
JAKARTA - Asosiasi pengusaha di bidang serat dan benang filamen serta sepatu sedang mempersiapkan jurus di tengah ketetapan tarif ekspor ke AS sebesar 19%.
Mereka yakin tarif ini tidak terlalu berdampak besar karena hal yang sama berlaku bagi negara lain. Tapi mengapa ekonom tetap memperingatkan ancaman gelombang PHK?
Amerika Serikat menjadi salah satu negara tujuan utama ekspor produk Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS).
Periode Januari-Maret komoditas Indonesia yang masuk AS nilainya mencapai 63,40% dari total ekspor.
Data BPS dari periode yang sama juga menyebut komoditas alas kaki menyumbang 9,01%, sementara komoditas pakaian dan aksesorisnya berupa rajutan menyumbang 8,61% dari total keseluruhan ekspor Indonesia ke AS.
Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengapresiasi negosiasi pemerintah Indonesia dan AS.
"Kalau boleh dibilang ini sudah berhasil," katanya. "Kita masih bisa bersaing di pasar AS".
Ia membandingkan tarif yang dikenakan Indonesia dengan negara-negara lain.
Menurutnya, angka 19% masih berada di bawah rata-rata negara kompetitor.
"Makanya kalau 19% ini kan tarifnya nggak termasuk tinggi. Kalau dibandingkan dengan China, Bangladesh, ada yang lain-lain, ada yang 40%. Nah itu yang tinggi. Jadi penurunan impor Amerika akan diambil dari situ," tambahnya.
Sebelum adanya kesepakatan sebesar 19%, produk produk serat dan benang filamen Indonesia sudah dikenai tarif resiprokal sebesar 23%. Oleh karena itu, Redma percaya diri konsumsi komoditas yang diproduksi anggota asosiasinya tidak akan turun.
Meski tetap harus waspada, kata Redma, pemberlakuan tarif ini mungkin saja memunculkan peluang baru. Peluang itu adalah merebut pasar AS dari Cina yang kena tarif 30% dan Korea Selatan sebesar 25%.
APSyFI mencatat nilai ekspor serat dan benang filamen Indonesia tidak terlalu besar. Nilai ekspor ke AS, yang jadi pasar dari 40% produksi filamen dalam negeri, hanya Rp4,8 miliar per tahun.
Di sektor lainnya, komoditas sepatu kemungkinan akan "memperluas" pasar selain AS.
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Yoseph Billie Dosiwoda, menyambut baik kesepakatan perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).
Salah satu manfaat utama dari implementasi IEU-CEPA yakni penghapusan tarif impor secara signifikan. Dalam 1–2 tahun setelah perjanjian berlaku, sebanyak 80% ekspor Indonesia ke Uni Eropa akan menikmati tarif 0%.
"Komoditas unggulan seperti produk padat karya (alas kaki, tekstil, garmen), minyak sawit, perikanan, serta sektor energi terbarukan dan kendaraan listrik akan mendapat perlakuan preferensial yang lebih adil," tulis keterangan Kementerian Koordinator bidang Perekonomian.
Yoseph menilai kesepakatan Indonesia dan Uni Eropa ini harus dilihat sebagai perluasan pasar ekspor tambahan, bukan mengganti pasar yang ada dengan negara lain termasuk AS.
"Pasar Amerika dan negara lain di benua lain tetap diharapkan sama mengalami peningkatan ekspor," katanya.
Aprisindo mencatat tenaga kerja di industri alas kaki berjumlah 960.000 orang dengan pendukungnya mencapai 1,3 juta orang. "Dan belum/tidak ada PHK dari dampak tarif timbal balik yang masih dalam proses lobby di angka 10%," kata Yoseph.
Periode 2020-2024, ekspor alas kaki Indonesia ke Eropa mengalami fluktuasi, meskipun trennya menunjukkan kenaikan. Tahun lalu, nilai ekspornya mencapai US$1.723 juta.
Ketua APSyFI,Redma Gita Wirawasta, malah lebih mengkhawatirkan risiko terjadinya transhipment.
Transhipment adalah praktik pengiriman barang ke negara ketiga untuk menghindari bea masuk atau tarif tertentu.
"Transhipment barang-barang China lewat Indonesia ini bisa terjadi. Nah ini harus diantisipasi oleh pemerintah," jelas Redma.
