Linkungan   2025/03/14 13:30 WIB

EOF, Jikalahari dan Walhi: Perusakan Hutan Terjadi Sejak 10-35 Tahun Lalu, 'yang tak Punya HGU dan Kebun Sawit di Kawasan Hutan Terus Ditindak'

EOF, Jikalahari dan Walhi: Perusakan Hutan Terjadi Sejak 10-35 Tahun Lalu, 'yang tak Punya HGU dan Kebun Sawit di Kawasan Hutan Terus Ditindak'

LINGKUNGAN - Laporan terbaru koalisi Eyes on the Forest (EoF) menemukan fakta baru bahwa mayoritas kebun sawit beropera dalam kawasan hutan berdasarkan SK Kawasan Hutan terakhir yaitu SK 903/2016.

Bahkan, berdasarkan SK Kawasan Hutan Provinsi Riau sebelumnya, 2014, 2011, dan 1986 juga menunjukkan berada di dalam Kawasan Hutan.

Ini artinya praktik pengembangan kebun sawit yang dilakukan dengan cara menebangi dan menduduki kawasan hutan sudah berlangsung sangat lama di Riau.

“Pemerintah Indonesia harus segera bertindak tegas terhadap perusahaan sawit yang diduga melakukan pelanggaran ini berupa selain sanksi administratif, penegakan pidana korupsi dan pencucian uang perlu diterapkan dalam kasus sawit dalam kawassan hutan,” kata Made Ali, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) tergabung dalam EoF (Eyes On The Forest) pada press release nya.

Dalam laporan ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu dari November 2022 hingga Januari 2023 melakukan analisa geospatial dan disusul pemantauan lapangan terhadap 46 perkebunan sawit yang diindikasikan masuk dalam Kawasan hutan di Riau.

Dari 46 kebun yang diinvestigasi, hasilnya umur kebun sawit tersebut berkisar antara 10-35 tahun. Artinya, kebun sawit ini sudah berada dalam kawasan hutan sejak Tahun 2013, jauh sebelum UUCK terbit. Laporan ini terbit setelah dua tahun pasca terbitnya laporan investigatif EoF yang bertajuk Omnibus Law Bukan Legalisasi Otomatis untuk Perkebunan Sawit Ilegal (Juni 2021).

“Cukup memprihatinkan adanya fakta kebun sawit berada dalam Arahan Pengembangan Kawasan   Kehutanan  jika mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi No. 10 Tahun 1994 . Sementara mayoritas kebun berada di Hutan Produksi dapat dikonversi (HPK) dan Hutan Produksi (HP) bahkan Hutan Lindung (HL) berdasarkan SK Kawasan Hutan Provinsi Riau No.193/2016,” ujar Nursamsu, koordinator EoF.

Dalam laporan ini juga menyajikan hasil investigasi EoF yang menunjukkan bahwa 46 unit kebun sawit, 41 di antaranya dikelola oleh perusahaan, di mana dua perusahaan milik BUMN, dua milik Sinarmas/GAR, dua milik Grup Mentari dan masing-masing dimiliki satu perusahaan: Darmex, Surya Dumai, First Resources, Adimulya, Pancadaya Perkasa, Panca Eka, Panca Putra, Bumitama Gunajaya Agro dan 27 perusahaan sisanya belum teridentifikasi kepemilikannya.

Sementara 3 unit pengelolaan dijalankan oleh Koperasi Petani (KOPNI), dan dua diantaranya diindikasikan juga dikelola oleh perusahaan; Koperasi Tani Sahabat Lestari dikelola oleh PT Sekar Bumi Alam Lestari (grup KLK), dan Koperasi Sentral Tani Makmur Mandiri masuk ke dalam wilayah PT CSL Johannes.

Dua unit dimiliki oleh CV yang salah satunya merupakan anak dari BUMN. EoF menganalisa dengan menggunakan peta Kawasan Hutan, dan juga merujuk pada data Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Tahun 1994 dan 2018.

Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengungkapkan banyak ditemukan perusahaan sawit yang belum memiliki izin, seperti izin lokasi, izin usaha perkebunan, dan hak guna usaha.

Satgas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara menegaskan, pemilik lahan sawit harus melaporkan asetnya.

Pemilik lahan dapat melaporkan asetnya ke Satgas melalui pelaporan mandiri atas kondisi lahan perkebunan disertai bukti izin usaha yang dimiliki guna mengoptimalisasikan penerimaan negara. 

EoF mengharapkan perusahaan yang menjalani skema sanksi administratif untuk juga bertanggungjawab terhadap pemulihan kawasan hutan lindung dan konservasi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

“Kami meminta adanya transparansi dalam penyelesaian masalah kebun sawit dalam kawasan hutan, sehingga diharapkan lebih banyak pendapatan keuangan negara yang terselamatkan,” Boy Even Sembiring, Direktur WALHI Riau.

