Headline Sorotan   2021/12/07 18:5 WIB

Dilema Kegiatan Manusia: Sungai Kampar dan Pelalawan Tercemar, Adakah Upaya Pemulihan?

Dilema Kegiatan Manusia: Sungai Kampar dan Pelalawan Tercemar, Adakah Upaya Pemulihan?

"Akibat aktivitas dan kegiatan ekonomi manusia bahkan terkadang di luar ketentuan undang-undang sungai menjadi tercemar, tetapi upaya pemulihan pun jadi terkesan lamban"

valuasi Dinas Lingkungan Hidup [DLH], Riau, soal kualitas Sungai Kampar dan Sungai di Pelalawan memperlihatkan, hasil mayoritas titik pantau sungai tercemar berat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] pun sudah melakukan uji sampel air di dua titik itu.

Hasilnya, pH dan chemical oxygen demand (COD) lampaui baku mutu. KLHK menyarankan, pemerintah daerah bikin kajian daya dukung dan daya tampung sungai dan ditetapkan lewat peraturan gubernur. Berbagai kisah peristiwa terus terjadi di daerah, khususnya sungai yang berdekatan dengan pemukiman penduduk.

"Mereka sebagian masih menggunakan sungai sebagai mandi cuci kakus [MCK] dalam kehidupan sehari harinya."

"Terkadang masyarakat disini masih mencari ikan dalam kehidupan sehari hari di Sungai Pangkalan Kerinci, namun belakangan sungai ini sudah tercemar," kata Shaleh (40) warga Pangkalan Kerinci menyikapi aliran Sungai Pangkalan Kerinci di Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau.

"Pernah ditemukan ikan mengapung dengan kondisi mabuk, mungkin karena air sungai sudah tercemar limbah pabrik," kata Shaleh menceritakan peristiwa itu terjadi Rabu 9 Juni 2021 kemarin.

Akibat ikan yang mati dan mengapung di permukaan sungai, warga berbondong- bondong menangkap ikan dengan mudahnya, kata dia lagi.

Ribuan ikan mabuk di sungai Pangkalan Kerinci apa penyebabnya?

"Kita tidak tau penyebabnya pak, namun katanya diduga disebabkan limbah pabrik, gitu si katanya pak," sebut Shaleh sambil menggerakkan kedua bahunya menandakan dirinya tidak tau dan binggung melihat peristiwa di desanya, Minggu (5/12/2021).

Puluhan kilogram ikan yang mengapung dipermukaan sungai pun dikumpulkan, tetapi warga masih bertanya-tanya mengapa ikan mabuk mengapung di sungai bisa terjadi.

Kepala Desa [Kades] Makmur Suwardi bersama Anggota DPRD Kabupaten Pelalawan, H Abdullah S.Pd langsung meninjau lokasi dan menyaksikan ribuan ikan mabuk di Sungai Pangkalan Kerinci.

"Saya mendapat laporan masyarakat bahwa banyak ikan mengapung dengan kondisi mabuk sekira pukul 13.00 WIB. Saya menghubungi anggota DPRD Pelalawan, H Abdullah untuk meninjau lokasi," kata Suwardi yang dihubungi terpisah.

Sungai tercemar

Menurut Suwardi, kondisi seperti ini sering terjadi di Sungai Pangkalan Kerinci, Pelalawan.

"Bahkan diakhir tahun kemarin juga ribuan ikan mabuk masih terjadi. Itulah, penyebabnya belum bisa diketahui," katanya.

Tetapi Anggota DPRD Kabupaten Pelalawan Dapil I Pangkalan Kerinci, Abdullah S.Pd yang mengaku mendapat laporan dari warga juga tidak mengetahui penyebab ribuan ikan mabuk di permukaan air sungai.

"Mendapat laporan ikan mabuk, langsung bergerak meninjau lokasi."

"Dilokasi ini kita melihat banyak warga yang menangkap ikan yang mabuk, dengan kondisi mabuk masyarakat sangat mudah menangkapnya," katanya dimana warga yang menangkap ikan mabuk untuk di konsumsi sendiri.

