JAKARTA - Lebih dari 1.000 orang yang terdiri dari kelompok mahasiswa dan buruh menggelar unjuk rasa dan pawai di Jakarta, Selasa (20/10), menolak Undang-Undang Cipta Kerja.
Mereka menuntut agar pemerintah membatalkan Omnibus Law dan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti UU alias perpu. Unjuk rasa ini digelar bertepatan satu tahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Sebelumnya, Menkopolhukam Mahfud MD mengeluarkan pernyataan yang isinya tidak melarang unjuk rasa menolak Omnibus Law, namun dia meminta pengunjuk rasa berhati-hati terhadap apa yang disebut "kemungkinan adanya penyusupan".
Dia meminta aparat polisi agar "memperlakukan semua pengunjuk rasa itu dengan humanis" dan "jangan membawa peluru tajam". Sekitar 10.000 aparat polisi dan TNI telah diturunkan untuk mengamankan unjuk rasa di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Sebagian mereka menggelar demonstrasi di dekat patung kuda, tak jauh dari kawasan Monas, Jakarta, dan pengunjuk rasa lainnya mengawalinya dengan menggelar pawai di Jalan Salemba, Jakarta.
Di sejumlah kota besar lainnya, seperti Bandung, demonstrasi juga digelar oleh mahasiswa yang dimulai pada Selasa (20/10) siang. Sampai pukul 14.00 WIB, Selasa (20/10), sekelompok mahasiswa yang menyebut dirinya sebagai Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia (SI) dilaporkan tengah menggelar unjuk rasa di sekitar patung kuda, tidak jauh dari Tugu Monas, Jakarta. Aparat kepolisian memasang barikade di sekitar patung kuda sehingga para demonstran tidak dapat mendekati kompleks Istana Merdeka.
Apa isi tuntutan BEM SI dalam unjuk rasa?
Dalam aksinya, para mahasiswa - yang mengenakan jaket almamater masing-masing - bergantian berorasi yang isinya menolak Omnibus Law. Beberapa laporan menyebutkan sebagian mahasiswa telah membakar ban di lokasi unjuk rasa. "Kami tetap menyampaikan #MosiTidakPercaya kepada pemerintah dan wakil rakyat yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat," kata Koordinator Pusat Aliansi BEM SI, Remy Hastian, melalui keterangan tertulis, dirilis BBC News Indonesia, Senin (19/10).
BEM SI, menurutnya, menyayangkan reaksi pemerintah dalam menanggapi tuntutan pengunjukrasa yang digelar sejak pengesahan UU Cipta Kerja pada 5 Oktober lalu. Dia mencontohkan sikap pemerintah dan DPR yang meminta masyarakat agar mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. "Pemerintah justru menantang masyarakat untuk melakukan judicial review terhadap UU Cipta Kerja, padahal mereka bisa melakukan tindakan untuk mencabut undang-undang tersebut," katanya
'Ada penyusup yang ingin mencari martir'
Dalam keterangan melalui YouTube, Senin (19/10), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengingatkan agar mahasiswa berhati-hati kemungkinan adanya "penyusupan" dalam unjuk rasa. "Saya ingatkan bahwa bukan tidak mungkin di antara para pengunjuk rasa itu ada penyusup yang ingin mencari martir, mencari korban yang kemudian ditudingkan ke aparat," katanya.
Mahfud tidak menjelaskan secara detil tentang pernyataannya tersebut. Namun menurutnya "kemungkinan penyusupan" itu sudah diantisipasi aparat keamanan. Dalam video itu, Mahfud meminta agar aparat "mengedepankan sikap humanis" dan memperlakukan para demonstran "seperti saudara sendiri". Namun kepada "pengacau", polisi dimintanya bersikap tegas.
Mahfud kemudian meminta aparat "tidak membawa peluru tajam saat mengamankan demo". Sebelumnya Mahfud mengeluarkan pernyataan tentang adanya aktor intelektual di balik unjuk rasa pada 8 Oktober lalu yang sebagian berakhir ricuh. Tuduhan ini dipertanyakan pegiat HAM dan pengunjukrasa, dan meminta Mahfud MD menyebutkan bukti-buktinya. Tidak lama setelah tudingan Mahfud MD ini, polisi menangkap sembilan orang pegiat KAMI dan menyatakannya sebagai tersangka melakukan penghasutan dan kebencian yang berakibat pada kerusuhan dalam unjuk rasa tersebut. Pimpinan KAMI memprotes tindakan hukum kepolisian yang disebut mereka dilatari kepentingan politik. (*)
Tags : Demo 20 Oktober, Mahasiswa dan Buruh Demo, Tolak Omnibus Law,