Nasional   2025/11/20 17:20 WIB

CELIOS Sebut Indonesia Terlalu Ngotot Jualan Hutan Karbon Demi Menanggung 'Dosa' Negara Maju

CELIOS Sebut Indonesia Terlalu Ngotot Jualan Hutan Karbon Demi Menanggung 'Dosa' Negara Maju
Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Eksekutif CELIOS

JAKARTA - Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menilai paviliun Indonesia di Konferensi Iklim ke-30 (KTT COP30) lebih sibuk berjualan karbon ketimbang mencari dukungan untuk menangani ancaman keberlajutan ekosistem gambut dan laut. 

"Indonesia terlalu ngotot jualan hutan."

"Jadi, hilang fokus pemerintah. Alokasi sumber daya, termasuk APBN yang harusnya bisa mendukung masyarakat di pesisir, yang bisa mendukung cara-cara pemanfaatan yang lebih baik, itu semua akhirnya pindah hanya untuk mempromosikan pasar karbon," kata Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara, Rabu (19/11).

Indonesia menawarkan kredit karbon sebagai solusi penanganan krisis iklim. Di dokumen komitmen iklim, Second Nationally Determined Contribution (SNDC), Indonesia secara eksplisit ingin mempersiapkan pasar karbon sukarela (voluntary carbon market/VCM).

Bhima Yudhistira Adhinegara khawatir perdagangan karbon justru menjadi distraksi dalam upaya adaptasi dan mitigasi krisis iklim. 

Dalam setahun terakhir, karbon sebenarnya menjadi pasar yang paling sepi dibandingkan kripto dan saham. 

Menurut Bhima, investor enggan membeli kredit karbon lantaran SNDC tidak mencerminkan keseriusan Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).

Indonesia tidak menghargai keanekaragaman hayati di berbagai ekosistem, kecuali nilai sebagai kredit karbon.

"Kenapa kok yang dijual justru kredit karbonnya? Hanya karena ada beberapa hutan dan laut yang bisa difinansialisasi, tadi (yang) bisa dijual," ucapnya. 

Senada, Deputi Pengelolaan Program dan Jaringan KIARA, Erwin Suryana mengatakan, dalam SNDC, laut dipandang sebagai aset karbon yang bisa diperdagangkan.

SNDC mengkomodifikasi alam, memposisikan laut hanya sekadar komoditas. Negara bertindak sebagai broker iklim, dengan memediasi kapital global dan sumber daya lokal.

"Ini jadinya kayak etalase SNDC ini, yang kemudian pemerintah ini seolah-olah jadi, pedagang eceran," ujar Erwin. 

Menurut Erwin, yang lebih berbahaya justru finansialisasi laut dengan blue carbon sebagai instrumen investasi.

Jadi, laut dan kawasan pesisir akan terhubung dengan lembaga-lembaga keuangan global.

Finansialisasi laut juga menimbulkan risiko akumulasi kapital hijau dan eksklusi sosial.

Meski tanpa peta jalan yang nyata, SNDC berani mengklaim transisi adil bagi nelayan.

Padahal, yang dibutuhkan tata kelola berbasis komunitas dan perlindungan sosial bagi nelayan dalam rangka adaptasi maupun mitigasi krisis iklim. 

SNDC, kata dia, mencerminkan asimetri kekuasaan dalam tata kelola laut, dengan negara menjadi fasilitator pasar karbon dan korporasi sebagai pendana proyek.

Sedangkan masyarakat pesisir hanya bisa menerima dampak tanpa memiliki posisi tawar sama sekali.

"Kecenderungan-kecenderungan mengenai tata kelola partisipasi bermakna di dalam SNDC enggak ada sama sekali. Apalagi, keterlibatan komunitas untuk bagaimana mereka bisa mengelola emisi karbon," tutur Erwin.

Bank Dunia mempromosikan solusi berbasis alam (nature-based solutions) untuk mengatasi krisis iklim yang efektif dan lebih murah ketimbang teknologi. Indonesia merupakan salah satu negara dengan kawasan hutan luas, termasuk di dalamnya lahan gambut yang memiliki kemampuan menyerap karbon tinggi. 

Indonesia menawarkan kawasan hutannya sebagai kredit karbon kepada negara-negara maju yang ingin menebus emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkannya.

Manajer Riset Pantau Gambut, Syafiq Gumilang menganggap, Indonesia sedang menjual 'dirinya' untuk menanggung semua 'dosa' negara-negara maju.

"60 persen lebih kawasan hutan dalam tanda kutip yang bisa diklaim dan dijual ke negara-negara lain, bahwa kami punya hutan luasnya 60 persen dari daratan Indonesia itu sendiri, padahal kalau pun fisiknya bisa diperiksa, yang secara fisik bukan hutan (di dalam kawasan hutan) pun banyak. Jadi, status (sebagai) kawasan hutan itu penting dalam konteks ini," ujar Syafiq. 

Sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (forestry and other land use), kata dia, sudah disebut sebagai penyelamat emisi global sejak 2022 dan diproyeksikan akan terus mengurangi emisi GRK hingga 2030 nanti.

"(Terkait) Apakah hutan benar-benar dapat menjadi penyelamat krisis iklim global ke depannya? Itu pertanyaan politis. Jadi, jawabannya akan bergantung dengan kepentingan-kepentingan politik yang sedang beroperasi. Kecenderungan saat ini, melalui pembacaan SNDC, sebenarnya bisa dibaca arah (Indonesia) ke mana," ucapnya. 

Ia menyesalkan SNDC tidak dapat menjadi momentum pencegahan deforestasi sebagai upaya mitigasi krisis iklim. (*)

Tags : Center of Economic and Law Studies, Celios, KTT COP30, Jakarta,