LINGKUNGAN - Deforestasi di hutan alam Taman Nasional Bukit Tigapuluh [TNBT] dalam dekade 12 tahun terakhir terus terjadi, bahkan para pemerhati lingkungan maupun para aktivis menilaii telah terjadi lonjakan ke taraf tertinggi sejak 2008 yang rentetanya para suku pedalaman [Talang Mamak] mengalami kemuduran ekonomi, kesehatan dan sosial hingga ditengah pandemi ini.
Area hutan hujan tropis ini seluas144.223 Ha [1995] telah terjadi pembabatan sejak lima tahun terakhir kemudian mengalami peningkatan 9,5% ketimbang periode sebelumnya. Hutan TNBT juga penyimpan karbon penting yang memperlambat laju pemanasan global. Para aktivis mengatakan hutan itu mengalami deforestasi dengan laju yang kian cepat sejak kepemimpinan Gubernur Riau dijabat HM Rusli Zainal pada 2012. "Pada masa priode itu telah terjadi dorongan aktivitas pertanian dan pertambangan di hutan terbesar di Riau," kata Made Ali Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau [Jikalahari] dalam keterangannya belum lama ini.
Padahal, hutan hujan tropis ini adalah rumah bagi sekitar ribuan flora dan fauna, serta masyarakat adat. Data terbaru menandai peningkatan besar luas area deforestasi hutan TNBT, dari 144.223 Ha yang telah dietapkan oleh pemerintah pada 1995 dan Indonesia telah menargetkan untuk memperlambat laju deforestasi setiap tahun pada tahun 2020. "Akan tetapi, selain mendorong pembangunan [perkebunan sawit] di hutan TNBT, sejak Presiden Joko Widodo juga mendenda serta menangkap petani dan penebang yang melanggar undang-undang lingkungan.
Anak-anak suku Talang Mamak memungkinkan untuk perlu mendapat perhatian khusus.
Reputasi hutan TNBT diakui terus 'tercoreng' saban tahunnya sebelumnya pun telah terjadi deforestasi. Dalam sebuah pernyataan, lembaga swadaya masyarakat Jikalahari mengatakan angka-angka tersebut "mencerminkan hasil sukses dari upaya memusnahkan kapasitas untuk menjaga hutan kita dan memerangi kejahatan di TNBT".
Tetapi beberapa pejabat daerah mengatakan fakta bahwa tingkat deforestasi di TNBT terjadi lebih rendah dari yang tercatat tahun lalu dan merupakan tanda kemajuan. "Meskipun kami tidak di sini [TNBT], hal itu menandakan bahwa upaya yang kami lakukan mulai membuahkan hasil," kata para pejabat di Inhu kepada wartawan.
Skala deforestasi hutan TNBT memang sangat sulit untuk dipahami. "Tahun-tahun lalu saya melihat kesunyian pascadeforestasi, setelah pohon-pohon besar dibuldoser dan kemudian dibakar dalam pembukaan hutan misi beberapa perusahaan yang membuka dan memperluas perkebunan sawit," kata Made Ali lagi.
Ini dilakukan untuk membuka lahan untuk perkebunan sawit penyumbang ekonomi besar bagi daerah. Pada hal dikatakannya bahwa area hutan seukuran 100 kali lapangan sepak bola itu dibuka setiap menit. Tidak satu pun dari hal ini yang mengejutkan saat pergantian Bupati di Inhu dengan janji pembangunan. Karena ingin mempromosikan pertambangan serta pertanian, sebagian lokasi dilingkungan areal hutan menggambarkan TNBT sebagai "tabel periodik" dari mineral berharga, "pada hal ribuan bahkan jutaan pohon di TNBT itu adalah penyimpan karbon yang sangat besar dan dengan kehadiran luasnya kebun sawit tentu saja mendorong kenaikan suhu global akan semakin cepat," kata Made.
'Mereka membunuh hutan'
Puluhan bahkan ratusan warga suku pedalaman [Talang Mamak] sebenarnya telah 'menjerit' meminta bantuan kepada pemerintah daerah maupun pusat untuk mengurangi deforestasi ilegal di hutan TNBT sebagai bagian tempat hunian mereka. Di bawah kepemimpinan Yopi Arianto [masa Bupati Inhu] juga penebangan hutan TNBT terus melonjak yang membahayakan penghidupan beberapa komunitas adat paling rentan di Riau itu.
Pengamat Hukum dari Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) Justin Panjaitan dalam menyikapi tentang telah terjadinya deforestasi hutan TNBT itu, telah mencoba mencari tahu apa artinya hal ini bagi suku pedalaman yang pertama kali dia temui pada akhir-akhir tahun 2020. "Saya merasa seperti Mr Bean, tokoh TV berwajah karet yang diperankan oleh Rowan Atkinson, ketika pertama kali mengunjungi suku Talang Mamak lebih dari satu dekade lalu," ungkapnya.
