"Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [DPRD] Riau menyikapi konflik lahan sering terjadi, upayanya dibentuk panitia khusus [Pansus] untuk menyelesaikan masalah"
PEKANBARU - Provinsi Riau salah satu daerah yang sedang berkembang di mana setiap pembangunan memerlukan tanah, sedangkan tanah terbatas dan tidak bertambah, maka sudahlah tentu tidak terelakkan lagi suatu sengketa dan rebutan tanah-tanah untuk usaha mereka. Yang membutuhkan tanah bukan saja pemerintah sendiri tetapi juga swasta dan rakyat sendiri.
Tidak dipungkiri akibat urbanisasi penduduk sebagai akibat kebutuhan rakyat dan sarana, yang diperlukan semakin meningkat dan saling multiplier bagi sektor lainnya. Sebagai contoh dapat diajukan kota memerlukan lebih banyak jalan raya, perumahan, fasilitas pasar, fasilitas sekolah, perparkiran, rumah untuk sosial dan rumah ibadah yang kesemuanya memerlukan tanah, kata Marwan Yohanis dari Komisi V DPRD Riau usai melaksanakan rapat paripurna, Senin (11/10).
Dia juga tidak menampik, di Riau sendiri persoalan konflik lahan antara masyarakat banyak terjadi dan perlu segera dicarikan jalan keluar. "Salah satunya dengan membentuk pansus konflik lahan ini," sebutnya.
Dia mengaku, salah satu penyebab itu seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi membawa akibat kepada meningkatnya kebutuhan akan lahan/tanah baik untuk industri, perumahan maupun perkantoran, di kota-kota besar dan daerah sekitarnya.
Akan tetapi meningkatnya kebutuhan akan lahan/tanah ternyata juga menimbulkan akibat lain yaitu meningkatnya sengketa atas tanah. Ada beberapa penyebab timbulnya sengketa atas tanah tersebut, antara lain masih rendahnya akan kepahaman masyarakat akan hokum pertanahan, lemahnya koordinasi antar instansi yang terkait di bidang pertanahan dan sebagainya. "Secara umum kurangnya kepastian hukum tentang tanah juga berakibat dan menjadikan melemahnya daya saing di mata investor," ujarnya.
Menurutnya, banyak hal yang dapat menjadi penyebab sengketa tanah kiranya dapat dijadikan pedoman dalam melakukan pembelian dan pembebasan tanah, sehingga dapat terhindar dari sengketa atau setidaknya jika terjadi sengketa secara hukum posisi pembeli lebih kuat.
Untuk menyelesaikan persoalan konflik lahan antara perusahaan dan masyarakat di Provinsi Riau, anggota DPRD Riau sudah sepakat untuk membentuk panitia khusus (pansus). Keinginan membentuk pansus ini disokong seluruh fraksi yang ada di DPRD Riau. Marwan Yohanis dalam rapat paripurna itu mengatakan persoalan konflik lahan antara masyarakat perlu segera dicarikan jalan keluar. Salah satunya dengan membentuk pansus konflik lahan di Provinsi Riau.
Selama tiga tahun terakhir ia menyebut total ada 283 hektare konflik lahan di Provinsi Riau. Kabupaten Bengkalis sebagai daerah dengan kasus konflik lahan terbesar di Provinsi Riau dengan 83 hektare konflik. Disusul Siak 70 ribu hektare, Pelalawan 52 ribu hektare, Inhil 44 ribu hektare, Kampar 36 ribu hektare dan Kuansing 23 ribu hektare. "Kan sudah disetujui tinggal lagi fraksi mengirim anggota. Kita belum bisa mengatakan daerah mana yang akan kita dahulukan. Mana yang didahulukan tunggu pansus terbentuk. Setelah terbentuk pansus mana yang didahulukan semua didahulukan," kata Marwan Yohanis.
Sebelumnya, pihak Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga sudah memetakan sedikitnya masing-masing empat faktor penyebab konflik agraria di sektor perkebunan dan kehutanan. Di antaranya adalah pemberian izin lokasi oleh pemerintah dan penetapan kawasan hutan secara sepihak oleh Kementerian Kehutanan.
Dalam laporan akhir tahun, KPA menyebutkan penyebab konflik lahan di sektor perkebunan adalah pengelolaan lahan BUMN di wilayah perkebunan warisan kolonial yang banyak terdapat di Jawa, Sumatra Utara, Sumatra Selatan dan Lampung.
Padahal, lahan-lahan tersebut sebelumnya dirampas melalui perampasan dan tak pernah dikembalikan kepada masyarakat. Selain itu, konflik juga terjadi karena pemberian izin lokasi dan izin prinsip yang berada di atas tanah-tanah masyarakat. "Dalam proses ini, ganti kerugian yang diberikan penuh dengan manipulasi baik terkait nilai tanah, penerima ganti rugi dan ukuran tanah," demikian tulis KPA di Jakarta.
Masalah lainnya adalah kemitraan dengan pola inti plasma, namun seringkali tanah-tanah milik masyarakat dimasukkan dalam sertifikat Hak Guna Usaha perusahaan. Faktor terakhir, adalah pemotongan tidak wajar oleh perusahaan kepada petani plasma dan koperasi yang dibuat perusahaan atas nama warga.
Di sektor kehutanan, KPA memetakan penyebab konflik agraria adalah penunjukan sepihak kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan untuk kemudian ditetapkan batas pemetaan dan penetapan kawasan. Saat ini, sambung KPA, pemerintah telah menunjuk secara sepihak luas kawasan hutan yakni 136,94 juta hektar atau 69% wilayah Indonesia.
"Masalah besar lain akibat belum finalnya status kawasan hutan adalah 30.000 desa definitif berada di kawasan hutan. Dengan status berada di dalam kawasan hutan, maka setiap hari penduduk ini rawan mengalami kriminalisasi, intimidasi,dan penggusuran paksa," demikian laporan tersebut. KPA menuturkan selain kawasan hutan yang belum ditetapkan, konflik juga tejadi pada kawasan yang telah ditetapkan macam industri kehutanan. Organisasi itu mencontohkan kasus Perhutani yang beroperasi di Jawa, yakni menggunakan peta yang berbeda dengan yang dimiliki oleh pemerintah desa.
Persoalan selanjutnya, kata KPA, adalah tidak adanya kehendak yang kuat dari pemerintah untuk menyerahkan pengelolaan hutan kepada masyarakat. Padahal, secara turun-temurun masyarakat adat telah lama memiliki dan menguasai kawasan hutan Indonesia dengan prinsip kelestarian lingkungan. (*)
Tags : DPRD Riau, Dewan Bentuk Pansus Konflik Lahan di Riau, Pansus Untuk Mengatasi Sengketa Lahan,