Praktik perdagangan melalui negara ketiga dikhawatirkan membuat impor di Indonesia melonjak. Jika praktik ini terbaca oleh AS, kemungkinan tarif resiprokal bisa berubah lagi.
Perkara kedua yang mungkin bisa terjadi adalah praktik dumping, kata Redma. Nilai ekspor filamen China ke AS berada di atas US$5 miliar.
Begitu kena tarif tinggi, kelebihan stok produksi filamen mungkin saja masuk ke Indonesia.
"Barang-barang China pasti masuk sini lebih banyak. Dan barangnya sudah pasti dumping. Karena kan dia overstock," tandasnya.
Saat ditanya soal ancaman PHK, Redma bilang "belum ada dampak pemberlakuan tarif resiprokal dalam hal ketenagakerjaan".
"PHK dan penurunan produksi tajam sampai PHK terjadi 2023 sampai awal 2025 sebagai akibat tingginya impor dari China. Tapi tidak terkait resiprokal tarif," katanya.
Apapun jurus dan mawas diri yang sudah dipersiapkan para pengusaha, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, menilai ancaman PHK masih tetap membayangi.
Menurut Esther, kenaikan tarif yang ditetapkan AS segera diikuti kenaikan harga komoditas tersebut di tingkat pembeli.
"Dampaknya akan mengurangi permintaan terhadap produk tersebut. Kalau itu yang terjadi, nanti takutnya perusahaan melakukan resesi, dan yang kita tidak harapkan adalah layoff tenaga kerja," kata Esther. Efek dominonya "ekonomi nasional akan lesu".
Lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) meramal angka pengangguran di Indonesia akan meningkat dari tahun sebelumnya. Pada 2024, angkanya 4,9% dan akan meningkat 5,1% pada 2026.
Kata Esther, potensi pengangguran baru ini akan menambah beban baru di tengah keterbatasan lapangan pekerjaan yang ada.
"Contoh di beberapa media. Dibuka 50 lowongan, tapi yang datang itu ratusan orang, seribu orang. Itu artinya apa? Artinya kan kurang lapangan pekerjaan," tambahnya.
Bila ingin tetap mempertahankan pasar AS, kata Esther, pemerintah bisa memberikan subsidi transportasi pengiriman barang dari Indonesia.
"Cina itu pemerintahnya kasih subsidi. Ya, nyatanya kalau kita dibilang nanti dumping, ya nggak apa-apa. Orang yang lainnya juga melakukan hal itu. China, Jepang (melakukan) itu untuk barang-barang tertentu, itu ongkirnya (ongkos kirim) bebas tuh," katanya.
Selain itu, kata Eshter, diversifikasi pasar komoditas dan meninjau kembali pembangunan sektor industri dibutuhkan.
"Yang butuh footware itu kan bukan cuma Amerika. Tapi negara-negara lain. Nah, dijajaki pasar-pasar ekspor yang lain," jelasnya.
"Kita jangan lupakan sektor pertanian. Sektor pariwisata," kata Esther untuk menegaskan ada sektor lain yang bisa dikembangkan untuk menghasilkan pendapatan di luar industri manufaktur yang sedang terpukul.
Menurutnya, jika pemerintah serius mengurus transportasi dan infrastruktur ke arah destinasi wisata akan menarik devisa lebih banyak dari turis.
"Devisa kita dapatkan, UMKM juga berkembang di sana. Kuliner ya. Sektor pertanian juga bergeliat," tambahnya.
Dalam putusan terakhir, AS memberi Indonesia tarif resiprokal 19% lebih rendah daripada Vietnam yaitu 20%.
Menurut Esther, angka-angka ini tidak lantas berkorelasi dengan arus investasi yang masuk ke Indonesia. "Lagian 1% itu angka yang kecil," kata Esther.
Menurut dia, ada banyak pertimbangan para investor untuk menanamkan modalnya, utamanya upah tenaga kerja yang lebih terjangkau, serta kemudahan iklim berinvestasi.
"Jadi iklim investasi ini harus dibenahi. Contoh misalnya, kalau kita lihat website investasi yang enggak user friendly (bersahabat). Dibuka, klik, ternyata peraturan PDF dalam Bahasa Indonesia," katanya. (*)
Tags : dampak tarif as 19%, perusahaan kelabakan akibat trif as, bayang-bayang phk, pemutusan hubungan kerja, ekonomi, pekerjaan, perdagangan, pengangguran,