BERKEBUN di rumah menjadi pilihan masyarakat untuk beraktivitas positif di tengah aturan pembatasan selama pandemi Covid-19. Kini warga Kota Pekanbaru ramai-ramai ada yang berkebun sayur-sayuran dan buah dilahan yang sempit bahkan ada pula pilih membuat tanaman hias sekaligus bisa untuk memenuhi permintaan pasar.
Wah, bisa menjadi bisnis kecil-kecilan ini Mas, menurut pemerhati perkotaan, Drs Lelo Ali Ritonga tren berkebun di rumah sebagai bentuk pelarian melepaskan stress di tengah tekanan pandemi dan kemungkinan hanya akan terjadi sesaat karena rutinitas kembali menggilas.
Seperti salah satu teman Aznil, 50 tahun, punya lahan kosong lebih kurang sekitar 15x15 meter bujursangkar di dekat halaman rumahnya di bilangan Jalan Bangkinang Raya, Tampan. Lahan minimalis itu telah menjadi kebun saur-sayuran dan buah-buahan [tanaman pangan] olehnya. "Sekarang lahan tanah yang tak seberapa luasnya saya tanami Jagung juga ada pisang kepok, kelengkeng dan Kuini," katanya bercerita belum lama ini.
"Paling favorit, aku suka banget tanam jagung."
Redaksi media online Detak Indonesia [mantan wartawan koran harian Riau Pos] ini, mengaku sudah menyukai berkebun sejak dua tahun terakhir. Tapi makin tekun di masa pandemi. "Karena pas pandemi, lockdown. Aku milhat situasi tanaman pangan sekarang serba mahal, bahkan jika dilihat bisinis semua sudah pada online. Dan itu malah jadi kayak berkebun itu kegiatan di luar ruangan, yang jatuhnya meditasi buat aku. Refreshing-nya aku," kata Aznil.
Selama menekuni berkebun, dia juga memelihara ikan lele yang ia dapat: komitmen dan kesabaran. Komitmen 'bangun pagi, untuk tetap ingat menyiram walaupun ada kegiatan lain', dan kesabaran untuk menuai hasil kebun. "Nggak mungkin kayak tanam satu benih, dalam satu minggu langsung berbuah, itu nggak mungkin banget. Jadi harus sabar, dirawat terus," kata dia yang punya mimpi memiliki kebun, dan memenuhi kebutuhan pangannya dari sana dan juga punya mimpi mendorong pertanian berkelanjutan.
Kebun seluas yang tak seberapa itu terletak di dekat rumah tempat tinggalnya. Ketika harga kebutuhan memasak di dapur melambung, ia tak merasakan. "Saya tidak pernah mengalami mahalnya cabe dan mahalnya jahe. Tinggal ambil dari belakang," katanya yang komuditi itu masih bisa ditanam.
Lain lagi Desy (34) yang tinggal di bilangan jalan Sekolah, Kecamatan Marpoyan Damai, Pekanbaru memiliki teras dengan luasan ruangan 20x 20 meter bujur sangkar memanfaatkannya dengan menanam tanaman hias. Ada banyak pot, cabai, tomat ceri, buncis, kacang panjang, bunga matahari, basil, seledri, terong, paprika, beberapa bunga calendula, zinnia, ada monstera Pemanfaatan lahan minimalis halaman rumah untuk berkebun juga ditekuninya.
Mahasiswa lulusan dari Universitas Islam Riau (UIR) ini mengaku semula sempat mengabaikan lahan kosong di rumahnya. "Sebelum pandemi itu, kita cuma ada tanaman yang dikasih sama developer. Cuma nggak disiram juga. Karena berangkat pagi, pulang sore-malam. Maksudnya memulainya aja nggak sempat," kata dia, Minggu (4/10).
Namun, masa pandemi mengubah kebiasaan Desy untuk memulai berkebun dan bertanaman hias. "Tadinya kita cuma tanam di samping rumah, itu cuma 5x12 meter (samping rumah). Awalnya kita coba dari kunyit, daun salam, daun jeruk, sama cabai, sama telang. Nah itu yang benar-benar dipakai buat masak," kata dia.
Selain bisa mengurangi ketegangan hidup karena pandemi, berkebun juga punya tujuan praktis, kata Desy. "Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan di dapur juga kayak kalau perlu cabe kalau habis, tinggal ambil aja. Kayak daun salam, daun jeruk, kayak gitu, lumayan membantu juga."
Selama masa pademi, 'demam berkebun' ikut melanda warga perkotaan. Hal yang diyakini makin diminati sebagai momentum mendekatkan manusia dengan alam. Tapi Neil Ihsan B.Eng M.Eng, Mahasiswa tamatan dari salah satu Universitas Jepang dalam bincang-bincangnya mengemukakan minat masyarakat untuk berkebun masa pandemi kelihatannya makin tinggi.
