JAKARTA - Pilkada DKI Jakarta sepi partisipasi. Angka golongan putih (golput) diprediksi mencapai lebih dari 45%, yang artinya tertinggi di Jawa dan bahkan mencetak rekor sejarah sepanjang pesta demokrasi di ibu kota Indonesia itu.
Mengapa ini bisa terjadi?
Dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini melihat angka golput yang tinggi disebabkan para pasangan calon yang bersaing di Pilkada Jakarta, “Kurang sejalan dengan aspirasi politik warga dan elite lokal.
"Figur yang disukai justru tidak mendapatkan tiket politik, misalnya Ahok dan Anies Baswedan,“ katanya pada wartawan, Jumat (29/11).
Para pemilih Jakarta, tambah Titi, merasa seperti dikhianati partai yang baru saja mereka pilih di pemilu legislatif.
“Jadi, ada isu kepercayaan atau trust issue terhadap partai dan elite politik atas rentetan peristiwa yang terjadi sejak pemilu sampai dengan penyelenggaraan pilkada,“ katanya.
Selain itu, ujar Titi, koalisi antara partai dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus di tingkat nasional yang direplikasi ke Jakarta juga menimbulkan apatisme di masyarakat yang relatif terdidik dan melek politik.
“Masyarakat masih lelah dengan dinamika pemilu legislatif dan presiden yang cukup menguras konsentrasi mereka, dan harus menghadapi pilkada yang juga disertai banyak kontroversi,“ ujarnya.
Faktor lainnya adalah kejenuhan politik, kata analis politik dari Universitas Indonesia Cecep Hidayat.
“Masyarakat Jakarta itu dekat dengan paparan isu-isu politik nasional sehingga mereka menjadi apatis. Apalagi janji-janji paslon tidak menyentuh dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka,“ kata Cecep.
Beragam faktor tersebut sejalan dengan ekspresi kekecewaan yang dilakukan oleh dua warga Jakarta, Minawati dan Gugun Muhammad, yang mencoblos ketiga pasangan calon (paslon) dan membuat suara mereka jadi tidak sah.
Hasil hitung cepat Pilkada Jakarta beberapa lembaga survei menunjukkan paslon Pramono Anung-Rano Karno unggul dari kedua paslon lain, Ridwan Kamil-Suswono dan Dharma Pongrekun-Kun Wardhana.
Warga Kampung Rawa, Jakarta, Minawati secara sadar mencoblos semua paslon dalam surat suara pada Pilkada Jakarta. Keputusan ini membuat surat suaranya menjadi tidak sah.
Namun, ada alasan di balik keputusan Minawati yang juga menyuarakan gerakan coblos semua atau disebut gercos.
“Ini sebagai bentuk perlawanan, ketidakpercayaan dan kekecewaan kami sebagai masyarakat Jakarta atas ketidakadilan dalam demokrasi, yang sudah dibeli oleh oligarki,” katanya yang merupakan Koordinator Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK).
Dengan aksi ini, Minawati berharap menjadi koreksi elite politik untuk memperbaiki sistem pemilihan ke depannya.
Minawati mengaku di tempat pemungutan suara (TPS) wilayahnya hampir 50% pemilih yang golput.
“Dari sekitar 600-an suara, yang tidak datang hampir 240-an pemilih, dan ada 40-an yang merusak suara mereka,” katanya.
Minawati pun sempat bertanya ke beberapa orang di wilayahnya yang memutuskan golput.
“Alasannya, mereka tidak percaya lagi dengan elite politik. Ditambah lagi, mereka bilang ‘Malas lah, buat apa memilih? Siapa saja pemimpinnya tidak akan mengubah nasib kami‘. Artinya tidak ada pemimpin yang menyuarakan aspirasi kami kan,” tiru Minawati.
“Ada juga yang bilang bahwa mereka tidak punya gambaran, tidak kenal dengan paslonnya, jadi buat apa memilih,” tambahnya.
Keputusan untuk mencoblos semua juga dilakukan oleh Gugun Muhammad, Warga Ancol, Jakarta Utara.
Gugun mengaku ini pertama kali baginya melakukan gercos. Padahal di Pilkada Jakarta 2017 lalu dia mengaku secara mantap menjatuhkan pilihan kepada salah satu paslon.
Saat itu, katanya, ada harapan yang bisa disandarkan ke salah satu paslon untuk membawa perubahan untuk dirinya dan juga kelompok miskin kota di Jakarta.
“Saya memilih gercos karena banyak kandidat yang mendapat aspirasi dari masyarakat, tapi gagal karena tidak mendapat tiket dari parpol yang dikuasai dalam satu koalisi,” katanya yang juga menjadi Koordinator Urban Poor Consortium (UPC).
