ETNIS TIONGHOA di Indonesia memiliki sejarah yang rumit di balik nama mereka. Pada masa kolonial Belanda mereka mendapat perlakuan berbeda. Pun ketika Orde Baru berkuasa, etnis Tionghoa di bawah tekanan untuk membuktikan ke-Indonesian-an mereka lewat kebijakan asimilasi.
Puluhan aturan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa dikeluarkan oleh pemerintahan Presiden Soeharto, mulai dari aspek sosial seperti mengubah nama mereka menjadi nama Indonesia, melarang perayaan Imlek di muka umum, hingga penerapan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI) pada warga keturunan Tionghoa.
Setelah aturan asimilasi dicabut usai Orde Baru lengser, kebanyakan keturunan etnis Tionghoa di Indonesia memiliki dua nama, yang melambangkan dua identitas mereka sebagai orang Tionghoa dan Indonesia. Tetapi, ada pula yang tidak memiliki nama Tionghoa lantaran tercerabut dari akar budaya mereka.
Identitas dan akar budayanya sebagai keturunan Tionghoa di Indonesia dengan menilik latar belakang keluarga serta menemui pakar dan berbagai generasi etnis Tionghoa di Indonesia.
‘Kita tinggal di Indonesia, jadi pakai nama bahasa Indonesia’
Pertama kali saya mulai memikirkan nama ‘lain’ adalah ketika saya menonton film Past Lives. Dalam film itu, karakter Na Young – yang diperankan oleh aktris Greta Lee – dan keluarganya akan pindah ke Amerika Serikat sebagai diaspora Korea Selatan.
Ia dan adiknya diminta memilih nama Barat untuk digunakan saat memulai kehidupan baru mereka di AS. Ia memilih nama Nora Moon.
Serupa dengan yang dialami diaspora Korea Selatan tersebut, warga keturunan Tionghoa di Indonesia juga memiliki dua nama – dengan alasan yang berbeda.
Melihat adegan itu, saya menjadi tertarik untuk mencari tahu lebih dalam tentang makna nama Tionghoa yang dimiliki oleh kebanyakan teman dan kerabat saya.
Setiap kali saya bertanya kepada teman-teman saya yang keturunan Tionghoa-Indonesia mengenai apa nama Tionghoa mereka, mereka terkejut karena jarang sekali ada yang menanyakan itu.
Meski begitu, mereka selalu terdengar bangga ketika menjelaskan arti dari nama Tionghoa tersebut.
Saya yang sejak lahir hanya memiliki nama Indonesia, bertanya-tanya mengapa ayah dan ibu tak memberi saya nama Tionghoa. Itu membuat rasa penasaran saya tentang latar belakang keluarga saya berkecamuk.
Saya mencoba mencari jawaban dengan mengunjungi nenek dari pihak ibu.
Memasuki ruang tamu, saya melihat salib yang diletakan dalam vas Tionghoa berukiran biru. Ada pula tempelan kelinci dengan latar merah yang dipajang di kulkas. Hiasan bekas Imlek tahun lalu yang masih belum dicopot.
Saya duduk di bangku samping nenek, yang dikenal di keluarga sebagai Omah Eng, atau Tan Giok Eng (陈玉英). Meskipun, namanya di kartu tanda penduduk (KTP) adalah Indrajati. Saya bertanya kepada nenek, apa nama Tionghoa ibu saya.
“Lay Ai Len (赖爱连),” kata nenek sambil tersenyum. “Artinya, nakhoda kapal cinta.”
Karena penasaran, saya bertanya kepada ibu saya, mengapa saya dan adik tidak diberi nama Tionghoa.
“Di zaman sekarang, nama Tionghoa dirasa sudah tidak diperlukan lagi. Jadi praktis saja, kita tinggal di Indonesia. Jadi pakai nama bahasa Indonesia,” jawab ibu saya yang diberi nama Helen dari Ai Len.
