"Ada jejak konflik sosial dan kerusakan lingkungan di wilayah lingkar pertambangan, dimana ada tambang disitu ada penderitaan dan kerusakan"
imana ada tambang, di situ ada kerusakan lingkungan, seakan tidak akan bisa berdampingan.
"Salah satu efek negatif pertambangan batu bara pada lingkungan yakni mempengaruhi perairan di permukaan atau bawah tanah."
"Aktivitas pertambangan yang menghasilkan banyak bahan kimia bisa meracuni lingkungan setempat," kata Ir Ganda Mora M.Si, Pendiri Yayasan Sahabat Alam Rimba [Salamba] menanggapi imbas dari pertambangan Batubara ini, Rabu (10/5/).
Salamba menilai yang terjadi selama ini, lingkungan "dirusak" dan masyarakat "dibungkam" paksa demi terlaksananya komoditi prioritas yang menjadi tulang punggung pemasukan negara itu.
Ganda Mora mencontohkan hasil investigasinya di Desa Bayas Kualacenaku, Kecamatan Kempas Kabupaten Indragiri Hilir [Inhil], Riau terdapat usaha penumpukan Batubara [stockpile] milik PT Koralindo dan PT Global sudah menimbulkan pencemaran lingkungan dahsyat yang berimbas pada alam sekitar.
"Jadi kalau kami lihat usaha itu tidak bisa [berdampingan], terlalu naif jika kegiatan [pertambangan] bisa mengubah lingkungan hidup. Justru fungsi ekologis tergerus, kalau misalnya bukit jadi rata dan banyak meninggalkan kawah-kawah [danau] tanpa reklamasi tetap saja jadi masalah di situ kan?," kata Ganda Mora menggambarkan.
'Kota batubara dan polusi udara semua demi bertahan hidup'
Diperingatan lingkungan hidup terangkum beberapa ketimpangan dialami warga dilingkaran tambang yang mengklaim haknya "direnggut" paksa oleh tambang serta dampak lingkungan yang terjadi.
Wajah Subakti, petani karet Desa Pematang Benteng, Kecamatan Batang Peranap, Inhu, terlihat lesu menyaksikan pertambangan Batubara yang membuat isi jagad raya alam desa saban harinya berdebu dimana tempat ia biasa menderes karet sebagai penompang hidupnya.
"Air sungai kecil disini ikut keruh, yang tak bisa lagi untuk mendapatkan ikan dalam hari-harinya, sekarang satu saja sulit. Desa ini seperti gersang, ikan menghilang, tumbuh-tumbuhan pun pada kering dan rusak," kata Subakti menceritakan, Sabtu (22/05).
Di Blok Siberida dan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu, pertambangan yang dikelola PT Riau Bara Harum [RBH] disebut-sebut selama beroperasi puluhan tahun telah "memporakporandakan" kehidupan masyarakat.
Mhd Nuh menceritakan, polusi udara yang tercemar debu tambang menyebabkan beberapa masyarakat menderita sesak nafas hingga muntah darah.
"Debu itu seperti kristal, pecahan kaca halus yang jika masuk pernafasan akan mengiris-iris orang dalam jika terus dihirup," kata Nuh.
Bukan hanya kesehatan, pertambangan juga merusak hutan tempat warga mencari makan.
"Akibatnya masyarakat kini harus membeli air untuk minum karena sumber air sungai telah tercemar, padahal ratusan tahun kami mendapatkan air gratis dari alam," katanya.
Saat melawan, masyarakat dihadapkan dengan kekuatan negara sehingga mereka hanya bisa diam menanggung penderitaan.
"Tambang memberikan kesejahteraan, kesejahteraan yang mana? Masyarakat semakin hancur dan miskin," katanya.
Tapi Presiden Joko Widodo lewat anak buahnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan [RI] Siti Nurbaya telah mencabut izin kehutanan PT Riau Baraharum [RBH] di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau.
Pencabutan izin PT RBH satu paket dengan gerbong pencabutan izin sebanyak 16 izin perusahaan lain yang berada di Provinsi Riau.
Nama PT Riau Baraharum masuk dalam lampiran kedua Surat Keputusan Menteri LHK Republik Indonesia nomor SK.01/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/2022 tertanggal 5 Januari 2022.
