SEKOLAH dan tempat pengasuhan anak sudah aktif kembali setelah sempat tutup saat pandemi. Meskipun banyak anak telah kembali ke sekolah dan tempat pengasuhan, masih banyak ibu pekerja yang merasa kewalahan karena harus bekerja sambil mengurus anak.
Hampir sepanjang tahun pertama setelah putrinya lahir pada awal 2022, Katie Szerbin bekerja dari rumah. Dia mengelola panggilan layanan pelanggan sepanjang hari, tanpa bantuan pengasuhan anak.
Setiap kali anaknya mulai menangis, ibu berusia 33 tahun asal New Jersey, AS, itu harus keluar kamar.
Jika tidak, pelanggan di ujung saluran telepon– dan manajer Szerbin, yang sering ikut mendengarkan– mungkin bisa mendengar suara bayi dan mempertanyakan profesionalismenya.
“Setiap panggilan biasanya kurang dari lima menit. Itu adalah tantangan yang harus saya hadapi, dan saya berharap orang-orang yang saya telepon tidak mendengarnya menangis. Itu menyayat hati,” kata Szerbin.
Semakin anaknya besar, situasinya tidak banyak berubah. Apalagi ketika anaknya "mulai berjalan, ingin ikut terlibat, membutuhkan perhatian".
"Saya berbicara dan mencoba berkonsentrasi dan dia meraih headset saya atau mencoba merebut komputer saya, atau menarik baju saya, agar saya memeluknya. Di situ saya benar-benar terganggu. Bahkan jika saya berusaha sangat keras untuk mengabaikannya, di dalam hati, saya tidak bisa.”
Untuk memecahkan sebagian masalah itu, jawabannya ada pada pilihan finansial, dengan membayar jasa pengasuhan anak sekitar Rp250.000 per jam.
Artinya, Szerbin "pada dasarnya akan bekerja hanya untuk membayar jasa pengasuhan".
Jadi, satu-satunya pilihannya adalah melakukan kedua pekerjaan sekaligus. Itu tidak mudah bagi dia maupun putrinya, dan itu semakin sulit seiring berjalannya waktu.
Penutupan sekolah dan pusat pengasuhan anak yang meluas selama pandemi membuat banyak orang tua yang bekerja seperti Szerbin berada dalam situasi yang sulit.
Mereka mencoba menjalani pekerjaan dari jarak jauh dan tidak memiliki bantuan untuk mengasuh anak.
Meskipun banyak anak sudah bisa kembali ke jasa pengasuhan di luar rumah karena Covid-19 telah mereda, tidak semua orang tua bisa keluar dari kesulitan itu.
Beberapa orang tua yang mengasuh anak masih harus mengawasi anak-anak mereka sambil bekerja, membuat mereka berada dalam situasi yang sulit.
Dalam beberapa kasus, masalahnya sama akutnya dengan masa-masa saat puncak pandemi.
Di AS khususnya, krisis pengasuhan anak yang sedang berlangsung telah membuat banyak orang tua berada dalam situasi yang tidak dapat diselamatkan.
Industri pengasuhan anak mengalami pemutusan hubungan kerja besar-besaran dan penutupan fasilitas pada 2020, dan pemulihannya berjalan lambat.
Center for American Progress melaporkan lebih dari separuh orang Amerika tinggal di daerah yang memiliki sedikit fasilitas pengasuhan anak berlisensi.
Bahkan di daerah yang memiliki banyak tempat pengasuhan berkualitas, banyak keluarga sulit menjangkaunya karena biayanya naik.
Dalam banyak hal, kata Mona Zanhour, seorang profesor manajemen di California State University, Long Beach, revolusi kerja dari jarak jauh baik untuk para ibu, memungkinkan para perempuan yang mungkin tadinya harus keluar dari pekerjaannya, bisa tetap mendapatkan penghasilan.
Namun bagi beberapa ibu, katanya, “itu adalah pedang bermata dua”.
“Teknologi memungkinkan kita untuk bekerja dan menjadi orang tua, serta menjalani hidup kita di waktu yang sama, di ruang yang sama. Tapi itu menjadi momok tersendiri ketika kita menambahkan krisis dalam pengasuhan anak”.
Semua ini menyebabkan beberapa orang tua– biasanya ibu– terus bekerja dari rumah sambil merawat anak-anak mereka, kata Zanhour.
Banyak dari orang tua terpaksa menyembunyikan fakta ini dari atasan mereka agar tidak terlihat kacau atau tidak profesional. Hal ini membuat mereka stres dan cemas.
Dan, katanya, seorang perempuan yang mencoba menjadi dirinya sendiri sebagai pekerja dan orang tua pada saat yang sama, akan sering kerepotan dengan keduanya dan akhirnya kelelahan.