Ia menjelaskan bahwa ia dan ayah saya juga tidak mengerti bahasa Mandarin, berbeda dengan kakek-nenek mereka. Sehingga, sulit untuk memberikan anak nama Tionghoa.
“Karena dari kita nggak ada yang bisa ajarin [bahasa Mandarin], jadi kita sarankan kalian les atau ekskul (ekstra kurikuler) Mandarin,” ujarnya.
‘Generasi yang terputus dari akar tradisi nenek moyang’
Keingintahuan saya tentang mengapa banyak warga Tionghoa di Indonesia enggan menggunakan nama Tionghoa membawa saya untuk berbincang dengan Johanes Herlijanto, pengamat kebudayaan dari Universitas Pelita Harapan di Jakarta.
Kepada saya, dia mengatakan bahwa pemberian nama Tionghoa dalam keluarga-keluarga Tionghoa kian lama kian pudar lantaran peraturan ganti nama yang sempat diterapkan pada masa Orde Baru.
“Mungkin secara resmi sudah tidak [dipakai] lagi sama sekali. Coba siapa yang masih menggunakan nama Tionghoa-nya di Indonesia secara resmi? Misalnya yang menggunakan tiga huruf, yang tua-tua pun tidak terlalu banyak,” kata Johanes.
Johannes mengatakan, penggantian nama Tionghoa tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain yang memiliki diaspora Tionghoa atau peranakan. Contohnya di Malaysia, Singapura atau Amerika Serikat.
Namun, berbeda dengan Indonesia, nama pertama yang diberikan kepada mereka berupa nama Tionghoa yang mereka tuliskan lengkap dengan tulisan Mandarin alias hanzi.
“Kalau di Indonesia sekarang sudah sampai pada tahap di mana nama pertama yang diberikan itu adalah nama non-Tionghoa,” jelas Johanes, yang juga merupakan Kepala Forum Sinologi Indonesia (FSI).
“Nama pertama itu yang ditulis di akta lahir, baru setelah sudah besar, neneknya bilang atau mungkin ada keluarga sepupu yang sarankan kasih nama China,” ujarnya kemudian.
Biasanya, kata Johannes kemudian, nama Tionghoa dibuat dengan aturan-aturan tertentu. Huruf pertama dalam nama Tionghoa menandakan marga, sedangkan huruf kedua dibuat sama untuk satu generasi (laki-laki dan perempuan dibedakan). Adapun huruf ketiga merupakan nama unik yang diberikan kepada pemilik nama.
“Misalnya Lee Hsien Loong. Kalau menurut tradisi Tionghoa, Lee itu marga. Lalu Hsien, nama di tengah yang harus sama dengan sepupu-sepupu [laki-laki] dia. Sepupunya yang satu generasi pakai Hsien semua.”
Ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan pada 1965 dan secara resmi menjadi presiden setahun setelahnya, masyarakat Tionghoa-Indonesia berada dalam tekanan untuk membuktikan ke-Indonesia-an mereka.
Rezim tersebut memperkenalkan beberapa kebijakan yang menekan masyarakat Tionghoa-Indonesia dalam strategi yang dikenal sebagai asimilasi.
Pada zaman Orde Baru, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 240 Tahun 1967 yang menegaskan bahwa orang-orang Tionghoa yang telah berkewarganegaraan Indonesia harus "melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial".
Peraturan tersebut menganjurkan agar "nama-nama China" diganti sesuai dengan proses penggantian "nama-nama perseorangan dan nama keluarga Tjina" bagi warga Tionghoa-Indonesia yang tertera dalam Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 127 Tahun 1966.
Dalam buku Pribumi, Minoritas Tionghoa, dan China (2023) yang ditulis oleh Leo Suryadinata, ia menjelaskan bahwa Soeharto mengeluarkan kebijakan itu karena ia curiga akan orientasi politik orang Tionghoa di Indonesia.