Abdullah juga melaporkan kejadian itu pada pihak Dinas Lingkungan Hidup [DLH] Pelelawan.

"Kita khawatir ikan yang di tangkap oleh warga apakah layak dikonsumsi atau tidak," tanya Abdullah yang dihubungi melalui ponselnya, Minggu (5/12).

Dia memperkirakan di hulu dari sungai kerinci ada terdapat perusahaan kelapa sawit.

"Kita harus telusuri lebih dulu, apakah kejadian ikan mabuk disebabkan oleh kelalaian pihak perusahaan atau ada oknum yang sengaja meracuni sungai kerinci," ujarnya.

Lain lagi pencemaran Sungai Kiyap Jaya di Desa Kiyap Jaya, Kecamatan Bandar Seikijang, Kabupaten Pelalawan, Riau.

Warga menduga tercemar limbah pabrik Mini Kelapa Sawit (PMKS) milik PT Sri Indrapura Sawit Lestari (SILS).

Warga Desa Rantau Baru mengeluhkan mereka mengalami gatal-gatal pada kulit lantaran menggunakan aliran sungai.

"Kulit saya gatal-gatal, karena mandi dari air sungai ini," kata Nur Aini.

Dia lantas menduga pencemaran sungai diakibatkan ulah pabrik SILS.

"Tolong bantulah kami ini, tolong ditutup limbah pabrik itu, kalau tak sanggup bapak-bapak, nanti kami datang kesana kami yang tutup bersama-sama," ungkapnya mengiba.

Aliran Sungai Kiyap Jaya mengakibatkan keperluan mencuci dan mandi tak bisa lagi digunakan warga, selain takut mengalami gatal-gatal pada kulit, di sungai itu juga terjadi ikan turut mati.

Peristiwa Sungai Kiyap Jaya di Desa Rantau Baru, Kecamatan Pangkalan Kerinci terungkap, warga tidak tinggal diam dan mengadu perihal itu ke DPRD Kabupaten Pelalawan.

Masyarakat Desa Rantau Baru yang berada di Hilir Sungai Kiyap Jaya merasakan dampaknya pada peristiwa, Selasa 7 September 2021 kemarin.

Karena sudah tercemar limbah, warga berinisiatif menggunakan MCK mengandalkan aliran Sungai Bobokoh, Hilir dari Sungai Kiyap Jaya.

"Kami yang terdampak limbah sangat parah," ungkap Ketua Badan Pemberdayaan Desa [BPD] Desa Rantau Baru, Supardi.

Ia meminta kepada wakil rakyat untuk membantu menyelesaikan persoalan tersebut. Menurutnya, saat ini masyarakat yang bergantung dari Sungai Bobokoh sudah sangat menderita.

"Keluhan kami tentang pencemaran sungai ini, gatal-gatal, keramba ikan juga gagal total," ungkapnya.

Wakil Ketua I DPRD Kabupaten Pelalawan, H Syafrizal SE mengaku juga ikut prihatin.

"Hari ini masyarakat Desa Rantau Baru menyampaikan aspirasinya. Masyarakat menginginkan tidak terjadi lagi pembuangan limbah di sungai," kata Syafrizal usai pertemuan dengan masyarakat Desa Rantau Baru yang terdampak.

"Akibat limbah mata pencaharian masyarakat setempat menjadi terganggu dan sungai tak bisa lagi dimanfaatkan."

"Mata pencaharian masyarakat sangat bertumpu pada aliran sungai. Perusahaan dimohon tidak membuang limbah di sungai," kata Syafrizal menirukan tuntutan masyarakat.

Berbagai peristiwa demi peristiwa yang dialami masyarakat di permukiman dekat sungai terus terjadi. Seperti pada Sungai Kampar, warga Desa Sering, Kecamatan Pelelawan ikut merasakan tercemarnya sungai yang menyebabkan ribuan ikan mati.