Kristen Carpenter, seorang ibu di Pennsylvania, AS, yang sebagian besar melakukan pekerjaannya dalam bidang kesehatan dari rumah, khawatir kurangnya pengasuhan akan berdampak buruk pada putranya yang berusia lima tahun.
“Dia di Taman Kanak-Kanak selama dua setengah jam, lalu pulang dan menggunakan tablet di sore hari, atau menonton film, atau hanya melakukan hal-hal yang tidak produktif karena saya harus menyelesaikan pekerjaan saya," katanya.
"Dia sangat tidak termotivasi untuk melakukan hal lain."
Carpenter sendiri juga merasakan dampak negatifnya. Dia tidak merasa fokus bekerja seperti dulu, dan berjuang untuk menjadi seproduktif yang dia inginkan.
"Saya tidak mencapai '40 jam'," katanya.
“Saya merasa ketika dia ada di sini bersama saya, saya tidak bisa berkonsentrasi penuh. Dan ketika dia di sekolah, saya hanya punya waktu dua setengah jam, lalu saya harus menyambutnya turun dari bus. Apa yang bisa saya lakukan dalam waktu itu? Terutama ketika sepanjang waktu saya hanya menunggu alarm saya berbunyi untuk menjemputnya.”
Dari 53 perempuan yang diwawancarai Zanhour, banyak yang melaporkan merasa seperti selalu tertinggal.
“Mereka benar-benar mengorbankan tidur, mengorbankan kesehatan pribadi mereka,” katanya.
“Mereka bangun lebih awal sebelum anak-anak untuk mengurus email, menghabiskan hari-hari mereka bolak-balik antara dua peran, dan setelah semua orang tidur, mereka mencoba untuk mengejar ketinggalan.”
Dan ketika, mau tidak mau, mereka tidak bisa, “mereka menganggapnya sebagai kegagalan”.
Szerbin mengatakan dia terus-menerus membuat kesalahan kecil di tempat kerja, karena perhatiannya terbagi.
“Saya tidak mendapatkan masalah karena itu, tetapi itu membuat saya merasa sangat bersalah dan malu karena saya tahu saya mampu melakukannya tanpa harus ada kesalahan sederhana itu."
"Dan saya tidak bisa berkata, 'ini terjadi karena saya merawat anak saya', jadi ada kekhawatiran dan kekhawatiran tambahan, 'apakah mereka akan mengungkit ini? Apakah saya akan mendapat masalah? Apakah saya akan kehilangan pekerjaan saya?’”
Masalah lain yang membuat situasi semakin rumit adalah beberapa orang tua merasa dilupakan sekarang karena begitu banyak yang telah kembali ke 'normal' di dunia kerja.
Pada awal pandemi, ketika sekolah ditutup dan tiba-tiba pekerjaan bisa dilakukan secara jauh tanpa harus ke kantor, para orang tua yang bekerja mendapatkan banyak pemahaman dan empati, jelas Zanhour, yang ikut menulis studi tentang pengalaman ibu yang bekerja selama dan pascapandemi.
"Apa yang kami lihat dari data kami adalah empati habis dengan cepat."
Seiring dengan stres, kecemasan, dan kelelahan, semua faktor ini telah memaksa beberapa ibu untuk mengubah karier mereka sepenuhnya.
Szerbin mengambil pekerjaan tatap muka penuh waktu, sementara ibunya merawat putrinya.
Itu bukan solusi yang sempurna, katanya.
“Rasa bersalah saya baru saja berkembang menjadi rasa bersalah yang berbeda. Sekarang saya merasa bersalah karena saya bekerja dan tidak merawat anak saya.”
Yang lainnya, seperti Carpenter, tetap terjebak tanpa solusi apa pun. Dia menghitung hari sampai putranya masuk kelas satu dan bersekolah sepanjang hari.
Sementara itu, dia tetap menjalaninya meskipun tidak tahu apa yang harus dia lakukan. “Saya marah,” katanya. "Saya benar-benar kewalahan."
Sementara itu, beberapa orang tua yang bekerja mungkin mendapati diri mereka mengulur-ulur waktu. Tidak ada solusi sederhana, kata Zanhour.
Untuk memecahkan masalah ini butuh “merancang ulang budaya tempat kerja sehingga menjadi ibu tidak harus bertentangan dengan profesionalisme”, katanya.
Ini mungkin jalan yang panjang. Untuk saat ini, sedikit lebih banyak empati mungkin akan bermanfaat. (*)
Tags : ibu harus bekerja, ibu bekerja sambil mengurus anak, ibu kewalahan jadi korbankan kesehatan pribadi, pekerjaan, anak-anak, keluarga, perempuan,