Gugun mengaku di wilayahnya, yaitu Kelurahan Ancol, lebih dari 50% pemilih tidak menggunakan suaranya.
“Saya melihat angka ini karena bukan hanya persoalan orang enggak sempet atau malas ke TPS. Tapi ada persoalan warga yang merasa enggak ada harapan dengan ketiga kandidatnya,” katanya.
Dia melakukan gercos sebagai bentuk protes melalui suaranya (protest voting) terhadap proses pencalonan kepala daerah yang diatur oleh elite, bukan rakyat yang menentukan.
“Katanya kan pesta demokrasi, rakyat bebas memilih, tapi sebenarnya saya enggak bebas-bebas amat memilih karena kandidatnya itu sudah ditentukan elite. Partai politik disandera dalam satu koalisi. Calon-calonnya sudah di-setting dan rakyat tidak punya banyak pilihan,” keluh Gugun.
Jumlah daftar pemilih tetap (DPT) Pilkada Jakarta 2024 mencapai 8,2 juta suara. Namun, dari jumlah itu diperkirakan kurang dari setengahnya tidak menggunakan hak suara mereka.
Menurut perhitungan KPUD Jakarta, angka partisipasi pemilih hanya 53,05% atau 4,3 juta suara, sisanya sebesar 3,4 juta orang golput.
Hasil perhitungan cepat Litbang Kompas juga menunjukkan bahwa angka golput di Jakarta mencapai 42,07%, suara tidak sah 4,6%, dan suara sah 53,33%.
Angka itu menunjukkan tingkat golput di Jakarta tertinggi di Pulau Jawa, diikuti Jawa Barat dengan 33,66%, Jawa Timur 30,15% dan Jawa Tengah 26,44%.
Lembaga survei Charta Politika juga mencatat Pilkada Jakarta hanya diikuti oleh 58,14% pemilih.
Sementara, data Gerakan Politik Salam 4 Jari mencatat partisipasi publik pada Pilkada Jakarta 2024 hanya 58% atau sekitar 4,7 juta, sedangkan angka golput mencapai 42% atau 3,4 juta, belum lagi protest voting sebesar 8,6%.
Jumlah golput itu jauh lebih besar dari perolehan Pramono Anung-Rano Karno sekitar 2,1 juta suara.
Rendahnya partisipasi pemilih ini pun memecahkan rekor sejarah pilkada di Jakarta.
KPUD Jakarta mencatat partisipasi pemilih pada 2007 dan 2012 berada di angka sekitar 65%.
Jumlah itu meningkat menjadi di atas 77% pada 2017 dan hanya 1,6 juta orang yang tidak menggunakan hak pilihnya.
Istilah golput muncul jelang Pemilu 1971 saat Orde Baru berkuasa.
Titi Anggraini yang menjadi anggota Dewan Pembina Perludem mengatakan golput sebagai bentuk ekspresi protest voting terhadap pemungutan suara yang saat itu didominasi politik Golkar dan ABRI.
“Terjadi politisasi terjadi hampir di semua lini dan ada intimidasi yang kuat kepada pemilih untuk menggunakan hak pilih sesuai dengan apa yang dimau oleh rezim yang berkuasa pada saat itu,” kata Titi.
Orang yang tidak menggunakan hak pilih akan mendapatkan tekanan dan intimidasi. Untuk itu sebagai ekspresi protes, ujar Titi.
Pemilih saat itu mengunakan haknya namun dengan memilih bagian putih dalam kertas suara. Suara mereka menjadi tidak sah.
“Jadi golput saat itu adalah gerakan kritis yang jauh dari apatis. Ini bukan abstain yang tidak menggunakan hak pilih maupun tidak datang menggunakan hak pilih,” kata Titi.
Dalam perkembangannya, golput yang kritis di masa lalu itu kini bercampur dengan mereka yang apatis, malas, abstain, kecewa, kritis hingga tidak sadar politik.
“Golput sekarang mencakup mereka yang tidak menggunakan hak pilih dan juga mereka yang datang menggunakan hak pilih tapi membuat suara mereka menjadi tidak sah,” kata Titi.
Titi pun menegaskan bahwa golput tidak dilarang, karena memilih atau tidak adalah hak setiap warga negara.
“Memilih itu harus berbasis consent dan juga harus menghargai ketidaksetujuan. Jadi golput itu pilihan bebas,” kata Titi.
Titi Anggraini melihat angka golput yang tinggi di Jakarta disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, figur calon yang tidak sesuai dengan aspirasi politik warga dan elite lokal Jakarta.
“Figur yang disukai justru tidak mendapatkan tiket politik, misalnya Ahok dan Anies Baswedan. Sedangkan tokoh yang tidak mengakar di Jakarta dan identik dengan daerah lain yaitu Ridwan Kamil justru dicalonkan koalisi yang sangat besar.
