"Ekspor pasir laut jika dilakukan pengerukan dalam jumlah besar bisa menimbulkan kerusakan permanen pada lingkungan"
emerintah didesak mencabut aturan yang membuka lebar keran ekspor pasir laut karena kerusakan akibat pengerukan dalam jumlah besar bisa permanen di masa mendatang, kata pakar kelautan dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Rignola Djamaludin.
Kerusakannya pun bisa beragam, tambah Rignola. Mulai dari kerusakan habitat organisme laut, abrasi di wilayah pesisir, hilangnya pulau-pulau kecil, hingga lenyapnya mata pencaharian nelayan.
Banyak keluarga nelayan di Kepulauan Riau [Kepri] miasalnya, yang sudah merasakan dampak pengerukan pasir laut mengaku hasil tangkapan nelayan berkurang drastis.
"Banyak keluarga nelayan akhirnya terjerat utang demi menyambung hidup."
Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Doni Ismanto juga mengatakan ekspor pasir laut hanya dilakukan dengan syarat kebutuhan material di dalam negeri sudah tercukupi dan tidak menurunkan daya dukung serta daya tampung ekosistem pesisir.
Meskipun diakuinya, saat ini terdapat 66 perusahaan yang sudah dilakukan verifikasi dan evaluasi untuk mengelola hasil sedimentasi laut.
SALAMBA tolak PP sedimentasi laut
Aktivis Sahabat Alam Rimba [SALMBA], terus menyuarakan penolakan kehadiran PP 26/2023 tersebut karena sama dengan penambangan pasir laut, hanya saja berkedok menjaga kesehatan laut.
SALAMBA dari awal tegas menolak PP sedimentasi laut. Kegiatan pembersihan sedimentasi laut ini sesungguhnya hanya melahirkan akselerasi perizinan dan aktivitas tambang.
“Kita menilai kegiatan ini abai pada aspek kepentingan nelayan dan ekosistem,” kata Aktivis SALAMBA, Ir Marganda Simamora SH M.Si.
Menurut Ganda Mora [nama sapaanya] ini kembali menyebutkan, kehadiran tambang pasir hanya akan memperkeruh situasi, berpotensi melahirkan gejolak dan konflik antara nelayan dan penambang.
Kedua, aktivitas tersebut akan semakin mengancam keberlanjutan aktivitas tangkap, kerusakan ekosistem laut, dan mengakselerasi ancaman abrasi dan intrusi terhadap pulau kecil.
“Dari awal PP diterbitkan telah melanggar apa yang dimaksud dengan prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation). Penerbitan PP tidak membuka ruang dialog, tidak ada kesempatan masyarakat menyampaikan pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya, hingga mendapat penjelasan. Negara dalam hal ini memperlihatkan sikap otoriter dan anti demokrasi,” tegasnya.
Ganda mengatakan, timnya sudah pernah turun ke Kepri untuk melihat dampak dari tambang pasir laut. Hasilnya nelayan mayoritas menolak tambang apapun dilaut. Karena nelayan merasakan dampak buruk dari aktivitas tersebut.
“Seperti salah satu nelayan Kelurahan Pemping Batam menyebut kepada kami, tambang pasir laut yang pernah terjadi disana merusak laut dan karang mereka, sehingga membuat mereka kesulitan melakukan aktivitas melaut,” katanya.
Aktivitas tambang masa lalu memang memberi mereka ganti rugi, tapi ganti rugi tidak sesuai dengan dampak yang mereka rasakan.
Apabila tambang terus dipaksakan, laut dan pulau kecil di Kepri akan mengalami dampak yang sangat buruk, membuat kepulauan Riau semakin terjerat dalam krisis ekologis.
“Kami berharap masyarakat tetap konsisten menolak kebijakan ini dan melawan dengan cara-cara sesuai dengan prinsip negara hukum dan demokratis. Sedangkan kami di SALAMBA, akan tetap melakukan pemantauan sambil mengkaji sejauh mana kemungkinan dapat diuji di Mahkamah Agung,” katanya.
'Sekarang panen ikan sudah seperti mimpi'
Kapal tongkang yang membawa batu granit melintas di perairan Pulau Karimun Besar, Kabupaten Tanjung Balia Karimun, Minggu, 24 Maret 2024.
Tri Ismuyati menghela napas panjang kala menceritakan nasib ratusan keluarga nelayan di Tanjung Balai Karimun, Provinsi Kepulauan Riau [Kepri] ini.
