AGAMA - Lalish adalah sebuah desa kecil di pegunungan Kurdistan yang hanya dihuni oleh 25 orang. Bagi orang Yazidi, desa ini serupa Makkah bagi umat Islam.
Kompleks kuil Lalish berjarak 125 kilometer dari Erbil, ibu kota Kurdistan yang merupakan wilayah otonom Irak utara. Kompleks kuil seukuran dusun ini adalah situs paling suci bagi penganut Yazidisme, agama kuno dengan sekitar 700.000 pengikut di seluruh dunia.
“Lalish bagi Yazidi sama sakralnya dengan Makkah bagi Muslim atau Yerusalem bagi penganut Islam, Kristen, dan Yahudi,” kata Luqman Mahmood, yang merupakan direktur hubungan pengunjung di tempat ini.
Situs berusia 4.000 tahun yang juga terbuka untuk umum ini, terdiri dari sejumlah tempat suci yang menampilkan menara berbentuk kerucut bergalur yang khas. Bangunan ini paling dihormati karena di dalamnya juga terdapat makam Sheikh Adi ibn Musafir, yang dianggap sebagai pendiri agama ini.
Asal-usul sebenarnya dari Yazidisme masih diperdebatkan, tetapi kepercayaan ini diperkirakan telah berusia lebih dari 7.000 tahun, dan seiring berjalannya waktu telah menggabungkan unsur-unsur dari agama lain termasuk Zoroastrianisme, mistisisme Sufi, Kristen dan Yudaisme.
Keyakinan utama Yazidisme adalah bahwa ada satu Tuhan (dalam bahasa Kurdi disebut “Kuda”) yang menciptakan manusia, sedangkan makhluk hidup lainnya diciptakan oleh tujuh malaikat yang dipimpin oleh Malaikat Merak yang berkuasa bernama Malak Taus.
“Bagian penting lainnya dari keyakinan Yazidi adalah kesatuan manusia dengan alam, yang berakar pada pemujaan kuno terhadap alam,” kata Mahmood.
“Ular hitam di ambang pintu kuil (yang terlihat pada gambar di atas) melambangkan rasa hormat kami terhadap alam, kami tidak akan pernah membunuh ular, meskipun ular itu berbisa.”
Ular sangat simbolis bagi Yazidi yang meyakini bahwa setelah Bahtera Nuh bocor ketika berhenti di puncak Gunung Ararat, seekor ular menutup lubang di kapal dengan tubuhnya sehingga menyelamatkan kapal dan semua penumpangnya dari tenggelam.
Seperti Muslim yang menunaikan ibadah haji ke Makkah, Yazidi wajib berziarah ke Lalish setidaknya satu kali dalam hidup mereka. Mereka yang tinggal di Kurdistan atau Irak wajib berkunjung setidaknya setahun sekali.
Para peziarah dan pengunjung harus memasuki kompleks kuil menggunakan pakaian sederhana dan berjalan tanpa alas kaki untuk menghormati kesucian situs ini.
Begitu masuk, tradisi Yazidi yang populer adalah mengikat girêk (simpul) dengan syal sutra yang digantung di sekitar pilar dan pohon.
Warna-warna syal yang berbeda melambangkan tujuh bidadari, sedangkan setiap simpul melambangkan doa.
Yazidi percaya bahwa dengan melepaskan ikatan dari peziarah sebelumnya, itu akan mengabulkan semua keinginan orang itu.
Lalish dihuni oleh 25 penduduk tetap. Mereka termasuk seorang pendeta, para biksu, seorang biarawati, serta orang yang disebut sebagai “pelayan rumah”, yang bertanggung jawab membersihkan, memelihara, merawat hutan pohon ara, kenari, dan zaitun di sekitarnya serta mengumpulkan tanah untuk para peziarah.
Setiap Yazidi harus memiliki tanah dari Lalish dan membawanya bersama mereka sebagai jimat.
Tanah juga menjadi bagian penting dari upacara pemakaman Yazidi, yang dicampur dengan mata air suci dan bola lumpur kecil untuk ditempatkan di mulut, telinga, dan di atas mata jenazah.
Selain itu, mereka juga menaruh koin di peti mati (seperti tradisi Babilonia kuno) agar almarhum memiliki uang untuk dibelanjakan di surga.
Prosesi lainnya adalah membakar benang putih sebagai imbalan atas sumbangan untuk menyembuhkan orang sakit, memberkati orang yang meninggal dan membawa keberuntungan bagi yang masih hidup
Buah zaitun dari hutan Lalish diinjak tanpa alas kaki di dalam tong kayu, dan minyaknya disimpan dalam pot tanah liat di salah satu gua kompleks. Minyak zaitu menjadi bagian penting dari ritual kebaktian.
Yazidi berdoa menghadap matahari, setidaknya dua kali sehari, ketika matahari terbit dan terbenam. Saat senja menjelang, 365 lampu minyak zaitun (masing-masing melambangkan satu hari dalam setahun) dinyalakan di sekitar area ini untuk melambangkan cahaya matahari dan cahaya Tuhan.
Cahaya juga bermakna penting bahkan dalam kematian, karena Yazidi dikubur menghadap matahari terbit.
Keyakinan Yazidi yang tidak konvensional telah memicu sejarah panjang penganiayaan.
“Ini pertama kali dimulai pada masa Osman I, pendiri Kekaisaran Ottoman,” kata Mahmood.
“Kami bisa menghitung lebih dari 70 peristiwa genosida yang berbeda sejak saat itu, dan yang terakhir dilakukan oleh Saddam Husein dan anggota ISIS.”
Dia lanjut menceritakan bahwa hiasan kepala jamadani yang dikenakan pria Yazidi dulunya berwarna putih, tetapi yang kini dikenakan di Lalish berwarna merah untuk melambangkan pertumpahan darah Yazidi.
“Mengenakan pakaian tradisional tidak hanya menghormati mereka yang menjadi korban, tetapi juga merupakan cara lain untuk menjaga keutuhan budaya kami,” tambahnya.
Jumat merupakan hari suci bagi Yazidi, di mana para penganutnya berkumpul di Lalish untuk berdoa dan bersilaturahmi.
“Makanan mempererat tali silaturahmi,” kata Edee Mahmood, istri Luqman, yang mengajak saya makan siang bersama keluarga mereka.
Di sebuah dapur terbuka, dia dan perempuan lainnya menyiapkan hidangan berbahan dasar daging kambing dan membaginya dengan keluarga, teman-teman, dan peziarah dari diaspora Yazidi.
Terlepas dari keramahtamahannya yang hangat, Edee mengatakan bahwa Yazidi tidak menganggap komunitas mereka inklusif karena mereka menentang penganutnya pindah agama atau menikah beda agama.
“Jika kami menjaga kemurnian Yazidisme, kami dapat mempertahankan cara hidup kami. Itu membuat jiwa kami damai dan berarti kami mampu menanggung apa pun yang menghadang kami. Tanpa akar yang dalam, pohon itu akan segera tumbang. Sama halnya dengan Yazidisme."
Tags : lalish desa kecil, lalish dipegunungan kurdistan, makkah bagi penganut agama yazidi, irak, agama,