SEBUAH catatan yang dituliskan oleh Raja Ali Haji di dalam Tuhfat al-Nafis, menjadi bukti bagaimana kedigdayaan Sultan Mahmud Syah III saat menghadapi pasukan Belanda.
"Seekor Holanda pun tiada lagi tinggal dalam Negeri Riau setelah diserang pasukan Sultan Mahmud Riayat Syah itu."
Pertempuran hebat antara pasukan Sultan Mahmud Syah III dengan pasukan Belanda ini, terjadi di Riau Lingga. Peristiwa ini bermula saat Belanda mengirim David Ruhde ke Hulu Riau, pada bulan Juni 1785 untuk memegang jabatan Residen Belanda.
Kehadiran Belanda di Riau-Lingga tersebut, tidak disenangi oleh Sultan Mahmud Syah III. Dengan penuh kecerdikan dan siasat perang intelijen yang hebat, Sultan Mahmud Syah III berhasil mengirimkan utusannya secara diam-diam, Encik Talib ke wilayah Tempasuk di Sabah, Kalimantan.
Encik Talib memiliki tugas untuk mengirimkan pesan Sultan Mahmud Syah III, untuk meminta bantuan kepada Raja Tempasuk, Raja Ismail asal Johor untuk memerangi Belanda di Riau-Lingga. Pesan dari Sultan Mahmud Syah III itu, mendapatkan respons yang sangat baik dari Raja Tempasuk.
Bahkan, Raja Tempasuk mengirim tiga anaknya, yakni Raja Tebuk, Raja Alam, dan Raja Muda Umak, serta Datuk Sikolo. Pasukan bantuan ini dipimpin seorang panglima, yakni Raja Ismail.
Bupati Lingga, Muhammad Nizar, bersama dengan Forkopimda Lingga melakukan ziarah dan tabur bunga di Taman Makam Pahlawan Nasional, Sultan Mahmud Raiyat Syah III yang berada di belaknag Masjid Jami' Sultan Lingga, Rabu (10/11/2021).
Penyusupan pasukan Sultan Mahmud Syah III, didukung pasukan bantuan dari Raja Tempasuk yang dipimpin Raja Ismail, mulai melakukan penyusupan pada 13 Mei 1787.
Pasukan ini menyusup ke selatan Terusan Riau, melalui jalur Penyengat, dan Senggarang. Pada tengah malam, pasukan Sultan Mahmud Syah III mulai berada di benteng kecil yang berada di atas sebuah bukit.
Pasukan ini terus maju menyusuri pegunungan dan bergerak cepat ke kapal besar yang mengangkut barang dagangan.
Tepat di dekat pelabuhan tempat kapal besar pengangkut barang dagangan itu merapat, pertempuran hebat tak dapat terelakkan lagi.
Pasukan Sultan Mahmud Syah III, dengan gagah berani menggempur dan menghabisi satu garnisun pasukan Belanda yang ditempatkan di Hulu Riau.
Serangan mematikan itu, berhasil mengalahkan Belanda di Riau-Lingga pada bulan Mei 1787. Akibat dari serangan mematikan dari pasukan Sultan Mahmud Syah III itu, membuat pasukan Belanda kocar-kacir.
Residen Belanda yang baru di tempatkan di Hulu Riau, David Ruhde harus melarikan diri ke Melaka, untuk menyelamatkan diri dari serangan Sultan Mahmud Syah III.
Sultan Mahmud Syah III, memiliki gelar Paduka Sri al-Wakil al-Imam Sultan Mahmud Riayat Syah Zilullah fil-Alam Khalifat ul-Muminin ibni al-Marhum Sultan Abdul Jalil Syah.
Dia merupakan Sultan dan Yang di Pertuan Besar Johor Pahang Riau Lingga ke-15. Memerintah selama tahun 1770-1881. Selaku Sultan, Mahmud Syah III memimpin wilayah kesultanannya dengan dibantu empat orang Yang Dipertuan Muda (YDM), yakni YDM Daeng Kemboja (1745-1777), YDM Raja Haji Fisabilillah (1777-1784), YDM Raja Ali (1784-1805), dan YDM Raja Jaafar (1805-1831).
Berkat peran dan perjuangannya bagi negara, Presiden Joko Widodo menganugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada Sultan Mahmud Riayat Syah atau Sultan Mahmud Syah III.