PT Riau Baraharum yang dicabutnya izinnya diduga kuat telah meninggalkan jejak kelam pengrusakan lingkungan. Soalnya, lubang-lubang bekas penggalian tambang batubara di Inhu hingga kini masih dibiarkan menganga, tanpa adanya reklamasi oleh perusahaan.
Perusahaan ini telah mengeksploitasi tambang batubara sejak 2008 lalu. Namun, entah kenapa pada 2013, PT Riau Baraharum menghentikan aktivitasnya di lokasi tambang dan meninggalkan begitu saja lubang tambang dalam bentuk ukuran kawah atau kolam jumbo.
Hanya saja, sejak putusan Mahkamah Agung itu inkrah, Kementerian ESDM tak pernah mematuhinya dengan melakukan reklamasi, hingga 5 Januari lalu izin PT Riau Baraharum dicabut oleh Menteri LHK. Soal kemana dana jaminan reklamasi tersebut disimpan dan dipergunakan, hingga kini masih menjadi misteri.
Dirjen Minerba, Ridwan Djamaluddin, meminta masyarakat untuk melihat pertambangan secara utuh, bukan hanya dari sisi negatif yang ditimbulkan namun juga manfaatnya.
"Tahu tidak, hampir semua barang yang kita pegang berasal dari tambang. Dari telepon, komputer, mobil, pesawat, dan lainnya. Jadi yang mengatakan tidak bisa [berdampingan], hemat saya mereka harus melihat secara utuh," kata Ridwan.
Ridwan pun membantah jika kegiatan pertambangan tidak memperhatikan kepentingan lingkungan dan masyarakat.
"Bumi kita ini cuma satu, mau pecinta lingkungan, mau ahli geologi seperti saya hidup di bumi yang sama, pastilah kita ingin menjaga bumi ini baik-baik," kata Ridwan.
Menurutnya akan terlalu naif untuk berharap agar pertambangan tidak mengubah lingkungan.
"Yang kita pertahankan itu fungsi ekologisnya, selama tidak rusak masalahnya apa? Jangan sampai karena adanya patahan seperti di Dairi atau pulau kecil di Sangihe, kita jadi tidak bisa memanfaatkan kekayaan yang ada," katanya.
Pemerintah, kata Ridwan, terus melakukan perbaikan dengan membuat regulasi yang berpihak pada lingkungan, dan melakukan pembenahan terhadap pertambangan tanpa izin.
"Bahkan bisa dikenakan pidana jika [perusahaan tambang] tidak melakukan sesuai ketentuan," katanya.
Tetapi bukannya pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [DPRD] tidak peduli dari dampak usaha pertambangan Batubara yang sepertinya tidak bisa hidup berdampingan dengan penduduk setempat.
"Terkadang perusahaan tambang belum belum mendapat persetujuan mendapat RKAB [Rencana Kerja Anggaran Biaya] dari Menteri ESDM sudah melakukan aktivitas penambangannya," kata Wakil Ketua Komisi III DPRD Inhu, Yurizal SH.
Dia mencontohkan seperti PT PIR, PT EDCO serta BBS yang bergerak di bidang pertambangan Batubara di Kecamatan Batang Peranap Kabupaten Indragiri Hulu [Inhu] yang kembali mendapat sorotan.
Dirinya menduga, ada permainan oknum yang tidak bertanggung jawab dibalik aktivitas yang dilakoni PT PIR tersebut.
Tambang dekat pemukiman
“Jika RKAB yang diajukan belum mendapat persetujuan, maka perusahaan harus menghentikan sementara aktivitas penambangan. Jika tidak, tentu dapat diartikan bahwa aktivitas yang mereka lakukan itu ilegal,” ketus Yurizal anggota DPRD Inhu Partai Berkarya ini.
Dalam melakukan usaha pertambangan lanjutnya, RKAB merupakan syarat mutlak bagi perusahaan yang memiliki IUP dan IUPK dan hal itu tidak bisa ditawar.
“Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 tahun 2021, tentang tata cara pemberian wilayah, perizinan dan pelaporan pada kegiatan usaha Pertambangan Mineral dan Batubara,” ujarnya.
Dengan demikian sambung alumni Universitas Bung Hatta itu, dirinya meminta aparat penegak hukum, dalam hal ini Dir Reskrimsus Polda Riau dan Kejati Riau, untuk dapat menilik persoalan tersebut.
