Politik   2025/11/14 9:12 WIB

Dana TKD Dipotong Bisa Menimbulkan Ketidakadilan bagi Daerah, Relawan Prabowo Gibran: 'Sudah Seperti Pisau Bermata Dua'

Dana TKD Dipotong Bisa Menimbulkan Ketidakadilan bagi Daerah, Relawan Prabowo Gibran: 'Sudah Seperti Pisau Bermata Dua'
Larshen Yunus, Ketua Umum (Ketum) DPP Gabungan Prabowo Gibran (GARAPAN)

PEKANBARU - Relawan Gabungan Prabowo Gibran (GARAPAN) melihat pemotongan Transfer ke Daerah (TKD) sangat terasa di daerah, bukan hanya dari sisi infrastruktur, tapi juga lapangan kerja.

"Bila pemerintah benar-benar ingin menciptakan pemerataan, seharusnya dana TKD justru diperbesar, bukan dipangkas."

“Pemotongan TKD ini sangat terasa di daerah, bukan hanya dari sisi infrastruktur, tapi juga lapangan kerja. Banyak proyek-proyek kecil yang biasanya langsung menyentuh rakyat jadi terhenti,” kata Larshen Yunus, Ketua Umum (Ketum) DPP GARAPAN dalam bincang-bincangnya belum ini.

Larshen Yunus menyoroti dampak pemotongan anggaran Transfer ke Daerah (TKD) yang dinilai sangat terasa di daerah.

Ia mengingatkan bahwa kebijakan ini tidak hanya memengaruhi pembangunan infrastruktur, tetapi juga berimbas pada lapangan kerja dan daya beli masyarakat.

Ia menjelaskan, transfer fiskal ke daerah, terutama Dana Alokasi Khusus (DAK) non-fisik, sangat berpengaruh terhadap perputaran ekonomi di tingkat lokal.

Pemangkasan sekitar Rp300 triliun dalam pos anggaran tersebut, lanjutnya, berdampak signifikan terhadap konsumsi dan investasi masyarakat.

“Kalau PDB kita dihitung dari investasi dan konsumsi, maka pemotongan Rp300 triliun itu jelas terasa dampaknya terhadap daya beli masyarakat. Ini bukan sekadar efisiensi, tapi sudah menyentuh jantung ekonomi rakyat kecil,” sebutnya.

Menurutnya, kebijakan efisiensi harus tetap mempertimbangkan keseimbangan antara cost dan benefit agar tidak mematikan sumber pendapatan masyarakat.

“Kalau efisiensi, saya setuju. Tapi kalau pemangkasan sampai menghilangkan proyek-proyek strategis di bawah seperti perbaikan jalan dan program pemberdayaan, itu justru kontraproduktif. Harusnya kita ukur juga manfaatnya bagi rakyat,” pungkasnya.

"Arah pemerintahan saat ini bergerak menuju sentralistik total."

"Padahal, salah satu roh utama reformasi adalah desentralisasi."

"Memang banyak daerah ekonominya berkembang pesat, terutama daerah penghasil sumber daya alam. Bahkan di sejumlah daerah, muncul kelas menengah baru yang tumbuh dari geliat ekonomi lokal," sebunya.

Namun, kata Larshen kenikmatan kekuasaan daerah itu perlahan dicabut satu per satu. Salah satu yang paling nyata adalah pencabutan kewenangan pemberian izin pertambangan mineral dan batubara dari pemerintah kabupaten, lalu ke provinsi, dan akhirnya ditarik ke tangan Kementerian ESDM.

Menurutnya, hal serupa juga terjadi dalam pengelolaan anggaran. Di awal reformasi, pemerintah daerah memiliki keleluasaan membelanjakan uang negara sesuai kebutuhan dan prioritas lokal.

Tapi seiring waktu, keleluasaan itu semakin dipersempit melalui beragam aturan dan sistem digital yang dipromosikan sebagai upaya penertiban belanja daerah.

"Pada awalnya, kebijakan ini memang dianggap baik karena mampu mengurangi penyalahgunaan anggaran. Namun, dalam sepuluh tahun terakhir, kendali pemerintah pusat terhadap anggaran daerah semakin kuat bahkan nyaris total," katanya.

Kini, penggunaan uang daerah de facto berada di bawah pengawasan ketat Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri.

Pemerintah daerah seolah tak lagi punya ruang manuver.

"Setiap rencana belanja diperiksa dengan detail, dan pemerintah pusat memiliki kewenangan besar untuk mencoret program yang secara subjektif dianggap tidak perlu. Ditambah lagi, sejumlah aplikasi digital pengawasan fiskal justru mempertebal kesan bahwa daerah hanya pelaksana, bukan pengambil keputusan," ungkapnya.

Tanggal 7 Oktober lalu, belasan gubernur mendatangi Kementerian Keuangan. Tampak terkesan setengah protes dan setengah mengemis, agar Menteri Keuangan tidak memotong dana transfer ke daerah (TKD).