Penganugerahan gelar pahlawan nasional ini, dilangsungkan di Istana Negara pada Kamis (9/11/2017). Sultan Mahmud Syah III naik takhta pada usia sekitar 14 tahun menggantikan kakaknya, Ahmad Riayat Syah. Pelantikan Mahmud Syah III sebagai sultan digambarkan dalam Tuhfat al-Nafis dengan suasana yang sangat meriah.
Ia digendong menuju kursi kebesaran Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga oleh seorang Bugis yang bernama To Kubu.
Pada saat pelantikan itu, pihak Bugis dan Melayu sepakat untuk mengakui Mahmud Syah III sebagai Raja Johor-Riau-Lingga yang harus disegani.
Pada awal masa pemerintahannya, jabatan Yang Dipertuan Muda dipegang oleh kepala suku Bugis yang kuat, Daeng Kemboja (menjabat 1745-1777). Baru pada tahun 1777 jabatannya digantikan oleh Raja Haji Fisabilillah (menjabat 1777-1784).
Pada Agustus 1784, tentara Belanda mulai menyerang pusat pemerintahan Johor di Hulu Riau. Kemudian pada Oktober 1784, kapal Utrecht dan enam buah kapal perang yang dipimpin oleh laksamana Jacob Pieter van Braam datang menyerang Riau.
Pertempuran meletus antara Johor dan Belanda di Hulu Riau yang berakhir dengan kemenangan Belanda atas Johor. Yamtuan Muda Raja Ali (pengganti Raja Haji Fisabilillah yang syahid di Teluk Ketapang) kemudian meninggalkan Pulau Bintan ke Sukadana.
Sultan Mahmud Syah III yang berada di Riau kemudian menandatangani perjanjian dengan VOC di kapal Utrecht pada tanggal 10 November 1784.
Di antara isi perjanjian tersebut mencatatkan bahwa pelabuhan Riau menjadi milik Belanda, menyerukan berakhirnya monopoli Bugis di atas kantor Yamtuan Muda, hingga melarang orang Bugis lainnya untuk memegang jabatan di pemerintahan Johor.
Ada beberapa versi terkait tahun dia wafat, di antaranya adalah menurut catatan Christopher Buyers di halaman website RoyalArk-nya menuliskan Sultan Mahmud Syah III wafat pada tanggal 12 Januari 1811. Sedangkan C.H. Wake dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society yang berjudul Raffles and the Rajas: The Founding of Singapore in Malaysian and British Colonial History menuliskan bahwa Sultan Mahmud Syah III mangkat pada tanggal 12 Januari 1812.
Sebuah catatan yang dituliskan oleh Raja Ali Haji di dalam Tuhfat al-Nafis, menjadi bukti bagaimana kedigdayaan Sultan Mahmud Syah III saat menghadapi pasukan Belanda.
Pertempuran hebat antara pasukan Sultan Mahmud Syah III dengan pasukan Belanda ini, terjadi di Riau Lingga. Peristiwa ini bermula saat Belanda mengirim David Ruhde ke Hulu Riau, pada bulan Juni 1785 untuk memegang jabatan Residen Belanda.
Kehadiran Belanda di Riau-Lingga tersebut, tidak disenangi oleh Sultan Mahmud Syah III. Dengan penuh kecerdikan dan siasat perang intelijen yang hebat, Sultan Mahmud Syah III berhasil mengirimkan utusannya secara diam-diam, Encik Talib ke wilayah Tempasuk di Sabah, Kalimantan. Encik Talib memiliki tugas untuk mengirimkan pesan Sultan Mahmud Syah III, untuk meminta bantuan kepada Raja Tempasuk, Raja Ismail asal Johor untuk memerangi Belanda di Riau-Lingga.
Pesan dari Sultan Mahmud Syah III itu, mendapatkan respons yang sangat baik dari Raja Tempasuk. Bahkan, Raja Tempasuk mengirim tiga anaknya, yakni Raja Tebuk, Raja Alam, dan Raja Muda Umak, serta Datuk Sikolo.
Pasukan bantuan ini dipimpin seorang panglima, yakni Raja Ismail. Penyusupan pasukan Sultan Mahmud Syah III, didukung pasukan bantuan dari Raja Tempasuk yang dipimpin Raja Ismail, mulai melakukan penyusupan pada 13 Mei 1787. Pasukan ini menyusup ke selatan Terusan Riau, melalui jalur Penyengat, dan Senggarang.