Pasalnya saban malam melaut, beberapa nelayan termasuk suaminya kadang pulang dengan tangan kosong.
Kalau pun ada yang mendapatkan hasil laut, jumlahnya cuma lima kilogram.
"Itu pun dapatnya lama sekali," ucap Tri Ismuyati.
"Dan dalam sebulan paling hanya dua atau tiga kali saja, selebihnya ya enggak dapat apa-apa," sambungnya.
Ibu tiga anak ini bercerita kondisi tersebut terjadi sejak kapal isap pasir laut beroperasi di wilayah pesisir pada Maret tahun lalu.
Setiap malam selama sebulan, kapal itu mengambil pasir laut.
Para nelayan yang curiga, kata Tri Ismuyati, sempat mendatangi kapal isap tersebut dan menanyakan keperluan mereka.
Awak kapal, menurut Tri, memaparkan bahwa mereka mengaku sedang mengambil sampel tanpa menjelaskan untuk kebutuhan apa dan milik perusahaan siapa.
Akibat operasional kapal isap, air laut berubah jadi keruh berwarna kecoklatan. Sejak saat itu hingga sekarang, hasil tangkapan nelayan turun drastis.
Kalau dulu nelayan bisa membawa pulang ikan hingga lima kuintal, kini dapat lima kilogram saja sudah susah payah.
"Sekarang sebulan, kadang dapat hasil cuma dua atau tiga kali. Ikan pun enggak mudah didapat padahal melaut sebulan tiap hari. Modal Rp300.000 enggak bawa apa-apa, untuk lauk aja enggak ada."
"Laut makin susah diprediksi, biasanya panen udang atau ikan, sekarang enggak ada. Panen ikan sudah seperti mimpi."
Gara-gara hasil tangkapan yang tak menentu, beberapa nelayan menyerah dan mencari pekerjaan lain. Entah bekerja di parbrik, menjadi buruh migran, atau mencari peruntungan ke kota lain.
Tapi suami Tri Ismuyati tak menyerah. Suaminya dan anak tertuanya masih berharap dari hasil melaut.
"Nelayan itu kalau enggak melaut, enggak bisa melakukan pekerjaan lain. Cuma bisa betulin alat-alat melaut kayak jaring atau benerin kapal."
Dan kini dengan adanya keputusan pemerintah yang membolehkan pengerukan pasir laut secara besar-besaran bahkan untuk ekspor, perempuan 43 tahun ini mengaku sedih.
Ia terang-terangan menyatakan menolak.
Perairan Pulau Karimun Besar yang juga terdapat pulau-pulau kecil disekitarnya.
"Ya menolak pasti, ini belum dikeruk aja begini, apalagi kalau diubrak-abrik? Terus gimana nasib nelayan seperti kami?"
Cuaca siang itu cukup terik. Tak terlihat aktivitas yang berarti di sekitaran Pulau Babi, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau, pada akhir Maret 2024 lalu. Hanya saja dari kejauhan nampak dua kapal kayu sedang berlabuh di pesisir pulau tak berpenghuni itu.
Dari informasi Kepala Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan [DKP] Provinsi Kepri untuk Karimun, Faisal, menyebutkan Pulau Babi menjadi salah satu lokasi aktivitas tambang pasir laut. Bahkan sampai saat ini masih beroperasi.
Informasi tersebut betul adanya, dua kapal yang berlabuh di pesisir Pulau Babi yang sedang melakukan penambangan pasir laut. Dilihat lebih dekat, nampak jelas aktivitas penambangan pasir laut berlangsung.
Proses penambangan menggunakan satu kapal berukuran besar, dan dua kapal kecil. Tidak jelas, fungsi kapal-kapal kecil itu, hanya saja, selang berukuran besar menyemburkan pasir ke atas kapal.
“Sebagian besar pasir langsung dijual ke Selat Panjang [Provinsi Riau],” kata salah seorang nelayan Karimun bekas penambang pasir yang tak mau disebutkan namanya.
Di sekitar lokasi penambangan rakyat ini merupakan lokasi prioritas aktivitas pembersihan sedimentasi laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan [KKP].
Titik lokasi itu sudah ditetapkan KKP melalui Kepmen No.208/2023, tentang Lokasi Prioritas Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Nelayan Karimun: menolak dan pasrah
Pelabuhan Desa Pelambung, Kecamatan Pongkar, Kabupaten Karimun, Kepri terlihat lengang.
