INTERNASIONAL - Para demonstran anti-kudeta kembali turun ke jalan di kota-kota Myanmar pada Kamis (04/03), sehari setelah PBB mengatakan 38 orang meninggal akibat tindakan aparat keamaman.
Di kota terbesar Yangon, para pengunjuk rasa memasang barikade dengan ban-ban dan kawat berduri. Sejumlah laporan mengatakan polisi menggunakan tembakan dan gas air mata untuk membubarkan unjuk rasa namun belum ada laporan korban pada Kamis ini. Kekerasan yang terjadi pada Rabu (03/03) adalah yang terparah dan paling berdarah sejak kudeta militer pada 1 Februari lalu, dan menuai kritik dari PBB, kelompok hak asasi manusia dan sejumlah pemimpin dunia yang menyebut sebagai "kekerasan brutal".
Sementara itu di Mandalay, massa berkumpul untuk pemakaman remaja perempuan berusia 19 tahun yang ditembak mati dalam protes sehari sebelumnya. Orang berdiri di pinggir jalan sepanjang prosesi pemakaman Angel. Warga menyanyikan lagu patriotik dan meneriakkan slogan anti kudeta, lapor kantor berita Reuters. Gambar remaja yang mengenakan kasus bertuliskan "Everything will be OK" (semua akan baik-baik saja) menjadi viral.
Kyai Sin, yang dikenal dengan panggilan Angel, menyadari bahaya ikut protes dan ia menulis jenis darahnya di Facebook dan meminta agar organ tubuhnya didonasikan bila ia meninggal. Banyak warga memujinya di media sosial dan banyak yang menyebutnya "pahlawan". Dewan Keamanan PBB akan menyelenggarakan pertemuan guna membicarakan situasi di negara itu Jumat (05/03).
Utusan PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, mengatakan banyak gambar-gambar yang mengejutkan. Para saksi mata mengatakan aparat keamanan menggunakan peluru karet dan tajam. Schraner Burgener mengatakan paling tidak 50 orang meninggal "dan banyak yang terluka" sejak kudeta dilancarkan. Di satu gambar video - kata Burgener - polisi terlihat memukuli tenaga medis sukarelawan. Sementara tayangan video lain menunjukkan demonstran ditembak dan mungkin terbunuh di jalan, katanya. "Saya bertanya kepada pakar senjata dan mereka dapat memastikan ke saya. Tidak jelas namun tampaknya senjata kaliber 9mm digunakan, jadi peluru tajam," katanya.
Protes besar dan pembangkangan sipil ini terjadi di seluruh Myanmar sejak militer melakukan kudeta. Di Mandalay, seorang mahasiswi mengatakan kepada BBC, demonstran terbunuh di dekat rumahnya. "Saya rasa sekitar pukul 10:00 atau 10:30 pagi, polisi dan tentara datang ke kawasan itu dan mereka mulai menembaki warga sipil. Mereka tidak memberikan peringatan apapun kepada warga sipil. Mereka langsung muncul dan mulai menembak. Mereka menggunakan peluru karet namun mereka juga menggunakan peluru tajam untuk membunuh warga sipil dengan cara keji," tambahnya.
Pihak militer belum memberikan komentar atas kematian para demonstran. Pada Rabu kemarin (3/3), sedikitnya 38 orang meninggal di Myanmar dalam rangkaian bentrokan antara aparat keamanan dan demonstran, yang digambarkan PBB sebagai "hari paling berdarah" sejak kudeta terjadi sebulan lalu. Utusan khusus sekjen PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, mengatakan, hari Rabu adalah hari yang paling berdarah. "Hari ini adalah hari yang paling berdarah sejak kudeta militer pada 1 Februari," kata Schraner Burgener.
Menurutnya, sedikitnya 50 orang telah tewas "dan banyak lainnya terluka" sejak kudeta dimulai. Dia juga mengatakan agaknya pasukan keamanan menembak dengan peluru tajam. "Satu video menunjukkan seorang pengunjuk rasa diambil lalu ditembak dari jarak dekat oleh aparat keamanan. Mungkin sekitar satu meter. Sepertinya korban ini meninggal dunia," ungkapnya.
