Bisnis   2022/10/15 14:14 WIB

Di Saat Peternak Hadapi Harga Ayam Murah, 'Situasi jadi Sulit karena Perusahaan Besar tak Tertandingi'

Di Saat Peternak Hadapi Harga Ayam Murah, 'Situasi jadi Sulit karena Perusahaan Besar tak Tertandingi'

BISNIS - Para peternak ayam mengaku tengah menghadapi situasi sulit. Di tengah kenaikan berbagai harga barang, harga jual ayam terbilang rendah dan mereka mengatakan itu tidak sebanding dengan modal produksi mereka yang tinggi.

"Di saat peternak hadapi harga ayam murah situasi jadi tambah sulit."

“Kita hanya ingin stabilkan harga ayam hidup di atas HPP (harga pokok produksi) peternak (Usaha Mikro Kecil dan Menengah), UMKM, kemudian stabilkan harga ayam hidup, mengingat bahwa harga pangan sudah terlalu tinggi,” kata salah satu peternak ayam yang tergabung dalam Komunitas Peternak Unggas Nasional (KPUN), saat berdemo di kawasan silang Monas, Jakarta pada September lalu.

Protes ini bukan satu-satunya demo yang dilakukan KPUN.

Berselang beberapa pekan kemudian, tepatnya pada Oktober, KPUN di Jawa Timur berdemo di depan kantor gubernur.

Mereka menyuarakan isu yang sama, sekaligus meminta operasi pasar dengan harga di luar acuan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dihentikan. Hasilnya, Pemerintah Provinsi Jawa Timur menghentikan operasi pasar untuk komoditas ayam broiler dan telur.

KPUN terdiri dari sekumpulan peternak ayam mandiri dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Di Indonesia ada dua jenis peternak ayam. Yang pertama adalah peternak mitra, yaitu peternak yang mendapatkan bahan produksi dan menjual hasil produksinya ke perusahaan-perusahaan besar di Industri peternakan, melalui skema kemitraan.

Sementara yang kedua adalah peternak ayam mandiri, yang mengelola keuangan sendiri dan menjual hasil produksinya langsung ke pasar, meski untuk sarana produksi ternak atau sapronak (yang terdiri dari bibit ayam, pakan, dan obat-obatan) mereka hanya bisa membelinya dari perusahaan-perusahaan besar, atau yang disebut perusahaan integrator.

Ketua KPUN Alvino Antonio, mengatakan kondisi para peternak mandiri atau peternak rakyat saat ini memang sedang sulit. Harga jual ayam yang rendah membuat mereka rugi.

Harga ayam broiler di pasar sempat menyentuh angka Rp15.000 per kilogram, jauh di bawah harga pokok produksi yang melebihi Rp20.000 per kilogram.

Dia mencontohkan, harga bibit ayam untuk memproduksi satu ekor anak ayam, menurut perhitungan mereka, biayanya Rp5.500.

Namun, perusahaan-perusahaan integrator menjual bibit ayam ke peternak mandiri dengan harga Rp6.000-Rp7.000.

Untuk pakan, Alvino bahkan mengatakan perusahaan-perusahaan integrator “mengambil untung minimal 13%”.

“Pakan misalnya (harga aslinya) Rp8.000, berarti modalnya (untuk memproduksi satu ekor anak ayam) sekitar Rp13.500. Pada saat mereka (yang) budi daya, mereka jual (ayam mereka) di harga pokok produksi mereka Rp13.500. Yang jelas pasti kami rugi karena harga DOC (day old chicks/bibit ayam) sama pakannya, mereka sudah ngambil untung,” kata Alvino seperti dirilis BBC News Indonesia.

Di Indonesia, industri ayam dikuasai oleh perusahaan-perusahaan integrator, yang memasok bibit ayam, pakan, obat-obatan, sampai menjual ayam hasil budi daya mereka sendiri.

