"Korupsi massal dan sistemis mengancam penyelenggaraan dana bantuan operasional sekolah puluhan ribu SD dan SMP"
isiko dana bantuan operasional sekolah (BOS) dikorupsi kali ini diprediksi lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, pelayanan publik sekolah sangat terganggu karena kekurangan dana operasional.
"Tetapi korupsi massal dan sistemis dapat dipicu dua hal, yakni keterlambatan penyaluran dan buruknya sistem pengawasan atas penggunaan dana BOS," kata Wawan Sudarwanto, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan [LP3] Anak Negeri menilai, tadi usai Jumat (29/9/2023).
Wawan menjelaskan, pada awal Januari 2011, pemerintah pusat telah menyalurkan dana BOS triwulan I tahun 2011 ke kas umum daerah. Namun, sampai akhir Maret hampir 50 persen pemerintah kabupaten/kota masih menunda penyaluran dana BOS ke sekolah.
Alasan penundaan, antara lain, masih menunggu pengesahan APBD, pelengkapan dokumen sekolah, atau menunggu pelantikan kepala daerah hasil pilkada.
Akibatnya, sekolah terpaksa berutang pada berbagai toko untuk memenuhi kebutuhan operasional mereka.
Bahkan, banyak sekolah terpaksa meminjam dana pihak ketiga untuk menutupi kebutuhan operasional karena keterlambatan dana BOS.
"Jadi dana Bos ini perlu ditambah, hanya saja pengelolaannya jika perlu diumumkan seperti dana Masjid. [maksudnya, jika dikorupsi akan menanggung dosa dilaknat Allah SWT-red]," ungkapnya mengumpamakan.
Jika masih tetap seperti yang berjalan saat ini, kemungkinan adanya utang-utang dan pinjaman dana pihak ketiga akan memaksa sekolah memanipulasi laporan keuangan dan pertanggungjawaban.
"Manipulasi dilakukan untuk menutupi pelanggaran penggunaan dana BOS guna membayar bunga pinjaman."
"Akhirnya, sekolah melakukan penggelapan maupun mark-up atas pembelian barang kebutuhan operasional dan membuat pertanggungjawaban seakan-akan sesuai petunjuk teknis dana BOS atau peraturan perundang-undangan lain," jelasnya.
Dia menilai, manipulasi laporan keuangan dan pertanggungjawaban merupakan cara ampuh menutupi penyalahgunaan dan penyelewengan dana BOS.
Praktik semacam ini sering kali luput dari pengawasan instansi terkait, khususnya dinas pendidikan atau tim manajemen BOS daerah dan lembaga pemeriksa internal, yakni inspektorat provinsi, kabupaten/kota.
Sekolah merupakan penyelenggara pelayanan publik sebagaimana diatur dalam UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Sebagai penyelenggara pelayanan publik, sekolah wajib melaksanakan pelayanan berkualitas sebagaimana diatur dalam Pasal 15 (e) UU dimaksud.
Selain itu, guru sebagai pelaksana pelayanan publik juga terancam melanggar asas pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Ayat (e) UU tersebut. Guru tidak mendapatkan dukungan dana dan barang untuk kegiatan belajar-mengajar dengan murid. Guru honorer juga terancam mendapatkan gaji lebih rendah dari sebelumnya.
Oleh karena itu, keterlambatan dana BOS akan menghambat sekolah menunaikan kewajiban sebagai badan penyelenggara pelayanan publik.
Sekolah tidak memiliki dana operasional yang cukup untuk memenuhi pelayanan pendidikan sebagaimana diwajibkan oleh UU. Namun, pelanggaran ini bukan karena kesalahan pihak sekolah, tetapi dipicu oleh kebijakan pemerintah pusat dan DPR yang tidak hati-hati memutuskan kebijakan.
Biang keterlambatan
Pemerintah pusat, terutama Mendiknas, selalu menyalahkan pemerintah kabupaten/kota yang terlambat menyalurkan dana BOS ke sekolah.
Meski pemerintah kabupaten/kota berkontribusi atas keterlambatan penyaluran, kesalahan utama justru pada pemerintah pusat dan DPR.
Kesalahan terjadi karena dua institusi ini bersepakat memutuskan dana BOS masuk dalam komponen Dana Penyesuaian yang ditransfer ke daerah, meski mereka mengetahui bahwa dana akan terlambat disalurkan oleh pemerintah di daerah ke sekolah.
Hal ini menimbulkan dugaan bahwa dana BOS dijadikan korban eksperimen desentralisasi fiskal oleh pemerintah pusat serta pemenuhan permainan politik politisi Senayan.
Politisi akan mengklaim telah memajukan pendidikan pada konstituen mereka karena memasukkan dana BOS dalam komponen transfer ke daerah.
Salah kebijakan ini bermula dari masuknya dana BOS pada komponen Dana Penyesuaian dalam UU No 10/2010 tentang APBN 2011.
Berdasarkan RUU APBN dan Nota Keuangan yang disampaikan Presiden RI kepada DPR, Agustus 2010, terungkap bahwa pemerintah pusat merupakan inisiator kebijakan ini.