Sebab, pemerintahan Soeharto menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang disokong China menjadi dalang di balik tragedi 1965. Oleh karena itu, pemerintah meminta warga Tionghoa-Indonesia yang belum mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia menjalani proses naturalisasi.
Salah satu caranya adalah dengan mengeluarkan peraturan yang memerintahkan orang Indonesia keturunan Tionghoa untuk mengubah nama mereka menjadi nama yang bernuansa Indonesia.
Kebijakan diskriminatif lainnya termasuk larangan merayakan Tahun Baru Imlek di muka umum, larangan berbicara bahasa Mandarin, serta larangan mengamalkan kepercayaan mereka.
Akibatnya, Generasi X yang lahir setelah 1965 akhirnya kurang memahami budaya Tionghoa – termasuk bahasa Mandarin – karena tidak diajarkan oleh orang tua mereka.
“Generasi itu generasi terputus dari akar tradisi nenek moyang dan sebagainya. Sehingga mungkin tidak terlalu banyak yang memahami. Mungkin mereka juga tidak tahu bahasa Mandarin,” kata Johanes.
Diskriminasi yang dihadapi Gen X keturunan Tionghoa
Salah satu generasi X keturunan Tionghoa di Indonesia yang lahir setelah kebijakan asimilasi paksa itu adalah Soe Tjen Marching, penulis buku The End of Silence, Accounts of the 1965 Genocide in Indonesia dan Dosen Bahasa dan Kebudayaan di SOAS University of London, Soe Tjen Marching.
Kepada saya dia mengaku merasakan sendiri bagaimana hidupnya berubah pasca-tragedi 1965 saat ia tumbuh besar di Indonesia.
Soe Tjen berasal dari keluarga keturunan Tionghoa yang sudah bercampur baur dengan Jawa. Ayah Soe Tjen ditahan dan disiksa selama tiga tahun karena menjadi pengurus Partai Komunis Indonesia di Surabaya.
Saat pemerintah Orde Baru mengharuskan warga Tionghoa mengubah nama menjadi nama Indonesia, ayah Soe Tjen mengubah namanya menjadi Indonesia. Akan tetapi, dia memutuskan untuk mempertahankan nama Tionghoa anak-anaknya.
Soe Tjen mengaku sempat merasa malu dengan nama pemberian ayahnya. Karena ia sempat diejek dan dirundung oleh teman-teman sebayanya, sejak ia TK hingga SMA.
“Karena nama yang lain itu biasanya nama Barat atau nama Jawa, yang enggak aneh-aneh. Ini nama saya kok aneh sendiri, jadi sempat malu sekali,” kata Soe Tjen kepada saya.
Soe Tjen mengaku sempat merasa malu dengan nama pemberian ayahnya. Karena ia sempat diejek dan dirundung oleh teman-teman sebayanya, sejak ia TK hingga SMA.
“Karena nama yang lain itu biasanya nama Barat atau nama Jawa, yang enggak aneh-aneh. Ini nama saya kok aneh sendiri, jadi sempat malu sekali,” kata Soe Tjen kepada saya.
Setelah belajar lebih banyak tentang budaya Tionghoa-Indonesia dan sejarah, Soe Tjen merasa bangga memiliki nama itu yang ia anggap sebagai warisan keluarga.
”Paling tidak ada sesuatu yang tidak hilang dari tradisi yang ingin ditinggalkan oleh ayah saya,” ujarnya.
Nama Tionghoa lengkap Soe Tjen adalah Huang Shi Jian (黄失箭), yang berarti anak panah yang melesat sangat jauh, ditambah dengan marga Huang. Barulah setelah ganti nama, nama belakang Marching ditambahkan.
”Dulu, ayah saya mengidolakan Mao Zedong, meskipun saya tidak. Jadi Marching itu dari long march-nya Mao Zedong,” katanya.
Soe Tjen menjelaskan bahwa peraturan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa sebetulnya tak dimulai di era Orde Baru saja, akan tetapi sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Saat itu, masyarakat Tionghoa dan masyarakat lokal dipaksa hidup terpisah.
