalam perikanan tangkap.
Pertama, kapal ikan Lu Peng Yuan Yu 028 milik perusahaan Penglai Jinglu Fishery, Co di China terbalik dan tenggelam di Samudera Hindia.
Sebuah perusahaan penangkapan ikan terbesar China yang menangkap cumi-cumi terbang neon dan ikan sauri Pasifik.
Kapal tersebut membawa 39 awak kapal perikanan (AKP) maupun buruh nelayan yang terdiri dari 17 warga negara Indonesia (WNI), 17 warga negara China, dan 5 warga negara Filipina.
Hingga kini semua belum diketahui rimbanya. Entah mereka masih hidup atau meninggal.
Kedua, kapal motor Serba Prima 8 terbakar di perairan Samudera Hindia. Dua buruh nelayan selamat dan 11 orang lainnya sedang dalam pencarian. Kapal berbobot 59 gros ton tersebut lepas sauh dari Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap pada 5 April 2023.
Kedua peristiwa ini bukan kali pertama menimpa AKP dan buruh nelayan kita. Apakah ada pelindungan dan jaminan sosial dari negara kepada keluarga korban dari kedua peristiwa ini?
Awak kapal perikanan ataupun buruh nelayan merupakan dua entitas yang sama. Mereka adalah komunitas tanpa faktor produksi di sektor perikanan.
Mereka hanya mengandalkan tenaga dan keterampilannya dalam menangkap ikan. Mirisnya lagi, mereka tak punya jaminan asuransi kesehatan dan keselamatan. Padahal, pekerjaannya mempertaruhkan nyawa di tengah lautan.
Di Indonesia, buruh nelayan lazim mengoperasikan kapal-kapal ikan milik pengusaha/juragan. Mereka memperoleh penghasilan dari mekanisme bagi hasil tangkapannya.
Di luar negeri lain lagi ceritanya. AKP Indonesia bekerja di kapal-kapal ikan asing milik korporasi China, Korea, Jepang, Taiwan, dan Afrika Selatan.
Nasibnya tak sebaik buruh nelayan di kapal domestik Indonesia. Mereka kerap bekerja tanpa upah, apalagi jaminan keselamatan dan kesehatan kerja hingga mengalami penyiksaan maupun perbudakan.
Kerap kali mereka ketahuan setelah mengalami bencana, seperti di kapal Lu Peng Yuan Yu 028, milik China. Lebih tepatnya mengalami pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Kisah buruh nelayan paling tragis dan menghebohkan terjadi pada medio 2015, tepatnya pada PT Pusaka Benjina Resorces (PBR) di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku.
International Organization for Migration (IOM) mencatat sekitar 4.000 nelayan waktu itu bekerja dan diperbudak perusahaan tersebut di pulau-pulau sekitar Benjina. Penyebabnya adalah lemahnya sistem pengawasan.
Mereka bekerja 20-22 jam per hari tanpa gaji dan dikerangkeng dalam Gedung PT PBR nyaris 10 tahun.
Mereka mendapatkan siksaan fisik berupa sayatan dan pemukulan serta dipecut dengan ekor ikan pari. Mereka berasal dari negara tetangga, Thailand dan Miyanmar.
Pascakejadian terungkap, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menerbitkan Peraturan Menteri kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi Hak Asasi Manusia Perikanan (HAMP). Perusahaan PBR pun dicabut izinnya.
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan UU No 6/2023 tentang Cipta Kerja (UUCK) terbaru. Catatan untuk kluster ketenagakerjaan, pertama, tak ada satu pasal pun yang memberikan pelindungan terhadap buruh nelayan maupun AKP.
Buruh yang diprioritaskan mendapatkan pelindungan hanya buruh industri manufaktur untuk kepentingan investasi.
Kedua, terminologi nelayan menjadi kabur akibat tak ada sama sekali kategorisasi nelayan skala kecil dan buruh nelayan.
Buruh nelayan dan AKP sama sekali tak ada ketentuan yang mengatur pelindungannya.
Memang, Indonesia telah memiliki UU No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam dan UU No 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran termasuk AKP.