Pada peristiwa Selasa 23 Maret 2021 kemarin itu banyak warga di Desa Sering tengah mengumpulkan puluhan ikan mati.

Sungai tercemar menimbulkan gatal-gatal pada kulit dan ikan turut mati.

Warga mengabarkan pada lokasi pencemaran air sungai Kampar Desa Sering, tampak air berubah warna coklat kehitaman. Selain itu juga berbau busuk menyengat. 

Ribuan ikan pun mengapung di parit pembuangan limbah perusahaan (APRIL Group,red). 

Dan hasil rapat warga, mereka sepakat untuk lakukan mediasi pada pihak kepolisian dan perusahaan serta DLH Pemda Pelalawan.

Perhatian dewan soal limbah

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [DPRD] Kabupaten Pelalawan sendiri menyikapi maraknya pencemaran limbah dibeberapa pemukiman penduduk khususnya ditepian sungai mengakui sudah melakukan Inspeksi Mendadak (Sidak).

"Sidak untuk meninjau langsung pengelolaan dan rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terdapat bersepadan dengan perusahaan," kata Ketua DPRD Pelalawan Baharudin saat diminta komentarnya terkait berbagai persoalan pencemaran limbah disungai, dikontak polsenya, Minggu (5/12).

Dalam menyikapi itu, Baharudin meminta pemerintah segera membuat langkah konkret untuk mengatasi temuan pencemaran lingkungan dari beberapa lokasi.

Ia mengatakan Komisi IV di DPRD Pelalawan yang salah satu bidang tugasnya mencakup persoalan lingkungan hidup sudah melakukan monitoring.

"Pemerintah harus segera membuat langkah nyata, solusi sebaik-baiknya terhadap beberapa adanya temuan limbah dari pengaduan warga," kata dia.

"Jangan sampai pencemaran lingkungan justru berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat," sebutnya lagi.

Seperti belum lama ini Baharuddin mengaku melakukan Inspeksi Mendadak (Sidak) ke PT Musim Mas di Kecamatan Pangkalan Lesung, Kamis 15 Juli 2021 lalu.

Ada tiga titik lokasi pengelolaan DAS [Sungai Sinduan, Sungai Bengarai, Sungai Pelintai] yang bersepadan dengan perusahaan dikunjungi Ketua DPRD Pelalawan ini.

Ketua DPRD Kabupaten Pelalawan Baharudin melakukan Inspeksi Mendadak (Sidak) di DAS sepadan PT Musim Mas, Minggu (15/7/2021).

Menurutnya, hasil sidak terlihat pengelolaan sempadan sungai ternyata sudah ditata dengan baik oleh perusahaan.

"Kita apresiasi kepada PT Musim Mas yang mengikuti aturan yang telah ditetapkan pemerintah," sebutnya minta perusahaan lain perlu mengikuti langakah Musim Mas.

"Saya kira seluruh perusahaan, apakah itu perkebunan sawit atau pun HTI yang beroperasi di Pelalawan dapat mematuhi aturan yang telah ditetapkan pemerintah," kata Baharudin.

"Saya sangat mengapresiasi pengelolaan DAS ataupun sempadan sungai yang dilakukan Musim Mas dengan cara penanaman pohon-pohon di pinggiran sungai," ungkapnya.

"Kita berharap hal ini dapat terus dipertahankan ke depan dan sebagai contoh bagi perusahaan-perusahaan lainnya, untuk dapat mengelola sempadan sungai dengan baik," sebutnya.

Dikatakannya, rehabilitasi daerah aliran sungai dengan cara menanam pepohonan merupakan suatu upaya untuk memperbaiki dan mengembalikan fungsi lahan di sekitar aliran sungai.

Menurutnya, menanam pohon di pinggir sungai sebuah proses rehabilitasi daerah aliran sungai.

"Kegiatan menjaga daerah aliran sungai agar tetap dalam kondisi baik juga tak kalah pentingnya, menjaga daerah sekitar aliran sungai pasca rehablitiasi, turut menentukan keberhasilan rehabilitasi daerah aliran sungai."