Dia kemudian meminta pendapat ahli senjata, yang disebutnya "membenarkan bahwa polisi menggunakan senjata organik dan mereka menggunakan peluru tajam". Demonstrasi massal dan aksi pembangkangan sipil terjadi di seluruh Myanmar sejak militer merebut kendali. Para pengunjuk rasa telah menyerukan pembebasan para pemimpin pemerintah terpilih, termasuk Aung San Suu Kyi, yang digulingkan dan ditahan dalam kudeta tersebut.
Mereka juga mendesak diakhirinya kekuasaan militer. Kekerasan terbaru terjadi sehari setelah negara-negara tetangga Myanmar mendesak agar militer untuk menahan diri. Laporan-laporan dari Myanmar menyebutkan bahwa pasukan keamanan menembaki kerumunan massa di sejumlah kota, termasuk Yangon, dengan sedikit peringatan terlebih dahulu.
Dua anak laki-laki, berusia 14 dan 17 tahun, termasuk di antara mereka yang tewas, kata Save the Children. Seorang perempuan berusia 19 tahun juga dikatakan termasuk di antara korban yang tewas. Sementara, setidaknya enam orang dilaporkan ditembak mati selama protes di Monywa di wilayah tengah Myanmar. Sedikitnya 30 orang lainnya terluka dalam kerusuhan itu, ungkap seorang jurnalis lokal kepada Reuters.
Seorang relawan medis mengatakan kepada kantor berita AFP di Myingyan, sedikitnya 10 orang terluka. "Mereka menembakkan gas air mata, peluru karet, dan peluru tajam," ujarnya. "Mereka tidak menyemprot kami dengan meriam air, [tidak ada] peringatan agar bubar, mereka hanya menembakkan senjata," kata seorang pengunjuk rasa di kota itu kepada Reuters.
Di Mandalay, seorang mahasiswa pengunjuk rasa mengatakan kepada BBC bahwa para sejumlah demonstran tewas di dekat rumahnya. "Saya kira sekitar jam 10 pagi atau 10:30, polisi dan tentara datang ke daerah itu dan kemudian mereka mulai menembaki warga sipil. Mereka tidak memberikan peringatan apapun kepada warga sipil. Mereka baru saja keluar dan mulai menembak. Mereka menggunakan peluru karet tetapi mereka juga menggunakan peluru tajam untuk membunuh warga sipil dengan cara kekerasan."
Sejauh ini pihak Militer belum mengomentari tentang adanya laporan kematian. Laporan sebelumnya menyebutkan setidaknya 11 orang tewas dalam rangkaian bentrokan berdarah antara aparat keamanan dan demonstran yang menentang kudeta militer di Myanmar, hari Rabu (03/03). Kematian dilaporkan - namun belum dapat dipastikan - di Mandalay, Monywa dan Myingyan. Para saksi mata mengatakan tentara melepaskan tembakan tanpa peringatan.
Unggahan di media sosial menunjukkan seorang anak laki berusia 14 tahun meninggal karena luka tembak. Satu orang dilaporkan meninggal di kota terbesar Yangon. Unjuk rasa dibubarkan dengan menggunakan tembakan gas air mata. Seruan untuk menahan diri dari negara-negara tetangga Myanmar dan pemerintahan lain tampaknya tidak diindahkan oleh pemerintah militer. Banyak korban mengalami luka di bagian kepala dan dada dan mereka yang meninggal menunjukkan tentara dan polisi menembak untuk membunuh, kata wartawan BBC untuk Asia Tenggara, Jonathan Head.
Polisi mengumpulkan warga di salah atu wilayah di Yangon dan meminta mereka berbaris dengan tangan diangkat, dan diangkut dengan truk. Sejumlah video menunjukkan polisi memukul mereka yang ditangkap. Bentrokan berdarah ini terjadi sehari setelah organisasi negara-negara Asia Tenggara, ASEAN, menyerukan semua pihak untuk menahan diri. Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi meminta Myanmar untuk "membuka pintu" bagi ASEAN dalam upaya mencari penyelesaian situasi di negara itu "yang mengkhawatirkan".