Bahkan, masyarakat Tionghoa diwajibkan memiliki KTP khusus dan tinggal di permukiman khusus warga Tionghoa, yang kini menjadi daerah pecinan alias Chinatown.
”Mereka langsung mengisolasi orang Tionghoa dan mendirikan Chinatown. Supaya orang Tionghoa tidak bercampur dengan orang lokal dan membentuk kerja sama,” katanya.
Kemudian, peraturan tersebut dilanjutkan di masa pemerintahan Presiden Soekarno dan selanjutnya, pada era pemerintahan Presiden Soeharto.
”Waktu zaman Soeharto lebih parah, karena tidak hanya dipaksa ganti nama, tetapi juga penggunaan karakter Tionghoa dilarang, perayaan Imlek dilarang.”
Meskipun ayah Soe Tjen cukup fasih berbahasa Mandarin dan ibunya pun seorang guru bahasa Mandarin, Soe Tjen mengatakan ia dan saudara-saudarinya tidak pernah diajarkan atau menggunakan bahasa Mandarin di rumah.
”Mereka tidak mengajarkan bahasa Mandarin ke anak-anaknya karena mereka takut. Sangat ketakutan karena papa saya juga mantan tapol [tahanan politik], jadi harus hati-hati. Jadi saya enggak bisa bahasa Mandarin.
”Saya kehilangan kesempatan untuk [belajar bahasa] itu. Jadi sangat-sangat [menyayangkan]. Kalau ingat-ingat itu masih jengkel saya,” ungkap Soe Tjen.
Ia mengatakan pemerintah saat itu berusaha untuk menghapus identitas Tionghoa dengan memaksakan proses asimilasi lewat peraturan-peraturan ganti nama, pelarangan bahasa serta perayaan dan tradisi Tionghoa.
“Kalau mereka mau ganti nama tanpa ada paksaan, bagi saya itu tidak masalah. Itu hak seseorang. Yang jadi masalah itu kalau ada pemaksaan. Dan waktu Orde Baru, ini ada pemaksaan,“ ujar Soe Tjen.
Diminta SBKRI meskipun sudah lahir dan besar di Indonesia
Berbeda dengan Soe Tjen Marching, jurnalis sekaligus Direktur Eksekutif Project Multatuli, Evi Mariani, sudah memiliki nama Indonesia sejak kecil.
Evi mengatakan ayahnya memberikan nama Tionghoa karena sempat belajar bahasa Mandarin di sekolah Taiwan di Jakarta.
”Marga papa itu Zhu, jadi [namanya] Zhu Ai Huey. Dia bilang itu artinya sinar cinta dan semua ada Huey-nya. Terus dia iseng juga, cucu-cucunya, anakku sama dia dikasih juga,” kata Evi ketika saya temui di kantor Project Multatuli di Jakarta.
Kedua orang tua Evi lahir dengan nama Tionghoa. Namun, mereka terpaksa ganti nama menjadi nama Indonesia dan mengurus Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
“Saya lihat sendiri surat-surat itu, ada surat namanya Surat Ganti Nama. Enggak ada suku lain di Indonesia yang punya dokumen semacam itu. Itu khusus banget Tionghoa. Itu papa, mama, kakek saya pun juga punya surat ganti nama buat bukti [mereka Indonesia],” kata Evi.
Saat Evi menjadi mahasiswa pada 1994, ia sempat dipersulit ketika hendak membuat Surat Mahasiswa di kampusnya. Pasalnya, petugas administrasi saat itu meminta agar Evi menyediakan SBKRI. Meskipun, sebenarnya Evi tidak perlu membuat SBKRI.
Pada 1996, pemerintah menghapus kewajiban warga Tionghoa memiliki SBKRI.