Menurutnya, minat ini ditunjukkan dari tingginya pesan yang masuk lewat media sosial. Pesan ini terkait dengan teknik mulai bertanam hingga cara memanen. "Kalau di Jepang, masyarakatnya juga memiliki tingkat berkebun sangat tinggi, malah sebelum pandemi, saya melihat sendiri sejak kuliah selama lebih kurang 10 tahun di negara itu, bahkan lebih interaksi sosial lewat IG atau meningkat juga request webinar online tentang berkebun," katanya.
"Warga bisa saja berkebun melibatkan lembaga pemerhati pertanian, hingga pesohor untuk melakukan edukasi berkebun lewat media sosial."
Neil Ihsan mengatakan saat ini banyak lembag lebih banyak berkegiatan melalui online, termasuk membuat konten-konten kreatif untuk edukasi. Kebun Kumara lebih menekankan permaculture. "Transisi awal dari offline ke online saja (tantangannya), tapi sisanya justru aku melihat positifnya, orang-orang, justru semakin tertarik dan peka untuk berkebun di rumahnya sendiri," katanya.
Ia mengaku permintaan tanaman hias di masa pandemi juga banyak dimintai pembeli. Bukan hanya permintaan terhadap tanaman yang melambung tinggi. Keberadaan pot untuk menanam juga menjadi laris manis di pasaran. Sebelum pandemi, harga pot ukuran 20 centimeter Rp12.000 per lusin. Tapi harganya naik hingga 100% di masa pandemi. "Sekarang itu Rp20.000-22.000 per lusin. Naiknya luar biasa," kata Neil Ihsan.
Menurutnya, perilaku pasar juga berubah. Membeli tanaman yang sebenarnya belum siap untuk dijual. Selama masa pandemi, diperkirakan omset menanam tanaman hias bisa naik lebih dari 100%. "Itu hanya omset di penjualan wholesale-kepada pengecer dalam jumlah besar-saja, belum ditambah penjualan retail baik online maupun yang langsung ke nursery," katanya.
Tanaman hias yang dipasarkan bisa saja paperomia, Raphidophora tetrasperma, pakis, giant veriegata, peperomia raindrop, pictum, philodendron squamiferum, sansevieria, kaktus, gloriosum, monstera adansonii dan lainnya. "Jadi berkebun bagi masyarakat perkotaan akan menjadi gaya hidup baru yang berkelanjutan," kata Neil Ihsan memperkirakan.
Kembali disebutkan Aznil, dia memperkirakan bisnis berkebun, kata dia, akan selalu diminati meski diperkirakan akan mengalami 'penurunan yang tidak signifikan'. "Marketplace, media sosial, selama itu masih ada, atau ada perkembangan berikutnya teknologi informasi ini, berkebun tetap eksis," katanya.
Lain lagi disebutkan Drs Ali Lelo Ritonga, Pengamat Sosial dan Perkotaan melalui sarana teleponnya menilai, masa pandemi ini membuat masyarakat terbatasi untuk beraktivitas di luar ruangan. Tidak seperti sebelum pandemi, kebahagiaan itu bisa dicari lewat belanja ke mal, berkantor, berkumpul, berwisata, dan lainnya. "Kalau masyarakat itu dikekang, ada constraint di situ, harus ada ruang. Ada virus, kemudian pemerintah membuat aturan-aturan. Makin ketat aturan itu, makin mengekang, maka orang akan keluar mencari ruang-ruang baru," kata dia.
Ia melihat hal ini layaknya demam bersepeda di masa pandemi. Menurutnya, masyarakat kota perlu menyalurkan daya konsumsinya untuk bahagia dan ada. "Bagi mereka itu ketika eksis, kemudian di-upload instagam itu tadi, berkebun pun jadi semacam branding. Sekarang itu bersepeda pun bukan sekadar menyalurkan, tapi menjadi status. Sebetulnya banyak berkebun, dia tidak mendapat buahnya. Tapi mendapat statusnya," kata Lelo.
Lelo menilai demam berkebun ini kemungkinan hanya terjadi di masa pandemi. Sebab, ketika vaksin sudah ditemukan atau masanya sudah lewat, perhatian orang akan dibetot pada rutinitas sehari-hari. "Tren ini suatu saat akan berhenti, ketika suatu saat dia akan menemukan titik-titik lain. Pintu-pintu lain," katanya.
Pekerjaan rumah terbesar bagi pelaku berkebun di rumah adalah konsistensi untuk merawat tanaman. Seperti Desy, salah satu pelaku petani di kota ini mengakui setelah masa pandemi, rutinitas perkantoran di swasta yang digelutinya selama ini akan kembali sedia kala. Sulit untuk menjadwal menyiram kebun, Desy punya solusi: menggunakan alat penyiram otomatis atau, "Kita juga disini bersama suami minta bantuan untuk siram," katanya. (rp.sdp/*)
Tags : Berkebun, Tanaman Pangan, Tanaman Hias, Pandemi Covid-19, Tren atau Gaya Hidup Berkelanjutan,