Demi kebutuhan untuk mencari nafkah seringkali membuat masyarakat cenderung abai akan risiko Covid-19, pada hal seharusnya wabah virus corona sudah tak diragukan lagi bahwa telah nyata dan berbahaya.
PEKANBARU - Dengan meningkatnya jumlah kematian, penuhnya rumah sakit, dan kelangkaan oksigen, seharusnya sudah tak diragukan lagi bahwa Covid-19 nyata dan berbahaya.
Namun belakangan masyarakat Kota Pekanbaru bisa lega, wabah virus corona kini mulai 'meredup' bahkan pihak Dinas Kesehatan [Diskes] Riau merilis kasus kematian nol hingga pada bulan Oktober 2021 ini.
Tetapi dalam meredupnya sebaran wabah virus corona masih ada cukup banyak orang yang menolak Covid-19 atau mengabaikan risikonya. Mengapa demikian?.
Lihat saja salah seorang pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai sembilan bahan pokok keliling dengan menggunakan sepeda motor, Isa ini.
Isa mengaku sudah lama dibuat resah oleh beberapa orang media sosial tentang bahayanya sebaran covid-19 maupun resikonya. Demi kebutuhan untuk mencari nafkah dia pun abaikan risiko pandemi maut itu dengan tidak lagi memakai masker.
"Sudah menurun kan wabah nya. Bagi aku yang penting terserah saja, siapa yang mau peduli menjalankan protokol kesehatan pokoknya apa yang bisa kita lakukan saja lah," kata seorang bapak berusia 50 tahun itu yang memiliki empat orang anak ini.
Sikap dirinya untuk tetap menjaga prokes atau meremehkan risikonya adalah bentuk penyangkalan yang ia lakukan saat menjajakan dagangannya. Sikap ini disinyalir sudah ada sejak awal pandemi pada tahun 2020 lalu.
Ini didorong adanya Survei persepsi risiko yang dilakukan organisasi relawan Lapor Covid-19 bekerja sama dengan Social Resilience Lab Nanyang Technology University (NTU) tahun lalu menemukan bahwa lebih dari 50% warga merasa yakin tidak akan tertular virus corona.
Tetapi sebelumnya ahli Epidemiologi Riau, dr Wildan Asfan Hasibuan sudah terang-terangan menyebutkan belum ada survei serupa yang dilakukan tahun ini, penyangkalan sudah menjadi persepsi umum di masyarakat.
"Penyangkalan sudah menjadi persepsi yang diyakini secara berjemaah, tidak bergantung pada parah atau tidaknya kondisi Covid-19 sekarang ini," katanya.
Menurutnya, sikap seperti pedagang yang mengabaikan prokes adalah hasil akumulasi berbagai faktor seperti ekonomi, relijius, dan terutama ketidakjelasan penanganan Covid-19 baik oleh pemerintah.
"Faktor lain karena diperparah oleh misinformasi dan hoaks yang menyebar dengan mudah melalui media sosial," ungkapnya.
Semua itu dapat membuat orang cenderung abai terhadap risiko penyakit ini dan tidak percaya atau takut pada otoritas kesehatan. Dalam beberapa situasi, ia bahkan berujung pada hilangnya nyawa.
Seperti yang terjadi pada Helmi Indra, 34 tahun. Ayahnya meninggal dunia pada awal Juli lalu dalam keadaan positif Covid-19 setelah kondisinya memburuk dan dirawat di rumah sakit. Helmi menceritakan, dalam rangkaian twitnya yang viral, bahwa sang ayah sempat menolak vaksinasi dan enggan dibawa ke rumah sakit karena "takut dicovidkan".
Helmi mengatakan bahwa ayahnya percaya pandemi Covid-19 itu nyata, namun ia terpengaruh oleh misinformasi tentang vaksin dan anggapan bahwa banyak pasien Covid-19 meninggal bukan karena penyakitnya melainkan karena interaksi obat. Itu membuat pria berusia 60 tahun itu takut ke rumah sakit.
Helmi yakin bahwa hoaks berperan besar dalam kematian ayahnya. Menurut Helmi, sang ayah jarang mengecek kebenaran informasi yang tersebar lewat WhatsApp.
"Di minggu-minggu itu berita mengenai interaksi obat lagi kencang-kencangnya, tersebar ke grup-grup WA, itu jadi salah satu yang membuat takut ... Akhirnya Papa hanya minum obat pereda nyeri aja untuk pusingnya dan tidak mengonsumsi semua obat yang direkomendasikan," tuturnya.
Kembali seperti disebutkan pedagang sayur mayur ini, dia berpendapat orang yang sakit atau meninggal dalam keadaan positif Covid, kematiannya hanya dikarenakan adanya penyakit bawaan.
"Covid itu kan di berita saja ramainya. Di sekitar rumah saya aman-aman saja kok," tutur Isa.
Diapun lantas meyakinkan yang penting sikap tawakal (berserah diri kepada Tuhan). "Kita sering mendengar pendakwah-pendakwah ceramah bahwa kita perlu tawakal. Ada juga yang mengatakan tetap cuci tangan, tapi jangan terlalu khawatir karena kita tidak boleh bilang bahwa meninggal itu karena Covid tetapi karena ajal," katanya lagi.
Menariknya, berdasarkan pengamatan di lapangan, tidak ada yang mengkoordinir atau pemberi wawasan pengetahuan tentang Covid terhadap pedagang yang satu ini.
Namun mengutip seperti disebutkan pakar sosiologi bencana dari Nanyang Technological University, Profesor Sulfikar Amir, yang terlibat dalam survei persepsi masyarakat terhadap Covid di Indonesia, tidak sepenuhnya menyalahkan pemerintah.