“Karena saya lahir dari seorang Indonesia, lahirnya di Indonesia, sebenarnya otomatis saya orang Indonesia. Enggak perlu punya SBKRI sebenarnya. Tapi itu dia ingin duit, belakangan saya sadar itu,” sebut Evi.
Ia menceritakan bahwa banyak teman-temannya yang keturunan Tionghoa-Indonesia ketika bepergian ke luar negeri, selalu dipersulit di bagian imigrasi. Mereka harus menyediakan berbagai macam dokumen untuk membuktikan kewarganegaraan Indonesia mereka
Menurut Evi, nasionalisme kaum Tionghoa-Indonesia selalu dipertanyakan. Padahal, sebagian besar dari generasinya lahir dan besar di Indonesia, namun selalu dituntut untuk membuktikan nasionalisme mereka.
Hingga pada masa era Orde Baru, muncul gerakan asimilasi dan integrasi yang sempat membuat opini masyarakat Tionghoa-Indonesia terpecah.
Kelompok asimilasi terdiri dari tokoh-tokoh Tionghoa-Indonesia yang menyetujui untuk mengganti nama Tionghoa menjadi nama Indonesia. Mereka menginginkan proses asimilasi yang dilakukan atas kesadaran diri.
Para pendukung asimilasi percaya bahwa orang Tionghoa-Indonesia tidak akan pernah benar-benar menjadi orang Indonesia jika tidak melepaskan budaya dan kebiasaan yang membedakan mereka dengan orang Indonesia lainnya.
Di sisi lain, kelompok integrasi percaya bahwa orang Tionghoa sebaiknya dipandang sebagai entitas etnis, hendaknya diakui sebagai bagian dari Indonesia, seperti suku-suku lain yang membentuk Indonesia.
Pada era Orde baru, aliran asimilasi mendapatkan dukungan yang kuat dari negara. Sementara kelompok integrasi diidentikkan dengan kelompok yang pro-Beijing atau dekat dengan komunisme.
Oleh karena itu, negara mengeluarkan peraturan-peraturan yang melarang bahasa dan budaya China digunakan di ruang publik.
Padahal, salah satu ciri dari integrasi adalah dibebaskannya suatu etnis atau suku untuk menggunakan budaya dan bahasanya di ruang publik.
Meskipun sekarang sudah tidak ada peraturan yang melarang penggunaan nama Tionghoa, Evi mengakui bahwa orang tua zaman sekarang masih lebih memilih memberikan nama yang bernuansa Barat atau Indonesia. Sama seperti yang terjadi pada zaman dia kecil.
“Dulu pas zamanku, orang pertama yang menggunakan nama Tionghoa dalam nama Indonesianya itu temanku, dan waktu itu lumayan berani untuk menggunakan nama marganya.
“Nama depan kebarat-baratan terus belakang pakai nama marga China itu sesuatu yang wow berani banget dan keren pada saat itu,” kata Evi.
Persatuan marga Tionghoa-Indonesia dibentuk
Penelusuran identitas dan akar budaya Tionghoa membawa saya berjumpa dengan Eddy Sadeli, penulis buku bertajuk Daftar Marga Tionghoa di Jakarta.
Setelah kerusuhan 1998 – yang sebagian besar menyasar keturunan Tionghoa di Indonesia – Eddy mendirikan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) dengan beberapa alasan; di antaranya untuk mempersatukan golongan Tionghoa seluruh Indonesia, mempertahankan adat istiadat Tionghoa, menyelesaikan konflik antara WNI etnis Tionghoa dengan etnis lainnya.
Pria berusia 84 tahun itu mengungkapkan sebagian besar keturunan Tionghoa di Indonesia memilih memberi nama anak-anak mereka dengan nama Indonesia agar mudah berbaur dengan suku dan etnis lainnya.
“Pada umumnya, sekarang WNI etnis Tionghoa untuk anak-anaknya pada waktu bikin akta kelahiran pakai nama Indonesia untuk memudahkan bergaul dengan WNI etnis Melayu,” katanya.