Retno mengatakan dalam jumpa pers virtual bahwa ia menyampaikan hal tersebut dalam pertemuan informal antara para menteri luar negeri ASEAN yang dilakasanakan secara online pada Selasa (02/03) untuk membahas situasi di Myanmar. "Menghormati prinsip non-interference (tak campur tangan) adalah wajib. Dan dalam pernyataan tadi saya sampaikan bahwa saya yakin tidak ada satu pun negara anggota ASEAN, yang memiliki intensi untuk melanggar prinsip non-interference," kata Retno terkait pertemuan informal secara virtual antara para menteri luar negeri ASEAN pada Selasa (02/03) untuk membahas situasi di Myanmar.
"Namun demikian, pada saat yang sama, menghormati dan menjalankan prinsip dan nilai lain dalam Piagam ASEAN, termasuk demokrasi, penghormatan terhadap hak asasi manusia... adalah sama pentingnya. Saya ulangi, sama pentingnya," tambahnya.
Aparat keamanan Myanmar kembali menggunakan peluru tajam dan gas air mata dalam menghadapi pengunjuk rasa Selasa (02/03), menyebabkan paling tidak tiga orang luka parah, menurut kantor berita AFP. Sejak kudeta militer pada 1 Februari lalu, protes besar terus berlanjut menentang kudeta dan dibebaskannya pemimpin sipil Aung San Suu Kyi. Tentara dan polisi meningkatkan penggunaan kekerasan dengan tidak hanya memakai peluru tajam, juga menggunakan meriam air, peluru karet.
Aung San Suu Kyi sendiri untuk pertama kalinya terlihat Senin (01/03), sejak dia ditahan awal Februari lalu. Suu Kyi, yang muncul di pengadilan melalui tautan video, tampak dalam "keadaan sehat" dan meminta untuk bertemu dengan tim kuasa hukum, kata pengacaranya. Dia ditahan di lokasi yang dirahasiakan sejak kudeta 1 Februari. Aparat keamanan menembaki para pengunjuk rasa menewaskan setidaknya 18 orang, menurut organisasi HAM PBB, menjadikan aksi protes hari Minggu (28/02) sebagai yang paling banyak memakan korban sejak kudeta militer pada 1 Februari.
Menlu Retno Marsudi menekankan pentingnya seluruh negara anggota ASEAN untuk menghormati nilai-nilai dan prinsip-prinsip blok regional dalam sebuah keutuhan. "Menghormati prinsip non-interference, adalah wajib. Dan dalam pernyataan tadi saya sampaikan bahwa saya yakin tidak ada satu pun negara anggota ASEAN, yang memiliki intensi untuk melanggar prinsip non-interference," kata Retno.
Namun demikian, pada saat yang sama, menghormati dan menjalankan prinsip dan nilai lain dalam Piagam ASEAN, termasuk demokrasi, penghormatan terhadap hak asasi manusia, good governance, rule of law, dan constitutional government adalah sama pentingnya," kata Retno Marsudi dalam acara jumpa pers pada Selasa (02/03). Ia menyampaikan kepada media pernyataan yang ia berikan dalam acara pertemuan informal antara para menteri luar negeri ASEAN yang dilaksanakan secara virtual pada Selasa (02/03) untuk membahas dan mencari penyelesaian atas situasi di Myanmar. "It takes two to tango (dibutuhkan dua pihak untuk bekerja sama). Keinginan dan niat baik ASEAN untuk membantu tidak akan dapat dijalankan jika Myanmar tidak membuka pintu bagi ASEAN," tambahnya.
Dalam rapat itu, Retno menyampaikan keprihatinan Indonesia atas perkembangan situasi di Myanmar yang ia sebut dapat mengancam perdamaian dan keamanan kawasan jika tidak diselesaikan dengan baik. "Indonesia sangat prihatin melihat meningkatnya kekerasan di Myanmar yang telah memakan korban. Situasi ini sangat mengkhawatirkan," ujar Retno.
Menurut Jonathan Head, koresponden BBC Asia Tenggara, pernyataan Retno ini merupakan pernyataan yang bagus karena menganggap Myanmar sebagai masalah yang harus diatasi. "Ini merupakan pernyataan yang bagus berdasarkan standar ASEAN. Ini memperlakukan Myanmar sebagai sebuah masalah yang harus diselesaikan, bukan anggota yang masalahnya harus dihindari," katanya.