Ia berpendapat bahwa pada dasarnya ada kondisi-kondisi sosial tertentu yang membuat masyarakat rentan dipengaruhi oleh informasi-informasi yang tidak benar.
Sulfikar menyoroti bahwa penyangkalan terhadap Covid tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
Namun ketika ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa Covid itu nyata dan berbahaya, dengan peningkatan angka kematian, penuhnya rumah sakit dan pemakaman, serta kelangkaan oksigen, mengapa masih ada orang yang menyangkal bahaya Covid?
Salah satu kemungkinannya ialah karena penyangkalan berfungsi sebagai mekanisme pelarian atau coping mechanism. "Beberapa orang menyadari bahwa situasi sedang kritis namun memutuskan untuk tidak percaya demi menghindar dari kenyataan," kata Prof. Sulfikar.
"Informasi-informasi masuk ke masyarakat dengan mudah karena kemampuan masyarakat untuk mencerna informasi secara kritis itu sangat lemah, karena tidak adanya sumber informasi yang benar-benar valid yang dipegang oleh semua lapisan masyarakat."
Dalam situasi krisis, hoaks dan teori konspirasi dapat menawarkan fakta alternatif yang lebih nyaman untuk diterima, Prof. Sulfikar menjelaskan. Namun mereka berdampak pada persepsi risiko, membuat orang menjadi lengah.
Menurut Prof. Sulfikar saat ini persepsi risiko masyarakat sudah lebih baik, setelah Covid menyebar luas dan banyak masyarakat yang mengenal orang-orang yang sakit parah atau meninggal karena penyakit itu. Namun demikian, selalu ada orang yang memutuskan untuk bersikap abai karena kondisi sosial-ekonomi dan psikologis.
'Cara lain untuk mati'
Begitupun seperti disebutkan Rizqi Amelia Zein, pakar psikologi kesehatan dari Universitas Airlangga, faktor lain yang dapat menjelaskan penyangkalan terhadap Covid adalah hasil World Value Survey pada 2020 yang menemukan bahwa populasi di Indonesia umumnya menganut nilai tradisional-survival.
Nilai tradisional menekankan pada pentingnya agama, hubungan orang tua dan anak, kepatuhan pada otoritas, dan nilai-nilai keluarga tradisional. Adapun nilai survival menekankan pada keamanan ekonomi dan fisik. Lawan dari nilai tradisional adalah sekuler-rasional sedangkan lawan nilai survival adalah self-expression.
Amel mengatakan, orang-orang survivalis melihat Covid-19 sekadar "cara lain untuk mati". Mereka bukannya tidak takut, kata Amel, tetapi memprioritaskan ancaman yang jelas (kehilangan pendapatan) daripada yang tidak kelihatan (virus Covid-19).
"Lebih banyak orang yang bilang 'ngapain sih kamu takut sama Covid kenapa enggak takut sama yang Mahakuasa wong [kalau sudah waktunya] mati ya pasti mati'," ujarnya.
Menurut Amel, kampanye kesehatan yang bersifat komunikasi risiko dan menggunakan unsur ketakutan - terutama jika ketakutan itu hanya dipresentasikan, tanpa solusi yang bisa dilakukan - kurang efektif bagi masyarakat survivalis. Alih-alih memotivasi mereka untuk melakukan pencegahan, itu malah membuat mereka merasa tidak berdaya.
Pendekatan yang lebih tepat, Amel berpendapat, adalah pesan solidaritas - bagaimana caranya persoalan ini diselesaikan bersama-sama. "Pendekatan solidaritas itu yang dari awal enggak keluar di komunikasi risikonya pemerintah," kata Amel.
Bagaimana cara menanggapinya?
Seperti disebutkan H Darmawi Zalik Werdana, Ketua Lembaga Melayu Riau [LMR] dalam bincang-bincangnya menyikapi mulai kendornya prokes ditengah masyarakat.
Dia mengatakan pemerintah harus menyadari bahwa literasi dalam membaca pesan-pesan kesehatan antar sosial-ekonomi itu berbeda sehingga ia menyarankan agar pesan kesehatan yang disampaikan sederhana dan menggunakan bahasa daerah.
Pemerintah juga perlu memperkuat jejaring pengaman bagi masyarakat rentan, Darmawi menambahkan, agar faktor ekonomi tidak lagi menjadi penghalang untuk melakukan pencegahan terhadap Covid-19.
"Karena beberapa responden bilang lebih baik keluar rumah (dan berisiko kena Covid) daripada di rumah saja dan anak-anaknya tidak makan," kata Darmawi.
Pada tingkat individu, Damrawi menyarankan agar kita tidak membuang-buang energi dengan berusaha meyakinkan para penganut teori konspirasi, yang menurutnya "tidak bisa diselamatkan". Alih-alih, kita perlu fokus untuk meyakinkan orang-orang yang masih abu-abu.
Cara yang utama adalah dengan meng-"inokulasi" mereka dengan informasi yang benar sebelum mereka terpapar informasi yang salah - seperti halnya vaksin. Ini memang tidak gampang saat misinformasi dan hoaks menyebar dengan mudah melalui media sosial.
"Gimana caranya informasi yang betul sampai duluan, atau informasi yang betul dibombardir lebih banyak," kata dia.
Selain itu, Darmawi menyarankan pendekatan yang empatik dan dengan narasi yang menggugah emosi. Misalnya, benar-benar mendengarkan alasan seseorang tidak percaya Covid atau tidak mau melakukan pencegahan, dan menawarkan bantuan bila diperlukan. "Daripada mereka dimarahi, disebut Covidiot, itu lebih membantu," katanya. (rp.sdp/*)
Tags : Pekanbaru, Virus Corona, Vaksin, Kesehatan,