Pada tengah malam, pasukan Sultan Mahmud Syah III mulai berada di benteng kecil yang berada di atas sebuah bukit. Pasukan ini terus maju menyusuri pegunungan dan bergerak cepat ke kapal besar yang mengangkut barang dagangan. Tepat di dekat pelabuhan tempat kapal besar pengangkut barang dagangan itu merapat, pertempuran hebat tak dapat terelakkan lagi. Pasukan Sultan Mahmud Syah III, dengan gagah berani menggema.
Pertempuran hebat antara pasukan Sultan Mahmud Syah III dengan pasukan Belanda ini, terjadi di Riau Lingga. Peristiwa ini bermula saat Belanda mengirim David Ruhde ke Hulu Riau, pada bulan Juni 1785 untuk memegang jabatan Residen Belanda.
Penyusupan pasukan Sultan Mahmud Syah III, didukung pasukan bantuan dari Raja Tempasuk yang dipimpin Raja Ismail, mulai melakukan penyusupan pada 13 Mei 1787.
Pasukan ini menyusup ke selatan Terusan Riau, melalui jalur Penyengat, dan Senggarang. Pada tengah malam, pasukan Sultan Mahmud Syah III mulai berada di benteng kecil yang berada di atas sebuah bukit. Pasukan ini terus maju menyusuri pegunungan dan bergerak cepat ke kapal besar yang mengangkut barang dagangan.
Tepat di dekat pelabuhan tempat kapal besar pengangkut barang dagangan itu merapat, pertempuran hebat tak dapat terelakkan lagi. Pasukan Sultan Mahmud Syah III, dengan gagah berani menggempur dan menghabisi satu garnisun pasukan Belanda yang ditempatkan di Hulu Riau.
Serangan mematikan itu, berhasil mengalahkan Belanda di Riau-Lingga pada bulan Mei 1787. Akibat dari serangan mematikan dari pasukan Sultan Mahmud Syah III itu, membuat pasukan Belanda kocar-kacir.
Residen Belanda yang baru di tempatkan di Hulu Riau, David Ruhde harus melarikan diri ke Melaka, untuk menyelamatkan diri dari serangan Sultan Mahmud Syah III.
Sultan Mahmud Syah III, memiliki gelar Paduka Sri al-Wakil al-Imam Sultan Mahmud Riayat Syah Zilullah fil-Alam Khalifat ul-Muminin ibni al-Marhum Sultan Abdul Jalil Syah.
Berkat peran dan perjuangannya bagi negara, Presiden Joko Widodo menganugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada Sultan Mahmud Riayat Syah atau Sultan Mahmud Syah III.
Penganugerahan gelar pahlawan nasional ini, dilangsungkan di Istana Negara pada Kamis 9 November 2017. Sultan Mahmud Syah III naik takhta pada usia sekitar 14 tahun menggantikan kakaknya, Ahmad Riayat Syah. Pelantikan Mahmud Syah III sebagai sultan digambarkan dalam Tuhfat al-Nafis dengan suasana yang sangat meriah.
Ia digendong menuju kursi kebesaran Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga oleh seorang Bugis yang bernama To Kubu. Pada saat pelantikan itu, pihak Bugis dan Melayu sepakat untuk mengakui Mahmud Syah III sebagai Raja Johor-Riau-Lingga yang harus disegani.
Pada awal masa pemerintahannya, jabatan Yang Dipertuan Muda dipegang oleh kepala suku Bugis yang kuat, Daeng Kemboja (menjabat 1745-1777). Baru pada tahun 1777 jabatannya digantikan oleh Raja Haji Fisabilillah (menjabat 1777-1784).
Pada Agustus 1784, tentara Belanda mulai menyerang pusat pemerintahan Johor di Hulu Riau. Kemudian pada Oktober 1784, kapal Utrecht dan enam buah kapal perang yang dipimpin oleh laksamana Jacob Pieter van Braam datang menyerang Riau.
Pertempuran meletus antara Johor dan Belanda di Hulu Riau yang berakhir dengan kemenangan Belanda atas Johor. Yamtuan Muda Raja Ali (pengganti Raja Haji Fisabilillah yang syahid di Teluk Ketapang) kemudian meninggalkan Pulau Bintan ke Sukadana.
