JAKARTA - Pemerintah menyatakan akan memfokuskan distribusi vaksin hasil hibah dan yang mereka beli - sebanyak 2,5 juta dosis yang tiba di Indonesia - ke sejumlah 'daerah prioritas'.
Namun penasehat senior untuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) khawatir distribusi vaksin yang didasarkan pada pertimbangan kewilayahan dapat terus-menerus menimbulkan ketimpangan vaksinasi antardaerah. DKI Jakarta dan Bali merupakan provinsi dengan persentase vaksinasi dosis kedua tertinggi, masing-masing dengan 57,41% dan 44,87%, per 19 Agustus kemarin.
Persentase itu berselisih jauh dengan mayoritas provinsi lain yang masih di angka belasan. Capaian vaksinasi di 10 provinsi bahkan masih di bawah 10%. Vaksin yang baru saja tiba di Bandara Soekarno-Hatta, pada Kamis (19/09) adalah 450 ribu dosis vaksin Astrazeneca. Ini merupakan hibah dari pemerintah Belanda. Adapun sisanya, yaitu 1,56 juta dosis Pfizer dan 567.000 dosis Astrazeneca adalah hasil pembelian langsung pemerintah Indonesia.
Seperti pola distribusi sebelumnya, vaksin yang baru saja tiba ini akan dialokasikan pemerintah ke daerah berkategori prioritas alias yang memiliki tingkat penularan Covid-19 tinggi. "Vaksin yang sudah diterima akan didistribusikan kepada daerah prioritas dan berisiko terhadap penularan Covid-19," ujar Wiku Adisasmito, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 pada media, Sabtu (21/8).
Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, dalam pesan tertulis menyebut daerah prioritas itu adalah Jawa dan Bali. Kebijakan distribusi vaksin berbasis kewilayahan ini tidak sesuai dengan anjuran WHO, yang mendorong setiap negara menentukan target vaksinasi berdasarkan kelompok populasi. Artinya, kata Diah Saminarsih, Penasehat Senior untuk Direktur Jenderal WHO, domisili semestinya tidak menentukan akses seseorang, terutama yang masuk kelompok rentan, terhadap vaksin. "Terlepas di mana mereka tinggal, apakah di Jakarta atau Sumatera Barat., kalau masuk kelompok populasi tertentu, mereka bisa jadi prioritas. Dengan prinsip ini, pembagian vaksin akan sangat berbeda," ujar Diah.
"Prinsip populasi menghilangkan hambatan geografi. Artinya ini juga akan menghilangkan ketimpangan. Tapi WHO hanya bisa mengimbau, jadi tergantung pada pemerintah. Yang jelas pendekatan populasi akan lebih menjamin keadilan," kata Diah.
Merujuk data Kementerian Kesehatan, capaian vaksinasi dosis kedua tertinggi terjadi di DKI Jakarta. Capaian mereka sebesar 57,41% berada di atas rata-rata nasional yang berada di angka 14,19%. Sementara itu, provinsi dengan capaian terendah adalah Maluku Utara, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat, dan Maluku. Bersama lima provinsi lainnya, capaian mereka masih di bawah 10%.
Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Barat, Arri Yuswandi, menyebut daerahnya mengalami kelangkaan stok vaksin Covid-19 pada Juli lalu. "Kami sempat kekurangan stok vaksin selama tiga minggu dalam bulan Juli. Kabupaten dan kota sudah banyak yang menjerit, tapi kami tidak bisa berikan vaksin. Di akhir Juli kami dapat tambahan vaksin, tapi khusus untuk dosis kedua. Awal Agustus baru datang untuk dosis pertama," ujar Arri.
Seorang pejabat Kepulauan Mentawai, salah satu kabupaten provinsi itu, sempat menyatakan daerahnya dalam kondisi gawat karena kasus positif terus meningkat dan stok vaksin habis. Faktor anggaran dan kondisi geografis, menurut Arri, menghambat program vaksinasi di Mentawai. "Kami tidak bisa terlalu sering kirim. Sekali kirim kami berikan dalam jumlah yang banyak. Karena kalau kirim berulang kali biayanya kan besar," kata Arri.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebelumnya menyatakan akan menelisik penyebab terjadinya ketimpangan vaksinasi antardaerah. Namun menurut anggota COVAX Independent Allocation of Vaccines Group, Tjandra Yoga Aditama, ketimpangan itu perlu diatasi dengan mengevaluasi kebijakan dasar distribusi vaksin. "Kalau mau diaudit, perlu dilihat kebijakan awalnya. Jangan-jangan memang diatur bahwa 'provinsi-provinsi ini prevalensinya tinggi, vaksinasi kita maksimalkan di situ'. Kalau dimaksimalkan di situ, daerah lain jadi kekurangan vaksin. Dan kalau memang seperti itu kebijakannya, berarti keputusan itu kan diambil pemerintah pusat," kata Tjandra yang juga eks pejabat tinggi Kemkes.
"Vaksin ini kan barang yang jelas. Dikirim tanggal sekian, dua-tiga hari kemudian akan keliatan berapa yang diterima provinsi itu," ujarnya.
Meski begitu, data terkait distribusi vaksin dari pusat ke daerah dianggap tidak terbuka. Lapor Covid-19, lembaga pemantau independen, menyebut tidak ada transparansi tentang jumlah vaksin yang disalurkan Kementerian Kesehatan dan kepada lembaga apa saja vaksin itu didistribusikan. Firdaus Ferdiansyah, relawan Lapor Covid-19, berkata bahwa dinas kesehatan di sejumlah daerah pernah kebingungan mengapa stok vaksin untuk puskesmas lebih sedikit ketimbang sentra yang dikelola instansi pemerintah maupun swasta lainnya. "Informasi yang dibuka pemerintah adalah jumlah vaksin yang berhasil disuntikan, sedangkan yang kita butuhkan adalah yang didistribusikan ke pemda atau penyalur lain seperti TNI/Polri atau institusi lain," kata Firdaus.
"Distribusi ke institusi di luar dinas kesehatan ada yang tidak tercatat di pemda. Jadi alur koordinasinya seperti apa?" ucapnya.
Terkait data yang dipersoalkan ini, Kementerian Kesehatan kemarin meluncurkan situs vaksin. Konten website itu adalah capaian vaksinasi dan stok hingga estimasi waktu habisnya vaksin di setiap daerah. "Jadi dengan melihat data itu, bisa secara transparan diketahui ketersediaan vaksin di kabupaten/kota, di mana masyarakat tinggal," kata Siti Nadia Tarmizi.
"Kami akan terus memperbaiki dan menghimpun situs ini. Yang terpenting adalah kepatuhan fasilitas kesehatan dan dinas kesehatan untuk memasukkan laporan karena datanya sementara dan bisa terus berubah," ujar Nadia menambahkan per 19 Agustus kemarin, dari 208 juta orang yang menjadi target vaksinasi, baru 14% penduduk Indonesia yang tuntas mendapat dua dosis vaksin. (*)
Tags : Virus Corona, Organisasi Kesehatan Dunia,