WISATA - Keputusan Gubernur Bali, I Wayan Koster, untuk menunda pembukaan pulau tersebut bagi kedatangan turis asing membuat 'resah' para pelaku usaha di sektor pariwisata, lantaran pendapatan yang didapat dari kedatangan turis domestik kemungkinan tidak akan bisa menutup kerugian sejak pandemi Covid-19 melanda.
"Kawan-kawan di Bali jadi resah semua. Sempat ada secercah harapan bahwa mulai 11 September, Bali akan dibuka lagi untuk wisman. Tapi begitu kemarin ada pengumuman ditunda, sempat galau dan kecewa lagi kawan-kawan," kata Budijanto Ardiansjah, Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) dirilis BBC Indoensia.
Di sektor perjalanan wisata, Budijanto memperkirakan sekitar 80% dari 400-an biro perjalanan di Bali yang menjadi anggota organisasi tersebut "sudah tutup" karena jumlah wisatawan berkurang drastis. "Saat ini sebenarnya banyak yang sudah gulung tikar. Jadi mereka hanya bertahan, masih memonitor dan mengecek, sampai nanti [Bali] buka lagi, baru mereka akan mulai lagi. Sekarang sebenarnya sudah banyak yang tutup. Saya rasa 80 persen sudah tutup. Di Bali yang terdaftar di ASITA ada 400-an," ujarnya.
Di sektor penyokong wisata, yang mencakup hotel dan restoran, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) di Bali memperkirakan bahwa banyak anggotanya yang tidak bisa bertahan jika tidak beroperasi lebih dari tiga bulan. "Jujur kalau untuk industri pariwisata, PHRI tentu ingin [Bali dibuka] secepat mungkin, karena jika lebih dari tiga bulan, ini sudah bulan kelima, sudah betul-betul kolaps," ujar I Gusti Agung Ngurah Rai Suryawijaya, Ketua PHRI Bali.
Menurut Rai, setelah pandemi, ada 47 properti yang tengah dijual oleh anggota PHRI, naik dari 20 properti sebelum pandemi. Alasan penjualan properti bermacam-macam, termasuk tidak sanggup memenuhi kewajiban pembayaran kredit ke bank. Para pelaku usaha yang dihubungi BBC Indonesia mengatakan bahwa, idealnya, Bali dibuka untuk turis asing pada pertengahan Desember, atau pada musim puncak liburan jelang Natal dan Tahun Baru. "Mau tidak mau kita harus berani buka Desember, akhir tahun adalah momentum yang sangat bagus. Biasanya pertengahan Desember itu mulai naik [tingkat hunian] di akomodasi kita karena ada banyak liburan, Natal, Tahun Baru. Kita akan mencoba bekerja keras untuk semuanya, agar dengan serius menangani pandemi Covid-19 ini, karena Bali ini sangat-sangat bergantung dari sektor pariwisata," jelas Rai.
Tutup sampai akhir 2020
Gubernur Bali, I Wayan Koster, mengumumkan lewat sebuah pernyataan tertulis pada Sabtu (22/08) bahwa Pulau Dewata tidak akan dibuka bagi wisatawan asing sampai 'akhir 2020'. "Situasi di Indonesia masih belum kondusif untuk memungkinkan turis internasional untuk mengunjungi Indonesia, termasuk Bali," sebut I Wayan Koster.
"Negara-negara di dunia belum menerapkan kebijakan yang memungkinkan warga negaranya bepergian ke luar negeri. Contohnya, Australia, penyumbang besar turis ke Bali, baru berencana memperbolehkan warganya bepergian pada 2021. Hal serupa terjadi di China, Korea, Jepang, dan negara-negara Eropa."