Terlihat kapal-kapal nelayan berlabuh di sepanjang pesisir pantai, sejak Sabtu 23 Maret 2024 siang itu.
Tidak jauh dari pelabuhan, terdapat posko Koperasi Nelayan Desa Pelambung.
Penambang pasir laut rakyat di sekitaran Pulau Babi, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepri.
Pembina Koperasi Nelayan Desa Pongkar Kabupaten Karimun, Deny Hariyadi [39 tahun] bercerita, perihal tanggapan nelayan dijadikannya Pulau Karimun Besar lokasi pemanfaatan sedimentasi laut.
Deny menunjukkan foto kegiatan “Konsultasi Publik Rencana Kegiatan Pemanfaatan Sedimentasi Laut di Tebing Kabupaten Karimun”.
"Itu merupakan sosialisasi terakhir yang didapatkan Deny soal rencana diterapkannya PP No.26/2023 tentang Pengelolan Hasil Sedimentasi di Laut."
“Waktu itu tanggal 12 Januari 2024, yang hadir perusahaan. Tidak ada KKP atau dinas kelautan,” katanya.
Kala itu, lanjutnya, perusahaan meminta izin kepada masyarakat untuk melakukan pemanfaatan sedimentasi laut di Desa Pongkar.
Dilihat dari peta yang dibagikan KKP, Desa Pongkar memang salah satu titik lokasi pengambilan sedimentasi pasir yang paling luas.
Sebagian besar ketua kelompok nelayan yang hadir dalam sosialisasi menolak memberikan izin. Hingga pertemuan berakhir, sosialisasi tidak menghasilkan kesepakatan.
“Menurut saya, [aktivitas sedimentasi pasir laut ini] merupakan kerugian buat nelayan. Jadi ketika kebanyakan menolak, ada sekitar 50 nelayan yang hadir mewakili setiap kelompok yang ada di Kecamatan Tebing,” jelasnya.
Ketika sosialisasi itu, nelayan tidak menolak secara mentah-mentah. Namun jika perusahaan bisa memberikan kompensasi Rp5 juta per bulan kepada nelayan terdampak, katanya, mungkin semua nelayan setuju.
Menurutnya, saat ini kondisi laut di Pesisir Pulau Karimun Besar tidak baik-baik saja.
Banyak aktivitas yang merusak, seperti tambang timah, penambangan pasir laut, aktivitas tongkang dan juga reklamasi.
Aktivitas itu belakangan ini, membuat penghasilan nelayan sudah tidak menentu lagi. Selain faktor laut rusak, musim yang tidak menentu juga menjadi penyebab.
“Penghasilan nelayan tahun ini paling parah, baik nelayan jaring besar, atau pun jaring kecil,” katanya.
Misalnya dalam satu hari saat musim utara, jelasnya, nelayan bisa menangkap udang, hingga 40 kilogram seharga Rp2.5 juta.
“Sekarang mencari lima kilogram udang saja sangat susah,” katanya.
Apalagi jika memang perusahaan sedimentasi laut ini masuk itu akan memperparah kondisi laut dan tentunya akan berdampak kepada nelayan.
“Apalagi ada perusahaan sedot [sedimentasi pasir] ini nanti, habislah kami,” katanya kesal.
Saat ini masyarakat terpaksa banting setir bekerja di darat, seperti berkebun atau tukang bangunan.
“Kalau 80 persen masyarakat bekerja sebagai nelayan, tetapi sekarang mereka sudah berangsur-angsur cari kerja di darat,” kata Deny yang juga Ketua RW Desa Pelambung.
Berbeda dengan Deny, Jaiz nelayan Desa Pangke Barat ini mengaku terpaksa menerima rencana pemerintah tersebut.
Selain itu nelayan di Karimun juga tidak kompak untuk menolak rencana pemerintah meskipun itu merugikan nelayan.
“Saya tahu itu (pengelolaan sedimentasi laut) mencemari, karena lumpur, batu karang pasti rusak, tidak hanya saya nanti yang menderita, semua kena nanti itu, tapi bagaimana lagi,” kata Jaiz yang juga Ketua Kelompok Nelayan Pantai Pasir Putih.
Berkaca ke belakang, katanya, selama ini nelayan menerima saja semua keputusan pemerintah asalkan ada kompensasi walaupun nilainya kecil.