Kunjungan itu terjadi setelah Menteri Keuangan mengumumkan pemotongan sekitar Rp200 triliun TKD untuk tahun anggaran 2026. Alasannya, dana akan dialihkan ke sejumlah kementerian dan lembaga di pusat.

Akibatnya, tahun depan dana TKD tersisa Rp693 triliun, turun dari sekitar Rp900 triliun tahun ini.

Menteri Keuangan menyebut, meski TKD turun, dana program untuk daerah justru meningkat menjadi Rp1.367 triliun. Artinya, hampir separuh anggaran pembangunan daerah kini dikelola langsung oleh kementerian dan lembaga pusat.

Pernyataan ini menyiratkan sesuatu yang lebih dalam yakni ketidakpercayaan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah.

Bahkan, Menteri Keuangan sempat menyinggung bahwa daerah yang mampu menyerap anggaran dengan baik dan bersih akan berpeluang mendapat tambahan dana dari pusat.

Ucapan ini seolah menggambarkan bahwa daerah dianggap tidak efisien dan cenderung koruptif, sementara pusat seakan suci dan bebas dari praktik serupa.

Padahal, permainan anggaran bukan monopoli daerah. Proyek-proyek kementerian di daerah pun kerap diwarnai praktik rente yang tak kalah besar.

Perbedaan antara pusat dan daerah hanyalah skala permainan, bukan moralitasnya.

Dengan demikian, alasan teknis di balik pemotongan TKD terasa lemah. Pemerintah pusat sudah memiliki instrumen pengawasan yang sangat kuat terhadap belanja daerah.

Jika inefisiensi tetap terjadi, itu juga mencerminkan lemahnya fungsi pembinaan dan kontrol dari pusat sendiri.

Kehadiran para gubernur di Kementerian Keuangan bukanlah kunjungan biasa. Secara semiotika dibaca sebagai bentuk protes politik yang elegan.

Kehadiran mereka menyampaikan pesan simbolik: ada ketidakadilan yang harus segera diperbaiki.

Bukan kebetulan bila yang paling vokal adalah Gubernur Aceh Muzakkir Manaf dan Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda.

Keduanya berasal dari wilayah kaya sumber daya alam. Aceh punya cadangan minyak dan gas besar, sementara Maluku Utara adalah salah satu lumbung nikel terbesar negeri ini.

Suara mereka bisa dimaknai sebagai jeritan daerah penghasil yang merasa tak mendapat bagian adil dari kekayaan yang mereka sumbangkan untuk negara.

Jika diterjemahkan dalam kalimat sederhana, protes mereka berbunyi: “Adillah kepada kami. Jika kekayaan ini kami kelola sendiri, mungkin rakyat kami sudah jauh lebih sejahtera. Mengapa kami justru diatur begitu ketat untuk mengelola uang kami sendiri?”

"Bila pemerintah benar-benar ingin menciptakan pemerataan, seharusnya dana TKD justru diperbesar, bukan dipangkas."

"Daerah yang terbukti mampu menggerakkan ekonomi lokal semestinya diberi insentif fiskal tambahan, bukan dikurangi. Prinsip dasar pembangunan yang berkeadilan adalah desentralisasi sumberdaya, bukan pemusatan," sebut Larshen.

Menurutnya, sentralisasi hanya membuat uang berputar di lingkaran yang sempit dan menumpuk di Jakarta atau wilayah lain di Pulau Jawa, sementara daerah tetap tertinggal.

Dia melihat, ada lebih dari 500 pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi sejatinya bisa menjadi pintu distribusi fiskal yang efektif untuk menggerakkan ekonomi nasional.

Jadi dia melihat pemotongan TKD ini justru menimbulkan berbagai persoalan.

Pemotongan TKD menyebabkan sentralisasi politik anggaran, di mana kendali keuangan kembali ke pusat, bertentangan dengan semangat otonomi daerah dan pemotongan ini berisiko besar mengganggu perencanaan, program, dan kegiatan pembangunan di daerah, termasuk pembangunan infrastruktur yang telah dijanjikan, dan dapat menyebabkan proyek mandek.

Bahkan beban keuangan daerah merasa kesulitan menutupi beban operasional rutin, seperti pembayaran gaji pegawai (termasuk P3K, honorer), yang dapat memicu gejolak sosial.

Larshen juga mengamati adanya pemangkasan TKD dapat memicu "kreativitas pungutan" daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang berpotensi membebani masyarakat jika tidak diatur dengan transparan.

"Kebijakan itu juga saya lihat seperti pisau bermata dua, di satu sisi untuk efisiensi, di sisi lain mengancam stabilitas fiskal daerah," kata dia juga menyarankan sebaiknya pemerintah daerah untuk mengoptimalkan potensi pajak dan menekan kebocoran anggaran, sementara pemerintah pusat diminta untuk berhati-hati dan mempertimbangkan kondusivitas daerah. (*)

Tags : daerah, Dana, Dipotong, ketidakadilan, teransfer ke daerah, tkd, dana tkd dipotong,