Berdasarkan Nota Keuangan APBN 2011 halaman 4 paragraf 1, pemerintah memutuskan mengalihkan dana BOS pada Kementerian Pendidikan Nasional sebesar Rp 16,8 triliun menjadi transfer ke daerah. Dengan demikian, jumlah belanja bantuan sosial yang dialihkan jadi transfer ke daerah pada 2011 seluruhnya mencapai Rp 78,3 triliun.
Pertanyaannya, mengapa hanya dana BOS yang ”dikorban- kan” jadi komponen transfer ke daerah? Mengapa dana lain yang dikuasai oleh pemerintah pusat—seperti dana bantuan sosial untuk Jamkesmas, PNPM, atau anggaran pada kementerian/lembaga yang dibelanjakan di daerah—tidak dimasukkan dalam komponen ini?
Dana BOS merupakan dana sangat penting bagi operasional sekolah. Hampir 90 persen dana operasional sekolah berasal dari dana BOS. Oleh karena itu, dana ini memiliki karakteristik berbeda dengan dana program lain.
Salah satu karakteristik penting itu adalah ketepatan waktu penyaluran. Keterlambatan penyaluran sedikit saja akan memicu masalah korupsi sistemis dan masalah kompleks.
Meski Mendiknas dan Mendagri telah mengeluarkan surat edaran bersama terkait penyaluran dana BOS, nyatanya belum mampu mengatasi masalah keterlambatan penyaluran ini.
Pemerintah di daerah tetap saja menunda penyaluran dan memilih menunggu pengesahan RAPBD oleh DPRD. Mereka tidak ingin terjerat masalah hukum dan politik lokal jika tetap menyalurkan dana BOS ke sekolah.
Rekomendasi
Kebijakan penyaluran dana BOS 2011 kemarin dapat dinilai sebagai kelalaian kewajiban pemerintah pusat dan DPR atas Pasal 11 Ayat (2) UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal ini berbunyi: ”Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”.
Wawan menilai, ”menjamin tersedianya dana” tidak hanya berarti wajib mengalokasikan anggaran dalam APBN dan APBD, juga menjamin alokasi tersebut sampai di tingkat satuan pendidikan tepat waktu.
Kelalaian ini dapat dianggap sebagai mal-administrasi kebijakan pemerintah dan DPR.
Pertama, pemerintah pusat dan DPR merevisi UU No 10/2010 tentang APBN 2011.
Revisi antara lain dilakukan dengan memasukkan kembali dana BOS pada kelompok belanja pemerintah pusat di daerah dan bukan pada kelompok Dana Penyesuaian yang ditransfer ke daerah.
Kedua, Mendiknas merevisi Permendiknas No 37 Tahun 2010 dengan membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya dalam pencairan dan penggunaan dana BOS.
Ketiga, Ombudsman menginvestigasi dugaan mal-administrasi penyaluran, dan bersama KPK mengawasi bunga giro atas pengendapan dana BOS pada kas umum daerah.
Dana BOS dikorupsi murid jadi korban
Seperti yang terjadi baru-baru ini dua Kepala Sekolah [Kepsek] jadi tersangka kasus korupsi dana BOS Madrasah Bogor.
Akhirnya, bisa dipastikan para kepsek menanggung beban hebat.
Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bogor menetapkan dua orang tersangka kasus korupsi penggelapan dana BOS Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kota Bogor, Jumat 25 Februari 2022 lalu.
Keduanya diduga menggelapkan uang siswa untuk penggandaan soal ujian di 60 MI se-Kota Bogor senilai total Rp 1,12 miliar.
Tersangka pertama yang ditetapkan ialah Dede Syamsul Anwar (DSA) yang merupakan Ketua Kelompok Kerja Madrasah Ibtidaiyah (KKMI).
Tersangka kedua ialah Bendahara KKMI Kota Bogor, Ahmad Matin (AM). Selain ditetapkan tersangka, keduanya langsung ditahan oleh Kejari Kota Bogor.
Kepala Kejari Kota Bogor, Sekti Anggraeni, mengatakan kedua tersangka menggelapkan uang dana BOS MI untuk tahun anggaran 2017-2018.
Modus yang dilakukan ialah menarik uang dari 60 MI se-Kota Bogor, namun uang tersebut tidak disetor ke KKMI Provinsi Jawa Barat.
Di samping itu, besaran biaya pungutan yang telah disepakati KKMI Jawa Barat ialah Rp 6.500 per siswa. Informasi dihimpun, KKMI Kota Bogor menarik uang ke setiap sekolah dengan jumlah yang bervariatif, berkisar Rp 16 ribu hingga Rp 58 ribu per siswa.
Lebih lanjut, Sekti menjelaskan, KKMI Kota Bogor seharusnya menyetorkan kepada KKMI Provinsi Jawa Barat dengan jumlah yang telah ditentukan.
Mereka tidak melakukan seperti yang telah disepakati.
“Dana yang dikumpulkan itu digunakan untuk kegiatan yang tidak diperbolehkan dibiayai dana BOS. Seperti raker, gebyar madrasah, dan lainnya,” katanya kepada awak media.
