JAKARTA - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) merekomendasikan sejumlah kebijakan berkaitan dengan perkembangan industri sawit di Indonesia. Salah satu yang paling disorotinya yakni masih minimnya sertifikasi lahan sawit di Indonesia.
Peneliti Mitra CIPS Samuel Pablo Pareira mengatakan, hadirnya dua skema sertifikasi yakni Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk para pelaku perkebunan, dipandangnya justru malah saling tumpang tindih dan menghambat justru menghambat target antar keduanya.
Per Agustus 2022, tercatat sebanyak 2,42 juta hektare lahan sawit atau sekitar 16,6% telah tersertifikasi RSPO alias sertifikasi sukarela. Sementara untuk ISPO atau sertifikasi wajib, per November 2022 ada sebanyak 3,65 juta hektar lahan atau 25%.
"Terutama karena biaya sertifikasi yang mahal, ini membuat perusahaan sekaligus petani untuk memilih sehingga capaian sertifikasinya tidak optimal," katanya, dikutip dari kanal Youtube CIPS, Jumat (31/3/2023).
Adapun biaya sertifikasi ini bisa mencapai hingga Rp 250 juta. Tidak hanya itu, rumitnya birokrasi untuk memperoleh bantuan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) juga semakin menghambat proses sertifikasi lahan.
Selaras dengan kondisi tersebut, pihaknya merekomendasikan agar BPDP-KS mereformasi penggunaan Dana Litbang Kelapa Sawit yang diperoleh dari pungutan ekspor CPO dan turunannya itu.
"Alokasi penggunaan dana ini harus memprioritaskan program peremajaan sawit rakyat (PSR) atau replanting dibandingkan pengembangan biodiesel B35," katanya.
Tidak hanya itu, Samuel juga menilai bahwa perlu adanya harmonisasi antara kedua sertifikasi tersebut sebagai solusi sehingga keduanya tidak saling tumpang tindih.
Menanggapi hal ini, Direktur Pengolahan & Pemasaran Hasil Perkebunan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Prayudi Syamsuri mendukung rekomendasi tersebut. Pada dasarnya, pihaknya telah menyiapkan anggaran PSR atau replanting untuk sebanyak 180 ribu hektare per tahunnya.
"Di sisi lain sudah disiapkan anggaran subsidi biodiesel untuk B35. Namun memang tidak semudah anggaran biodiesel, untuk penyerapan anggaran BPDP-KS tadi. Jadi kalau dalam hal alokasi sebenarnya belum menyerap dari semua yang telah disiapkan pemerintah dalam hal PSR ini," ujarnya.
Prayudi juga mengakui, proses identifikasi lahan kebun rakyat ini mendatangkan tantangan tersendiri, terutama menyangkut apakah lahan tersebut memenuhi syarat atau tidaknya. Dengan demikian, ia mengimbau kepada masyarakat untuk saling membantu dalam hal tersebut.
Sebagai tambahan informasi, Program PSR merupakan salah satu Program Strategis Nasional sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan produktivitas tanaman perkebunan kelapa sawit nasional.
BPDPKS sebelumnya telah menyampaikan, setiap tahunnya menyiapkan dana hibah untuk program peremajaan sawit rakyat (PSR) Rp 5,6 triliun. Realisasi dana itu setara dengan target peremajaan sawit dari pemerintah setahun 180.000 hektare (ha).
Namun, nyatanya target itu belum tercapai. Sebelumnya, diketahui realisasi subsidi atau dana hibah untuk petani yang melakukan peremajaan sawit baru sebesar Rp 7,5 triliun. Realisasi itu dari peremajaan sawit sebesar 273.000 hektare sejak 2016 hingga 2022.
"Sebetulnya dari kami BPDPKS menyediakan full untuk 180.000 ha itu dana itu, kami alokasikan dana itu Rp 5,6 triliun tiap tahun, itu sejak 2020 itu mulai sejak pak Presiden menyampaikan 3 tahun harus 500.000 ha, dan 180.000 tiap tahun," ungkap Direktur Perencanaan dan Pengelolaan Dana BPDPKS, Kabul Wijayanto usai acara diskusi sawit di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Kamis (2/3/2023).
Kabul mengungkap ada sejumlah penyebab kenapa peremajaan sawit minim sekali realisasinya termasuk hibah dana tersebut. Pertama, ada aturan-aturan yang membuat petani sawit keberatan. Aturan itu ada di Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian ATR/BPN.
"Persyaratan pengajuan PSR surat keterangan syaratnya dua, penguasaan lahan dan status lahan. Status lahan itu ada tambahan surat keterangan tidak berada di kawasan hutan gambut, dan status lahan hak guna usaha, itu menyebabkan beberapa petani belum yang membuat itu, yang mau mengikuti program jadi berhenti mengikuti program. Karena Syarat dari program membutuhkan effort, faktanya Kementan juga tidak memberikan fasilitas itu," jelasnya, seperti yang dilansir dari detik.
Namun saat ini, dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 19 yang merupakan aturan baru kebijakan PSR, kedua aturan yang memberatkan itu telah dihapus. Penghapusan resmi diterbitkan sejak awal 2023.(*)
Tags : center for indonesian policy studies, cips rekomendasi kebijakan perkembangan industri sawit, cips nilai sertifikasi lahan sawit masih minim,