“Dan pemulihan ekosistem akan membantu tercapainya target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. Satgas yang dipimpin Luhut Panjaitan diminta untuk menjelaskan kepada publik sudah berapa banyak pajak yang didapatkan Negara dari proses penyelesaian sawit dalam Kawasan hingga saat ini, tambah Boy Sembiring."

Publikasi Laporan seri kedua ini juga menyigi kebun sawit ilegal dan keterkaitannya dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UUCK tahun 2023).

Pada UUCK tahun 2023 Pasal 110A disebutkan: Di mana kegiatan usaha di dalam kawasan hutan dan memiliki Perizinan Berusaha sebelum berlakunya UU ini dan belum memenuhi, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tanggal 2 November 2023.

Jika sudah lewat tenggat waktu tersebut, kegiatan usaha tidak menyelesaikan izin yang diwajibkan, akan dikenakan sanksi administratif, berupa: penghentian sementara kegiatan usaha, denda administratif; dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha.

Eyes on the Forest mendesak pemerintah untuk menghukum perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam investigasi ini, tidak hanya dengan menggunakan instrumen pasal 110 A dan 110 B, namun juga memakai dakwaan tindak pidana korupsi.  

“Keberhasilan Kejaksaan Agung menuntut Surya Darmadi pemilik grup sawit Darmex, hingga ia dihukum 15 tahun penjara, menunjukkan kasus sawit dalam kawasan juga bisa  secara pidana, apalagi jika kejahatan itu terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.

“Upaya kubu Surya Darmadi yang seakan berlindung di balik pasal 110 A UUCK atas dakwaan kasus korupsi perizinan sawit dalam kawasan di Riau ditolak mentah-mentah oleh majelis hakim tipikor.“

Sementara itu, industri sawit juga terkena kasus kelangkaan minyak goreng dimana tiga grup besar Wilmar, Musim Mas dan Permata grup telah dihukum pengadilan --selain beberapa nama personal pejabat dan eksekutif perusahaan—karena dianggap bersalah atas kelangkaan minyak goreng di negeri ini beberapa waktu lalu.

Kebun sawit yang belum miliki HGU diber sanksi

Masa Gubernur Riau (Gubri), dijabat Edy Natar Nasution sebagai tim satgas penertiban kebun sawit memaparkan ada sekitar 273 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di 12 kabupaten/kota se-Provinsi Riau.

Ratusan perusahaan tersebut menguasai Izin Usaha Perkebunan (IUP) seluas 1,739,300.85 hektare (Ha). 

Hanya saja dari luas perkebunan 1,7 juta Ha lebih tersebut, baru 145 perusahaan perkebunan sawit yang mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) atau sebanyak 53 persen, dengan luas lahan 992.992,02 Ha atau baru 57 persen. 

Edy Natar Nasution saat membahas persoalan konflik lahan dengan perusahaan perkebunan sawit dan bupati/wali kota se-Provinsi Riau, Rabu 24 Januari 2024 di Gedung Daerah Riau, Pekanbaru. 

Gubri mengatakan, luas lahan perkebunan sawit di Riau seluas 3,3 juta Ha atau 20,08 persen dari luas sawit secara nasional 16,3 juta Ha lebih. 

"Ini artinya luas lahan sawit di Riau paling terluas di Indonesia. Dari angka itu, perizinan  sawit di Riau ada seluas 1,7 juta Ha lebih, dengan jumlah perusahaan terdaftar 273 perusahaan. Sementara yang sudah memiliki HGU baru 145 perusahaan atau 53 persen," jelas Gubri. 

"Adapun perusahaan yang belum memiliki HGU ada sebanyak 128 perusahaan atau 47 persen, dengan luas lahan seluas 746.100,12 Ha atau setara dengan 43 persen. Ini kalau kita cermati merupakan persoalan tersendiri," sambung Gubri. 

Dari data tersebut, Gubri menilai banyak perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di Riau ini yang belum memiliki HGU, namun tetap menikmati hasil sawitnya. 

"Ini kan sebuah penyimpangan dan pelanggaran. Seharusnya hal-hal seperti ini tidak boleh lagi terjadi, kalau kita ada kesadaran yang baik. Itu baru soal izin. Belum lagi kita bicara soal kewajiban perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi. Di mana berkewajiban melaksanakan fasilitas pembangunan kebun sawit untuk masyarakat," tegas Gubri. 

"Saat ini perusahaan perkebunan sawit yang baru melaksanakan partisipasi pembangunan kebun sawit masyarakat baru 56 perusahaan dari 273 perusahaan (20 persen) setara dengan 298.357,66 Ha, dari total lahan seluas 1,7 juta Ha lebih," tutup Gubri. (*)

Tags : hutan, riau, eof, Jikalahari dan Walhi, perusakan hutan di riau, kebun sawit tak Punya hgu, hak guna usaha, kawasan hutan, perusahaan tak punya hgu diberi sanksi administrasi,