RELAWAN dalam pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota tetap ada, tetapi bisakah mereka ikut menekan politik uang?.
Eksistensi relawan politik yang bermetamorfosis menjadi partai bayangan menjadi tantangan penyelenggara dan peserta di pemilukada. Pengaturan relawan politik perlu dilakukan sebagai wujud pengelolaan partisipasi publik.
Relawan politik dalam lanskap politik Indonesia kian menempati posisi penting. Relawan politik dalam perkembangannya turut serta dalam proses penentuan jabatan publik melalui jalur pemilihan [political elected] ataupun dalam penempatan jabatan publik melalui jalur penunjukan [political appointed].
Belakangan, preferensi politik relawan politik dinantikan, bahkan direbutkan, karena dinilai menjadi penentu elektabilitas kandidat.
Sejatinya, relawan politik merupakan manifestasi dari keterlibatan warga [civic engagement] dalam aktivitas politik di ruang publik.
Nina Eliashop [2013] menyebutkan relawan politik memiliki kecenderungan untuk menyelesaikan persoalan secara langsung pada obyek yang dituju.
Dalam konteks ini, relawan politik bekerja di area gagasan dan ide yang beririsan dengan kebijakan publik.
Rene Bekers [2005] menekankan, relawan tidak sekadar pada ranah advokasi politik yang terkait langsung dengan urusan mereka, tetapi juga manifestasi dari ekspresi identitas sosial, yang bertujuan untuk berkontribusi bagi orang lain, serta meningkatkan peluang pasar tenaga kerja di waktu mendatang.
Namun, dalam praktik di lapangan, aktivitas relawan politik semakin menyempit.
Alih-alih membincangkan soal gagasan dan ide, area kerja relawan disederhanakan pada urusan individu tokoh politik.
Kerja relawan politik disimplifikasi pada area dukungan terhadap figur politik yang hendak maju dalam kontestasi elektoral.
Di titik inilah, aktivitas relawan politik tak terhindarkan pada urusan mobilisasi massa, mengumpulkan dana, dan mengelola isu.
Esensi area kerja relawan politik yang hakikatnya di tataran ide, konsep, dan aksi menjadi tereduksi.
Keberadaan relawan politik menempati posisi penting dalam proses pemilihan [pre-election] ataupun pascapemilihan [post-election].
Dalam proses elektoral, relawan politik melakukan apa yang dilakukan partai politik, seperti penggalangan massa, penggalangan dana, dan penggalangan isu.
Begitu juga pascaelektoral, relawan politik menjadi pintu masuk rekrutmen jabatan publik, baik dalam penentuan maupun pengisian jabatan publik.
Dalam konteks tersebut, tugas dan fungsi relawan politik nyatanya seperti partai politik.
Maka tak berlebihan bila menempatkan relawan politik, meski konteks dan latar politik berbeda, meminjam istilah yang pertama kali dilansir Lorraine Woellert dalam Bussiness Week, sebagaimana disebut David Horowitz dan Richard Poe [2007], sebagai partai bayangan [the shadow party].
Keberadaan partai bayangan ini digambarkan sebagai institusi di luar partai politik, tetapi peran dan fungsinya kurang lebih sama dengan parpol.
Joseph Fishkin dan Heather K Gerken [2015] mengungkapkan, partai bayangan ini melakukan aktivitas layaknya kerja partai politik, seperti memobilisasi massa, mengelola dana kampanye, mengampanyekan kandidat, hingga mempekerjakan juru kampanye dalam waktu tertentu.
Ciri lainnya, partai bayangan ini dikendalikan oleh sedikit orang, hierarkis, dan jauh lebih solid alias tidak keropos.
Praktik relawan politik ini dalam kenyataannya tidak hanya dijumpai dalam kontestasi pilpres ataupun pilkada.
Dalam pemilu legislatif, keberadaan relawan politik juga menjadi tulang punggung kandidat. Wujudnya berupa tim yang terstruktur [di luar struktur partai] yang dibentuk mulai dari tingkat kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan, desa, hingga tempat pemungutan suara [TPS].
Fenomena tim pemenangan di luar partai ini kian mudah dijumpai dalam sistem pemilu proporsional terbuka ini.
Bisakah ikut menekan politik uang?
Yang menonjol dalam sejumlah pemilihan pejabat publik di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir, adalah fenomena relawan.
Kalangan warga sipil yang dengan penuh gairah terlibat mendorong calon tertentu dalam pemilihan walikota/bupati, gubernur -juga presiden.
