CUACA akhir-akhir ini panas menyengat, matahari pun bersinar terik seakan membakar kulit. Perubahan cuaca seperti ini membuat aktifitas di luar ruangan menjadi tidak nyaman lagi.
Tidak hanya siang hari, efek panas juga berlangsung hingga malam hari membuat kita gerah dan berkeringat.
Tingginya kejadian cuaca ekstrem tidak lepas dari aktivitas awan cumulonimbus (Cb) yang mekanisme pembentukannya dipengaruhi oleh dua faktor.
Jutaan orang menghadapi suhu yang sangat panas. Cuaca panas luar biasa ini ada juga sebagian wilayah memaksa sekolah-sekolah tutup, membatasi aktivitas warga di luar ruangan, dan mengancam kesehatan masyarakat, bahkan menimbulkan korban jiwa.
April dan Mei biasanya merupakan bulan-bulan terpanas seperti di Filipina dan negara-negara lain di Asia Tenggara. Akan tetapi, suhu tahun ini diperburuk oleh peristiwa El Nino yang menyebabkan cuaca menjadi lebih panas dan kering di wilayah tersebut.
Suhu di atas 40 derajat celsius melanda Filipina dan Thailand akibat fenomena El Nino. Di Cavite, daerah selatan Manila, suhu mencapai 47 derajat celsius pada Rabu 24 April 2024 kemarin.
Sementara kawasan Phuket, Thailand, ditaksir dilanda suhu 54 derajat celsius akhir pekan ini.
Sebagaimana dilaporkan Guardian, suhu panas membuat sekolah-sekolah di seluruh wilayah Filipina, termasuk ibu kota Manila dan sekitarnya, diliburkan.
Warga diperingatkan pada potensi sengatan panas atau heat stroke. Data PBB menyebutkan separuh dari 82 provinsi di negara ini mengalami kekeringan.
Sementara pihak berwenang Thailand menyatakan 30 orang tewas akibat serangan panas sepanjang tahun ini dan memperingatkan warga agar menghindari aktivitas di luar ruangan.
Permintaan listrik melonjak ke titik tertinggi baru pada Senin malam, yakni 35.830 megawatt, karena warga beralih ke pendingin ruangan.
Di ibu kota Bangkok, suhu mencapai 40,1 derajat celsius pada hari Rabu. Otoritas setempat memperingatkan kemungkinan ”indeks panas” bisa melebihi 52 derajat celsius.
Ukuran ini mencerminkan kondisi suhu, dengan mempertimbangkan tingkat kelembaban yang merupakan faktor penting bagi kesehatan manusia.
Laporan Kondisi Iklim di Asia (State of the Climate Report in Asia) 2023 yang dilansir Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menemukan, Asia mengalami pemanasan lebih cepat dibandingkan rata-rata global.
Tren pemanasan meningkat hampir dua kali lipat sejak periode tahun 1961 hingga 1990.
Asia tetap menjadi wilayah paling terkena bencana di dunia karena cuaca, iklim, dan bahaya terkait air. Banjir dan badai menyebabkan jumlah korban jiwa dan kerugian tertinggi yang dilaporkan. Sementara gelombang panas menjadi lebih parah.
Menurut Sekretaris Jenderal WMO Celeste Saulo, dalam keterangan pers, di laman resmi WMO, Selasa 23 April 2024, banyak negara di kawasan ini mengalami rekor tahun terpanas pada 2024, bersamaan dengan serangkaian kondisi ekstrem, mulai dari kekeringan dan gelombang panas hingga banjir dan badai.
Pada tahun 2023, menurut Emergency Events Database, total 79 bencana yang berkaitan dengan kejadian bencana hidrometeorologi dilaporkan di Asia.
Dari jumlah tersebut, lebih dari 80 persen disebabkan banjir dan badai, dengan lebih dari 2.000 korban jiwa dan sekitar 9 juta orang terdampak langsung.
Percepatan indikator-indikator utama perubahan iklim, seperti suhu permukaan, penyusutan gletser, dan kenaikan permukaan laut, akan berdampak besar bagi masyarakat, perekonomian, dan ekosistem di kawasan ini.
Pada tahun 2023, suhu permukaan laut di barat laut Samudra Pasifik mencapai rekor tertinggi.
Krisis iklim yang dipicu oleh aktivitas manusia turut menyebabkan terjadinya cuaca ekstrem di seluruh dunia sehingga bencana lebih sering dan mematikan, termasuk gelombang panas.
Karena itu, aksi global, termasuk negara-negara di wilayah Asia, mesti diperkuat untuk memitigasi risiko bencana yang lebih parah.
Faktor tingginya intensitas radiasi akibat posisi Matahari mendekati kulminasi utama dan cuaca cerah karena pengaruh El Nino mengakibatkan lonjakan suhu tinggi selama tahun ini.
Wilayah Indonesia bagian selatan sesungguhnya sedang berada dalam pengaruh Gerak Semu Tahunan Matahari (GSTM) yang dapat menyebabkan suhu udara di Jawa tinggi.
Periodisitas GSTM meliputi belahan Bumi utara, ekuator dan belahan Bumi selatan.