"Jadi dengan demikian pengelolaan daerah aliran sungai, berbagai kondisi yang lebih buruk bisa dihindarkan. Seperti erosi tanah, pelebaran dan pendangkalan sungai, hingga masalah banjir yang datang kala musim penghujan," terangnya.

Benarkan sungai kampar dan pelalawan sudah tercemar?

Terkait berbagai kejadian peristiwa kerusakan maupun pencemaran lingkungan di beberapa sungai ini pihak Dinas Lingkungan Hidup Riau, melakukan evaluasi kualitas.

Mayoritas titik pantau menunjukkan, Sungai Kampar sejak 2014 tercemar berat, kata Adhi Prayitno, peneliti dari Pusat Studi Bencana (PSB) Universitas Riau.

"Pada penghujung 2018, warga Meranti, khawatir dengan pencemaran di Sungai Kampar dan berupaya mencari jawaban dengan uji laboratorium mutu air," kata Adhi.

Dia mengaku pernah didatangi Aet Rudianto dan Syahruddin dari aktivis Jaringan Masyarakat Gambut Riau [JMGR], menyerahkan 10 botol air Sungai Kampar dari Desa Pangkalan Terap, Kecamatan Teluk Meranti, Pelalawan ke Pusat Studi Bencana (PSB) Universitas Riau.

Masing-masing, enam botol kaca ukuran 140 ml dan empat botol kaca ukuran 100 ml. Ada terisi penuh, sebagian hanya separuh.

"Belum ada upaya perbaikan atau pemulihan di sungai tempat warga tangkap ikan."

Dosen Teknik Kimia berjenggot putih ini mengaku telah menguji sampel air pada laboratorium milik Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Riau.

“Kita pakai labor yang benar-benar sudah disertifikasi,” kata Adhi Prayitno mantan Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Kerjasama dan Sistem Informasi Universitas Riau ini.

"Kita lakukan uji di ruangan Gedung Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Riau," kata Adhi.

Satu bulan kemudian, Adhi mengabari, pengelola laboratorium tak bersedia menganalisis sampel karena mekanisme pengambilan tak memenuhi syarat.

Kurang lebih, maksudnya, pengambilan air harus di beberapa titik, pakai wadah khusus dan waktu tak lebih satu pekan dari peristiwa ikan mati dalam sungai.

Dalam keterangan yang dikirim lewat Whatsapp, Adhi berjanji turun kapan saja ambil sampel bila ada peristiwa serupa.

Sementara Direktorat Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menugaskan Suryanta Sapta Atmaja, Kepala Bidang Inventarisasi Daya Dukung dan Daya Tampung Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup, pada Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera, Pekanbaru, ambil sampel air dan menguji di laboratorium.

Sapta menyerahkan hasil ke Jakarta, beberapa minggu kemudian. Kala ditanya hasil, dia bilang, tak punya kewenangan menjelaskan. Sapta mengarahkan ke Luckmi Purwandari, yang baru menjabat Direktur Pengendalian Pencemaran Air, KLHK.

Luckmi minta daftar pertanyaan dikirim ke Whatsapp, sembari minta waktu cari laporan untuk dipelajari terlebih dahulu. Satu minggu kemudian, belum ada jawaban. Luckmi menunggu staf masih di luar negeri. Minggu berikutnya, juga begitu. Staf tak ada yang tahu.

Intinya, Sapta menyebut, tidak punya kapasitas menjelaskan. Luckmi, tetap minta waktu cari laporan itu. Hampir tiap minggu, jawaban sama. 

Sampel air di diambil pada dua titik, Pangkalan Terap dan Kuala Panduk. Kata Luckmi, masalahnya, pada pH dan chemical oxygen demand (COD). “BOD (biochemical oxygen demand-red) dan TTS (total suspended solid-red) masih normal dan sesuai baku mutu,” katanya.