Kedua tersangka diduga melanggar Undang-Undang Tipikor pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 UU no.31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi, sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dengan ancaman pidana diatas 5 tahun.
Kasie Pidana Khusus pada Kejadi Kota Bogor, Rade Nainggolan, menambahkan pihaknya saat ini masih mendalami kasus ini. Sebab, tidak menutup kemungkinan ada tersangka lain.
“Ada 80-an saksi yang diperiksa. Untuk kemungkinan tersangka lain masih kita dalami. Yang jelas kerugian sementara mencapai Rp1,1 miliar,” kata Rade.
Hanya dua pihak yang mengetahui detail pengelolaan dana bantuan operasional sekolah di sekolah, yakni kepala sekolah dan Tuhan.
Demikian keluhan orangtua murid, guru, dan bahkan wakil kepala sekolah yang disampaikan kepada Indonesia Corruption Watch terkait dengan ketertutupan pengelolaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) di sekolah.
Pertanyaan mengapa masih ada pungutan sekolah dan berapa anggaran pembelian buku pelajaran sering tidak terjawab.
Sebaliknya, orangtua dan guru justru mendapat ancaman jika terus bertanya mengenai pengelolaan dana BOS, dari anak dikeluarkan sekolah sampai kenaikan pangkat guru terhambat.
Kemendiknas mulai menggunakan mekanisme baru penyaluran dana BOS.
Dana BOS tidak lagi langsung ditransfer dari bendahara negara ke rekening sekolah, tetapi ditransfer ke kas APBD selanjutnya ke rekening sekolah.
Kemendiknas beralasan, mekanisme baru ini bertujuan untuk memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam penyaluran dana BOS.
Dengan cara ini, diharapkan pengelolaan menjadi lebih tepat waktu, tepat jumlah, dan tak ada penyelewengan. Mungkinkah itu? Atau sebaliknya, dana BOS lambat ditransfer, dipotong, atau malah memunculkan penyelewengan dengan modus baru?
Harus diakui, masalah utama dana BOS terletak pada lambatnya penyaluran dan pengelolaan di tingkat sekolah yang tidak transparan.
Selama ini, keterlambatan transfer terjadi karena berbagai faktor, seperti keterlambatan transfer oleh pemerintah pusat dan lamanya keluar surat pengantar pencairan dana oleh tim manajer BOS daerah.
Akibatnya, kepala sekolah (kepsek) harus mencari berbagai sumber pinjaman untuk mengatasi keterlambatan itu.
Bahkan, ada yang meminjam kepada rentenir dengan bunga tinggi. Untuk menutupi biaya ini, kepsek memanipulasi surat pertanggungjawaban yang wajib disampaikan setiap triwulan kepada tim manajemen BOS daerah.
Ini mudah karena kuitansi kosong dan stempel toko mudah didapat.
Kepsek memiliki berbagai kuitansi kosong dan stempel dari beragam toko.
Kepsek dan bendahara sekolah dapat menyesuaikan bukti pembayaran sesuai dengan panduan dana BOS, seakan- akan tidak melanggar prosedur.
Tidaklah mengherankan apabila praktik curang dengan mudah terungkap oleh lembaga pemeriksa, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan.
Ibarat berburu di kebun binatang, BPK dengan mudah membidik dan menangkap buruan.
BPK dengan mudah menemukan penyelewengan dana BOS di sekolah.
BPK Perwakilan Jakarta, misalnya, menemukan indikasi penyelewengan pengelolaan dana sekolah, terutama dana BOS tahun 2007-2009, sebesar Rp 5,7 miliar di tujuh sekolah di DKI Jakarta.
Sekolah-sekolah tersebut terbukti memanipulasi surat perintah jalan (SPJ) dengan kuitansi fiktif dan kecurangan lain dalam SPJ.
Contoh manipulasi antara lain kuitansi percetakan soal ujian sekolah di bengkel AC mobil oleh SDN 012 RSBI Rawamangun.
SPJ dana BOS sekolah ini ternyata menggunakan meterai yang belum berlaku. Bahkan lebih parah lagi, BPK tidak menemukan adanya SPJ dana BOS 2008 karena hilang tak tentu rimbanya.
Berdasarkan audit BPK atas pengelolaan dana BOS tahun anggaran 2007 dan semester I 2008 pada 3.237 sekolah sampel di 33 provinsi, ditemukan nilai penyimpangan dana BOS lebih kurang Rp 28 miliar.
Penyimpangan terjadi pada 2.054 atau 63,5 persen dari total sampel sekolah itu.
Rata-rata penyimpangan setiap sekolah mencapai Rp 13,6 juta.
Penyimpangan dana BOS yang terungkap antara lain dalam bentuk pemberian bantuan transportasi ke luar negeri, biaya sumbangan PGRI, dan insentif guru PNS.
Periode 2004-2009, kejaksaan dan kepolisian seluruh Indonesia juga berhasil menindak 33 kasus korupsi terkait dengan dana operasional sekolah, termasuk dana BOS.