Eddy menjelaskan bahwa Indonesia menganut asas kewarganegaraan ius soli, yang artinya kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan tempat kelahirannya.
Sementara, Taiwan dan China menganut asas ius sanguinis, asas kewarganegaraan yang ditentukan berdasarkan keturunan orang tersebut.
“Negara RRT (Republik Rakyat Tiongkok) dan Taiwan ketika WNI etnis Tionghoa minta visa, dimintakan nama Tionghoa-nya karena negara RRT dan Taiwan menganut ius sanguinis,” ungkap Eddy.
Sebelum Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, banyak warga Tionghoa-Indonesia yang terpecah antara dua kewarganegaraan karena perbedaan prinsip yang diterapkan di Tiongkok dan pemerintah kolonial Belanda yang menerapkan asas kewarganegaraan ius soli.
Oleh karena itu, pada 1958 ketika Orde Lama berkuasa, muncul perjanjian antara Indonesia dan China agar orang Tionghoa yang lahir di Indonesia diminta untuk memilih salah satu kewarganegaraan, yakni menjadi warga negara Indonesia atau warga negara China.
Pada bulan Maret 1978, pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang mewajibkan “setiap warganegara yang perlu membuktikan kewarganegaraannya” untuk mengajukan permohonan untuk mendapatkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
Warga Tionghoa-Indonesia yang memilih kewarganegaraan Indonesia kemudian diminta untuk mengganti nama dan membuat SBKRI agar dapat tetap tinggal di Indonesia.
Berdasarkan bukunya, Eddy mencatat ada sekitar 167 marga Tionghoa yang digunakan di Indonesia.
Menurut Ardy Susanto Oey, wakil sekretaris PSMTI, memiliki marga dapat membantu masyarakat Tionghoa-Indonesia untuk terhubung dengan diaspora Tionghoa lainnya, baik dalam maupun luar negeri.
“Nama [Tionghoa] masih signifikan bagi saya, sehingga teman-teman tahu mungkin ratusan sampai ribuan tahun yang lalu mereka bersaudara, sehingga itu memperkecil timbulnya kesalahpahaman di antara orang. Ada chemistry yang membuat hal negatif itu berkurang,” kata Ardy.
Kini, beberapa masyarakat Tionghoa-Indonesia memilih untuk menyelipkan marga Tionghoa mereka ke dalam nama belakang Indonesia.
Berikut beberapa contoh yang dilansir dari Ganti Nama di Kalangan Keturunan Tionghoa oleh Irzanti Susanto:
Ardy, yang lahir pada 1980, merasa generasinya “kehilangan“ karena selama lebih dari dua dekade, budaya Tionghoa dan bahasanya sempat hilang akibat peraturan asimilasi. Ia sendiri juga tidak diberikan nama Tionghoa saat lahir.
Meski begitu, ia percaya bahwa generasi muda setelahnya semakin giat dan bangga mengenal lebih dalam tentang identitas Tionghoa-Indonesia mereka.
“Hari ini, kita enggak bisa bilang orang tua yang lebih mengerti. Sekarang anak muda yang lebih mengerti, anak saya lebih mengerti daripada saya mengenai bahasa Mandarin tentunya. Beda, kita ini lost generation,“ ungkap Ardy yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI).
Generasi Z yang membangkitkan kembali identitas mereka
Penjelasan Ardy ada benarnya. Setidaknya, kesan itu saya dapatkan ketika berjumpa dengan Mathea Ming, transpuan keturunan Tionghoa-Indonesia yang sebaya dengan saya.
Mathea Ming mengaku memilih untuk mengintegrasikan nama Tionghoa-nya ke dalam namanya karena ia sejak kecil lebih sering dipanggil dengan nama Tionghoanya.