“Kita minta, aparat penegak hukum dalam hal ini Polda Riau dan Kajati Riau, tidak tutup mata. Karena aktivitas tiga perusahaan tambang tersebut, dinilai sudah masuk dalam perbuatan melawan hukum dan jangan sampai kejadian Ismail Bolong juga terjadi di bumi Indragiri ini,” tegas pria yang akrab disapa Jaka tersebut.
Sebagai mana diberitakan sebelumnya, dan berdasarkan informasi yang berhasil dirangkum, saat ini kuota penjualan batubara yang dimiliki PT PIR dan rekanan kontraktor PT EDCO dan BBS selama tahun 2022 sudah habis.
“Sementara, RKAB untuk tahun 2023 yang mereka ajukan, hingga saat ini belum mendapatkan persetujuan dari Menteri ESDM,” sebut Yurizal.
Menjawab hal tersebut, Syafrudin Atan Wahid selaku Direktur Operasional PT PIR saat dikonfirmasi wartawan beberapa waktu lalu, membenarkan bahwa RKAB yang diajukan hingga saat ini masih dalam proses.
“Jika berbicara masalah teknis silahkan datang langsung ke kantor, namun terkait RKAB saat ini masih dalam proses di Kementerian ESDM dan itu bukan kita saja, seluruh tambang yang ada di Indonesia,” singkatnya.
Sebagai mana diketahui, ketiga perusahaan tambang dalam hal ini PT PIR, EDCO dan BBS tersebut, beroperasi di wilayah Desa Pematang Benteng, Kecamatan Batang Peranap, Inhu.
Efek tambang yang merusak kesehatan dan lingkungan
Tetapi seperti disebutkan Ganda Mora lagi menilai, batuan organik pada intinya prosesnya punya dampak buruk untuk kesehatan dan lingkungan.
Batubara yang bisa menghasilkan metal dan metaloid itu dalam konsentrasi tinggi yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.
"Jika penggunaan metode tradisional penambangan secara terus menerus sanggup meningkatkan emisi produk beracun dan produk tidak ramah lingkungan lainnya," sebutnya.
"Jadi pertambangan ini salah satu pekerjaan paling berbahaya dalam hal risiko cedera, kematian, serta efek kesehatan jangka panjang. Efek jangka panjang pertambangan batubara bisa mengalami gangguan pernapasan pneumokoniosis, asbestosis, dan silikosis."
"Risiko kesehatan itu berdasarkan jenis kegiatan pertambangan yaitu penambangan dalam dan terbuka. Tambang batu bara menghasilkan banyak debu yang jika terhirup dapat menyebabkan flek hitam di paru-paru para pekerja atau orang lain yang tinggal di wilayah sekitar," katanya.
Jika pertambangan menggunakan peledakan dan pengeboran juga menghasilkan mineral halus pada debu yang bisa terhirup dan menumpuk di paru-paru sehingga jadi penyebab pneumokoniosis.
"Ketika penambang menghirup kuarsa atau kristal silika dalam jumlah berlebihan, kemungkinan besar akan menderita penyakit tidak dapat disembuhkan yang disebut silikosis," urainya.
Jadi, pekerja dan masyarakat yang berada dekat pertambangan batu bara tetap akan terganggu risiko kematian lebih tinggi akibat penyakit jantung, pernapasan, dan ginjal kronis.
Sedangkan efek negatif pertambangan batu bara pada lingkungan, bisa mempengaruhi perairan di permukaan atau bawah tanah. Aktivitas pertambangan yang menghasilkan banyak bahan kimia bisa meracuni perairan.
Menurutnya, penggunaan bahan peledak serta aktivitas lain dalam proses pertambangan juga bisa menyebabkan erosi, menghapus keanekaragaman tumbuhan dan hewan yang kehilangan habitat, serta transfer racun di rantai makanan.
Pertambangan Batubara kerap sekali dituding sebagai penyumbang utama emisi karbon yang berdampak negatif pada lingkungan dan juga perubahan iklim.
Lantas, bagaimana pelaku industri tambang merespons hal tersebut?
Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia [APBI], mengatakan perusahaan tambang juga terus memperbaiki pengelolaan tambang sesuai dengan kaidah tambang yang baik [good mining practices] salah satunya dengan menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan.