Sultan Mahmud Syah III yang berada di Riau kemudian menandatangani perjanjian dengan VOC di kapal Utrecht pada tanggal 10 November 1784.
Di antara isi perjanjian tersebut mencatatkan bahwa pelabuhan Riau menjadi milik Belanda, menyerukan berakhirnya monopoli Bugis di atas kantor Yamtuan Muda, hingga melarang orang Bugis lainnya untuk memegang jabatan di pemerintahan Johor.
Ada beberapa versi terkait tahun dia wafat, di antaranya adalah menurut catatan Christopher Buyers di halaman website RoyalArk-nya menuliskan Sultan Mahmud Syah III wafat pada tanggal 12 Januari 1811. Sedangkan C.H.
Wake dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society yang berjudul Raffles and the Rajas: The Founding of Singapore in Malaysian and British Colonial History menuliskan bahwa Sultan Mahmud Syah III mangkat pada tanggal 12 Januari 1812.
Sultan Mahmud Riayat Syah atau Sultan Mahmud Syah III adalah Sultan yang di-Pertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga.
Ia memerintah dari tahun 1770 sampai 1811.
Sultan Mahmud Riayat Syah terkenal dengan kegigihannya dalam melawan Belanda.
Ia melawan Belanda dengan strategi perang gerilya Laut, sehingga kedaulatan Sultan Mahmud Riayat Syah diakui oleh Belanda sebagai penguasa terbesar kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang.
Sultan Mahmud Riayat Syah lahir di Hulu Riau, 24 Maret 1756. Ayahnya adalah Sultan Johor ke-13 bernama Abdul Jalil Muazzam Syah.
Sang ibu adalah Tengku Puteh binti Daeng Chelak. Meskipun Sultan Mahmud Riayat Syah adalah anak bungsu, sejak usia 14 tahun ia telah menjadi sultan.
Ketika ia akhirnya memimpin menjadi Sultan, Sultan Mahmud Riayat Syah memiliki empat orang yang di-Pertuan Muda (YDM). Keempat orang tersebut adalah YDM Daeng Kemboja, YDM Raja Hasi Fisabilillah, YDM Raja Ali, dan YDM Raja Jaafar.
Setelah Sultan Mahmud Riayat Syah memimpin, tahun 1784 Belanda mulai menyerang Kerajaan Johor di Hulu Riau. Belanda mengirim kapal utrecht serta enam buah kapal perang di bawah komando Jacob Pieter van Braam.
Perang antara Johor dan Belanda pun pecah yang berakhir dengan kemenangan Belanda. Akhirnya pada 10 November 1784, Sultan Mahmud Riayat Syah menandatangani perjanjian dengan VOC.
Perjanjian tersebut menyatakan bahwa: Pelabuhan Riau menjadi milik Belanda Monopoli Bugis di atas kantor YMD harus berakhir Larangan untuk orang Bugis memegang jabatan di pemerintahan Johor Pada Juni 1785, Belanda kembali ke Hulu Riau yang menimbulkan rasa tidak senang Sultan Mahmud Riayat Syah.
Ia pun menghimpun kekuatan dengan Raja Tempasuk dan Raja Ismail asal Johor untuk melawan Belanda. Pertempuran dimulai pada 13 Mei 1787 dengan pasukan Sultan Mahmud Riayat Syah yang melakukan gerilya. Belanda pun berhasil terpukul mundur pada Mei 1787. Strategi gerilya laut yang dilakukan Sultan Mahmud Riayat Syah berhasil menumpas Belanda.
Akhir Hayat Sultan Mahmud Riayat Syah wafat di Daik, Lingga, 12 Januari 1811. Jasadnya dimakamkan di belakang Majid Sultan, Daik Lingga. Untuk menghargai jasa-jasanya, Presiden Joko Widodo menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional Indonesia. Upacara tersebut dilakukan di Istana Negara pada 9 November 2017 berdasarkan Kepres RI No. 115/TK/ Tahun 2017.
Frofil Sultan Mahmud Riayat Syah III
Sultan 3 Negara di Masanya
Di tanah Melayu, Sultan Mahmud Riayat Syah adalah sosok terkenal, bahkan hingga kini. Ia adalah Sultan Johor-Pahang-Riau-Lingga dengan wilayah taklukannya kini menjadi tiga buah negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia.