“Jadi saya sebenarnya suka dengan nama Tionghoa-ku, Ming. Dan terdengar lucu juga, Ming Ming. Ketika orang memanggilku Ming Ming, saya lebih senang,” kata Mathea ketika saya berjumpa dengannya di sebuah toko perabotan di Alam Sutera, Tangerang, Banten.
Di sana sudah ada banyak perabotan rumah tangga yang bernuansa merah dengan ornamen naga, menyambut Imlek yang akan segera tiba pada 10 Februari nanti. Mathea berjalan melewati marka bertuliskan Gong Xi Fa Chai sebelum kemudian duduk di sofa yang kosong.
Mathea menjelaskan bahwa nama Tionghoanya, yakni Wu Ye Ming (吳业明), artinya karier cemerlang. Orang tuanya memang sengaja memilih nama itu dengan harapan agar masa depannya indah.
Mathea sekarang bekerja sebagai pengembang gim di sebuah perusahaan ternama, pekerjaan yang ia sudah impikan sejak SMP.
“Saya merasa itu bukan hanya karena keberuntungan tetapi juga karena kerja keras saya,“ ungkapnya.
Berbeda dengan nama Tionghoa-nya yang mengandung arti khusus, menurut Mathea, nama lahirnya atau dead name tidak memiliki arti spesifik dan hanyalah sebuah “nama Barat pasaran“.
Dead name merupakan istilah bahasa inggris yang digunakan untuk menyebut nama lama seorang transpuan sebelum transisi yang mereka anggap sudah 'dead' atau mati.
Namun, nama yang tertera di KTP-nya tetap nama lamanya.
Mathea sebenarnya ingin mengubah nama resminya menjadi yang lebih sesuai dengan identitasnya sebagai transpuan Tionghoa-Indonesia, tetapi ia menyadari proses itu akan rumit.
“Karena bagi saya, nama adalah identitas ke diri sendiri. Jadi terserah dirimu, kalau misalnya Anda merasa identitasmu terkait dengan nama Tionghoa, ya silakan saja dipakai,” ujar Mathea.
Ia mengatakan bahwa dalam lingkup pertemanannya, banyak yang memiliki nama Tionghoa dan beberapa di antaranya lebih sering menggunakan nama Tionghoa sebagai nama panggilan akrab.
“Saya sempat tanyakan ke teman-temanku di grup Discord "nama Chinese kalian apa? Ayo kita tulis nama tampilan kita sebagai hanzi nama Chinese supaya orang bingung,” kata Mathea sambil tertawa.
“Dan lumayan banyak yang melakukannya.”
Sentimen yang sama juga dimiliki oleh Charlenne Kayla Roeslie dari Suara Peranakan, sebuah kolektif yang memperkenalkan budaya dan identitas Tionghoa-Indonesia lewat media sosial.
Ia menaruh nama Tionghoanya dalam huruf hanzi di samping nama Indonesianya pada akun Instagramnya.
Charlenne mengatakan keputusan untuk memperkenalkan diri dengan kedua nama itu muncul setelah ia belajar untuk menerima identitasnya sebagai Tionghoa-Indonesia.
“[Sebelumnya], ada pergulatan identitas, apakah saya Tionghoa atau Indonesia? Selama berada di Indonesia, walaupun saya lahir dan seumur hidup di sini, Saya enggak pernah merasa benar-benar di rumah karena selalu dibanding-bandingkan.
“Salah satu cara saya mencoba menerima kedua identitas itu adalah dengan menaruh nama Tionghoa saya di tempat-tempat yang terlihat. Saya tidak mau lagi menghapus identitas ke-Tionghoa-an dari dalam diri saya,” ungkap Charlenne.
Nama Tionghoa Charlenne adalah Li Zi Yi (李滋羿), yang diambil dari dongeng tradisional Tionghoa tentang kue bulan.
“Artinya Zi Yi itu bertumbuh dan Yi itu dari legenda Tionghoa, kalau tahu legenda soal kue bulan. Yi itu sama persis dengan Yi dalam nama Hou Yi, yang menembak mata hari,” katanya.
