LINGKUNGAN - Laporan dari Badan Investigasi Lingkungan (EIA) menunjukkan bahwa polusi plastik telah mencapai tahap darurat global, sehingga dibutuhkan perjanjian PBB yang mengikat untuk mengatasinya.
EIA berpendapat ancaman polusi plastik hampir setara dengan perubahan iklim. Udara yang kita hirup saat ini telah mengandung partikel mikroplastik, begitu juga tanah hingga makanan kita.
Pada Agustus 2019 lalu, tim peneliti menemukan partikel plastik turun bersama salju di Samudera Arktika. Sementara itu, di Thailand, sekitar 20 gajah mati setelah memakan sampah plastik dari tempat pembuangan.
Laporan EIA mendesak agar negara-negara di dunia menyepakati perjanjian PBB yang mengikat untuk mengurangi produksi limbah plastik. "Kita berhadapan dengan detik jam yang mematikan, yang terus menghitung mundur dengan cepat," kata Tom Gammage dari EIA dirilis BBC.
"Apabila polusi ini terus berlanjut, jumlah plastik di lautan akan melebihi berat seluruh ikan pada 2040," tutur dia.
Perlu kesepakatan PBB
PBB mengidentifikasi tiga ancaman yang muncul dari persoalan lingkungan yang perlu diselesaikan bersama, yakni perubahan iklim, hilangnya keragaman hayati, serta polusi.
Berbagai kesepakatan multilateral terkait hilangnya keanekaragaman hayati dan lingkungan telah muncul dalam 30 tahun terakhir, meski kesepakatan itu gagal mengurangi emisi karbondioksida untuk menjaga lingkungan.
Beberapa waktu belakangan muncul usulan di sejumlah negara untuk membuat kesepakatan yang khusus menyoroti persoalan plastik.
Lebih dari 100 negara, termasuk Inggris, mendukung perjanjian tersebut diusulkan pada Majelis Lingkungan PBB pada Februari dan Maret mendatang.
Sejumlah sumber mengatakan sikap beberapa pihak yang menentangnya juga melemah, meski masih ada perdebatan mengenai seberapa ketat perjanjian itu. Misalnya, apakah perjanjian itu akan mengikat secara hukum atau bersifat sukarela.
Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, juga telah mengumumkan bahwa AS mendukung kesepakatan global terkait plastik yang sebelumnya ditentang oleh pendahulunya, Donald Trump.
Tetapi, belum jelas apakah Biden bisa mendapat dukungan kongres terkait hal itu, sebab sebagian besar plastik terbuat dari minyak dan gas, dua komoditas yang diproduksi di AS.
Sementara itu, Jepang dilaporkan mencoba mengurangi target dari perjanjian tersebut, sedangkan negara-negara Arab dan China belum bersuara sejauh ini.
China merupakan negara yang paling banyak memproduksi plastik murni, meskipun AS dan Inggris lah yang menjadi produsen sampah terbesar per orang.
"Dampak polusi plastik yang terlihat sejauh ini telah menyebabkan publik khawatir, tetapi sebetulnya sebagian sebagian besar dampaknya justru tidak terlihat," kata Gammage.
"Dampak buruk yang timbul akibat plastik dan siklus produksi hingga pemakaiannya tidak dapat diubah, sehingga ini adalah ancaman bagi peradaban manusia dan lingkungan yang layak huni di planet ini. Ini sama seriusnya dengan ancaman perubahan iklim."
Profesor Richard Thompson dari Universitas Plymouth mengatakan perjanjian PBB itu harus fokus pada analisis terkait siklus hidup plastik.
"Masalah mendasarnya ada pada tingkat produksi dan konsumsi plastik yang tidak berkelanjutan," ujar Thompson.
"Mengadvokasi kebijakan yang hanya mempromosikan bahwa 'plastik bisa didaur ulang' tidak akan efektif, kecuali ada infrastruktur yang menopang pengumpulan dan pemisahannya sehingga plastik tersebut bisa didaur ulang sebagaimana mestinya."
"Kebijakan yang mempromosikan penggunaan plastik 'kompos' juga hanya akan efektif apabila ada infrastruktur untuk menangani persoalan limbahnya," lanjut Thompson.
Juru bicara Federasi Plastik mengatakan bahwa, "plastik adalah bahan yang ringan, aman, dan hemat energi. Menggantinya dengan alternatif lain sering berakibat buruk bagi lingkungan, juga kesehatan dan keselamatan."
"Penampakan sampah plastik yang terdampar di lautan di seluruh dunia terjadi karena sampah plastik tidak dikelola dengan benar, di situ lah kami ingin membuat berbedaan, itu lah yang seharusnya menjadi fokus."
Peneliti plastik dari Universitas Massey di Selandia Baru, Trisia Farrelly, mengatakan bahwa perusahaan minyak dan gas yang memproduksi bahan baku sebagian besar plastik berusaha memfokuskan perhatian pada limbah plastik dibanding produksi plastik itu sendiri.
"Pertanyaannya sekarang adalah seperti apa perjanjian itu? Akankah itu hanya fokus pada sampah laut dan pengelolaan limbah? Atau akankah ada resolusi yang mencakup keseluruhan siklus plastik, mulai dari ekstrasi dan hak produksi melalui penanganan warisan polusi?"
Farrelly sepakat bahwa perlu lebih banyak kajian ilmiah untuk menentukan seberapa buruk dampak pencemaran plastik, namun menunda mengambil langkah pun akan berdampak berbahaya.
"Ilmu terkait dampak pencemaran plastik masih relatif baru dan beberapa di antaranya kompleks," kata dia.
"Tetapi ada banyak bukti bahwa kita perlu segera bertindak demi mencegah kerusakan lebih lanjut akibat polusi plastik."
Profesor kimia di Universitas Sains dan Teknologi Norwegia, Hans Peter Arp, setuju terkait banyaknya hal yang belum diketahui terkait pencemaran plastik, tetapi polusi yang terjadi saat ini telah melampaui ambang batas planet ini, sehingga berisiko terhadap manusia sendiri.
Menurut Peter Arp, hal itu terlihat dari paparannya yang terus meningkat, dampaknya yang tidak bisa diperbaiki pada ekosistem global, menyebabkan kerusakan ekologis, serta meningkatkan emisi plastik.
"Tanggapan rasional terhadap ancaman atas polusi plastik adalah dengna mengurangi konsumsi plastik murni, bersama dengan strategi pengelolaan sampah yang terkoordinasi secara internasional," ujar Peter Arp.
Meskipun sejumlah perusahaan besar menentang aturan global yang ketat, sebagian lainnya mendukungnya. Salah satu kelompok, plasticpollutiontreaty.org, mengajak perusahaan untuk mengikuti standar yang ketat untuk memastikan ruang yang setara bagi bisnis plastik. (*)
Tags : Polusi, Perubahan iklim, Polusi udara, Lingkungan, Alam, Sains,