Sultan Mahmud lahir pada tanggal 24 Maret 1756. Ia adalah anak bungsu dari sultan Johor ke-13, Abdul Jalil Muazzam Syah dengan istri keduanya, Tengku Puteh.
Menurut catatan sejarah, ia diangkat menjadi sultan pada saat masih belia, yakni berusia 14 tahun. Sepanjang hidupnya, ia aktif dalam melawan Belanda.
Strategi gerilya laut yang dikembangkannya melawan Belanda menjadikan sosok ini jadi lawan yang ulet bagi Belanda hingga ia wafat.
Ia memerintah dari tahun 1770 sampai 1811. Sultan Mahmud Riayat Syah, terkenal dengan kegigihannya dalam melawan Belanda.
Ia melawan Belanda dengan strategi perang gerilya Laut, sehingga kedaulatan Sultan Mahmud Riayat Syah diakui oleh Belanda. Yakni sebagai penguasa terbesar kesultanan, di tanah Melayu pada masa itu.
Ketika memimpin menjadi Sultan, Sultan Mahmud Riayat Syah memiliki empat orang yang di-Pertuan Muda.
Pada tahun 1784 Belanda mulai menyerang Kerajaan Johor di Hulu Riau. Belanda mengirim kapal utrecht serta enam buah kapal perang, di bawah komando Jacob Pieter van Braam.
Perang antara Johor dan Belanda pun pecah yang berakhir, dengan kemenangan Belanda. Akhirnya, pada 10 November 1784, Sultan Mahmud Riayat Syah menandatangani perjanjian dengan VOC.
Perjanjian tersebut menyatakan bahwa Pelabuhan Riau menjadi milik Belanda, Monopoli Bugis di atas kantor YMD harus berakhir, dan Larangan untuk orang Bugis memegang jabatan di pemerintahan Johor.
Pada Juni 1785, Belanda kembali ke Hulu Riau yang menimbulkan rasa tidak senang Sultan Mahmud Riayat Syah.
Ia pun menghimpun kekuatan dengan Raja Tempasuk dan Raja Ismail asal Johor, untuk melawan Belanda. Pertempuran dimulai pada 13 Mei 1787, dengan pasukan Sultan Mahmud Riayat Syah yang melakukan gerilya.
Berkat strategi perangnya di perairan tempat ia memimpin, Belanda pun berhasil di pukul mundur pada Mei 1787. Wajar, jika Sultan Mahmud kemudian dijuluki 'sang Hantu Laut' dari tanah Melayu.
Sultan Mahmud Riayat Syah wafat di Daik, Lingga, 12 Januari 1811. Jenazahnya kemudian dimakamkan di belakang Majid Sultan, Daik Lingga, dan hingga kini masih ramai diziarahi masyarakat hingga para tokoh ternama.
Untuk menghargai jasa-jasanya, Presiden Joko Widodo menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional Indonesia, pada tahun 2017 lalu.
Berhijrah ke Lingga demi Kelangsungan Perjuangan
Motivasi Sultan Mahmud Riayat Syah berhijrah ke Daik, Lingga, di dalam buku Sejarah Kejuangan dan Kepahlawanan Sultan Mahmud Riayat Syah (2012) jelas strategi hebat Sultan Mahmud Riayat Syah untuk melawan Belanda.
Dalam tradisi Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, bahkan tradisi pemerintahan Islam nusantara yang lain juga, pemindahan pusat kerajaan dari suatu tempat ke tempat lain di dalam wilayah kesultanan itu bukanlah sesuatu yang baru. Tatkala kesultanan berpusat di Johor, pemindahan pusat pemerintahan ke tempat-tempat yang berbeda di sepanjang Sungai Johor telah berkali-kali dilakukan oleh para sultan masa itu.
Kerajaan yang lebih awal yakni Kerajaan Bintan-Temasik, kecuali perpindahan dari Bintan ke Temasik (Singapura) dengan alasan mencari tempat yang lebih strategis untuk pengembangan kawasan, pemindahan pusat kerajaan dari Singapura ke Melaka juga dengan alasan yang sama.