Bahkan, UU No 18/2017 telah dilengkapi Peraturan Pemerintah (PP) No 22/2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan Migran yang melindungi AKP di kapal ikan asing.
Sayangnya, kasus AKP Indonesia yang mengalami penyiksaan, kematian, dan bekerja tanpa upah di kapal ikan asing terus melonjak.
Umpamanya, pada 2018 berjumlah 1.079 kasus, pada 2019 sebanyak 1.095 kasus, dan pada 2020 sebanyak 1.451 kasus.
Padahal, pelaut Indonesia berjumlah 1,19 juta orang dan berkontribusi terhadap devisa negara sekitar Rp 151 triliun per tahun termasuk dari AKP.
Ironisnya, setelah terbitnya UUCK, ketentuan pelindungan buruh nelayan dan AKP terabaikan demi mengakomodasi kepentingan investasi dan korporasi besar.
Apalagi, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan PP No 11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) sebagai turunan UUCK yang juga tak memberikan jaminan pelindungan buruh nelayan bekerja di kapal ikan Indonesia dan asing. Malah AKP asing diberi karpet merah dan dalam PIT.
Imbasnya, buruh nelayan dan AKP menjadi korban kebijakan negara tanpa pelindungan dan jaminan sosial ketenagakerjaan. Bukankah kebijakan semacam ini merupakan bentuk pemindasan struktural terhadap buruh nelayan atau AKP demi kepentingan akumulasi kapital?
Pelindungan terhadap buruh nelayan maupun AKP menjadi keniscayaan. Bagi AKP, pertama, Pemerintah Indonesia mestinya segera meratifikasi norma pelindungan bagi awak kapal yang diterbitkan International Labour Organization (ILO), yaitu Konvensi ILO No 188 (ILO C-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan yang melindungi AKP di seluruh dunia.
Di dalamnya diatur soal minimum layanan, usia, pengupahan, kerja kontrak, akomodasi dan makanan, pelindungan kesehatan dan perawatan medis, jaminan sosial, serta kepatuhan penegakan hukum.
Kedua, pemerintah mesti menginisiasi kerja sama bilateral dengan negara-negara tujuan penempatan AKP yang esensinya bagaimana memberikan perlindungan bagi mereka. Kalau perlu, Indonesia dan negara-negara tersebut membuat kesepakatan bersama bahwa kejahatan terhadap AKP sebagai pelanggaran HAM berat internasional bagi pelakunya, baik oknum maupun korporasinya.
Sementara bagi buruh nelayan, pertama, pemerintah mesti merevisi dan memasukkan buruh nelayan sebagai entitas baru dalam peraturan perundangan di Indonesia.
Mereka harus diakui eksistensinya dan berhak mendapatkan pelindungan dan jaminan sosial dari negara. Pasalnya, UUD 1945 menjaminnya sebagai hak warga negara.
Kedua, negara mestinya memosisikan nelayan tradisional dan buruh nelayan sebagai komunitas rentan. Pasalnya, aktivitas mereka rawan mengancam jiwanya akibat ekses faktor alamiah (badai, gelombang laut, dan rob) dan dampak perubahan iklim. Lainnya, nyaris 80 persen pasokan pangan protein ikan di Indonesia bersumber dari tangkapan mereka di perairan Indonesia.
Ketiga, negara tak hanya memberikan pelindungan jiwa manusia dan kemanusiaannya, melainkan juga sumber daya ikan dan ekosistemnya dari aktivitas eksploitatif-ekstraktif yang masif. Soalnya memicu perampasan laut (ocean grabbing) dan tragedy of commodity yang memicu deplesi dan krisis ekologi.
Contohnya, privatisasi sumber daya ikan dan wilayah pesisir, pencemaran akibat tumpahan minyak, okupasi dan reklamasi pesisir, serta pertambangan lepas pantai dan laut dalam (deep sea). Mengapa demikian? Pasalnya, ada relasi antara sumber daya dan ekosistemnya sebagai penopang keberlanjutan hidup. (*)
Tags : nelayan, buruh nelayan diperairan indonesia, nelayan butuh kebijakan radikal, pelindungan dan kesejahteraan nelayan,