JAKARTA - Kasus covid-19 di Indonesia tembus satu juta kasus pada Selasa (26/01) setelah 11 bulan memerangi pandemi virus corona. Tambahan kasus per hari mengalami tren di atas 10.000 kasus dalam dua pekan terakhir, sementara fasilitas kesehatan "nyaris kolaps" dengan sejumlah orang yang dinyatakan positif Covid-19 mengaku kesulitan mendapat perawatan.
Mereka yang tak tertolong, menambah daftar panjang korban meninggal akibat virus corona yang kini melampaui 28.000 orang. Pemerintah terpaksa menambah lahan pemakaman khusus Covid-19 sebab tempat pemakaman umum yang dialokasikan tak bisa lagi menampungnya. Di sisi lain, positive rate di Indonesia hampir mencapai 30%, jauh melampaui standar organisasi kesehatan dunia (WHO) sebesar 5%. Artinya, satu dari tiga orang yang dites dinyatakan positif virus corona. Namun demikian, banyak warga yang mulai mengabaikan protokol kesehatan.
Pakar epidemiologi menyebut Jawa sudah memasuki "masa kritis" dan memperkirakan Indonesia secara keseluruhan akan menghadapi masa kritis dua bulan mendatang. Ia menduga, kasus yang terjadi sebenarnya saat ini tiga kali lipat dari data resmi pemerintah. "Dengan angka satu juta yang saat ini di mana kita melihat tes positive rate yang sejak Januari selalu di atas 20%, bahkan menembus 30%, itu menunjukkan bahwa terlalu banyak kasus positif di masyarakat yang tidak terdeteksi, yang mengakibatkan adanya beban meningkat di fasilitas kesehatan," ujar epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman dirilis BBC Indonesia, Selasa (26/01).
Sementara pakar permodelan matematika dari Institut Teknologi Bogor (ITB) Nuning Nuraini memperkirakan Indonesia akan terus mengalami tren peningkatan kasus Covid-19 dengan puncaknya terjadi pada bulan Juli, yang akan memperberat beban fasilitas kesehatan dan tenaga medis. Merespons kasus Covid-19 yang telah melampaui satu juta kasus, pemerintah melalui Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan "duka mendalam atas angka ini" dan akan "terus bekerja sangat keras" untuk mengurangi laju penularan virus corona.
Pakar kesehatan masyarakat Hermawan Saputra menyebut jumlah kasus yang mencapai satu juta ini adalah suatu hal yang sudah diduga, bahkan ia sebelumnya telah memprediksi Indonesia mancapai angka satu juta kasus Covid-19 pada akhir 2020. "Kalau kita lihat kenaikan ini adalah hal yang wajar, di mana keterbukaan kita dalam aspek mobilitas kegiatan, baik itu pariwisata, sosial, keagamaan, itu luar biasa, puncaknya pada bulan Desember lalu, bahkan ada aktivitas Pilkada atau politik," jelas Hermawan.
Menurutnya, itu menyebabkan apa yang ia sebut sebagai "massive transmission atau silent transmission" di komunitas, perkantoran, industri bahkan di area keluarga, dan terus menyebar. Senada, pakar epidemiologi dari Griffith University yang berbasis di Australia, Dicky Budiman, mengatakan minimnya deteksi kasus karena pengetesan dan pelacakan yang rendah, membuat selebrasi angka satu juta kasus Covid-19 memiliki makna penting. "Sebetulnya kasus yang terjadi bisa tiga kali lipat, yang artinya kita memiliki PR besar permasalahan di data," cetus Dicky.
Keterlambatan dalam deteksi dini, kata Dicky, membuat kasus-kasus yang terdeteksi selama ini "tidak mencerminkan kemampuan kita dalam mendeteksi kasus dalam jumlah sebenarnya. Kasus yang sejuta ini, seharusnya jelas klasternya, setidaknya 80% [dari total kasus] karena ketika kita memiliki data memadai klaster itu berasal dari mana, di situ lah kita bisa mengendalikan pandemi ini". "Tapi yang terjadi dari katakanlah satu juta kasus ini, hanya sebagian kecil yang terdeteksi klasternya," jelas Dicky.