Pertimbangan lainnya adalah belum dicabutnya Permenkumham No. 11 tahun 2020 tentang Pelarangan Sementara Orang Asing Masuk ke Wilayah Indonesia. Oleh karenanya, Bali masih akan ditutup sampai akhir 2020, dan belum diketahui kapan Bali akan dibuka kembali bagi wisatawan asing. I Wayan Koster mengatakan pihaknya kini fokus meningkatkan kunjungan turis domestik yang dibolehkan datang ke Bali sejak 31 Juli.
Ekonomi Bali sendiri telah memasuki resesi setelah mencatatkan kontraksi dalam dua kuartal berturut-turut. Pada kuartal pertama, ekonomi Bali mencatatkan kontraksi -1,14%, sedangkan di kuartal dua turun drastis menjadi -10,98%. Ini lantaran kelesuan di sektor pariwisata, yang menyumbang sekitar 80% pendapatan Bali, dan lemahnya penjualan UMKM, produk pertanian dan kerajinan tangan karena pandemi Covid-19, kata I Wayan Koster.
Kunjungan turis domestik 'masih sangat kecil sekali'
Sampai 14 Agustus, jumlah kedatangan turis domestik di Bandara I Gusti Ngurah Rai mencapai sekitar 2.300-2.500 orang, kata Gubernur Bali, I Wayan Koster, dalam pernyataannya. Meski menunjukkan perbaikan, I Ketut Wardana, Ketua ASITA Bali, mengatakan angka tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan jumlah kedatangan turis domestik tahun 2019 yang mencapai 10 juta orang, sementara turis asing yang datang ke Bali tahun lalu sebanyak 6,3 juta orang. "Itu kan masih sangat kecil sekali, kalau kita melihat catatan kedatangan turis domestik tahun lalu itu 10 juta [orang] ke Bali, untuk internasional 6,3 juta [orang], angka [2.500 turis domestik] itu masih sangat-sangat kecil sekali.
"Kalau hanya sekian domestiknya ya memang masih kurang, dan domestik itu banyak yang datangnya menyeberang dari Gilimanuk, mereka pakai bus, kendaraan sendiri, jadi tidak semuanya mereka yang datang itu memerlukan services dari industri-industri yang ada di Bali, mereka banyak yang datang langsung," jelas Ketut.
Menurut Ketut, ada beberapa sumber pendapatan biro perjalanan dan pelaku usaha di sektor pariwisata di Bali yang bergantung pada wisatawan mancanegara. Ia mengatakan, turis yang ideal adalah mereka yang datang dengan menggunakan pesawat dan telah memesan hotel di Bali, sehingga membutuhkan moda transportasi ketika telah tiba di Bali. Mereka juga membutuhkan pemandu wisata agar bisa dengan maksimal menikmati Bali. Banyak turis domestik yang datang ke Bali dengan menggunakan kendaraan pribadi atau memakai bus dari perusahaan di luar Bali, kata Ketut.
"Kalau industri pariwisata di Bali itu, kalau memang kita ingin mendapatkan keuntungan biasanya dari wisatawan yang datang pakai pesawat udara, itu bisa kita handle. Kalau mereka datang langsung [ke Bali] kan sudah di-handle oleh perusahaan di luar Bali, untungnya kan mereka yang dapatkan, yang datang dari luar itu," jelas Ketut.
Ia mengatakan bahwa di Bali terdapat sekitar 7.000 pemandu wisata dan lebih dari 400 biro perjalanan, yang mayoritasnya fokus menangani klien wisatawan asing. Ketut sendiri memiliki usaha biro perjalanan dan tur adventure di bagian timur Bali. Mertuanya memiliki penginapan di daerah Kintamani yang saat ini tutup lantaran penghuninya biasa didominasi oleh "turis Eropa atau Australia" yang biasa menginap satu atau dua malam sebelum naik ke Gunung Batur.
Ia juga memiliki restoran di Kintamani, yang bernasib lebih baik dari penginapannya karena masih ada wisatawan lokal dan domestik yang mampir. "Restoran masih lumayan, bisa bertahan," ujarnya.