Kerugian negara dari kasus ini lebih kurang Rp 12,8 miliar. Selain itu, sebanyak 33 saksi yang terdiri dari kepsek, kepala dinas pendidikan, dan pegawai dinas pendidikan telah ditetapkan sebagai tersangka.
Perubahan mekanisme penyaluran dana BOS sesuai dengan mekanisme APBD secara tidak langsung mengundang keterlibatan birokrasi dan politisi lokal dalam penyaluran dana BOS.
Konsekuensinya, sekolah menanggung biaya politik dan birokrasi.
Sekolah harus rela membayar sejumlah uang muka ataupun pemotongan dana sebagai syarat pencairan dana BOS.
Kepsek dan guru juga harus loyal pada kepentingan politisi lokal ketika musim pilkada.
Dengan demikian, praktik korupsi dana BOS akan semakin marak karena aktor yang terlibat dalam penyaluran semakin banyak.
Partisipasi publik
Tetapi Wawan Sudarwanto, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan [LP3] Anak Negeri kembali menilai, salah satu penyebab utama maraknya penyelewengan dana BOS adalah minimnya partisipasi dan transparansi publik dalam pengelolaannya.
Pengelolaan dana BOS selama ini mutlak dalam kendali kepsek tanpa keterlibatan warga sekolah, seperti orangtua murid, komite sekolah, guru, dan masyarakat sekitar sekolah.
Partisipasi warga sekolah dibatasi hanya dalam urusan pembayaran uang sekolah. Di luar urusan tersebut, warga sekolah tidak boleh ikut campur.
Pemahaman pihak sekolah dan dinas pendidikan atas partisipasi publik ini perlu diluruskan.
"Itulah sebabnya mengapa pengelolaannya harus lebih transparan dan perlu memakai sistim diumumkan seperti dana Masjid," ungkapnya memberi saran.
Partisipasi publik, katanya, merupakan syarat mutlak untuk menekan kebocoran dana pendidikan.
Partisipasi publik harus senantiasa dimunculkan, bahkan dilembagakan, sampai pada tingkat pengambilan keputusan kebijakan strategis sekolah.
"Warga sekolah seharusnya berperan menentukan kondisi masa depan sekolah lima atau sepuluh tahun mendatang. Oleh karena itu, mereka juga didorong untuk terlibat merumuskan kebijakan sekolah mulai perencanaan, pengalokasian, sampai pengelolaan anggaran sekolah," sarannya.
Menurutnya, warga sekolah dapat mencermati pengelolaan dana sekolah lebih dalam. Warga sekolah dapat melihat seluruh dokumen pencatatan dan pelaporan keuangan sekolah.
Hal ini, katanya lagi, dimungkinkan karena Komisi Informasi Pusat telah memutuskan dokumen SPJ dana BOS adalah dokumen terbuka sepanjang telah diperiksa oleh lembaga pemeriksa dan disampaikan kepada lembaga perwakilan.
Publik, terutama warga sekolah, dapat memanfaatkan putusan ini guna mendapatkan informasi pengelolaan dana sekolah. Mereka juga dapat menggunakan putusan ini untuk menilai apakah penggunaan dana sekolah sudah wajar atau tidak.
Partisipasi dan keterbukaan informasi publik akan menguntungkan sekolah.
Selain dapat menekan kebocoran anggaran, pihak sekolah juga dapat mengajak orangtua murid untuk menghimpun dan mengerahkan sumber daya untuk menutupi kekurangan sekolah dan meningkatkan mutu pendidikan.
"Sekolah yang jujur dalam pengelolaan dana sekolah dengan mudah meraih simpati orangtua murid."
"Segala kekurangan sekolah, terutama dana pendidikan, akan mudah diatasi karena warga sekolah dengan ikhlas mencari dana itu pada pemerintah, swasta, atau mereka sendiri," jelasnya.
"Mereka pasti menginginkan sekolah yang jujur dan terbaik bagi anak-anak mereka," sambungnya.
Penghentian penyaluran dana BOS
Tetapi lain lagi diungkapan H. Darmawi Wardhana Zalik Aris SE Hk, Koordinator Indonesian Corupttion Investigation [ICI].
Ia melihat perkembangan terbaru bahwa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan aturan penghentian penyaluran dana BOS kepada sekolah yang jumlah muridnya kurang dari 60 siswa.
Tetapi menurutnya, hal ini dinilai sangat mendiskriminasi sekolah yang ada di kawasan 3T (tertinggal, terluar, terdepan).
Satu sisi kebijakan Kemendikbudristek yang memberlakukan berdasarkan Permendikbudristek Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan BOS Reguler, menjadikan banyak pihak menimbulkan kritisi hal tersebut.
Seperti disebutkan Wakil Ketua DPR Bidang Korkesra Abdul Muhaimin Iskandar meminta Mendikbudristek Nadiem Makarim untuk mempertimbangkan mencabut aturan tersebut yang membatasi sekolah penerima BOS berdasarkan jumlah siswa di sekolah.