Begitu jugalah halnya dengan pemindahan pusat kesultanan dari Johor ke Hulu Riau atau Sungai Carang (kawasan Kota Tanjungpinang,
Pertempuran Sultan Mahmud Riayat Syah III yang dahsyat melawan Belanda
Pulau Bintan, sekarang) yang dilakukan oleh Sultan Ibrahim Syah. Sultan memindahkan pusat pemerintahan sekaligus membawa rakyat dalam jumlah yang sangat besar. Hulu Riau memang telah dirancang untuk menjadi pusat pemerintahan setelah Sultan Abdul Jalil Syah III menitahkan Laksemana Tun Abdul Jamil membuka Hulu Riau (Sungai Carang) untuk dijadikan bandar (kota) pada 1673.
Begitulah pusat pemerintahan Kemaharajaan Melayu itu berpindah semula ke Pulau Bintan setelah sekian lama berpusat di Semenanjung sejak Kerajaan Bintan-Temasik, Kemaharajaan Melaka, dan masa-masa awal Kemaharajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang, dengan selaannya ketika Sultan Mahmud Syah I (Sultan Melaka) memindahkan pusat kesultanan dari Melaka ke Bintan pada 1511, untuk kemudian dipindahkan semula ke Semenanjung (Sungai Johor) pada 1630-an oleh Sultan Alauddin Riayat Syah setelah ayahnda Baginda, Sultan Mahmud Syah I, mangkat.
Perpindahan itu dilakukan oleh raja-raja Melayu sebagai strategi dan taktik untuk menghadapi pencerobohan pihak-pihak musuh yang berusaha menguasai dan atau menjajah wilayah kerajaan yang memang dianugerahkan oleh Allah dengan kekayaan yang berlimpah ruah.
Di pusat kerajaan yang baru sultan menghimpun kekuatan baru dan menggunakan strategi yang baru pula sehingga kerajaan tak dapat dikuasai oleh pihak musuh.
Pada awal kedatangannya para musuh itu mengaku sahabat, bahkan saudara, dengan maksud menjalin persahabatan dan mengadakan perhubungan bisnis, khasnya perdagangan, yang saling menguntungkan, termasuk pihak Belanda.
Alih-alih, matlamatnya berubah menjadi memuaskan syahwat menjajah. Begitulah yang dilakukan oleh “para sahabat” asing dan sesama nusantara kala itu.
Dalam senarai sahabat sesama kerajaan nusantara sejarah mencatat Kerajaan Majapahit pernah menyerang Kerajaan Bintan-Temasik ketika berpusat di Singapura. Kerajaan Aceh dan Jambi pula mencerobohi Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang ketika berpusat di Sungai Johor.
Sebelum itu, Peringgi (Portugis) merebut Melaka pada 1511, untuk selanjutnya Belanda dan Inggris berupaya merebut dan saling berebut Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Pada 1824 kedua kuasa asing itu (Belanda dan Inggris) membelah bagi kawasan “permakanan” mereka, meminjam istilah Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III).
Kawasan kerajaan bahagian Semenanjung menjadi permakanan pihak Inggris, sedangkan kawasannya di Kepulauan Riau dan sekitarnya untuk permakanan Belanda.
Hanya dengan alasan strategi menghadapi “sahabat” yang kemudian menjelmakan dirinya menjadi musuh sajakah yang menjadi pertimbangan Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan pusat pemerintahan dari Hulu Riau di Sungai Carang, Tanjungpinang sekarang ke Daik, Lingga?
Riwayat pilu yang dialami Belanda yang dikisahkan oleh E. Netscher, Residen Belanda di Tanjungpinang pada 1865, dalam bukunya De Nederlanders in Djohor en Siak 1602 tot 1865 (Batavia: Bruijning en Wijt Batavia, 1870).
Subuh hari tanggal 13 Mei 1787 musuh (maksudnya, pasukan Sultan Mahmud Riayat Syah, A.M.) menyusup ke selatan Terusan Riau melalui Penyengat dan Senggarang. Pukul 7.00 malam komandan benteng kecil di bukit bersama orang Eropa dan kapitan pribumi memperhatikan bagaimana musuh memperkuat diri dengan dibantu oleh orang pribumi.