Jadi, selain menjadi pemasok bagi para peternak, perusahaan juga menjadi pesaing mereka.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, pada akhir September lalu, mengatakan ada tiga perusahaan besar yang menguasai industri ayam dalam negeri.

Akibatnya, usaha kecil dan menengah, seperti milik Alvino dan anggota komunitasnya kalah saing.

Oleh sebab itu, Zulkifli Hasan mengatakan akan berkoordinasi dengan kembaga terkait, seperti Badan Pangan Nasional (Bapanas) untuk mengatur harga ayam agar tidak terlalu murah dan merugikan peternak, dengan menciptakan ekosistem yang kondusif. Salah satunya, mengutip dari Kompas TV, dengan menyediakan akses bibit ayam dengan harga yang terjangkau.

'Menguasai dari hulu sampai ke hilir'

Parjuni, seorang peternak ayam mandiri di Jawa Tengah mengatakan, dengan kondisi itu, perusahaan integrator sudah menguasai “dari hulu sampai ke hilir” dan secara terselubung bisa “mendikte harga”.

“Dia mau menentukan harga Rp10.000, kita enggak mungkin melewati harga Rp10.000 karena dia sudah punya stok gede, stok banyak. Tapi, kalau ini diubah, kembali ke pasar yang dulu, diserahkan budi dayanya ke rakyat, itu saya kira rakyat sendiri yang akan berkompetisi dengan sehat. Bukan diarahkan seperti ini,” kata Parjuni kepada BBC News Indonesia.

Menurut Parjuni, yang merupakan Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Jawa Tengah, perusahaan integrator saat ini menguasai budi daya sekitar 80% dari total populasi ayam nasional. Sementara peternak ayam mandiri, hanya kebagian sisanya.

Kondisi inilah yang menyebabkan para peternak “tidak bisa berkembang”.

“Mereka itu kan diberi tempat, diberi pasar di Indonesia. Belum lagi difasilitasi dengan diberi hak untuk memelihara indukan, atau GPS (grand parent stock), terus parent stock. Harusnya kan hasil DOC (bibit ayam) diberikan ke rakyat, tapi dia kuasai sendiri, dia pelihara sendiri.

Akhirnya apa? Pasarnya ayam yang dipanen rakyat tadi benturan. Ujung-ujungnya, peternak pasti kalah karena modalnya kecil,” ujar Parjuni.

Dia bercerita, sebelum 2009, perusahaan-perusahaan besar dilarang budi daya.

Namun, Parjuni mengatakan sejak Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 dikeluarkan, situasi mulai berubah.

“Di situ perusahaan itu boleh berbudi daya, tetapi sebenarnya ada aturannya. Tetapi sayangnya satu, perusahaan asal budi daya saja, tidak peduli mau populasi kecil, mau populasi besar, aturan yang sebenarnya sudah benar, tapi praktiknya itu tidak ditertibkan.

Ini yang menjadi akar mulanya kenapa seakan-akan perusahaan sudah memonopoli semuanya,” ujar Parjuni.

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 mengatur tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang di dalamnya juga mencakup soal budi daya. Undang-undang itu diubah oleh Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014, yang kemudian beberapa pasalnya diubah lagi dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Jika kondisi ini dibiarkan terus berlanjut, Parjuni khawatir “peternak rakyat akan habis”.

Meminta perlindungan pemerintah

Merasa terjepit, para peternak ayam mandiri itu pun meminta bantuan pemerintah agar bisa bertahan di industri.

“Makanya yang selalu kami protes ke pemerintah, perlindungan untuk kami apa? Kalau memang misalnya mau begitu, mereka jangan budi daya,” tegas Alvino.

BBC News Indonesia sudah berupaya menanyakan situasi yang dikeluhkan para peternak kepada Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nasrullah dengan membawa data-data yang diklaim oleh para peternak.

Termasuk soal klaim “perusahaan integrator membunuh usaha kecil”, dengan data dari Pinsar yang menyatakan jumlah peternak ayam mandiri tinggal 20%, dari yang tadinya 80%.