"Permasalahan utama sektor pertambangan antara lain adanya sentimen negatif atas dampak lingkungan. Tapi penggunaan teknologi dan inovasi adalah kunci untuk mengurangi intensitas karbon," tutur Hendra dalam sebuah webinar terkait pengembangan EBT belum lama ini.
Dia mengatakan, beberapa upaya yang bisa dilakukan penambang untuk mengurangi intensitas karbon ini antara lain dengan mengganti bahan bakar terutama untuk jasa angkutan atau kendaraan tambang dengan menggunakan bahan bakar biodiesel dengan kandungan FAME 30% [B30].
Selain itu, perusahaan bisa memperbaiki proses penambangan dengan meningkatkan produktivitas dan menghilangkan redundansi. Lalu, penambang juga bisa menambahkan sumber terbarukan ke pasokan listrik dengan memasang solar PV untuk menggantikan sebagian genset yang menggunakan bahan bakar diesel.
Penambang juga harus mengoptimalkan aktivitas transportasi atau logistik dengan menggunakan GPS untuk memantau pergerakan truk dan menghindari hambatan kemacetan di lapangan. Lalu, membangun pembangkit listrik dengan teknologi ultra supercritical [USC] boiler yang memiliki tingkat efisiensi lebih tinggi dan menghasilkan polusi yang lebih rendah.
"Bisa juga menjajaki penggunaan teknologi terbaru dalam peningkatan dan pemrosesan batubara, serta melaksanakan rehabilitasi dan reklamasi di lahan bekas tambang secara efektif," tuturnya.
Meski kerap dinilai menimbulkan masalah lingkungan, tapi di sisi lain menurutnya batu bara masih berperan penting dalam bauran energi nasional, apalagi kini masih banyak pembangkit listrik tenaga uap [PLTU] berbahan bakar batu bara yang beroperasi.
Bekas galian tambang yang ditinggalkan.
"Batu bara juga berperan untuk menciptakan peluang investasi," ujarnya.
Pihaknya memperkirakan konsumsi batu bara domestik tahun ini mencapai 125-230 juta ton, lebih rendah dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar 155 juta ton.
Berdasarkan data Minerba One Data Indonesia [MODI], konsumsi batu bara domestik hingga Agustus baru mencapai 86.09 juta ton atau sekitar 55,5% dari target 155 juta ton tahun ini.
Dari sisi produksi, pemerintah menargetkan produksi batu bara pada tahun ini mencapai 550 juta ton. Berdasarkan data Minerba One Data Indonesia [MODI], produksi batu bara hingga Agustus mencapai 370,01 juta ton atau 67,3% dari target 550 juta ton.
Ekonomi VS Lingkungan
Ibarat dua sisi mata uang, tambang batubara memiliki potensi ekonomi yang menjanjikan, namun juga memiliki akibat yang memprihatinkan.
"Persoalan ekonomi jangka pendek yang dihasilkan dari tambang batubara menyebabkan eksploitasi sumber daya alam yang satu ini menjadi tak terbendung, sementara akibat buruknya terhadap lingkungan hidup dan masyarakat jarang menjadi perhatian," ungkap Ganda Mora lagi.
Tetapi dia mencontohkan yang terjadi di Blok Siberida dan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu itu kini banyak lubang bekas tambang yang dibiarkan tanpa reklamasi.
Jadi mengenai persoalan dampak buruk atau bahaya tambang batubara tetap saja menimbulkan masalah karena pengambilan, pengolahan, dan penggunaannya merusak lingkungan.
"Bahkan dalam praktiknya dilapangan produksi batu bara dilakukan dengan membabat hutan dan menggali tambang. Proses produksinya mencemari tanah, air, dan udara," sebutnya.
Batang Gansal bagaikan kota batubara dan polusi udara adalah pembunuh senyap yang menyebabkan flora dan fauna mengalami kematian dini [premature death].
Walaupun demikian, menurutnya, persoalan persoalan kualitas udara tetap menjadi persoalan yang butuh mendapat perhatian. Bukan lagi karena faktor abu terbang dari hasil pembakaran dan usaha penumpukkan batubara [stockpil] yang masuk kategori limbah B3 atau tidak, namun persoalannya adalah pencemaran yang mengancam kesehatan masyarakat dan mempercepat perubahan iklim.