Namun menurut Darmawi Wardhana kebijakan ini dapat berdampak pada pengabaian hak-hak anak-anak yang kurang mampu ataupun anak-anak yang bersekolah di sekolah kecil dalam mendapatkan pelayanan pendidikan dari negara, ujarnya.
Pasal 31 UUD 1945 menyebutkan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Sementara ayat (2) berbunyi, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Ia juga mengatakan, kebijakan Mendikbudristek ini akan berdampak terhadap banyak sekolah. Sebab, sejauh ini, masih banyak sekolah yang terus bertahan dengan mengandalkan dana BOS, terutama sekolah-sekolah di daerah miskin dan jumlah siswa kurang dari 60.
"Cari solusi dan pendekatan lain yang tepat dalam membenahi kualitas pendidikan di Indonesia agar seluruh satuan pendidikan dapat memberikan pelayanan pendidikan yang layak, namun dengan tidak mengorbankan dan tetap memprioritaskan hak anak-anak Indonesia untuk mendapatkan pendidikan," pungkas dia.
Wakil Ketua DPR Bidang Korkesra Abdul Gaffar menyebut, pendidikan mempunyai peranan penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Pendidikan yang bermutu dapat menghasilkan lulusan yang sesuai dengan harapan masyarakat baik moral, kualitas diri, pengetahuan maupun kompetensi kerja.
Gaffar mengemukakan bahwa manajemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerjasama yang sistematik, sistemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Sedangkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 69 Tahun 2009 berbunyi:
1. Tentang Standar Biaya Operasi Nonpersonalia Tahun 2009 Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Al iyah (SMA/MA),Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB).
2. Dengan adanya peraturan tentang standar penggunaan bantuan operasional sekolah mampu berjalan sesuai yang diharapkan agar tidak adanya kesalahan dalam menggunakan dana BOS. Dengan adanya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang telah diberikan oleh pemerintah, diharapkan pihak sekolah akan lebih kreatif dalam melakukan hal-hal yang lebih inovatif, inisiatif dan diharapkan kepada peserta didik untuk lebih bersungguh-sungguh dalam melaksanakan pendidikan.
Untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia perlu adanya sebuah pendidikan yang berkualitas dan bersinergi, pendidikan juga memiliki peran yang sangat penting untuk membangun potensi manusia. Seperti yang dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal
3. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
4. Seiring berjalannya kebijakan otonomi daerah, memberikan kebebasan kepada daerah dalam menangani aktivitas masyarakat dan pemerintahan termasuk di dalam yang berkaitan dengan pendidikan dalam pengelolaan sekolah termasuk keuangan yang secara langsung menjadi tanggung jawab yang mesti dilakukan oleh otonomi daerah, Hal ini sangat berkaitan langsung dengan tanggung jawab sekolah.
Oleh karena itu, kata Abdul Muhaimin Iskandar lagi, sekolah juga diberikan kebebasan untuk mengembangkan dirinya dalam meningkatkan mutu pendidikan. Dilihat dari segi anggaran pendidikan, biaya pendidikan menunjukkan sisi pengeluaran suatu anggaran pendidikan itu sendiri.
Besarnya anggaran secara tersirat menunjukkan komitmen pada prioritas kegiatan dari suatu kebijakan pendidikan. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pada umumnya merupakan suatu kebijakan yang berkaitan dengan anggaran yang telah ditetapkan oleh suatu pemerintah untuk membantu biaya pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan atau aksesibiltas pendidikan.
Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang bersifat membantu dalam meringankan beban biaya yang ditanggung oleh orang tua peserta didik dalam menyekolahkan anaknya untuk mencapai penuntasan Wajar Diknas meskipun akses dalam memperoleh pelayanan pendidikan yang lebih baik. Oleh sebab itu, peningkatan mutu harus dilakukan dengan baik dan penggunaan dana BOS dikelola secara terstruktur dan jelas.
Hasil pendidikan dipandang bermutu jika mampu melahirkan keunggulan akademik dan ekstrakurikuler pada peserta didik yang dinyatakan lulus untuk jenjang pendidikan atau menyelesaikan program pembelajaran tertentu.
4. Dengan adanya dana BOS yang diberikan oleh suatu pemerintah diharapkan dapat mampu mengelola sekolah lebih kreatif untuk melakukan halhal yang lebih inovatif, serta diharapkan kepada peserta didik untuk lebih giat dalam melaksanakan pembelajaran agar tujuan pendidikan yakni memenuhi mutu dan sekolah yang unggul.
Suksesnya suatu bidang pendidikan sekolah didukung oleh adanya pendayagunaan semua sarana dan prasarana yang ada di sekolah secara efektif dan efisien, yaitu bagaimana pengelolaan dan penggunaan sarana dan prasarana yang ada di dalam sekolah ini mampu untuk digunakan atau dimanfaatkan secara tepat dan jelas serta kebutuhan sekolah agar tidak mengeluarkan banyak biaya.
5. Dengan pengelolaan dan penggunaan sarana dan prasarana atau fasilitas-fasilitas yang ada dalam sekolah dimanfaatkan secara baik, maka tujuan sekolah tersebut dapat berjalan sesuai yang telah diharapkan. Sekolah sebagai bentuk organisasi dapat diartikan sebagai tempat kumpulan manusia yang bekerja sama untuk tujuan tertentu yakni tujuan pendidikan yang bermutu.