(Sebagai catatan, dalam menggempur tentara Belanda di Tanjungpinang ini, Sultan Mahmud Riayat Syah bersekutu dengan Raja Tempasuk yang membantu Baginda dengan mengirimkan tentaranya. Yang dimaksud dengan orang pribumi oleh Netscher ini adalah rakyat Sultan, yang tak lain penduduk Pulau Bintan, A.M.)
Kisahnya dilanjutkan Netscher, tak lama kemudian musuh pun mara (maju) dari arah gunung merapat ke pinggir pencalang dan slup sehingga pertempuran tak terelakkan lagi. Di pencalang Bangka terdapat Residen D. Ruhde dan Komandan J.C. Vetter dan beberapa opsir.
Lalu, dua buah perahu musuh (maksudnya, tentara Sultan Mahmud, A.M.) mendekati Selat Singapura, sementara kapal Bangka terus menuju ke Melaka (maksudnya, melarikan diri, A.M.). Dalam pada itu, slup Johanna tetap tinggal di Riau (maksudnya Tanjungpinang) dan tersadai (terdampar) di pasir ditawan oleh musuh-musuh itu (tentulah yang dimaksudkannya pasukan Sultan Mahmud, A.M.).
Begitulah E. Netscher, Residen Belanda di Riau (1861—1870), berkisah pilu tentang penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Sultan Mahmud Riayat Syah dengan nada sangat datar, seolah-olah mereka tak mengalami kekalahan yang berarti. Padahal, serangan pasukan Sultan Mahmud itu telah menghancurluluhkan satu garnizun Belanda di Tanjungpinang. Bahkan, Residen Belanda di Tanjungpinang kala itu, David Ruhde, yang terkenal angkuh harus melarikan diri tunggang-langgang ke Melaka dengan kapal yang diberi nama Bangka.
Tentang peristiwa itu, Raja Ahmad Engku Haji Tua dan putranya, Raja Ali Haji, menguncinya di dalam Tuhfat al-Nafis, “Seekor Holanda pun tiada lagi tinggal dalam Negeri Riau” setelah diserang pasukan Sultan Mahmud Riayat Syah itu.
Seperti yang dikisahkan oleh Netscher juga, Belanda di Melaka memang mengetahui bahwa tokoh intelektual dari serbuan terhadap dan mempermalukan Belanda di Tanjungpinang itu adalah Sultan Mahmud Riayat Syah dan Yang Dipertuan Muda V Raja Ali.
Sultan sangat hafal akan perangai Belanda, mereka pasti akan melakukan serangan balik dalam jumlah tentara yang lebih banyak. Dan, betul. Tak lama setelah peristiwa itu, Belanda datang ke Tanjungpinang dengan angkatan perang yang besar di bawah pimpinan Pieter Jacob van Braam. Namun, apakah yang mereka temui? Ternyata, Sultan bersama rakyat sekaliannya tak ada lagi di pusat kesultanan di Pulau Bintan.
Sultan telah memindahkan pusat kesultanan ke Daik, Lingga. Sultan membawa rakyatnya dengan 200 perahu ke Lingga, Bendahara Abdul Majid dengan 150 perahu ke Pahang, ada pula yang ke Bulang, Trengganu, Kalimantan, dan kawasan-kawasan lain di bawah takluk Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang.
Perpindahan yang berpencar itu memang disengaja oleh Sultan Mahmud sebagai taktik atau strategi jika satu kawasan diserang, maka tentara dan rakyat dari kawasan lain akan menyerbu secara bersama-sama sehingga musuh akan kewalahan.
Ternyata, pihak Belanda pun memaklumi taktik Sultan Mahmud sehingga mereka tak bernyali menyerang Baginda ke Lingga. Di dalam memori mereka tercatat bahwa “Sultan Mahmud Riayat Syah adalah seorang pembangkang”. Memang, tak pernah ada kata menyerah dan tunduk kepada Belanda dalam kamus kehidupan seorang Sultan Mahmud Riayat Syah.
Sultan menyadari setelah Perang Teluk Ketapang, Melaka, yang menyebabkan YDM Raja Haji syahid fisabilillah, gugur di medan perang, tentara kesultanan tak terlalu kuat lagi. Oleh sebab itu, untuk keselamatan negara dan rakyat, Baginda memilih berhijrah ke Lingga. Di Lingga Baginda dapat menghimpun kekuatan tentara dan rakyat kembali.