Termasuk adanya aktivitas tambang pasir laut ataupun tambang timah meskipun merusak ekosistem laut.
Sekarang ini nelayan yang menerima pengelolaan sedimentasi laut masih menunggu perjanjian kompensasi dari perusahaan. Soal angka kompensasi sampai sekarang belum juga ada kepastian.
“Tapi kalau kompak menolak semua, saya juga akan menolak,” tambahnya.
Abrasi di pulau karimun besar
Pantauan selama ini dilapangan, beberapa titik di pesisir Pulau Karimun Besar mengalami abrasi. Misalnya saja di Pantai Pongkar, Kecamatan Tebing, Kabupaten Tanjung Balai Karimun.
Terlihat pohon kelapa di sepanjang pantai sudah tumbang. Akar-akarnya tidak lagi tertancap di tanah.
Nelayan menduga, selain akibat cuaca ekstrem, abrasi juga disebabkan oleh aktivitas penambangan pasir laut hingga penambangan timah.
Jaiz juga menunjukan terjadinya abrasi di pesisir kapalnya berlabuh pesisir Pangke Barat, Pulau Karimun Besar.
Ia memperkirakan abrasi sudah terjadi setinggi 10 centimeter.
“Abrasi terjadi disini, coba lihat akar-akar pohon itu sudah nampak sekarang, dulu tidak nampak,” katanya.
Nelayan memperkirakan aktivitas penyedotan sedimentasi laut nanti akan memperparah keadaan itu.
“Sekarang saja sudah meresahkan, ini datang lagi pembersihan sedimentasi laut,” kata Bahar nelayan Pulau Karimun Besar lainnya.
Bahar juga mengaku heran, kenapa titik lokasi pembersihan sedimentasi laut di Karimun berada di pulau kecil. Apalagi jika dilihat dari peta lokasinya tepat berada di pesisir pulau.
Ia khawatir aktivitas itu akan memperparah abrasi sehingga membuat luasan pulau-pulau kecil itu terus berkurang. Apalagi Karimun berbatasan langsung dengan Malaysia.
“Kalau pulau itu menyusut secara garis perbatasan akan merugikan Indonesia,” kata Bahar yang juga Ketua Forum Peduli Kesejahteraan Lingkungan [FKPL] Karimun.
Bahar mengaku belum mendapatkan sosialisasi kegiatan penyedotan sedimentasi laut tersebut. Bahkan FKPL pernah bertanya langsung kepada KKP yang ada di Karimun untuk dilakukan sosialisasi tetapi sampai saat ini tidak ada tindak lanjut.
“Saya pun baru tahu dari media, Pulau Karimun Besar ini jadi lokasi pengambilan sedimentasi laut itu,” katanya.
DKP Kepri wilayah Karimun Faizal mengatakan, sampai saat ini pihaknya juga belum mendapatkan sosialisasi dari pemerintah soal sedimentasi laut.
“Sampai saat ini tidak ada diundang kita sosialisasi,” katanya, Sabtu (13/9/2024) kemarin.
Ia melanjutkan, prinsipnya DKP mengikuti apa yang dikatakan nelayan, jika nelayan menolak DKP Provinsi Kepri akan bersama nelayan.
“Kalau melanggar kita menolak, tetapi sejauh ini katanya menteri sudah mengajak LSM lingkungan juga dalam sedimentasi laut ini,” katanya.
Polsus PWP3K Wilayah Kerja PSDKP KKP Tanjung Balai Karimun Adie W Putra membenarkan salah satu titik lokasi pemanfaatan sedimentasi laut yaitu berada di perairan Karimun. Namun titik tersebut masih secara umum.
“Pastinya nanti setelah KKP mengeluarkan izin perusahaan yang akan melakukan pemanfaatan sedimentasi laut, nanti semuanya akan tertera dalam perizinan, lokasi pengambilan sedimentasi laut, kuota, luasannya dan lain-lain,” katanya pada media, Rabu (02/5).
Adie memastikan, sampai saat ini belum ada satupun perusahaan yang mendapatkan izin pemanfaatan sedimentasi laut tersebut.
Syarat utama izin pemanfaatan sedimentasi laut, perusahaan harus mengurus izin KKPRL [kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut] terlebih dahulu.
“Sedangkan sampai saat ini belum ada verifikasi lapangan yang melibatkan kami PSDKP, bisa saya sampaikan belum ada izin KKPRL pengelolaan sedimentasi hasil laut,” katanya.