Keberhasilan suatu program pendidikan dalam proses pembelajaran sangat dipengaruhi beberapa faktor yaitu peserta didik, kurikulum, tenaga kependidikan, dana, sarana dan prasarana, serta faktor lingkungan lainnya. Apabila faktor tersebut terpenuhi dengan baik dan bermutu maka pendidikan dalam proses pembelajaran berjalan dengan efektif dan efisien dapat meningkatkan mutu pendidikan yang ada di Negara Indonesia ini.
6. Salah satu faktor pendukung keberhasilannya suatu pendidikan adalah dengan adanya sarana dan prasarana. Sarana prasarana merupakan salah satu sumber daya yang sangat penting dalam dunia pendidikan dan utama dalam menunjang proses pembelajaran di sekolah. Untuk itu, perlu dilakukan peningkatan terus menerus dalam pendayagunaan dan pengelolaannya agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai maksimal dengan seiringnya perkembangan
teknologi yang semakin canggih.
Sarana dan prasarana merupakan komponen yang sangat penting dan sangat mempengaruhi kelancaran proses pembelajaran yang berampak pada motivasi peserta didik, melihat motivasi belajar peserta didik merupakan keseluruhan daya penggerak yang ada dalam diri peserta didik sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar dapat tercapai.
Meskipun sarana dan prasarana merupakan hal pokok yang sangat penting bagi dunia pendidikan namun tidak dapat dipungkiri terkadang pengadaan sarana dan prasarana di sekolah terkadang menjadi sesuatu hal yang sangat sulit dengan berbagai faktor yang melatarbelakangi, entah itu dari sumber daya manusia, masalah pembiayaan, ataupun masalah kondisi lain yang menjadi penghambat pengadaan sarana dan prasarana yang ada di pendidikan sekolah.
Sarana dan prasarana adalah segala jenis perlatan, perlengkapan kerja dan fasilitas yang berfungsi sebagai alat utama atau pembantu dalam pelaksanaan pekerjaan dan juga dalam rangka kepentingan yang sedang berhubungan dengan organisasi kerja. Dari penjelasan ini, jelas memberi arah bahwa sarana dan prasarana adalah merupakan seperangkat alat yang digunakan dalam suatu proses kegiatan baik alat tersebut adalah peralatan pembantu maupun perlatan umum yang keduanya berfungis untuk mewujudkan tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan.
7. Berdasarkan observasi awal pada tanggal 19 November 2019 di SD Negeri 131 Inpres Batu-Batu merupakan salah satu sekolah dasar yang ada di Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar. Pengelolaan Dana Bantuan Operasioanal Sekolah (BOS) di sekolah tersebut sudah berjalan dengan semestinya, meskipun dalam pengadaan dana BOS masih mengalami kendala, karena terkadang pencarian dan BOS tidak sesuai waktu dan juga Dana BOS tidak sepenuhnya digunakan untuk pengadaan Sarana dan Prasarana.
Menunjukkan bahwa sarana dan prasarana yang belum dimanfaatkan dengan baik perencanaan, penggunaan dan pelaksanaan salah satu diantara perpustakaan yang belum dimanfaatkan dengan semetinya, berdasarkan hal tersebut peneliti melihat situasi keberadaan sarana dan prasarana di Sekolah SD Negeri 131 Inpres Batu-Batu jumlah ruang kelas yang berjumlah 6 ruangan, perpustakaan, kantor, wc, lapangan olahraga, kantin. Adapun jumlah tenaga pendidik yang berjumlah 13 tenaga pendidik. Adapun beberapa fasilitas yang belum dimanfaatkan seperti, Perpustakaan, taman baca.
Namun kembali disebutkan Darmawi Wardhana lagi, bahwa dana bos yang merupakan mandat dari pemerintah pusat untuk sekolah tingkat SD Negeri dan SMP Negeri itu tidak boleh melenceng dari tujuan dasarnya yaitu untuk mengurangi biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh orang tua siswa.
"Mandat dari pemerintah pusat tersebut harus dikelola dengan baik dan sesuai aturan serta harus bisa dipertanggungjawabkan," katanya.
"Prinsip transparansi anggaran dan pengelolaan harus dikedepankan. Oleh karenanya sosialisasi ini sangat penting untuk memberikan pembekalan para kepala sekolah dan bendahara sekolah," sambungnya.
Menurutnya, selama ini perlu disyukuri karena tidak ditemukan penyimpangan atau deviasi pengelolaan dana BOS baik untuk di Riau sendiri.
Penyimpangan bisa terjadi karena 2 faktor, yakni penyimpangan yang disengaja dan penyimpangan karena ketidaktahuan kita dalam hal pengelolaannya.
“Saya berharap di Riau tidak terjadi penyimpangan dalam pengelolaan dana BOS ini,” harap Darmawi Wardhana.