Pertemuan informal antara para menteri luar negeri dari blok regional tersebut dilaksanakan ketika pasukan keamanan kembali menggunakan gas air mata dan granat setrum terhadap pengunjuk rasa di kota terbesar Myanmar, Yangon. Ketegangan terus meningkat sejak militer Myanmar menggulingkan pemerintah terpilih pada 1 Februari, yang dimenangkan oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi.
Cecep Yadi, bukan nama sebenarnya, seorang WNI yang tinggal tak jauh dari balai kota mengatakan, demonstrasi kemungkinan bertambah besar pada Selasa (02/03) karena hari libur, dan kondisi terus memanas. "Dari sejak Sabtu hingga Senin ini aksi aparat (polisi dan tentara) semakin represif. Para demonstran yang berunjuk rasa dengan damai dan sambil duduk, didatangi oleh banyak petugas dan dibubarkan secara paksa. Petugas juga melemparkan gas air mata, menembak ke arah demonstran," kata Cecep kepada BBC News Indonesia.
"Meskipun demikian, berdasarkan keterangan yang saya dapat dari teman-teman saya yang masih berdemo hingga Senin ini, mereka sebenernya khawatir tapi tidak ada pilihan lain kecuali terus maju dan akan tetap terus melakukan demonstrasi.""Sebagian dari mereka ada yang meliburkan diri, mengambil cuti, dan bahkan menutup tempat usahanya sementara hanya untuk berdemo.""Polisi sekarang udah mulai masuk masuk ke rumah dan jemput paksa orang orang," kata Cecep.
Di mana Aung San Suu Kyi?
Suu Kyi ditempatkan sebagai tahanan rumah pada 1 Februari dan tidak terlihat di depan umum sampai sidang hari ini, ketika dia muncul melalui tautan video di pengadilan di ibu kota, Nay Pyi Taw.
Suu Kyi awalnya menghadapi dua dakwaan terkait dengan impor walkie talkie ilegal dan dugaan pelanggaran undang-undang bencana alam Myanmar. Namun, dakwaan lebih lanjut ditambahkan pada hari Senin, yakni yang terkait dengan dugaan pelanggaran aturan pembatasan sosial Covid-19 selama kampanye. Selain itu, ia juga dituduh menyebarkan "ketakutan". Dakwaan awal bisa membawa hukuman hingga tiga tahun penjara. Tidak jelas hukuman apa yang mungkin dijatuhkan terkait dakwaan baru.
Myanmar Now melaporkan pada hari Senin bahwa presiden yang digulingkan Win Myint - sekutu utama Suu Kyi - juga telah didakwa atas penghasutan berdasarkan pasal 505b hukum pidana. Popularitas Suu Kyi telah melonjak di Myanmar sejak penangkapannya, tetapi reputasi internasionalnya masih ternoda oleh tuduhan bahwa dia menutup mata terhadap pembersihan etnis minoritas Muslim Rohingya.
Korban tewas dilaporkan jatuh di Yangon, Dawei, dan Mandalay ketika polisi menggunakan peluru tajam, peluru karet dan meriam air selama aksi menentang kudeta. Lebih dari 30 orang mengalami luka-luka dalam sejumlah aksi unjuk rasa, kata organisasi HAM PBB. "Rakyat Myanmar berhak untuk menggelar aksi damai dan berhak untuk menyuarakan desakan pemulihan demokrasi," kata juru bicara organisasi HAM PBB, Ravina Shamdasani said. "Penggunakan senjata mematikan terhadap unjuk rasa damai tidak pernah bisa dibenarkan menurut normal hak asasi manusia internasional," imbuhnya.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri RI mengeluarkan 3 poin pernyataan atas perkembangan situasi di Myanmar. Pertama, Indonesia mengaku "sangat prihatin dengan meningkatnya kekerasan di Myanmar yang telah menyebabkan korban jiwa dan luka-luka". "Ucapan duka cita dan bela sungkawa yang mendalam kepada korban dan keluarganya," lanjut Kemlu RI di laman resminya.
Dalam pernyataan yang diterbitkan 28 Februari itu Indonesia juga menyerukan agar aparat keamanan tidak menggunakan kekerasan dan "menahan diri guna menghindari lebih banyak korban jatuh serta mencegah situasi tidak semakin memburuk," demikian Kemlu RI mengakhiri pernyataannya. Aparat keamanan mulai menggunakan cara-cara kekerasan pada hari Sabtu (27/02) setelah berlangsung aksi unjuk rasa besar-besaran menentang kudeta.