Sri Budi Eko Wardhani, pakar politik dari Universitas Indonesia menyatakan, fenomena relawan ini bibitnya dimulai dari tumbuhnya konsultan-konsultan politik yang disewa para politikus yang mulai berlaga di pilkada langsung sejak 2005.
"Saat itu para konsultan menggalang dan memoblisasi dukungan, di luar kelembagaan partai politik, kata Sri Budi.
Namun baru sejak tahun 2012, benar-benar muncul fenomena relawan yang kita kenal sekarang, berupa antusiasme warga yang bertemu dengan keputusan sejumlah pegiat hak-hak sipil untuk terlibat dalam pemilihan kepala-kepala pemerintahan.
"Undang-undang pemilihan langsung mendorong partisipasi publik, bukan lagi sekadar sebagai pemilih, namun juga sebagai pelaku aktif yang turut menentukan suatu proses pemilihan kepala pemerintahan," kata Sri Budi Eko Wardhani.
Salah satu hambatan utama adalah 'mahar,' dana yang disetorkan calon kepada partai.
Relawan yang bergerak di dunia politik kian ramai, sebagai suatu organisasi yang dibentuk dengan cara mandiri atau didanai, dengan fungsi membantu sosialisasi politik kepada masyarakat.
Hadirnya relawan kian tumbuh masif sejak 2010, bagaikan cendawan di musim hujan.
Relawan politik merupakan bentuk manifestasi dari meningkatnya partisipasi aktif masyarakat dalam demokrasi substansial.
Pada dasarnya seorang relawan bekerja dengan hatinya dan melakukan aktivitas berdasarkan panggilan moral.
Jiwa yang dimiliki para relawan dapat menjadi aspek kunci dari masyarakat sipil dalam upaya pelembagaan demokrasi yang lebih partisipatoris [Bekkers 2005; Becker dan Dhingra, 2001].
Partisipasi aktif masyarakat dalam berjalannya demokrasi jadi hal yang dibutuhkan demi membangun fondasi demokrasi substansial.
Relawan politik yang bergerak secara sukarela adalah wujud mulai pedulinya masyarakat akan politik dan ikut serta dalam berjalannya politik tanpa keterkaitan dengan partai.
Menurut KBBI, sukarelawan adalah mereka yang melakukan segala sesuatu secara sukarela tanpa pamrih atau imbalan.
Istilah relawan selama ini muncul dan populer hanya dalam aksi-aksi sosial yang dengan sukarela menyumbangkan dirinya untuk bekerja dengan tenaga dan pikiran tanpa berharap keuntungan materi apa pun.
Relawan bernama lain dengan volunteer, karena mereka bergerak atas dasar panggilan moral dan kesukarelaan untuk melakukan suatu aksi nyata.
Volunteer atau kerelawanan dilakukan dengan maksud untuk kebaikan bersama tanpa harapan untuk menerima suatu imbalan yang dalam pelaksanaannya volunteer memberikan manfaat tidak hanya kepada orang-orang yang membutuhkan, tetapi juga para relawan yang terlibat langsung.
Dalam hal ini para volunteer sering bersikap proaktif dan bukan reaktif dalam membantu kelompok atau organisasi guna melahirkan masyarakat yang sejahtera.
Secara konsepsi relawan politik bisa disebut sebagai volunteer karena memiliki suatu gerakan nyata untuk memberikan kebaikan bersama karena relawan politik wujud dari kesadaran politik masyarakat menengah untuk menyukseskan demokrasi.
Tetapi pada konteks teknis, relawan politik punya irisan dengan partai politik dan kontestan politik untuk aksi pemenangan.
Berbeda antara relawan yang bergerak di bidang lingkungan, sosial, pendidikan, dan kesehatan, relawan politik bisa dikatakan suatu organisasi yang dibentuk dengan fungsinya sendiri, karena relawan politik bisa berdiri dengan maksud atau kepentingan yang berbeda-beda.
Namun yang mesti di sadari bahwa kehadiran relawan politik merupakan kunci bagi makin baiknya demokrasi Indonesia, karena menunjukkan bahwa rakyat ikut serta dalam menentukan siapa yang layak untuk memimpinnya, tidak hanya partai politik yang menentukan kandidat.
Dapat dispesifikasikan relawan politik kepada dua hal;
Relawan politik yang banyak bergerak untuk memenangkan satu kandidat, melakukan komunikasi intens dengan salah satu kandidat dan memenangkan kandidat yang dibentuk atas dasar kepentingan partai politik adalah relawan partisan, yang mesti ada kejelasan karena bisa disebut tim sukses atau tim kampanye, maka butuh regulasi yang jelas bagi relawan yang dibentuk atas dasar kepentingan, oleh karenanya mesti ada sebuah aturan sebagaimana tim kampanye atau tim sukses, sebagai mana harus melaporkan setiap struktur anggotanya, keuangan, belanja dan metodologi kegiatannya.