Total cost untuk biaya pendidikan ini sudah lebih dari 20% dari mandat UU berkaitan dengan kewajiban Pemerintah untuk memback up pendidikan. Sekarang tuntutannya adalah bagaimana dana yang sudah tidak menjadi persoalan itu kita dituntut untuk profesional dalam pengelolaanya, jelasnya.
Menurutnya, seharusnya dana bos bisa sebagai pendukung pendidikan dalam membantu siswa/i, untuk membuat manusia yang kritis, sebagai bagian dari HAM.
Namun, kenyataan dilapangan ada juga yang disalahgunakan oleh Kepala Sekolah [Kepsek] bersama Bendahara untuk memanipulasi Dana BOS dengan cara-cara yang korup.
Perkembangan korupsi hingga saat ini sudah merupakan hasil dari sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tidak tertata dan tidak terawasi dengan baik, dikarenakan produk hukum yang digunakan juga banyak mengandung kelemahan-kelemahan dalam implementasinnya.
Di dukung Konsep Ketata Negaraan yang tidak maksimal, karena memiliki keterkaitan batin kepartaian, bukan kerakyatan antara Eksekutif dan legislatif belakangan ini.
Benarkah korupsi sudah "melembaga dan membudaya, serta sulit untuk dihapuskan”?
Lembaga anti korupsi ICI ini menilai, tidak terlepas korupsi juga sudah menjalar di bidang pendidikan, terkhusus penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS).
"Kita tahu pendidikan itu sangat penting dalam proses perubahan sikap dan tata cara seseorang atau kelompok orang dalam upaya mendewasakan dirinya, atau dengan kata lain pendidikan itu suatu proses pembelajaran kepada peserta didik agar memiliki pemahaman terhadap sesuatu hal yang membantu mereka menjadi manusia yang kritis dalam berpikir, didukung dengan fasilitas tempat belajar dan mengajar yang memadai," sebutnya.
Tetapi ada juga oknum disekolah, malah dana pendidikan disalahartikan untuk kepentingan pribadi, dilihat dari banyaknya kasus-kasus tentang dana pendidikan yang dikorupsi.
Dimulai sejak di keluarkannya kebijakan dana bantuan operasional sekolah (BOS) pada bulan juli tahun 2005 sampai yang terakhir pada tahun 2019.
Jika dilihat dari kasus-kasus yang telah terungkap, maka pelaku utama dari penyalahgunaan dana Bantuan Operasional Sekolah yaitu Kepala sekolah yang bekerja sama dengan Bendahara sekolah.
Praktek korupsi ini di golongkan dalam “Mercenery corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi , melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan”.
Seperti halnya kasus korupsi dana BOS tahun 2014 dan 2015 yang bersumber dari APBN dan APBD Kabupaten Bantaeng yang dilakukan oleh kepala sekolah dan bendahara dan baru terungkap di tahun 2019.
Terakhir di tahun 2019 Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Depok menangkap terpidana korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Armas Farmas di Kota Bandung, Amas Farmas, mantan Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 3 Kota Depok terjerat korupsi dana BOS, dengan modus dana BOS hanya dikelola oleh Kepala Sekolah dengan Bendahara Sekolah tanpa adanya transparansi pemasukan dan pengeluaran dana tersebut, kata Darmawi mencontohkan.
Tetapi menurut Darmawi Wardhana, modus-modus korupsi penyalahgunaan dana BOS yang sering dilakukan dengan cara-cara yang korup, seperti Kepala Sekolah diminta menyetor sejumlah uang tertentu kepada pengelola dana BOS di Diknas (dinas pendidikan nasional) dengan dalih mempercepat proses pencairan dana BOS.
Pihak sekolah (Kepala Sekolah) hampir selalu berdalih bahwa dana BOS kurang sampai penyalahgunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS), Kepala Sekolah menghimpun dana BOS untuk menyuap pegawai BPKP, Pengelolaan dana BOS tidak sesuai dengan petunjuk teknis (Juknis) yang sudah ditetapkan.
Dan modus paling sering antara lain; Kepala sekolah memandulkan peran Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan dengan tujuan mempermudah “mengolah” dana BOS sendiri, pihak sekolah atas perintah kepala sekolah menarik sumbangan kepada para orang tua siswa dengan dalih dana operasional sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan kurang, dana BOS sengaja dikelola secara tidak transparan ditambah lagi hampir setiap sekolah tidak memasang papan informasi tentang dana BOS.
Bisakah Kepsek jadi pembasmi korupsi di sekolah?
Sangat disayangkan, kata Darmawi lagi, Kepala sekolah [Kepsek] yang korup, padahal Kepala Sekolah seharusnya menjadi pedoman bagi muridnya karena menjadi orang No.1 disekolahnya, ternyata malah menjadi contoh buruk dalam perilaku mental yang korup dan melanggar Hak Asasi orang lain.
Mengutip pendapat Campbell, Corbally & Nyshand (1983) mengemukakan tiga klasifikasi peranan kepala sekolah dasar, yaitu:
1. Kepala sekolah sebagai figurehead atau simbol organisasi, leader atau pemimpin, dan liaison atau penghubung.
2. Kepala sekolah sebagai pemonitor, disseminator, dan spokesman yang menyebarkan informasi ke semua lingkungan organisasi.