Sebelumnya, sebagian besar unjuk rasa ini berlangsung damai. Dalam kudeta ini, pemerintah hasil pemilihan umum digulinglan dan banyak pejabat, termasuk pemimpin de facto, Aung San Suu Kyi dimasukkan ke dalam penjara. Rekaman kejadian hari Minggu yang disebar di media sosial menunjukkan para pengunjuk rasa melarikan diri ketika polisi merangsek ke arah mereka, penghalang jalan didirikan sementara, dan beberapa orang dibawa pergi dalam keadaan berlumuran darah.
Tindakan keras polisi, yang dimulai hari Sabtu, diintensifkan di tengah upaya para pemimpin kudeta mengatasi gerakan pembangkangan sipil, yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Aktivis, dokter dan pekerja kesehatan kepada BBC mengatakan bahwa setidaknya 10 tewas dalam aksi hari Minggu. Di media sosial disebutkan bahwa korban meninggal mencapai lebih dari 20 orang namun laporan tersebut belum bisa diverifikasi.
Setidaknya empat orang tewas di kota terbesar, Yangon, ketika polisi menembakkan peluru tajam, granat kejut dan gas air mata. Gambar-gambar di media sosial menunjukkan darah di jalanan ketika orang-orang dibawa pergi oleh sesama pengunjuk rasa. Seorang dokter berkata kepada kantor berita Reuters bahwa satu orang meninggal di rumah sakit dengan luka tembak di dadanya.
Para pengunjuk rasa terus membangkang, sebagian dari mereka membentuk barikade. "Jika mereka mendorong kami, kami akan bangkit. Jika mereka menyerang kami, kami akan bertahan. Kami tak akan pernah berlutut pada sepatu militer," kata pengunjuk rasa Nyan Win Shein kepada Reuters.
Demonstran lainnya, Amy Kyaw, berkata kepada AFP, "Polisi mulai menembak sejak kami datang. Mereka tidak mengucapkan satu pun kata peringatan. Beberapa orang terluka dan beberapa guru masih bersembunyi di rumah tetangga."
Beberapa pengunjuk rasa dibawa pergi dalam mobil van polisi. Sementara itu di kota Dawei, pasukan keamanan bergerak untuk membubarkan aksi. Outlet media Dawei Watch mengatakan setidaknya satu orang tewas dan lebih dari selusin terluka. Seorang pekerja darurat berkata kepada Reuters ada tiga korban jiwa, di dikhawatirkan masih ada lebih banyak lagi.
Polisi juga menindak keras aksi besar-besaran di Mandalay, tempat polisi menggunakan meriam air dan menembakkannya ke udara. Unjuk rasa telah berlanjut di tempat lain, termasuk kota Lashio di timur laut. Jumlah penangkapan sejak unjuk rasa dimulai belum dikonfirmasi. Grup pemantau Asosiasi Bantuan untuk Tawanan Politik menyebut angkanya 850, namun ratusan lainnya tampak telah ditangkap akhir pekan ini.
Bagaimana nasib Aung San Suu Kyi?
Pemimpin sipil Myanmar itu belum pernah terlihat di depan umum sejak dia ditahan di ibu kota Nay Pyi Taw ketika kudeta dimulai. Para pendukungnya dan banyak orang di komunitas internasional telah menuntut pembebasan Suu Kyi. Mereka juga menuntut pengembalian hasil pemilu pada November yang dimenangkan telak oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang dipimpin Suu Kyi.
Suu Kyi dijadwalkan untuk menghadiri persidangan pada hari Senin atas dakwaan kepemilikan walkie-talkie yang tidak terdaftar dan melanggar peraturan virus corona. Namun pengacaranya berkata ia tidak bisa berbicara dengan Suu Kyi. Para pemimpin militer mengambil alih kekuasaan dengan menuduh terjadi kecurangan masif dalam pemilu, klaim yang dibantah oleh komite pemilu. Kudeta ini telah dikecam secara luas di luar Myanmar, mendorong sanksi terhadap pihak militer Myanmar dan tindakan sanksi lainnya. (*)
Tags : Demonstran Myanmar, Demontran Turun ke Jalan, Myanmar Jadi Paling Berdarah,