Bila merujuk pada konstitusi, adanya PP 22/2021 tidak menggugurkan kewajiban pemerintah dalam menjamin lingkungan hidup yang bagi masyarakat. Hal tersebut ditegaskan pada Pasal 28 H Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Dalam konteks konstitusi, mendapat lingkungan hidup yang baik adalah hak asasi manusia yang seharusnya menjadi prioritas negara untuk dilindungi.
Begitu pula kritikan yang dilontarkan Ekonom senior Faisal Basri menyebutkan, sektor pertambangan dinilainya bisa berpotensi menjadi penggerak ekonomi nasional apabila digarap secara optimal.
Namun, Faisal Basri melihat pendapatan negara dari ekspor batu bara relatif sangat kecil dibandingkan potensi jika batu bara digunakan sebaik-baiknya di dalam negeri. Salah satu keuntungan yang akan didapat yaitu ketergantungan pada impor energi yang akan berkurang.
"Jadi misal mengolah dengan teknologi tertentu agar batu bara bisa menciptakan efek minimum terhadap pencemaran," ujar Faisal melalui akun YouTube INDEF, Rabu (15/4).
Faisal mengkritik mengenai perusahaan batu bara yang harusnya bisa lebih meningkatkan bayar pajak, agar kekayaan batu bara bisa dinikmati oleh negara, tidak hanya untuk segelintir orang.
"Jangan dianggap apa yang mereka bayar itu sudah maksimal, harusnya bisa lebih maksimal lagi yang bisa dinikmati oleh negara ini," sebutnya.
Faisal menilai kekayaan batu bara yang dimiliki Indonesia telah dikuasai oleh pengusaha yang keberadaannya di tengah-tengah pemerintahan. Sehingga ekspor sangat besar namun tidak memberikan nilai tambah yang banyak bagi negara.
Faisal menilai pemerintah masih terlalu pro terhadap manfaat ke pengusaha terkait pengelolaan batu bara seperti dilihat dalam RUU Omnibus Law.
Menurutnya, hal itu dapat disadari karena menteri yang mengkoordinasikan mengenai pengelolaan batu bara di dalam negeri memiliki banyak keterkaitan dengan batu bara.
"Karpet merah dua dibentangkan di tempat yang sama. Jadi karpet merahnya numpuk lebih empuk buat yang menapakinya," katanya.
"Di rancangan omnibus law sudah digelar karpet itu khusus batu bara, bisa dimaklumi karena petinggi negeri banyak di pusaran kekuasaan memiliki konsesi batu bara atau setidaknya dekat dengan pengusaha batu bara berskala besar," sebutnya.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF, Imaduddin Abdullah menyebut sektor pertambangan selama ini dikelola dengan kebijakan yang hanya menguntungkan pengusaha.
"Selama ini pengelolaan dari sektor pertambangan dikelola dengan mekanisme ataupun kebijakan yang justru hanya menguntungkan sekelompok kecil, pengusaha, politisi, yang dampak terhadap masyarakat luasnya sedikit," katanya.
Untuk itu, dengan adanya omnibus law dan RUU Minerba kemarin itu, ia berharap dapat memberikan dampak yang besar terhadap masyarakat.
"Oleh sebab itu situasi pandemi ini jangan justru dijadikan momentum untuk para politikus membuat kebijakan yang hanya menguntungkan mereka. Ini perlu kita kaji dan awasi bersama agar kebijakan yang nanti disahkan sebesar-besarnya memberikan dampak terhadap masyarakat," harapnya.
Apa yang dapat dipelajari oleh pemerintah setempat soal ini?
Sebenarnya Pemerintah Indonesia sudah menyetujui komitmen untuk beralih dari bahan bakar fosil karena alasan lingkungan. Hanya saja rintangannya terjal.
"Tetapi hingga pada akhir April 2023 kemarin, sebuah kota indah [Kabupaten Indragiri Hilir] yang diperkirakan berpenduduk sekitar 400.000 jiwa itu juga menyadari arti penting alam dan lingkungan," kata Ganda Mora menceritakan kondisi terakhir hasil investigasinya beberapa minggu terakhir daerah yang dikenal dengan julukan seribu parit itu.
"Saya sedang menyusuri jalan sempit menuju lokasi, ketika saya memasuki alam terbuka alun-alun seperti di Desa Bayas Kualacenaku, dilokasi sebuah gudang yang luas dijadikan tempat penimbunan Batubara yang menggunung dan menimbulkan udara dilokasi tidak sehat," sebutnya.