Apakah masih perlu memiliki nama Tionghoa?
Pengamat kebudayaan Universitas Pelita Harapan, Johanes Herlijanto, mengatakan bahwa dengan perkembangan budaya dan perubahan dalam masyarakat, cara seseorang mengekspresikan identitasnya pun tidak bisa hanya dilihat dari satu kategori.
Menurut Johanes, dengan percampuran budaya dan suku yang terjadi secara organik, tidak ada lagi pembedaan antara Tionghoa-Indonesia yang “totok” atau “peranakan”. Semua bisa disebut Tionghoa-Indonesia karena itulah identitas mereka.
Sebab, sambungnya, identitas itu sifatnya terus mengalir dan setiap orang berhak untuk mengekspresikan identitasnya dengan caranya sendiri.
“Sekarang apakah orang-orang Tionghoa di Jakarta yang tidak lagi pakai nama Tionghoa atau menggunakan bahasa Mandarin, tetapi masih menjalankan sebagian tradisi Tionghoa. Apakah mereka Tionghoa atau bukan?
“Mereka berhak untuk menyebut dirinya Tionghoa meskipun tidak punya nama China. Atau menyebut dirinya China pun berhak,” sebut Johanes.
Meskipun penggunaan nama Tionghoa sempat dihapus dengan peraturan asimilasi, jurnalis Tionghoa-Indonesia, Evi Mariani menilai keinginan untuk mempertahankan identitas Tionghoa masih terlihat dari nama belakang Indonesia yang diselipkan marga Tionghoa.
”Se-Indonesia-Indonesianya namaku, aku tetap China. Tetap ada siasat yang lebih tersembunyi kalau zaman dulu karena lebih takut. Tapi keinginan untuk keluarkan identitas dan secara kultural megang apa yang diwariskan oleh keluarga itu tetap ada,” ujar Evi.
Senada dengan Johanes, Evi mengatakan budaya Tionghoa-Indonesia sudah berasimilasi secara organik, bercampur dengan berbagai macam suku, bahasa dan bahkan makanan yang ada di Indonesia. Sehingga menghasilkan budaya yang sangat kaya.
”Setiap kali saya merayakan Imlek, seumur hidupku sejak masih kecil banget, keluargaku enggak pernah makan makanan China. Kita selalu makan makanan Sunda.
”Karena tempat kumpul keluarga itu di tempat kakak ibu saya yang suaminya punya rumah makan Sunda yang lumayan terkenal, sesimpel itu,” ujar Evi.
Setelah berbicara dengan tokoh-tokoh Tionghoa-Indonesia dari berbagai generasi mengenai perspektif mereka tentang identitas dan nama Tionghoa, saya memberanikan diri untuk datang kepada nenek dan meminta tolong kepadanya untuk memberikan saya nama Tionghoa.
Awalnya ia sempat ragu untuk memberikan saya nama Tionghoa, karena ia merasa hidup lebih mudah jika memiliki nama Indonesia, ketimbang nama Tionghoa.
”[Kalian] sudah [punya] nama Indonesia, lebih enak sekarang. Biar gampang, biar gampang,” kata nenek dengan lembut.
Tetapi saya coba sekali lagi untuk bertanya apa nama Tionghoa yang nenek rasa cocok untuk saya.
”Chen Jin Li,” ucap nenek dengan sangat cepat. Seperti memberikan kesan bahwa ia sudah mempersiapkannya sejak lama.
“Artinya emas yang cantik. Beda sama cakep ya. Tapi Li itu artinya cantik.”
Ia kemudian menuliskan nama itu dalam guratan huruf Mandarin pada sebuah halaman majalah gereja dan memberikannya kepada saya: 陈金丽. (*)
Tags : etnis tionghoa, sejarah rumit tionghoa di indonesia, dibalik nama tionghoa, pergulatan identitas tionghoa, cina, hubungan ras dan etnis, Seni Budaya,