3. Kepala sekolah sebagai entrepreneur, disturbance handler, penyedia segala sumber, dan negosiator.
Secara tersirat menegaskan, sebut Darmawi lagi, bahwa “tugas dan tanggung jawab Kepala Sekolah menyangkut keseluruhan kegiatan sekolah.”
"Oleh karena itu seharusnya kepala sekolah menjadi orang no 1 di sekolah untuk lingkungan yang bersih, sehat dari korupsi, kolusi dan Nepotisme bukan malah menjadi motor (Pengendali), penyalahgunaan dana operasional sekolah untuk kepentingan pribadi maupun kroni-kroninya," ungkapnya.
Lord Acton (John Emerich Edward Dalberg Acton) dalam suratnya kepada Bishop Mandel Creighton, Menulis sebuah ungkapan yang menghubungkan antara “korupsi” dengan Kekuasaan “yakni : “Power tends to corrupt, and absolut power corrups absolutely”, bahwa “Kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi yang absolut”, kata Darmawi yang mengutipnya.
Bantuan Operasional Sekolah
Sri Mulyani (Menteri Keuangan RI) menerangkan sistem pengaturan juknis Bantuan Operasional Sekolah sudah di perketat dari tahun ke tahun untuk menciptakan sistem agar penyaluran tepat sasaran, tapi masih tetap bisa ada celah untuk memanipulasi data seperti laporan tahunan, adanya Nota-nota fiktif dari pembelian alat sekolah, tidak di bayarnya guru honorer, pungutan kepada wali murid untuk pembelian alat-alat sekolah, dan pengadaan barang dan jasa menjadi sector paling mudah terjadinya korupsi karena adanya manipulasi data didalamnya.
Suatu kejahatan tindak pidana Korupsi biasanya ketahuan setelah adanya audit tahunan dari BPK.
Pada tahun ini pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp505,8 triliun pada APBN 2020. Alokasi itu setara 20 persen dari total belanja negara mencapai Rp2.528,8 triliun pada tahun ini.
Dari anggaran pendidikan, pemerintah mengalokasikan Rp54,31 triliun untuk dana BOS. Alokasi tersebut meningkat sekitar 8,96 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp49,84 triliun.
Sri Mulyani (Menteri Keuangan RI) mengatakan ada perubahan skema penyaluran anggaran dana BOS sejak tahun 2020 dengan Juknis yang telah diperbaharuin dengan penyaluran dana BOS dilakukan pemerintah pusat langsung ke sekolah penerima langsung.
Ajak masyarakat pantau dana BOS
Skema yang digunakan bahkan sudah sangat rinci, yaitu by name, by address, dan by school account.
“Kami sudah transfer by name, by address, by school account, itu lebih dari Rp53 triliun secara langsung,” tanpa adanya lagi sistem birokrasi yang berbelit-belit.
Jadi walaupun ada yang terjadi penyalahgunaan dana BOS merupakan permasalahan yang secara terang-terangan ada dilingkungan sekolah harus ditangani bersama agar Dana BOS ini tidak di Korupsi lagi dan harus tepat sasaran.
Pengelolaan dana BOS, sangat perlu dengan adanya transparansi penggunaan baik pemasukan dan pengeluaran dana operasional sekolah yang dapat dilihat maupun di kawal siapapun, seperti menerapkan sistem keuangan berbasis online agar lebih transparan dan akuntabel.
Semacam E-budgeting untuk menjadi solusi terbaik sistem keuangan online yang bisa dipakai sekolah dengan sistem pendataan keuangan pun bisa berlangsung secara efisien dan efektif dan dikawal oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan begitu diharapkan bisa mencegah upaya korupsi dana bos.
Sistem pendataan keuangan pun bisa berlangsung secara efisien dan efektif. Dengan menggunakan sistem dan jaringan terpadu, maka Dinas Pendidikan sampai ke Kemendikbud bisa langsung mengendalikan dan mengevaluasi secara langsung untuk adanya Transparansi bos.
Peran sekolah pun harus ada seperti memasang spanduk atau banner tentang komponen-komponen dan larangan-larangan pengunaan dana bos. Adapun yang sangat penting peran dari masyarakat ataupun orang tua siswa/i untuk selalu mengawal dana pendidikan ini.
Dana bos harus dijaga bersama, bukan hanya dari pihak-pihak yang berwenang mengurusnya, tetapi juga lingkungan sekolah baik siswa/siswi dan wali murid harus mengawal juga dana bos agar tidak terjadinya Korupsi/Penyelewengan yang di pakai untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.
Korupsi di lingkungan pendidikan harus segera di berantas dan diungkap, agar tidak membudaya dan tidak merampas hak-hak asasi orang lain dalam menempuh pendidikan. "Karena korupsi ini masalah kita bersama”. (*)
Tags : dana bantuan operasional sekolah, dana bos, murid korban dana bos', para kepala sekolah jadi menanggung beban hebat dana bos,