Di Kuala Panduk, pH air 5,65, Pangkalan Terap 5,82. Baku mutu 6-9. Kesimpulannya, tak memenuhi baku mutu air Sungai Kampar kelas II berdasarkan PP 82/2001 tentang, pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Untuk beban pencemaran COD terjadi di Kuala Panduk adalah 53,09 mg perliter dan Pangkalan Terap 61,09 mg perliter, lampaui baku mutu, 25 mg perliter.

Rendahnya pH air, kata Luckmi, karena pengaruh pasang surut air laut. Sedangkan sumber pencemaran paling banyak dari limbah rumah tangga atau pertanian.

“Ada PT RAPP di sana tapi jarak jauh dari lokasi ikan-ikan mati saat banjir kemarin. Sekitar 50 kilometer,” katanya juga meminta, pemerintah daerah cek langsung ke perusahaan.

Sebagai tindak lanjut hasil uji sampel, Luckmi menyarankan, pemerintah daerah bikin kajian daya dukung dan daya tampung sungai dan ditetapkan lewat peraturan gubernur.

Perhatian DLHK pada sungai

Panjang Sungai Kampar 580 km, ini gabungan Sungai Kampar Kanan dengan Sungai Kampar Kiri, yang bertemu di Desa Muara Sako, Kecamatan Langgam, Pelalawan. Hulu sungai ini dari Bukit Barisan sekitar Sumatera Barat.

Bagian hulu untuk pembangkit listrik tenaga air dikenal dengan PLTA Koto Panjang berkapasitas 114 megawatt. Ombak Bono, di hilir sungai makin terkenal setelah banyak turis berselancar.

Sungai Kampar, mengaliri tiga kabupaten di Riau. Selain Kampar dan Pelalawan, ia juga melewati Kuantan Singingi.

Untuk mengawasi kualitas air sungai, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau, memantau tiga sampai empat kali dalam setahun pada musim hujan dan kemarau. Titik pantau tersebar pada 17 lokasi mencakup tiga kabupaten. Dari hulu ke hilir dianggap mewakili keseluruhan sungai.

Hasil evaluasi dari 2014 sampai 2018, mayoritas titik pantau menunjukkan, Sungai Kampar tercemar berat. Tak ada perbaikan kualitas air sungai selama empat tahun atau belum memenuhi baku mutu air kelas I maupun kelas II, berdasarkan Keputusan Gubernur Riau Nomor 23 Tahun 2003, tentang peruntukan dan baku mutu air Sungai Kampar.

Kesimpulan DLHK dalam evaluasi ini, parameter dominan penyebab penurunan kualitas air Sungai Kampar di beberapa titik pantau adalah dissolved oxygen (DO), BOD, COD, klorin bebas, fecal coli dan total fosfat. Di beberapa titik pantau lain dominan parameter TSS, besi dan total coliform.

Sumber pencemaran itu dari aktivitas domestik, industri, peternakan, perkebunan, pertanian, hutan tanaman industri, perikanan dan pertambangan.

Evaluasi ini menyatakan, limbah domestik jadi sumber utama pencemaran Sungai Kampar, selain industri, perkebunan dan pertanian. Belum ada metode pengawasan berkelanjutan untuk mengatasi pembuangan limbah dari rumahtangga.

“Kalau industri, bisa kita kenakan sanksi,” kata Nelson Sitohang, Kabid Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau.

Nelson mendorong, pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal mulai dari tingkat RT.

Dia mengharapkan, instansi terkait seperti Dinas Pekerjaan Umum, terlibat. Untuk pelaku industri, dia menyarankan, tiap daerah harus betul-betul mengkaji daya tampung dan daya dukung sungai atas limbah yang dikeluarkan.

Selama ini, Nelson melihat, izin pembuangan limbah di daerah hanya diperpanjang tanpa ada evaluasi. Baku mutu yang ditetapkan tidak berubah meski berlangsung bertahun-tahun. “Mestinya disesuaikan dengan daya dukung dan daya tampung sungai saat itu.”

Dengan begitu, katanya, akan mendorong pelaku industri menambah teknologi pembuangan limbah sampai pada baku mutu yang ditetapkan. “Sungai juga punya daya tahan. Tidak selamanya mampu menampung limbah itu.”

