JAKARTA - Di balik panasnya konflik lahan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, terdapat nama Tomy Winata.
"Pulau Rempang dijadikan proyek Eco City."
"Iya benar [PT MEG merupakan anak perusahaan Artha Group yang dimiliki Tomy Winata]," kata Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait.
PT Makmur Elok Graha, pemegang hak eksklusif untuk mengelola serta mengembangkan Rempang Eco City, adalah anak perusahaan Grup Artha Graha, yang dimilikinya.
Perseroan tersebut mendapatkan sertifikat hak guna bangunan seluas 16.583 hektare selama 80 tahun dari Otoritas Batam dan Pemerintah Kota Batam.
Sejatinya, rencana pengembangan Pulau Rempang sudah ditandatangani melalui perjanjian yang berlaku sejak Agustus 2004. Kala itu rencana proyek tersebut bernama Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE).
Namun, rencana itu sempat mandek karena dugaan korupsi.
Belasan tahun kemudian, proyek ini kembali hidup dan masuk daftar Proyek Strategis Nasional dari pemerintah pusat.
Perusahaan kaca dan panel surya asal China, Xinyi Group, disebut akan membangun pabrik di Kawasan Industri Rempang dengan nilai investasi sebesar Rp172 triliun.
Tomy Winata adalah pengusaha berpengaruh sejak era Orde Baru. Dia memiliki sejumlah bisnis dari berbagai sektor di bawah payung Grup Artha Graha atau Artha Graha Network.
Bisnis grup tersebut mencakup properti, keuangan, agro industri, perhotelan, pertambangan, media, hiburan, ritel, serta IT dan telekomunikasi.
Pengusaha keturunan Tionghoa ini memulai bisnisnya pada 1972 dalam proyek pembangunan kantor Koramil di Singkawang, Kalimantan Barat.
Dari situ dia mulai dekat dengan sejumlah kalangan militer dan dipercaya memegang proyek-proyek lain seperti barak hingga sekolah tentara.
Tomy Winata juga berada di balik pembangunan kawasan perkantoran SCBD, Jakarta.
Pada 2016 namanya tercatat dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan mencapai Rp1,6 triliun.
Kepastian soal peran pengusaha Tomy Winata di balik proyek Rempang Eco City disampaikan Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait seperti dirilis BBC News Indonesia.
Merujuk pada profil PT Makmur Elok Graha yang tercatat di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU), tertera bahwa perusahaan tersebut beralamat di Gedung Artha Graha di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan, sejak 2010.
Pada 2023, perusahaan itu pindah ke kawasan Orchard Park Batam.
Tapi jauh sebelum itu jejak Tomy Winata terlihat dalam sejumlah foto pertemuan beberapa pejabat Pemerintah Kota Batam, Otorita Batam, dan DPRD ketika memaparkan konsep pengembangan Pulau Rempang.
Pada foto tertanggal 26 Agustus 2004, Tomy Winata yang mewakili PT Makmur Elok Graha dan Pemerintah Kota Batam menandatangani perjanjian pengembangan dan pengelolaan Kawasan Rempang seluas 17.000 hektare, Pulau Setokok sekitar 300 hektare, dan Pulau Galang kira-kira 300 hektare.
Kesimpulan dari perjanjian tersebut memuat beberapa hal.
Pertama, sesuai perjanjian dan secara hukum konsorsium, PT MEG adalah pemegang hak eksklusif Kawasan Rempang.
Kedua, jangka waktu perjanjian 80 tahun.
Terakhir, jangka waktu sertifikat hak guna bangunan di atas hak pengelolaan lahan adalah 80 tahun.
Laporan Tempo menyebutkan dalam perjanjian pada 26 Agustus 2004, PT MEG akan membangun berbagai macam sarana di Pulau Rempang, Pulau Setokok, dan Pulau Galang.
Sebut saja sarana perdagangan, jasa, hotel, perkantoran, serta kawasan permukiman.
Ada juga gelanggang permainan, panji pijat, klub malam, diskotek, dan tempat karaoke.
Rencananya, Pemerintah Kota Batam dan PT MEG bakal menerapkan sistem bagi hasil.
Namun, rencana itu tak segera terlaksana.
Bahkan proyek tersebut sempat tersandung kasus dugaan korupsi pada 2007.
Waktu itu dua pucuk surat kaleng yang dikirim dari pihak yang mengaku sebagai warga negeri sipil Batam menyebutkan pemberian hak pengembangan serta pengelolaan Pulau Rempang serta sekitarnya kepada PT MEG telah merugikan negara hingga Rp3,6 triliun.
Gara-gara surat itu Tomy Winata sempat diperiksa Bareskrim Mabes Polri.
Setelahnya tak ada kelanjutan apa-apa hingga Batam dijadikan kawasan perdagangan bebas atau free trade zone.
"Saya nggak tahu dan sudah kelamaan, terserah deh [Batam] mau jadi apa. Dan saya tidak pernah bolak-balik ke sana, ngoyo benar," ujar Tomy Winata kepada Tempo tahun 2007 silam.