"Saat itu, saya berharap jurang budaya yang menganga akan terhubung dengan mereka yang kesulitan. Meskipun, suku yang lebih tua telah dibesarkan di hutan TNBT itu tanpa pernah berhubungan dengan dunia luar"
Suku Talang Mamak melihat, ketidaktahuan bahwa telah terjadi deforestasi secara perlahan maupun adanya perubahan besar ditata cara hidup di hutan. "Sepertinya, saya ingin menjerit ketika beristirahat di atas pohon yang runcing, lalu tersandung akar saat menyusuri jalan setapak hutan dan tersedak ketika melihat beberapa hewan [seekor monyet] pun ikut tertindas dan agak membusuk karena mati tanpa sebab," ungkapnya.
Menurutnya, Suku Talang Mamak tetap baik hati meski menghadapi kesulitan dan ancaman. Tetapi mereka sebagai "suku paling terancam di Riau ini". "Ketika saya berkunjung pada tahun 2020 lalu, salah satu sahabat saya di komunitas ini memberi tahu bahwa mereka seringkali mendengar gergaji mesin di hutan dekat desa"
Suku Talang Mamak adalah beberapa orang terakhir di muka Bumi ini yang masih mencoba untuk hidup sebagai pemburu-pengumpul tradisional, tetapi kini cara itu menjadi semakin sulit. Mereka tinggal di cagar hutan seluas 144.223 hektar [yang terus berkurang] di daerah bagian timur, yang dilanda kemiskinan. Selama beberapa dekade, penebang dan petani telah menyerang tanah leluhur mereka dan membuka hutan.
Warga suku Talang Mamak secara perlahan telah diberikan keterampilan untuk mengubah kehidupannya.
Dan dua tahun lalu ancaman terhadap Suku Talang Mamak semakin besar sejak kepemimpinan Bupati Inhu Yopi Arianto. "Kemiskinan ancaman terbesar bagi suku pedalaman TNBT dan hutan ini perlu "dikembangkan" sebagai bagian dari modernisasi yang telah terjadi".
Masyarakat Inhu [yang modern] juga tidak ingin masyarakat adat suku pedalaman hidup seperti "manusia gua" tetapi sebaliknya telah mendorong pertambangan, pertanian dan perkebunan di TNBT. Dan dampaknya dapat dilihat dalam angka terbaru tingkat deforestasi, kata Justin yang juga aktivis lingkungan ini.
Dari Agustus 2019 hingga Juli 2020 saja, diperkirakan 50 kilometer persegi hutan hujan tropis ini ditebangi [terusik], bahkan sebagian disekitra hutan sudah berubah menjadi kebun sawit. Bukan kah ini adalah laju deforestasi tertinggi di TNBT sejak 2008.
Satgas perlindungan hutan
Satuan tugas [Satgas] penertiban kebun ilegal telah dibentuk Gubernur Riau Drs H Syamsuar MSi sejak tahun 2020, guna untuk mencegah memperlambat deforestasi maupun penertiban kebun-kebun sawit yang ilegal yang mendapat dukungan pemberantasan dari Komisi Pembertansan Korupsi [KPK] bukannya tidak membuahkan hasil. Paling tidak memang telah memperlambat terjadinya deforestasi disekitar hutan. Dan tim Satgas ditugaskan untuk melihat hasil operasi disetiap wilayah rawan, upaya yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam membersihkan wilayah dari para penjajah merusak hutan dan mendirikan perkebunan.
Upaya tersebut menunjukkan bagaimana Tim Satgas, bekerja sama dengan dinas perlindungan lingkungan dalam sebuah misi yang dikoordinasikan oleh badan masyarakat adat. Camp polisi lingkungan di dekat tepi cagar TNBT dilengkapi peralatan lengkap. Para petani diperingatkan untuk pergi dari hutan lindung dan ditawari tanah di tempat lain di bagian itu jika mereka mau.
"Tetapi momen yang paling berkesan adalah belum tampak adanya penertiban kebun-kebun sawit yang diduga ilegal dan tidak diketahui pemiliknya di dekat cagar TNBT. Pada hal Tim Satgas memiliki alat berat dengan tangan besi yang siap menghancurkan segalanya," kata Justin lagi.
Operasi Penertiban kebun sawit ilegal terjadi di akhir dari beragam upaya untuk mengurangi deforestasi TNBT yang telah dimulai satu dekade sebelumnya.
Hal itu menunjukkan peran polisi lingkungan ditingkatkan. Pemerintah memerintahkan agar dilindungi tim Satgas Penertiban kebun sawit ilegal. Polisi lingkungan juga diberi otorisasi untuk menghancurkan peralatan siapa pun yang ditemukan sedang merobohkan hutan secara ilegal.
"Dampak dari kebijakan ini sangat besar. Pada tahun 2021 ini, deforestasi telah turun ke level terendah sejak pencatatan dimulai pada tahun 2020"."Saya melihat bahwa fokus pemerintah untuk menghentikan penggundulan hutan maupun penertiban kebun sawit ilegal telah meleset, tetapi apa yang terjadi ini sangat luar biasa bahkan menurut standar pemerintah. Pada hal pemerintah memiliki kesempatan saat ini, tetapi perhatian pers hampir secara eksklusif tertuju pada Covid-19 dan bukan di TNBT," kata Justin yang juga menyikapi situasi saat ini di Inhu kembali sementara semuanya tenang. (*)
Tags : Hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Deforestasi Hutan TNBT Inhu, Nasib Suku Pedalaman Talang Mamak, Ditengah Pandemi,