Matahari berada di garis balik utara (23,50 LU) 21 Juni, di ekuator 23 September, di garis balik selatan (23,50 LS) 22 Desember dan mencapai ekuator kembali 21 Maret, demikian berlangsung seterusnya.
Selain itu, efek cuaca cerah yang ditimbulkan menyebabkan radiasi Matahari tidak terhalang oleh awan sehingga meningkatkan suhu udara pada siang hari.
Jika malam hari terdapat liputan awan maka akan menghalangi pelepasan radiasi gelombang panjang dari bumi ke atmosfer.
Peran awan sebagai “selimut bumi” inilah yang telah mengakibatkan suhu udara tetap hangat sehingga kita merasakan gerah atau sumuk.
Fenomena cuaca panas yang juga terjadi di Riau dan Indonesia pada umumnya tidak bisa dipisahkan dari urban heat island.
Pembangunan kawasan perkotaan yang pesat telah memodifikasi permukaan Bumi dari tanah bervegetasi menjadi aspal, beton dan gedung-gedung bertingkat.
Rupa Bumi menjadi bersifat black body yakni menyerap dan meradiasikan kembali panas Matahari dalam jumlah besar.
Di sisi lain, banyaknya kendaraan bermotor dan tumbuhnya industri menengah turut menyumbang peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) terutama karbondioksida (CO2).
GRK menyebabkan panas yang diradiasikan Bumi ke atmosfer terperangkap dan dikembalikan lagi ke permukaan bumi menimbulkan efek rumah kaca.
Kondisi ini justru diperparah dengan semakin sedikitnya kawasan hijau penetral CO2 yang berperan sebagai paru-paru dan penyejuk udara kota.
Kompleksitas faktor lingkungan ini turut mendukung terciptanya suhu tinggi dan cuaca panas di Jogja pada masa pancaroba.
Cuaca ekstrem adalah kondisi cuaca di luar kebiasaan yang berpotensi menimbulkan kerugian materiel maupun korban jiwa.
Dikatakan ekstrem jika parameter cuacanya melebihi ambang batas.
Mengapa cuaca ekstrem berbahaya?
Pihak BMKG memprediksi suhu tinggi > 35 derajat Celsisus dan kelembaban udara rendah < 40% dapat mengakibatkan dehidrasi dan kebakaran hutan.
Angin kencang > 45 km/jam menumbangkan pohon atau merobohkan baliho dan merusak bangunan. Curah hujan tinggi > 20 mm/jam menyebabkan banjir dan tanah longsor.
Selama pancaroba, potensi hujan lebat disertai petir dan angin kencang/puting beliung seperti di DIY sangat tinggi.
Data BNPB (1867-2014) menyebutkan 81% bencana alam di DIY disebabkan cuaca ekstrem.
Pada proses pembentukan Cb, udara hangat dan lembab yang berpusat di daerah tekanan rendah akan terangkat karena pemanasan konvektif menjadi gerak naik (updraft), mengalami kondensasi dan membentuk partikel air atau es dalam kelompok besar.
Cb yang terbentuk berwarna putih hingga kelabu atau hitam dengan tinggi dasar < 500 meter dan puncak awan bisa > 12 kilometer, tersusun atas air setebal ± 9 kilometer, es ±3 kilometer di bagian puncaknya, terdapat gerak udara ke bawah yang kuat (downdraft) dan muatan listrik yang menyebar di seluruh bagian awan.
Karena karakteristik ini Cb sering mengakibatkan bencana hidrometeorologi seperti hujan lebat atau es durasi singkat yang disertai petir dan angin kencang atau puting beliung.
Dalam manajemen kebencanaan, mitigasi merupakan langkah penting yang harus dilakukan sebelum terjadi bencana alam.
Upaya pengurangan risiko bencana hidrometeorologi di tingkat pemerintah dilakukan melalui sosialisasi tanggap bencana dan pembuatan sistem peringatan dini cuaca ektrim berbasis radar cuaca. Di tingkat masyarakat, mitigasi dilakukan melalui dua mekanisme.
Pertama, umum, yaitu dengan mengetahui masa pancaroba, mengamati pertumbuhan dan perkembangan Cb, mengadiri sosialisasi tanggap bencana yang diselenggarakan pemda dan memperhatikan peringatan dini cuaca ekstrim yang disampaikan BMKG.
Kedua, khusus, untuk banjir dan tanah longsor dilakukan dengan memperbaiki drainase, tidak membangun rumah di bantaran sungai atau area rawan longsor serta tidak membuang sampah di sungai atau selokan.
Untuk angin kencang, mitigasi melalui pemangkasan dahan pohon yang terlalu rimbun, menebang pohon tua yang akarnya dangkal dan berlindung di dalam bangunan yang kuat dan kokoh.
Untuk menghindari dampak petir, kita tidak berteduh di bawah pohon, menjauh dari tempat terbuka yang di atasnya ada Cb, berlindung di dalam bangunan berpenangkal petir, tidak mengoperasikan ponsel saat cuaca buruk dan menggunakan alas kaki nonkonduktor untuk menghindari induksi elektromagnetik di wilayah yang tanahnya mengandung besi.
Tags : mitigasi bencana, cuaca ekstrem, gelombang panas, opini, SDGs, kolom opini, SDG13, Penanganan Perubahan Iklim,