Proyek Rempang hidup kembali setelah mati suri
Belasan tahun kemudian, PT MEG kembali menghidupkan proyek mati suri ini dengan tajuk Batam-Rempang Eco City.
Pada 26 Mei 2023, Tomy Winata tampak mendampingi Chief Executive Officer Xinyi Group, Gerry Tung, saat bertemu dengan Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Pertemuan di Fuzhou, China, itu juga dihadiri Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Sakti Trenggono, serta Direktur Utama PT MEG, Nuraini Setiawati.
Selang dua bulan kemudian atau pada 28 Juli 2023, PT MEG menandatangani perjanjian dengan Xinyi Group di Chengdu, persis di hadapan Presiden Joko Widodo.
Disebutkan komitmen investasi produsen kaca asal China tersebut mencapai Rp172 triliun.
Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, mengatakan pemerintah pusat melalui kerja sama antara BP Batam dan PT Makmur Elok Graha menyiapkan Pulau Rempang sebagai mesin ekonomi baru Indonesia.
Dengan total target investasi yang diklaim mencapai Rp381 triliun hingga tahun 2080 mendatang, pengembangan Pulau Rempang diharapkan bisa memberi dampak terhadap pertumbuhan ekonomi bagi Kota Batam serta kabupaten atau kota lain di Provinsi Kepulauan Riau.
Sesuai rencana pembangunan yang dirancang PT MEG, sambungnya, Pulau Rempang akan disulap menjadi kawasan industri, perdagangan hingga wisata sehingga bisa mendorong peningkatan daya saing Indonesia dari Singapura dan Malaysia.
Pengembangan Pulau Rempang juga diklaim akan membuka ratusan ribu lapangan kerja baru untuk masyarakat setempat.
"Dengan target 306.000 tenaga kerja bakal diserap selama pengembangan kawasan hingga tahun 2080," ucapnya.
Imbas kehadiran proyek ini permukiman warga di sana bakal digusur.
Muhammad Rudi berkata tidak mungkin kawasan industri pabrik kaca dan solar panel terbesar kedua di dunia ini berdampingan dengan permukiman warga.
Untuk itulah masyarakat katanya, akan mendapat hak hunian di Kampung Nelayan Modern.
"Lokasinya tidak jauh dari kampung sebelumnya dan masih berada di satu bibir pantai," ujar Rudi.
Akan tetapi masyarakat dari 16 kampung adat di Pulau Rempang berkeras pada sikap menolak relokasi, meski pemerintah memberi tenggat waktu pengosongan kawasan sampai 28 September 2023.
Direktur Walhi Nasional, Zenzi Suhadi, menilai proyek-proyek yang dimiliki Tomy Winata kerap bermasalah karena tak didahului dengan kajian dan dipaksakan.
Salah satu contohnya adalah reklamasi Teluk Benoa. Proyek tersebut batal dilaksanakan oleh PT Tirta Wahana Bali Internasional - yang merupakan anak perusahaan dari kelompok bisnis Tomy Winata.
Pasalnya izin lokasi reklamasi yang dipegang perusahaan dianggap telah kedaluarsa.
Selain itu, analisis dampak lingkungan (Amdal) proyek reklamasi Teluk Benoa dinilai tidak layak karena aspek sosio kultural yaitu adanya penolakan dari masyarakat.
"Proyek-proyek Tomy Winata ini, dia yang menentukan tempatnya, proyeknya, dan negara mengambil keputusan politik dengan menyetujui dalam bentuk pemberian izin," jelas Zenzi.
"Persoalannya di dalam konstitusi dan regulasi yang mengatur tata ruang, lingkungan dan hak rakyat, seharusnya tidak boleh keputusan politik mendahului kajian."
"Jangankan rakyat, anak kecil saja nggak mau kalau barangnya dirampas atau kehidupannya diinjak."
Menurut Zenzi, penolakan besar-besaran yang terjadi di Teluk Benoa dan Pulau Rempang harus menjadi catatan penting bagi pemerintah dalam mengambil keputusan berupa pemberian izin.
Bahwa sebelum mengeluarkan izin harus terlebih dahulu mendengarkan masyarakat.
Dan yang tak kalah penting, pemerintah harus memperhitungkan nilai historis atau ikatan kultural di lokasi tersebut.
"Kalau ekonomi rakyat belum dihitung negara, tapi keputusan politik sudah diambil, rakyat menolak dan bisa jadi negara rugi karena ekonomi yang dilindungi masyarakat lebih tinggi dari investasi."
"Jadi kami desak pemerintah hentikan proyek-proyek model begini. Jangan sampai negara mengedepankan kepentingan satu orang dan merampas hak ribuan orang," tegasnya. (*)
Tags : konflik lahan di pulau rempang, batam, kepri, konflik lahan di pulau rempang, proyek eco city, ada nilai investasi rp172 triliun di pulau rempang,