Pada Minggu (24/01) angka positivity rate atau rasio positif Covid-19 di Indonesia memecahkan rekor, mencapai 33,24%. Rasio 33,24 persen itu mencapai enam kali lipat dari angka 5 persen ambang batas minimal positivity rate yang ditetapkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Adapun secara kumulatif, hingga Selasa (26/01) angka positivity rate Indonesia mencapai 1,7%.
Positivity rate adalah persentase jumlah kasus positif terinfeksi virus corona dibagi dengan jumlah orang yang menjalani tes atau pemeriksaan. Pakar epidemiologi Dicky Budiman menjelaskan semakin besar persentase positivity rate, semakin cepat laju penyebaran penyakit itu. "Dari sepuluh [orang] yang dites, dua itu positif. Ini menunjukkan bahwa upaya kita untuk meninimalisir peluang terjadinya paparan atau infeksi, masih belum memadai karena yang harus dicapai kan dibawah 5%," kata dia.
Imbas dari kasus Covid-19 yang semakin banyak, membuat pasien Covid-19 kesulitan mendapatkan perawatan di fasilitas kesehatan. Nur Fauziah, seorang ibu rumah tangga barusia 43 tahun dinyatakan positif Covid-19 pada awal Januari, setelah terinfeksi virus corona dari suaminya. Ia menuturkan harus menunggu berjam-jam di ambulans sebab banyak rumah sakit yang menolak merawatnya karena kapasitas penuh. Padahal pada saat itu, ia dalam kondisi sesak napas dengan saturasi oksigen 82%. Adapun tingkat saturasi normal di dalam darah orang yang sehat sekitar 95-100%. "Malam itu saya mulai kolaps jam 7, sampai ambulans datang jam 10, itu pun belum ada kepastian saya dapat rumah sakit atau nggak. Tapi karena kondisi saya sudah kayak gitu, akhirnya kita nekat. Lama juga, dari jam 8.00 - 10.30 kita nelponin rumah sakit," tutur Nur.
Ia akhirnya mendapat perawatan di RSUD Jatipadang, Jakarta Selatan, setelah petugas ambulans bersitegang dengan pihak rumah sakit sebab kondisinya kian memburuk. "Kita udah lagi sekarat ditolak, sempet diomongin yang kenceng-kencengan antara mereka kan itu rasanya sedih banget," aku Nur.
Ia dinyatakan sembuh setelah dirawat selama 12 hari di rumah sakit tersebut. Sementara itu, ibunda Bunga Pertiwi dinyatakan sembuh setelah 10 hari dirawat di RSUD Pasar Minggu. Padahal hasil tes terakhir menunjukkan bahwa ibunya masih positif. Oleh dokter yang merawatnya, sang ibu disarankan untuk isolasi mandiri selama 10 hari ke depan. Kendati begitu, ia mengaku khawatir akan potensi penularan karena sang ibu tinggal satu rumah dengannya. "Kekhwatiran ada karena kita nggak pernah tahu sebenarnya virusnya ini bisa menularkan atau nggak walaupun sudah dirawat di rumah sakit selama 10 hari," ungkap Bunga.
Lahan baru untuk pemakaman khusus Covid-19 disiapkan
Mereka yang tak tertolong, menambah daftar panjang korban meninggal akibat virus corona yang kini melampaui 28.000 orang. Pemerintah terpaksa menambah lahan pemakaman khusus Covid-19 sebab tempat pemakaman umum yang dialokasikan menjadi kuburan Covid-19 tak bisa lagi menampungnya, seperti yang terjadi di ibu kota Jakarta.
Kepala Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta Ivan Murcahyo mengatakan tiga TPU itu adalah TPU Tegal Alur Jakarta Barat, TPU Pondok Ranggon Jakarta Timur dan TPU Srengseng Sawah Jakarta Selatan. Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan, sejumlah lokasi TPU di Jakarta masih memiliki lahan kosong yang dapat digunakan untuk mengubur jenazah pasien Covid-19. Daerah pemakaman yang masih punya lahan, antara lain TPU Joglo, Bambu Apus, Duku, Semper, Tegal Alur, dan Rorotan.