Dari Lingga itu pulalah beliau membuat koalisi nusantara yang terdiri atas Selangor, Trengganu, kerajaan-kerajaan di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan kerajaan-kerajaan di bawah takluk Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Tak hanya itu, Baginda pun membangun infrastuktur kerajaan di Lingga seperti istana, mesjid, benteng-benteng pertahanan, dan sebagainya.
Dengan visi kemajuannya, Baginda pun mengembangkan perkebunan sagu secara besar-besaran dan membuka pertambangan timah sehingga rakyat menjadi sejahtera dan negara menjadi makmur kembali walaupun mereka telah meninggalkan harta-benda di Pulau Bintan dan untuk sementara dikuasai oleh pihak lain.
Bagi pemimpin Melayu sejati seperti Sultan Mahmud Riayat Syah, “Harta dunia boleh dicari, tetapi marwah bangsa jangan pernah tergadai!”
Lingga merupakan kawasan yang tak mudah dijangkau oleh pihak musuh merupakan salah satu pertimbangan Sultan untuk berhijrah ke sana.
Di samping itu, Baginda yang memiliki ketajaman visi yang luar biasa dalam membangun telah memprediksi bahwa dengan potensi yang dimilikinya, Lingga, kalau dibangun dengan benar, akan menjadi kekuatan ekonomi yang besar bagi kerajaan. Itulah sebabnya, Baginda membangun kesultanan yang berbasis di Lingga meliputi pelbagai aspek dengan semangat, perencanaan, dan strategi yang memukau. Baginda membuktikan bahwa kerja keras dalam membangun dan upaya menangkis pencerobohan anasir luar dapat dilakukan dengan gemilang.
Baginda menerapkan sistem otonomi luas untuk memajukan negeri: Yang Dipertuan Muda ditempatkan di Penyengat, Bendahara di Pahang, dan Temenggung di Johor. Alhasil, kesemua kawasan kesultanan itu maju pesat. Begitulah kecemerlangan Sultan Mahmud Riayat Syah yang hidup pada abad ke-18, tetapi pemikirannya telah mencecah abad ke-21.
Tentara kesultanan terus mengacau perdagangan Belanda di Selat Melaka. Akhirnya, kejayaan Belanda di Melaka pun runtuh. Itulah bukti nyata bahwa hijrahnya Sultan Mahmud ke Lingga merupakan salah satu strategi politik-pemerintahan dan perang yang sangat hebat dalam melawan Belanda.
Menyadari ketangguhan pemimpin yang berwibawa itu, pada 1795 Inggris mengakui kedaulatan penuh Sultan Mahmud Riayat Syah di Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Pengakuan itu pun, kemudian, dilakukan oleh Belanda meskipun terkesan terlambat.
Tugu selamat datang Sultan Mahmud Riayat Syah III
Apa kata Sultan Mahmud Riayat Syah menanggapi pengakuan Pemerintah Belanda itu?
Baginda hanya mengucapkan ungkapan pendek, tetapi menikam, “Terima kasih!” Dan, Sultan Mahmud Riayat Syah menjadi pemimpin yang memerintah selama 51 tahun, yang tak pernah dapat disentuh oleh pihak asing walaupun kuasa luar itu sangat bernafsu untuk menangkap, membuang, memenjarakan, bahkan membunuhnya.
Untuk mewarisi semangat dan perjuangan Sultan Mahmud Riayat Syah ini, kita yang hidup sekarang patutlah menghayati syair Raja Ali Haji, “Ayuhai segala raja menteri, serta pegawai kanan dan kiri, hendaklah jaga ingatkan negeri, [daripada jarahan] perampok penyamun perompak pencuri.”
Soal Baginda ditabalkan menjadi Pahlawan Nasional Indonesia atau tidak, bukanlah hal yang terlalu mustahak bagi kita. Yang pasti, Baginda telah menjadi pahlawan di hati kita, suri tauladan kita hari ini, sebagai pemimpin besar yang senantiasa mengutamakan kejayaan marwah negeri dan rakyat sekaliannya. Ketauladanan seperti itu sangat sulit dicari sanding dan bandingnya sampai setakat ini. Selamat memperingati Hari Pahlawan!. (*)
Sumber: Berbagai sumber
Tags : cerita pahlawan nasional, pahlawan nasional asal kepulauan riau, pahlawan nasional asal kepri, sultan mahmud riayat syah ,