Namun, Nasrullah menolak berkomentar.

“Minta data BPS, kalau (dari) Pinsar siapa yang bisa mempertanggungjawabkan kebenaran dan keabsahan datanya?”

Kami juga sudah menanyakan data serupa ke Badan Pusat Statistik (BPS), tapi tidak ada data terbuka dan terkini, yang mencakup hal-hal di atas.
“Peternak mitra tidak rugi”

Beberapa pihak dari dua perusahaan integrator, yaitu PT Charoen Pokphand Indonesia dan PT Japfa Comfeed Indonesia melalui pesan singkat, untuk mengomentari isu ini. Namun, tidak ada jawaban.

Sementara itu, Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) Achmad Dawami, mencoba menjelaskan situasinya.

Dia menampik kalau para pengusaha mengendalikan harga karena “mekanisme pasar” yang menentukan.

“Karena dia menjualnya masih dalam bentuk ayam hidup yang perishable (mudah rusak) itu, ini yang tidak bisa terjaga karena ayam hidup itu harganya tergantung daripada fluktuasi jumlah dan bulan-bulan tertentu apa ayam hidup itu bisa dibeli,” kata Dawami.

Perusahaan-perusahaan juga tidak bisa menaikkan harga ayam begitu saja karena harga ayam yang rendah saat ini disebabkan oleh kelebihan pasokan (oversupply) dan kurangnya permintaan.

Penyebabnya adalah produksi yang berlebih karena, menurut Dawami, semakin banyak pemain dalam bisnis ini. Data Bapanas mencatat surplus ayam ras pedaging maupun petelur, bisa mencapai 700 ribu hingga 800 ton per tahun.

“Satu-satunya jalan ya mengurangi produksi,” ujar dia.

Dia juga mengatakan, di saat harga jual ayam rendah, para perusahaan juga mengalami kerugian karena sudah lebih dulu menyepakati kontrak di harga tertentu dengan para peternak yang bermitra.

“Misalkan sudah telanjur kontrak Rp19.000 dengan peternaknya, ternyata harga di luar Rp16.000. Ya mereka rugi Rp3.000, tapi peternaknya tidak rugi. Peternak siapa itu? Peternak mitra,” ujar dia.

Dawami kemudian melanjutkan, hal inilah yang membuat pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021, “yang mengatakan bahwa budi daya ayam broiler adalah ranahnya kemitraan”.

“Itu adalah salah satu cara pemerintah memproteksi peternak-peternak kecil.”

Pembenahan ekosistem

Masalah peternakan ayam di Indonesia ini diurus oleh beberapa kementerian dan lembaga.

Untuk urusan produksi ranah Kementerian Pertanian, untuk urusan harga dan perdagangan termasuk ranah Kementerian Perdagangan, sementara untuk pasokan menjadi ranah Badan Pangan Nasional (Bapanas).

Untuk mengatasi kelebihan pasokan, yang sebenarnya sudah menjadi masalah dalam beberapa tahun terakhir, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengatakan sedang bekerja sama dengan kementerian dan lembaga, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan pihak swasta.

Arief mengatakan saat ini pihaknya sedang mendorong penyerapan live bird atau ayam hidup ke perusahaan integrator, dengan realisasi per 12 Oktober mencapai lebih dari 250 ribu kilogram ayam dari peternak mandiri mikro dan kecil telah diserap oleh perusahaan integrator.

BUMN pangan juga ikut menyerap hampir 10 ribu ayam hidup dari koperasi.

“Harus dibangun ekosistemnya. Libatkan BUMN, mulai dari pengadaan DOC (day old chick/bibit ayam) dan grand parent-nya (bibit induk ayam), penyediaan pakan ternak, RPU (rumah potong ungags), penyerapan live bird, penyimpanan dalam bentuk karkas frozen,” kata Arief. (*)

Tags : Pangan, Ekonomi, Inflasi, Indonesia, Perdagangan, Biaya hidup, Keamanan pangan,