Pemandangan itu sangat mengejutkan, terutama karena, beberapa ratus meter jauhnya, kerumunan berkumpul warga desa, tetapi mereka terlihat telah meningkatkan kewaspadaan pada kondisi yang mereka hadapi yaitu waspada terhadap imbas dari sebuah tumpukan benda yang besar.
"Sebenarnya, warga sudah lebih dahulu menghadapi dari ancaman mandat vaksinasi virus corona baik untuk anak anak sekolah, usaha kecil, dan petani kebun disekitar desa," katanya.
"Ini bertambah satu lagi masalah hadirnya stockpile dan keinginan pemerintah setempat tidak terlihat untuk menghentikan ancaman dampak dari tumpukan Batubara yang berlama-lama itu akan memberikan bagian yang lebih besar resiko yang dihadapi warga desa," tambahnya.
Stockpil Batubara memiliki gaung khusus di area Desa Bayas Kualacenaku, milik dua perusahaan dan salah satu dari pertambangan besar yang tersisa di daerah itu.
"Tetapi sebagai bentuk kompensasi wilayah Batubara, untuk membantu mengubah ekonomi mereka kelihatannnyapun tidak ditemukan, malah yang terdengar sikap-sikap sembrono jauh dari kota," kata Ganda Mora yang juga sebagai Ketua Umum Lembaga Independen Pembawa Suara Transparansi [INPEST] ini.
"Sangat kontras, inilah yang membawa saya ke Desa Bayas Kualacenaku dimana terdapat penimbunan Batubara telah dianggap sangat penting secara simbolis di daerah itu, tetapi ini sangat terang terjadi penambahan emisi karbon," dalam perkiraanya.
Menurutnya, panel antarpemerintah tentang perubahan iklim bahwa perlu menghentikan penambahan karbon dioksida ke atmosfer agar memiliki harapan untuk mempertahankan pemanasan; 1,5 derajat Celcius.
Tetapi penimbunan Batubara seperti di Desa Bayas Kualacenaku mewakili hampir terjadinya emisi karbon yang tentunya menyebabkan terlalu banyak kerusakan lingkungan dan ekonomi.
"Semuanya berubah setelah penimbunan Batubara coklat atau lignit, adalah batuan sedimen yang kurang terkompresi pada umumnya. Lignit ini lebih lunak, lebih dekat dengan gambut di busur geologis karbon. Ini juga lebih kotor untuk dibakar daripada batu bara bitumen dan mengeluarkan lebih banyak karbon," jelasnya.
Atas kejadian dan pemandangan yang tanpa diduga itu, pihaknya melaporkan usaha penimbunan Batubara [Stockpile] PT Koralindo dan PT Global di Desa Bayas9 Kecamatan Kempas, Inhil ini ke Polda Riau dengan nomor: 021/Lap-SALAMBA/V/2023, tanggal 5 Mei 2023.
"Saya menduga kedua perusahaan stockpile itu tidak memikiki izin usaha dan tidak memiliki Amdal," kata dia.
Dengan keadaan itu, kata Ganda, akan mengakibatkan pencemaran lingkungan dengan pelanggaran pidana lingkungan terkait Amdal yang berdampak luas kepada kesehatan masyarakat atau melanggar UU No 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan juga merugikan negara akibat tidak membayar konstribusi pajak daerah.
"Atas perkara ini kami sudah melaporkan kegiatan stockpile yang diduga tidak berizin ke Polda Riau dan Gakum KLHK. Mudah-mudahan nanti, Gakum DLHK Riau bisa secepatnya lidik dan menghentikan kegiatan stockpile yang sudah mencemari lingkungan dengan abu hitam pada musim kemarau dan berlumpur berserakan saat ditimpa hujan yang berakhir mengganggu lingkungan," kata dia.
Hasil monitoringnya, juga menunjukkan saban hari dump truk hilir mudik keluar masuk jalan desa mengangkut Batubara yang berserakan di jalan raya sepanjang satu kilometer. "Yang seperti ini sebaiknya pemerintah dan APHK menghentikannya," pintanya. (*)
Tags : tambang, tambang batubara, lingkungan, industri tambang, kerusakan lingkungan, dampak buruk tambang batubara, aktivis ganda mora, kesehatan dan lingkungan, sorotan,