Hal ini mesti dilakukan karena relawan partisan memiliki suatu kepentingan dalam memenangkan kandidat, sehingga tidak ada suatu pihak yang mencoba memasuki arena tersebut untuk keuntungan pribadinya.
Relawan non partisan merupakan relawan yang murni memiliki kesadaran bagi diri sendiri untuk menjadi pengawas dari jalanya demokrasi, melaporkan setiap pelanggaran dan ikut serta dalam menyuarakan pemilihan umum.
Memiliki sumber dana yang jelas dari kantong pribadi atau dana pihak lain yang tentu mestinya tidak ada sangkut paut atau berafiliasi dengan partai politik atau elite politik.
Relawan non partisan berarti dia yang bergerak atas dasar keinginan untuk memajukan demokrasi Indonesia dan murni dibentuk dalam rangka ikut menyukseskan pemilu serta tanpa memenangkan salah satu kandidat.
Tidak adanya regulasi yang dapat mengikat relawan politik membuat pintunya terbuka lebar disusupi kepentingan.
Masih terdapatnya masyarakat yang alergi terhadap partai politik, membuat relawan politik dapat jadi langkah taktis bagai elite politik atau partai politik mendekati pemilih, dengan melakukan door to door, oleh karena itu relawan politik kini kian menjamur.
Tidak jarang relawan akhirnya melakukan manuver dan keberpihakan terhadap suatu kandidat dengan tanpa bisa ditindak tegas karena relawan politik yang samar dan belum jelas jenisnya masuk ke mana pada perhelatan pemilu, lantaran relawan politik dibentuk dari masyarakat yang ada kepentingan untuk demokrasi dan ada yang dibentuk karena kepentingan untuk pemenangan.
Sehingga biaya operasional dan kegiatannya tentu yang jadi suatu pertanyaan, dan berada pada sisi mana dia untuk mematuhi aturan pemilu.
Dr Marcin Walecki, seorang doktor hukum dan ilmu politik lulusan Oxford, menyebut relawan sebagai partai ketiga bagi sebuah organisasi yang mempengaruhi hasil pemilu, tapi dia bukan pelaku atau partai politik peserta pemilu.
Praktik ini memang lazim terjadi di negara-negara yang berdemokrasi. Tetapi perbedaan antara relawan politik itu dibagi pada partisipasi dan non partisipasinya.
Apakah relawan dibentuk murni dengan dana pribadi sebagai gerakan masyarakat untuk sosialisasi, atau dibentuk dengan dana elite politik untuk melakukan kampanye dan mendekati pemilih dalam rangka memenangkan kandidat.
Jika yang pertama, maka relawan politik memiliki konsepsi yang sama dengan relawan lainnya; jika yang kedua, sumber dana elite atau partai politik, maka mesti ada kejelasan untuk relawan politik jenis ini, baik terhadap batasan waktu kampanye, metodologi kegiatan dan biayanya mesti akuntabel dan transparan jika menjadi relawan politik yang partisan [memenangkan kandidat].
Menurut Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengungkap perbedaan relawan politik di Indonesia dan Amerika, relawan politik di Amerika biasanya tidak berkomunikasi dengan kandidat, sementara di Indonesia ada komunikasi yang intens antara relawan dengan kandidat.
Perlu penekanan untuk membentuk regulasi yang jelas untuk relawan politik, agar pemilu tidak memiliki cacat moril dan moral.
Relawan politik menurut penelitian [Syauket, 2022] memberikan fungsi meningkatkan partisipasi masyarakat, baik yang bergerak secara offline atau online.
Hal yang mesti disadari bahwa relawan politik dapat melakukan pelanggaran etik dan pidana dalam pemilu, bisa berperan sebagai buzzer bila di media sosial, melakukan black campaign, politik uang, politik identitas, dan lainnya. Maka, tuntutan kejelasan regulasi bagi relawan politik diharapkan cepat direalisasikan demi demokrasi, agar momentum ini diharap menjadi kemajuan demokrasi, bukan menjadi kemunduran demokrasi di Indonesia. (*)
Tags : fenomena relawan, Pilkada 2024, relawan politik, strategi pemilu 2024, partai bayangan, bisakah relawan menekan politik uang, redaksi,