GENERASI 'sandwich' punya setumpuk beban keuangan guna memastikan hari raya dapat berjalan ideal, termasuk membeli tiket mudik untuk keluarga, kue Lebaran untuk di rumah, baju baru untuk orang tua, hingga menyiapkan amplop untuk sanak saudara dan tetangga.
"Padahal penghasilan mereka terbilang pas-pasan."
Menghadapi Idulfitri, generasi sandwich adalah kelompok masyarakat di usia produktif yang memiliki beban finansial berlipat.
Secara umum, terdapat tiga tipe kelompok generasi sandwich.
Pertama, kelompok traditional sandwich, alias mereka yang harus menanggung biaya hidup diri sendiri, anak, serta orang tua atau keluarga besar.
Kedua, kelompok open-faced sandwich atau orang-orang yang belum memiliki anak sehingga cukup menanggung hidup diri sendiri dan orang tua.
Ketiga, kelompok club sandwich. Kelompok ini mirip dengan kelompok pertama, tapi ditambah tuntutan membiayai generasi di atas orang tua alias kakek dan neneknya.
Hasil survei Litbang Kompas pada 2022 menunjukkan, sekitar 67% responden merupakan bagian dari generasi sandwich.
Apabila angkanya diproporsikan terhadap jumlah penduduk produktif Indonesia, jumlahnya sekitar 56 juta orang.
Kira-kira sejak seminggu sebelum Lebaran, yang jatuh pada Rabu (10/4), berbagai platform media sosial telah ramai dengan keluh kesah mereka yang termasuk generasi sandwich.
Di X (dulu Twitter), misalnya, sejumlah orang bercerita soal beratnya beban keuangan yang mereka pikul, termasuk melunasi cicilan orang tua serta membiayai sekolah adik, dan kehidupan anak sendiri.
Karena gaji yang disebut "pas-pasan" atau tak seberapa, akhirnya banyak dari mereka yang tidak bisa menabung untuk masa depan sendiri.
"Aku sandwich generation, Kak, anak pertama dan satu-satunya yang kerja di keluarga. Susah banget menuhin kebutuhan satu rumah sendirian dengan gaji UMR," cuit akun @flowwynh pada Selasa (9/4), yang meminta BBC News Indonesia tidak menyebutkan nama aslinya.
"Apalagi besok Lebaran, secara nggak langsung juga harus jadi yang ngasih THR ke semua orang."
Sementara itu, menurut akun @owlyrapunzel di X, ia tak bermaksud mengeluh dan menolak membiayai orang tuanya. Ia hanya ingin menegaskan bahwa "memang realitanya berat".
"Enggak semua orang kerjanya PNS atau di BUMN, gaji dua digit," cuitnya pada Senin (1/4).
"Enggak semua orang tua pengertian dengan kesulitan anak. Harga rumah dan bahan pokok mahal, gaji pas-pasan, ya bagaimana nggak berat? Bakti ke orang tua juga nggak harus diukur dari uang."
Pengguna X lain, yang tidak mau disebutkan akun dan namanya, mengatakan hal senada.
Ia bilang, orang tuanya tidak pernah mengapresiasi meski kerap meminjam uang berjumlah besar.
Orang tuanya justru kerap mempertanyakan gajinya yang dianggap sedikit.
Ida Ruwaida Noor, sosiolog dari Universitas Indonesia, mengatakan generasi sandwich memang menghadapi "obligasi sosial maupun moral" untuk menopang berbagai kegiatan sosial dan keagamaan, termasuk hari raya Idulfitri.
Ini terjadi karena masyarakat Asia, khususnya Asia Timur, masih mengedepankan budaya kolektivitas yang menempatkan kekeluargaan maupun kekerabatan sebagai orientasi utama, katanya.
"Kondisi inilah yang melatari sebagian generasi sandwich terpaksa berutang demi tuntutan-tuntutan sosial. Secara sosiologis, tindakan tersebut dianggap rasional, karena nilai solidaritas sosial dan juga moral yang dikedepankan, apalagi untuk orang tua," kata Ida.
"Relasi seperti ini secara sosiologis tidak semata dilihat secara material 'cost and benefit' atau norma resiprokalitas, tapi juga non-material atau norma moralitas."
Eko Endarto, perencana Keuangan dari Finansia Consulting, mengatakan generasi sandwich memang kerap menanggung beban keuangan besar untuk membiayai banyak pihak sekaligus.
Karena itu, katanya, generasi sandwich mesti lihai menempatkan prioritas.
"Misalnya dia punya adik-adik yang akan masuk SMA, akan masuk kuliah, akan masuk SD. Mana dulu yang diprioritaskan, jangan semuanya, tiga-tiganya [dibiayai]," kata Eko.
"Kalau memang dia enggak mampu, dia harus atur, mana dulu yang masuk."
Banyak orang dari generasi sandwich pun kerap kesulitan menyisihkan uang untuk tabungan dan investasi masa depan.
Karena itu, Eko bilang, sebaiknya situasi yang ada dikomunikasikan dengan baik pada orang tua sehingga mereka bisa memahami bahwa ada hal-hal yang terpaksa dikorbankan atau ditunda terlebih dahulu, misalnya menikah.
"Karena kan begini, kadang-kadang orang tua minta adik-adiknya diperhatikan, tapi orang tua juga minta cepat-cepat menikah. Itu kan sudah sesuatu yang nggak benar," kata Eko.
"Jadi harus dikomunikasikan, mana dulu yang harus diteruskan, mana dulu yang harus dijalankan duluan. Kemampuan dia seperti apa, obrolkan ke orang tuanya."
Selain itu, generasi sandwich pun diharapkan tak lupa menyiapkan perlindungan dirinya sendiri, misalnya melalui asuransi.
Karena bila sampai terjadi sesuatu padanya, banyak pihak keluarga yang akan merasakan pula imbasnya.
Dalam konteks Lebaran, Eko pun mengatakan penting untuk membangun komunikasi yang baik dan sikap saling terbuka.
Kalau memang dirasa sulit untuk mudik, sebaiknya jangan dipaksakan, katanya.
Selain itu, komunikasi yang baik disebut bisa memudahkan semua pihak mencari jalan tengah yang ideal.
Misal, alih-alih mudik membawa keluarga ke kampung halaman, bisa jadi akan lebih hemat bila membawa orang tua dari kampung halaman ke tempat tinggal saat ini.
Di luar itu semua, Eko memahami bahwa fenomena generasi sandwich ini kerap tak bisa dihindari, apalagi mengingat orang Indonesia secara umum belum memiliki tingkat literasi atau kemampuan pengelolaan keuangan yang memadai.
"Saran saya adalah, ya mau enggak mau mereka jalani ini, tapi mereka juga harus berpikir, jangan sampai mereka juga mengalami hal sama ketika mereka tua nanti," kata Eko.
"Itu kuncinya. Mereka harus memutus permasalahan ini sampai di mereka saja, supaya jangan sampai terjadi ke keturunan-keturunan mereka selanjutnya". (*)
Tags : generasi sandwich, kelompokkerja produktif, dilema hadapi perayaan idul fitri, generasi sandwichhadapi dilema, setumpuk beban keuangan, keuangan pribadi, kaum muda, masyarakat,