'Agak ketar-ketir'
Melvyn Liliana adalah salah satu karyawan perusahaan biro perjalanan khusus wisatawan mancanegara yang sudah dirumahkan sejak Maret. Perempuan berusia 40 tahun ini mengaku memiliki perasaan campur aduk ketika membaca pengumuman bahwa Bali belum akan dibuka bagi wisatawan asing tahun ini. "Itu mixed feeling sih, campur aduk sebenarnya. Setujunya [Bali dibuka kembali] karena saya cemas, mau berapa lama saya harus tidak kerja, tapi takutnya kalau sudah dibuka angka [jumlah kasus positif Covid-19] akan tambah," ujarnya.
Jumlah wisatawan asing di Bali saat ini "sangat jauh" jika dibandingkan pada bulan yang sama tahun lalu, kata Melvyn, yang berdomisili di Denpasar. "Ini kalau dilihat dari kosongnya lebih berasa dibanding waktu Gunung Agung [erupsi], lebih berasa sekali, [pandemi] sangat berpengaruh [bagi pariwisata di Bali]."
Pada bulan Maret, Melvyn mengatakan masih bekerja di kantornya hanya untuk "membereskan pembatalan" pesanan klien. Kini, ia menjadi satu dari 73.631 pekerja di sektor pariwisata di Bali yang dirumahkan tanpa mendapat gaji. Lebih dari 2.600 pekerja di sektor ini juga telah di-PHK, menurut data dari Pemprov Bali. "Masuk bulan Maret itu kita banyak banget pembatalan rencana kedatangan, banyak banget, tamu kita biasa dari Eropa, Amerika Serikat, Kanada, India juga, dari Maret itu sehari-harinya cuma membereskan pembatalan saja.
Untuk bertahan hidup di Bali tanpa pemasukan, Melvyn memakai uang tabungannya dan berhemat. Ia membatasi diri untuk tidak keluar rumah, belanja bahan kebutuhan sehari-hari dari komunitas di sekitarnya dan mengurangi belanja di supermarket. Kini ia juga lebih sering masak ketimbang makan di restoran. "Thank goodness aku ada tabungan, tapi ini tabungan seadanya dan sudah lima bulan jadi ketar ketir, apalagi kalau pengeluaran melulu tidak ada pemasukan, agak ketar ketir sih," kata Melvyn.
Made Subrana, seorang pemandu wisata lepas dari Kecamatan Mengwi, mengatakan bahwa pendapatannya sangat berkurang setelah pandemi. Ia sempat berharap bahwa keuangannya akan membaik jika turis asing dibolehkan ke Bali. "Sebagai pelaku pariwisata, saya merasa prihatin banget karena [pariwisata] merupakan lokomotif perekonomian [Bali], jujur selama ini karena pandemik kita merasakan pekerjaan, income berkurang, saya prihatin juga."
"Kalau untuk sekarang seharusnya kan 'musim Eropa', dari Mei sampai pertengahan Oktober, itu biasanya ada long trip untuk turis-turis asing ke daerah seperti Karangasem, Singaraja, bahkan ada sampai ke Kawah Ijen di Jawa Timur," ujarnya.
Made mengatakan ia kini sedikit terbantu dengan mulai berdatangannya turis domestik ke Bali, meskipun belum signifikan. Selain itu, ia juga mengambil pekerjaan dengan membawa warga-warga Bali ke tempat-tempat sembahyang. "Mungkin semua insan pariwisata sangat berharap [Bali dibuka bagi wisatawan mancanegara], cuma demi keamanan ya kita ikuti saja anjuran dari pemerintah. Kita mungkin berharap semoga lebih cepet kembali normal. Kalau saya kadang-kadang kan ada pekerjaan tambahan untuk bawa [warga lokal Bali], rombongan, untuk sembahyang, untuk mengisi kekosongan [pendapatan] setelah new normal," sebutnya. (*)
Tags : covid-19, wisata bali, bali tunda kunjungan wisata,