Pihaknya sudah siap melakukan pengawasan jika sudah ada perusahaan yang mendapatkan izin dari pusat.
Pengawasan yang akan dilakukan, salah satunya di atas kapal perusahaan akan dilengkapi sistem pemantauan transmitter.
PSDKP KKP melakukan pemantauan realtime selama 24 jam terkait aktivitas kapal tersebut.
“Sistem ini juga sudah kami gunakan untuk kapal perikanan, kapal akan dipantau pusdal [pusat pengendalian] di Jakarta,” katanya.
Tidak hanya itu, jika dibutuhkan, lanjutnya, akan ada petugas PSDKP melakukan pemantauan di kapal pemanfaatan sedimentasi di laut saat mereka beraktifitas.
“Nanti diizinnya baru ketahuan hasil pembersihan sedimentasi laut ini akan dibawa kemana,” katanya.
Sedangkan terkait sosialisasi kepada nelayan, akan dilakukan oleh perusahaan.
“Kenapa lokasinya di Pulau Karimun Besar, saya tidak bisa komentar itu,” katanya.
Sedangkan menurut pengusaha tambang pasir laut lokal di Kabupaten Karimun, PP No.26/2023 tentang Pemanfaatan Sedimentasi Laut tidak akan terlaksana dengan baik karena aturannya tidak jelas.
Menurut Nardi pengusaha tambang pasir laut di Karimun, PP 26/2023 itu tidak jelas menyebutkan hasil pembersihan sedimentasi laut akan diekspor atau digunakan dalam negeri.
Padahal sedimentasi itu sejatinya adalah lumpur, yang tidak layak digunakan untuk reklamasi baik dalam negeri maupun luar negeri.
Begitu juga soal pernyataan pemerintah yang mengatakan kapal isap pembersihan sedimentasi laut menggunakan kapal ramah lingkungan.
Di Indonesia, katanya, tidak ada kapal isap pasir yang memiliki teknologi ramah lingkungan, kecuali kapal luar negeri.
“Sedangkan kapal asing tidak boleh beroperasi di Indonesia, kecuali pemerintah buat aturan baru lagi,” katanya.
Nardi juga mengatakan, lokasi sedimentasi laut yang berada di Karimun beririsan langsung dengan izin usaha pertambangan atau IUP yang dimilikinya.
“Lokasi IUP kita dicaplok untuk aktivitas sedimentasi laut ini,” katanya.
Sedangkan pengusaha tambang pasir laut di Karimun dilarang melakukan penambangan pasir laut.
Padahal semua izin sudah selesai diurus, tetapi terganjal pelarangan melalui aturan KKPRL KKP.
“Lebih baik pemerintah mencabut izin larangan ekspor pasir laut saja. Inikan tidak jelas, KKP kok ngurusin tambang. Seharusnya ngurus ikan di laut. Saya yakin aturan ini tidak akan terlaksana,” tutupnya.
Mengapa pemerintah membolehkan ekspor pasir laut?
Pemerintah resmi membuka keran ekspor pasir laut setelah selama 20 tahun melarang.
Hal itu berlaku dengan keluarnya Permendag nomor 20 tahun 2024 tentang barang yang dilarang untuk diekspor dan Permendag nomor 21 tahun 2024 tentang kebijakan dan pengaturan ekspor.
Pembukaan ekspor pasir laut lewat Kemendag merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2023 tentang hasil pengelolaan sedimentasi di laut serta tindak lanjut dari usulan Kementerian Kelautan dan Perikanan [KKP].
Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Doni Ismanto, mengatakan ekspor pasir laut hanya dilakukan dengan syarat kebutuhan material di dalam negeri sudah tercukupi dan tidak menurunkan daya dukung serta daya tampung ekosistem pesisir.
Karenanya dia meminta agar "pembersihan sedimentasi laut" jangan diframing sebagai kawasan pengambilan pasir. Apalagi, sebutnya, diasosiasikan dengan aktivitas ekspor pasir laut.
"Tujuan dari pembersihan sedimentasi di laut ada dua, yaitu peningkatan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir," katanya.
Selanjutnya Kabupaten Karawang, perairan sekitar Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan, serta perairan di sekitar Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.
Doni mengeklaim penentuan tujuh lokasi itu ditentukan oleh tim kajian yang anggotanya lintas kementerian dan para pakar.