Dia menginginkan, ada semacam rencana detail tata ruang untuk menetapkan jumlah dan kapasitas industri dalam satu kawasan. Sayangnya, dia tak punya data jumlah industri yang membuang limbah ke sungai.

Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera, pernah bikin kajian daya tampung beban pencemaran Sungai Kampar pada 2014. Modelnya, mereka membagi Sungai Kampar jadi lima wilayah dan menetapkan beberapa titik pantau. Parameter yang diukur, BOD, COD dan TSS.

Hasilnya, wilayah I, dari Muara Takus sampai Jorong Pertemuan, sepanjang 78,1 km, mengalami kelebihan beban pencemaran BOD 19,045 ton per hari. Beban pencemaran COD dan TSS masih di bawah baku mutu.

Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera melakukan kajian air sungai.

Sebaliknya, wilayah II, dari Muara Sako sampai Rantau Berangin, sepanjang 175,4 km, beban pencemaran BOD dan COD di bawah baku mutu, sedang TSS melampaui daya tampung 143,396 ton per hari.

Zuchri Abdi, Kasub Bidang Transportasi, Manufaktur, Industri dan Jasa, mengatakan, wilayah I dan II merupakan sumber bahan baku air minum.

Kondisi mengkhawatirkan justru terjadi di wilayah II, mulai Muara Sako hingga Sungai Subayang sepanjang 140,3 km. Beban pencemaran BOD melebihi daya tampung 170,108 ton per hari. Kelebihan beban pencemaran COD 108,764 ton per hari.

Paling parah beban pencemaran TSS. Dengan daya tampung 358,292 ton per hari, beban pencemaran sampai 1.635,838 ton per hari.

Beban pencemaran BOD dan COD paling tinggi di Kecamatan Langgam, Pelalawan dan beban pencemaran TSS sama parahnya antara Kecamatan Kampar Kiri dan Kecamatan Langgam.

“Wilayah itu parah keruh sungainya. Banyak pabrik sawit,” kata Zuchri Abdi.

"Sayangnya, kajian ini juga tak mencatat jumlah dan nama-nama pabrik sawit yang beroperasi," katanya.

Wilayah IV, dari Waduk Koto Panjang sampai Gunung Malintang, sepanjang 21,6 km, sungai seperti wilayah I. Beban pencemaran dominan BOD yang melampaui daya tampung 6,759 ton per hari dan COD maupun TSS, di bawah baku mutu.

Sumber pencemaran wilayah IV, kata Zuchri, terutama aktivitas manusia seperti penambangan emas tanpa izin pada anak-anak sungai di Kuantan Singingi.

Kondisi mengkhawatirkan juga terjadi di wilayah V, dari Teluk Meranti hingga Muara Sako, sepanjang 164,6 km. Kelebihan beban pencemaran BOD 580,819 ton per hari. Sedangkan kelebihan beban pencemaran COD 302,895 ton per hari. Kelebihan beban pencemaran TSS 297,725 ton per hari.

Berdasarkan grafik, beban pencemaran BOD dan COD paling tinggi di Kecamatan Kuala Kampar. Sementara, beban pencemaran TSS tidak hanya di Kecamatan Kuala Kampar, juga di Kecamatan Langgam alias dari hulu dan hilir.

Zuchri mengatakan, faktor pertemuan pasang surut sungai dan laut di bagian hilir yang menimbulkan ombak tinggi, atau sering disebut ombak bono, bisa jadi sebab utama kekeruhan sungai di wilayah V selain karena kegiatan industri.

Akhir dari kajian ini menyimpulkan, beban pencemaran Sungai Kampar, melebihi daya tampung. Sayangnya, setelah lima tahun berjalan, kajian ini tak pernah diperbaharui. “Harusnya begitu (diperbaharui). Anggarannya tak ada,” kata Zuchri. (*)

Tags : Sungai Kampar dan Pelalawan Tercemar, Sorotan, Upaya Pemulihan Lingkungan, Lingkungan Tercemar,