Peringatan bagi sistem kesehatan
Sebelumnya, Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) menyebut saat ini rumah sakit di Pulau Jawa dan Bali dalam kondisi nyaris kolaps, ditandai dengan banyak kasus pasien Covid-19 dengan kondisi sakit sedang dan berat meninggal di ruang instalansi gawat darurat (IGD). Mereka tak bisa dirawat dengan pelayanan yang optimal di kamar ICU.
Juru Bicara Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Halik Malik menegaskan angka satu juta kasus Covid-19 menjadi peringatan bagi sistem kesehatan nasional bahwa masih banyak hal yang harus dibenahi, terutama dalam hal pencegahan Covid-19 di masyarakat. Dengan peningkatan kasus yang terjadi dan kapasitas pelayanan kesehatan Indonesia yang terbatas, Hermawan Saputra yang juga Dewan Pakar di Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) mengatakan tanda-tanda kelebihan kapasitas pada fasilitas kesehatan telah terjadi sejak Desember. "Sekarang kita lihat bagaimana di Jawa-Bali itu over capacity, bahkan stagnan di atas 75% occupancy rate untuk tiap harinya," kata dia.
"Namun menjadi tidak wajar ketika kita melihat ancaman kenaikan [kasus] ini akan terus terjadi, di kala kita belum memiliki solusi yang firm terkait penanganan dan pengendalian Covid-19," jelas Hermawan.
Hermawan menganggap kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang diterapkan pemerintah saat ini "setengah-setengah" karena penerapannya tidak merata di seluruh Indonesia. "Oleh karena itu ke depan kalau mau memutus mata rantai, harus ada keberanian pemerintah untuk memberlakukan PSBB secara nasional dengan rentang waktu tiga minggu sampai satu bulan," kata Hermawan.
Ia mengakui penerapan PSBB secara nasional berdampak pada ekonomi, tapi menurutnya "hal itu akan lebih baik ketimbang kita terkatung-katung tanpa ada solusi yang signifikan". "Dengan PSBB nasional jelas akan memutus mata rantai Covid-19, paling tidak kita melewati puncak kasus, sehingga kasus terkontrol," tegasnya.
Merespons kasus Covid-19 yang telah melampaui satu juta kasus, pemerintah melalui Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan "duka mendalam atas angka ini" dan akan "terus bekerja sangat keras" untuk mengurangi laju penularan virus corona. "Angka satu juta ini memberikan satu indikasi, bahwa seluruh rakyat Indonesia harus bersama-sama dengan pemerintah, bekerja bersama-sama untuk mengatasi pandemi ini dengan lebih keras lagi," kata Budi Gunadi dalam konferensi pers yang digelar Selasa (26/01) sore.
Dua hal untuk mengurangi laju penularan virus corona, menurut Budi Gunadi Sadikin, adalah dengan disiplin penerapan protokol kesehatan oleh masyarakat dan memperbanyak pengetesan, pelacakan dan isolasi mandiri. Sejauh ini, penerapan PPKM disebut terbukti tidak efektif menekan penularan virus corona. Sebab, selama penerapannya selama dua pekan terakhir tak signifikan mengurangi virus corona.
Puncak pandemi diperkirakan Juli
Dengan kondisi jumlah kasus yang terus bertambah, Kepala Pusat Permodelan Matematika dan Simulasi ITB, Nuning Nuraini, memperkirakan Indonesia akan terus mengalami tren peningkatan kasus Covid-19 dengan puncaknya terjadi pada bulan Juli, yang akan memperberat beban fasilitas kesehatan dan tenaga medis. Sebelumnya, ia memperkirakan puncak pandemi akan terjadi pada akhir tahun lalu. "Geser dan makin tinggi, karena input datanya semakin tinggi dan dinamis. Data ini belum sampai steady state karena herd immunity belum tercapai, peluang orang yang terkena penyakit masih banyak, jadi bakal naik terus," terang Nuning.
"Sampai enam bulan ke depan suasananya akan seperti ini karena kita tahu jumlah vaksinasi juga akan terbatas, jadi nggak akan memberikan dampak dari sisi penyebaran di populasi," imbuhnya. Sementara Dicky Budiman memperkirakan hingga tahun depan, Indonesia masih harus menghadapi apa yang disebutnya sebagai "perang panjang" melawan pandemi Covid-19. (*)
Tags : Covid-19, Kasus Corona Terus Meningkat, Kasus Corona Membludak,