Lokasi-lokasi itu, sambungnya, merupakan lokasi yang disebutnya mengganggu ekosistem dan mengganggu aktivitas nelayan seperti di perairan laut dekat muara.
Dengan keluarnya lokasi tersebut KKP mempersilakan pelaku usaha untuk memanfaatkan hasil sedimentasi alias mengeruk pasir laut yang ada.
Pelaku usaha yang dimaksud KKP yakni yang memiliki kriteria di antaranya bergerak di bidang pembersihan hasil sedimentasi di laut dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut serta memiliki peralatan dengan teknologi khusus.
Doni juga membeberkan saat ini terdapat 66 perusahaan yang sudah mengajukan izin ekspor dan sudah dilakukan verifikasi serta evaluasi untuk apa yang disebutnya mengelola hasil sedimentasi laut.
Apabila dari 66 perusahaan itu tidak bisa memenuhi syarat seperti yang tercantum dalam Permen KKP nomor 33 tahun 2023, maka tidak akan mendapatkan izin.
Apa syarat ekspor pasir laut?
Aturan teknis sedimentasi laut perlu segera dilakukan ditengah sudah terjadi polemik penolakan
Merujuk pada pasal 24 Permen KKP nomor 33 tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut, kebutuhan materil hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut untuk diekspor dilakukan sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi.
Kemudian, kebutuhan material pasir laut untuk ekspor berdasarkan ketersediaan volume pasir laut dibandingkan dengan kebutuhan dalam negeri.
Pada pasal 25 tertulis bahwa pelaku usaha yang akan melakukan ekspor pasir laut harus mengajukan surat permohonan rekomendasi ekspor pasir laut kepada Menteri.
Surat permohonan rekomendasi ekspor pasir laut paling sedikit memuat: negara tujuan ekspor, tujuan pemanfaatan pasir laut, pihak yang memanfaatkan pasir laut, volume pasir laut, sarana pengangkutan, dan waktu pelaksanaan ekspor pasir laut.
Berdasarkan surat permohonan tersebut, Menteri akan menerbitkan rekomendasi yang memuat volume pasir yang dapat diekspor.
Setelahnya mengurus perizinan berusaha kepada Kementerian Perdagangan dan wajib memiliki Izin Pemanfaatan Pasir Laut.
Pada pasal 27 menyebutkan permohonan Izin Pemanfaatan Pasir Laut harus disertai proposal dan rencana yang memuat:
Selain itu pelaku usaha juga harus memenuhi kriteria:
Terkait volume pembersihan hasil sedimentasi di laut dan pemanfatan hasil sedimentasi di laut yang bisa dikeruk paling sedikit 50 juta meter kubik.
Adapun Izin Pemanfaatan Pasir Laut berlaku selama tiga tahun sejak diterbitkan dan tidak dapat diperpanjang.
Mengapa ekspor pasir laut ditolak?
Pakar kelautan dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Rignola Djamaludin, mengatakan argumentasi pemerintah membuka keran ekspor pasir laut karena ingin memenuhi kebutuhan dalam negeri sekaligus mengatasi masalah sedimentasi tidak cukup beralasan.
Sebab, menurutnya, sampai saat ini pemerintah tak membeberkan dengan terang benderang seberapa besar kebutuhan pasir laut di dalam negeri dan tingkat keparahan sedimentasi yang terjadi di pesisir Indonesia.
Termasuk kajian jika sedimentasi berupa pasir laut dikeruk secara masif.
Mayoritas penelitian justru menunjukkan kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akan semakin tinggi jika dilakukan pengerukan pasir laut.
"Studi di Indonesia justru menunjukkan kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berada dalam skala sedang dan tinggi. Artinya kalau [pengerukan secara besar-besaran] dilakukan, kerentanan itu bisa bertambah buruk," jelas Rignola.
Kerentanan yang dimaksud Rignola di antaranya abrasi atau pengikisan tanah di daerah pesisir pantai.
Pasalnya ketika sedimentasi yang terakumulasi di suatu wilayah pesisir dikeruk, maka terjadi ketidakstabilan. Untuk menutupi kekosongan itu, menurutnya, arus laut akan menggerus material dari tempat lain.
Contoh nyata dari dampak pengerukan pasir laut terjadi di Pulau Nipa, Batam yang tenggelam karena abrasi pada 2002.
"Lalu bagaimana jika yang terambil itu adalah wilayah yang berisiko terabrasi? Ini kan menambah kerentanan."