Akhirnya terjadi keterputusan aspirasi antara warga dan pasangan calon yang tersedia dalam kontestasi pilkada,“ kata Titi.
Faktor kedua, katanya, upaya replikasi KIM Plus di tingkat nasional untuk tingkat Jakarta juga menimbulkan apatisme tersendiri di kalangan masyarakat Jakarta yang relatif terdidik dan melek politik.
Ketiga, tambahnya, masyarakat Jakarta masih lelah dengan dinamika pemilu legislatif dan presiden yang cukup menguras konsentrasi dan kini harus menghadapi pilkada disertai banyak kontroversi.
“Hal itu membuat mereka lebih memilih untuk mengambil jeda dan berjarak dari proses pilkada, apalagi juga mereka mengalami keterputusan aspirasi politik dengan paslon yang diusung parpol.“
“Pemilih seperti dikhianati oleh partai-partai yang baru saja mereka pilih di pemilu legislatif. Jadi ada isu kepercayaan atau trust issue terhadap partai dan elite politik atas rentetan peristiwa yang terjadi sejak pemilu sampai dengan penyelenggaraan pilkada,“ ujar Titi.
Faktor keempat, menurut pengamat politik UI Cecep Hidayat, warga Jakarta mengalami kejenuhan politik.
“Masyarakat Jakarta itu dekat dengan paparan isu-isu politik nasional dan mereka menjadi apatis. Apalagi hal itu tidak mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.“
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pun berkomentar atas tingginya angka golput di Jakarta.
"Ya mungkin [tingginya golput] itu karena terpengaruh, dulu ada yang mengatakan 'Ya golput saja atau pilih tiga-tiganya,' ini mungkin saja, saya tidak tahu," katanya di Yogyakarta, Kamis (28/11).
Terkait dengan rendahnya partisipasi di Jakarta, anggota KPU Jakarta Astri Megatari mengatakan pihaknya akan melakukan evaluasi.
“Berbagai upaya kami sudah lakukan untuk sosialisasi dan penyampaian informasi kepada masyarakat sudah kami lakukan secara maksimal. Hal ini tentunya akan jadi evaluasi kami ke depan,” kata Astri.
Secara umum, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya mengakui sulit untuk mencapai target partisipasi pemilih sebesar 80% di pilkada serentak.
Bima mengatakan hal itu dipengaruhi karena jumlah TPS yang terbatas sehingga pemilih kesulitan untuk datang ke TPS.
Faktor lainnya menurut Bima adalah mungkin masyarakat merasa jenuh karena rentan waktu antara pilpres, pileg dan pilkada yang dekat.
Dukungan Prabowo dan Jokowi tak berdampak
Pengamat politik UI Cecep Hidayat melihat dukungan terbuka yang diungkapkan Prabowo Subianto dan Joko Widodo ke Ridwan Kamil-Suswono di Pilkada Jakarta ternyata tidak mampu mendongkrak suara paslon itu.
“Hal itu karena pemilih Jakarta itu mandiri, melek politik dan kritis. Jadi endorsment dari elite nasional tidak pengaruh,” katanya.
Cecep mengatakan, warga Jakarta lebih fokus pada isu konkret lokal seperti masalah banjir, perumahan, dan lingkungan, daripada sosok-sosok figur nasional yang tidak relevan dalam kehidupan mereka.
Bahkan di sisi lain, Cecep melihat, kehadiran Prabowo dan Jokowi kemungkinan menjadi salah satu faktor pemicu tingginya angka golput di Jakarta.
“Karena ada polarisasi pascapilpres, 01 Anies, 02 Prabowo, 03 Ganjar ke pilkada Jakarta. Jadi ada sisa-sisa pendukung pilpres, seperti anak Abah yang membuat mereka tidak tertarik mengikuti arahan politik nasional dan memilih di pilkada Jakarta,” kata Cecep.
Titi Anggraini mengatakan, tingkat golput yang tinggi tidak mempengaruhi keabsahan pemenang Pilkada Jakarta. Pemenang pemilu ditentukan oleh suara sah, bukan jumlah golput.
Namun, tingkat golput yang tinggi memberikan pesan yang dalam bagi pemimpin yang terpilih.
“Itu akan selalu menjadi evaluasi politik dan bahkan bisa dikapitalisasi untuk merongrong legitimasi seseorang yang dipilih melalui partisipasi atau angka pengguna hak pilih yang rendah,” katanya.
“Bagi politisi dengan komitmen politik dan moralitas politik yang tinggi akan terganggu dengan situasi seperti itu. Pasti akan diikuti dengan upaya sungguh-sungguh untuk memperbaiki performa dan rekam jejak politik di masa yang akan datang". (*)
Tags : Masyarakat, Pilkada Serentak 2024, Orang Golput, Pilkada 2024, News,