"Kalau begitu gimana bisa dikatakan aman [mengeruk pasir laut]? Makanya dulu muncul regulasi yang melarang pengambilan pasir."
Persoalan lain, kata Rignola, secara global perairan Indonesia termasuk yang mengalami proses kenaikan air laut.
Jika pemerintah malah mengeruk sedimentasi di laut, menurut Rignola, sama saja menambah risiko erosi pantai, banjir bandang, hingga terendamnya pesisir serta pulau-pulau kecil.
Begitu juga dengan ekosistem laut yang disebut Rignola akan berakibat fatal. Ketika pasir laut disedot dalam jumlah banyak, maka terumbu karang yang ada di sana akan mati dan ikan-ikan pun akan mencari habitat baru, paparnya.
Itu mengapa, dia menilai keputusan pemerintah mengizinkan pengerukan pasir laut dengan dalih membersihkan sedimentasi di laut hanya "pembenaran semata".
Ujung-ujungnya, kata Rignola, pemerintah hanya mencari keuntungan ekonomi. Sebab dari ekspor pasir laut para pengusaha harus menyetor penerimaan negara bukan pajak [PNBP] sebesar 5% dari nilai volume sedimen yang akan dimanfaatkan.
"Alasan [membersihkan sedimentasi] hanya dibuat-buat. Karena tidak ada kajian apakah selama 20 tahun terjadi peningkatan sedimentasi?"
"Bagaimana kalau sedimentasi itu fluktuatif? Pada waktu lain tidak seperti itu, bahkan berkurang."
"Makanya saya minta dikaji baik-baik, laut masa depan kita, mestinya dari sekarang kita persiapkan dengan baik bukan dibuat rentan dan tidak bernilai di masa depan."
Siapa yang diuntungkan dari ekspor pasir laut?
Ekspor pasir laut jika dilakukan pengerukan dalam jumlah besar bisa menimbulkan kerusakan permanen pada lingkungan.
Kembali disebutkan Aktivis SALAMBA, Ir Marganda Simamora SH M.Si juga sependapat. Ia mendesak pemerintah mencabut aturan yang membuka lebar keran ekspor pasir laut.
Kata dia, kalau pemerintah memang membutuhkan pasir laut untuk kebutuhan pembangunan infrastruktur yang masif di dalam negeri, maka tidak perlu mengatur soal ekspor.
Membuka keran ekspor, menurutnya, sama saja pemerintah merampok sumber daya di pesisir.
"Pemerintah seperti makelar sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil," ujar.
Ganda Mora juga mengkhawatirkan soal pengawasan pengerukan pasir laut.
Dalam Permen KKP nomor 33 tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut disebutkan tim pemantau dan evaluasi atas kegiatan pengerukan pasir laut dilakukan oleh petugas pemantau dan dapat menggunakan peralatan berupa pesawat nirawak laut dan/atau peralatan lain. Selain itu juga bisa melibatkan pakar.
Masalahnya, kata Ganda Mora, pengawasan di Indonesia terkenal lemah.
Dalam beberapa kasus dugaan pengerukan pasir laut ilegal saja pemerintah kerap kecolongan.
"Bagaimana memastikan material kubik yang diambil sesuai dengan kuota yang ditentukan? Lalu apakah ada jaminan pasir sedimentasi diambil tidak membuat desa-desa tenggelam?"
Ganda Mora mengeklaim bisnis pengerukan pasir laut menjadi "lahan basah" lantaran perputaran uangnya mencapai miliaran.
Berdasarkan investigasi yang dilakukan SALAMBA, keuntungan yang di dapat dari operasional satu kapal isap pasir laut mencapai Rp1 miliar dalam dua minggu.
"Untungnya gede banget, dan dugaan kami kemungkinan yang diuntungkan dari aturan ini adalah orang-orang politik yang punya investasi di situ."
Jadi soal pengerukan pasir laut ini pada kenyataannya masyarakat atau nelayan tak dapat apa-apa. Nelayan pun, kata Ganda tetap susah dapat solar dan bayar asuransi. (*)
Tags : eksploitasi pasir laut, kepri, eksploitasi pasir laut timbulkan kekeruhan dan kiamat ekosistem, keran ekspor pasir laut, kerusakan permanen lingkungan, bisnis, ekonomi, pencemaran laut, lingkungan, alam, Sorotan, riaupagi.com,